Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
mulai berbalik dan menggertak bahwa Amerika Serikat akan tetap menyerang Irak secara unilateral kalaupun DK tak menyetujuinya. Dan ketika Dewan Keamanan PBB
benar-benar menolaknya, Amerika Serikat sunguh-sungguh membombardemen rakyat Irak.
95
Pertikaian bersenjata yang bersifat non-internasional diatur di dalam 3 tiga pasal kembar Konvensi Jenewa tahun 1949. Sesuai dengan ucapan salah satu delegasi
dalam konferensi Jenewa tahun 1949, pasal itu sering disebut sebagai suatu Konvensi Kecil Convention in Miniature, karena merupakan salah satu pasal yang
mengandung semua pokok utama tentang perlakuan terhadap korban perang menurut Konvensi Jenewa tahun 1949, karena merupakan salah satu pasal yang mengandung
semua pokok utama tentang perlakuan terhadap korban perang menurut Konvensi Jenewa tahun 1949.
Dengan aksi ilegalnya ini, Amerika Serikat yang berdalih ingin “mengubah rezim” Baghdad dan membidik Presiden Saddam Hussein seraya tahu pasti bahwa
korban-korban utamanya adalah rakyat sipil Irak secara serius melanggar prinsip keamanan kolektif dan kewenangan PBB serta membuka lebar pintu bagi anarki
internasional. Tindakan ini merupakan aksi unilateral pertama dalam sejarah PBB.
2. Pertikaian bersenjata non-Internasional
96
Adapun yang dimaksud dengan pertikaian bersenjata non-internasional dalam Konvensi Jenewa tahun 1949 ialah pertikaian bersenjata yang terjadi dalam wilayah
salah satu pihak peserta agung. Perumusan yang singkat ini memberikan pengertian yang sangat umum, karenanya wajar jika dikhawatirkan oleh para utusan dalam
konferensi penetapan konvensi itu bahwa perumusan itu nantinya akan diartikan
95
Ibid.
96
Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, hal. 23-24.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
mencakup setiap bentuk tindakan yang dilakukan oleh setiap kekuatan bersenjata seperti pemberontakan atau gerombolanberandalan. Oleh karena itu, perlu diadakan
pembatasan tentang pertikaian bersenjata non-internasional tersebut. Untuk mendapatkan pembatasan tersebut, kiranya pendapat J. Pictet, dapat
digunakan sebagai pegangan. Dalam hal pembatasan pengertian itu, Pictet berpendapat bahwa pertikaian bersenjata non-internasional dalam Pasal 3 Konvensi
Kembar tersebut haruslah diartikan sebagai pertikaian bersenjata yang pihak-pihaknya bertikai dengan mempergunakan angkatan bersenjata.
97
Ringkasnya, pertikaian yang dalam banyak seginya menyerupai perang internasional, tetapi terjadi dalam satu wilayah negara. Perumusan J. Pictet ini bila
dibandingkan dengan ketentuan Pasal 3 Konvensi Jenewa tahun 1949, tampak menambah persyaratan bagi pertikaian bersenjata non-internasional yang telah
ditetapkan oleh konvensi tersebut. Pasal kembar itu kiranya hanya menetapkan satu persyaratan, yakni persyaratan wilayah. Pertikaian bersenjata yang ditetapkan itu
adalah pertikaian bersenjata yang terjadi di dalam satu wilayah negara peserta konvensi. Pictet menambahkan satu persyaratan lagi bagi pertikaian itu, yakni
persyaratan dengan menggunakan angkatan bersenjata oleh pihak-pihak yang bertikai.
98
97
J. Pictet, Commentary IV Geneva Convention, seperti dikutip oleh F. Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum Internasional, Andi
Offset, Yogyakarta, 1999, hal.37
98
Ibid.
Selanjutnya perlindungan penduduk sipil yang diatur di dalam Konvensi Jenewa tahun 1949 adalah perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban
perang, yaitu :
1. Perlindungan Umum General Protection against The Effect of Hostilities.