Status Invasi Amerika Serikat ke Irak Menurut Protokol Tambahan 1977

Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009

2. Perlindungan Khusus

Di samping perlindungan umum yang diberikan terhadap penduduk sipil dalam sengketa bersenjata sebagaimana diuraikan di atas, maka terdapat pula sekelompok penduduk sipil tertentu yang dapat menikmati perlindungan khusus. Mereka umumnya adalah penduduk sipil yang tergabung dalam suatu organisasi social yang melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial untuk membantu penduduk sipil.

C. Status Invasi Amerika Serikat ke Irak Menurut Protokol Tambahan 1977

Protokol Tambahan Kovensi Jenewa yang mengatur mengenai sengketa bersenjata internasional adalah Protokol Tambahan I tahun 1977 yang judul aslinya adalah Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, and Relating to the Protecting of Victims of International Armed Conflict. Pasal 1 ayat 3 Protokol Tambahan I 1977 menyatakan bahwa Protokol ini berlaku dalam situasi yang dimaksud dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa tahun 1949. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam Konvensi Jenewa tahun 1949 hanya ada satu pasal yang mengatur mengenai konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, yaitu ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 3 Common Article. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan lain yang terdapat dalam keempat Konvensi Jenewa tersebut mengatur mengenai konflik bersenjata yang bersifat internasional. Pasal 2 ketentuan yang bersamaan dari Konvensi Jenewa 1949 menetapkan bahwa konvensi ini berlaku dalam hal : 1. Perang yang diumumkan. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009 2. Pertikaian bersenjata sekalipun keadaan perang tidak diakui. Dalam hal ini invasi Amerika Serikat ke Irak masuk dalam kategori ini. Karena senjata ini banyak dikualifikasikan oleh berbagai pihak bukan sebagai perang walaupun ada sebuah kenyataan sebuah konflik bersenjata sedang terjadi. 3. Pendudukan sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan. Dalam invasi Amerika Serikat ke Irak walaupun perlawanan Irak tidak seimbang, namun tetap terjadi perlawanan. Faktanya, pertikaian bersenjata yang terjadi di Irak tersebut sama sekali bukan perang; bukan karena kekuatan kedua pihak sungguh tak seimbang, melainkan karena alasan penyerbuan itu berlawanan langsung dengan hukum internasional yang sudah disepakati dunia selama setengah abad. Karena itu istilah yang lebih tepat adalah “penyerbuan” invasion, dan dalam konteks korban-korbannya ia lebih pantas dinamai “pembantaian massal” massacre, lantaran dahsyatnya kekuatan destruktif mesin perang AS yang berteknologi tinggi itu Di samping berlaku terhadap situasi perang antar negara, Protokol Tambahan I tahun 1977 juga berlaku dalam situasi-situasi lainnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat 4. Pada pasal ini dikatakan bahwa Protokol I juga berlaku dalam keadaan konflik bersenjata antara suatu bangsa melawan colonial domination, alien occupation dan racist regimes, dalam upaya untuk melakukan hak menentukan nasib sendiri, sebagaimana dijamin dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dalam Deklarasi tentang Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai hubungan bersahabat dan kerjasama antar negara sebagaimana diatur dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. 103 103 ICRC, Op.cit, hal. 133-134. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009 Dimasukkannya situasi-situasi baru tersebut colonial domination, alien occupation dan racist regimes yang kemudian dikenal dengan istilah CAR Conflicts ke dalam kategori situasi sengketa bersenjata internasional merupakan suatu perkembangan baru yang cukup revolusioner terhadap Konvensi Jenewa 1949. Seperti diketahui bahwa menurut Konvensi Jenewa yang dimaksud konflik bersenjata internasional adalah konflik yang terjadi antar negara. Tetapi dengan adanya perkembangan baru di dalam Protokol I, maka pengertian konflik bersenjata yang bersifat internasional menjadi lebih luas lagi, yakni tidak hanya meliputi konflik antar negara tetapi juga mencakup apa yang disebut dengan CAR Conflik tersebut. Adapun yang dimaksud dengan CAR Conflict dalam Protokol I tersebut adalah konflik- konflik yang berkaitan dengna upaya untuk menentukan nasib sendiri Right to Self- Determination. 104 Di samping itu, dalam Protokol Tambahan I ini terdapat juga beberapa ketentuan pokok yang menentukan, antara lain : 105 104 Ibid. 105 Andrey Sudjatmoko, Perlindungan HAM dalam Hukum HAM dan Hukum Humaniter Internasional, Pusat Studi Hukum Humaniter, Universitas Trisakti, Jakarta, 1999, hal. 12. a. Melarang : serangan yang membabi buta dan reprisal pembalasan terhadap : 1. penduduk sipil dan orang-orang sipil; 2. obyek-obyek yang sangat penting bagi kelangsungan hidup penduduk sipil; 3. benda-benda budaya dan tempat religius; 4.bangunan dan instalasi berbahaya; 5. lingkungan alam. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009 b. Memperluas : perlindungan yang sebelumnya telah diatur dalam Konvensi Jenewa kepada semua personil medis, unit-unit dan alat transportasi medis, baik yang berasal dari organisasi sipil maupun militer. c. Menentukan : kewajiban bagi Pihak Peserta Agung untuk mencari orang-orang yang hilang missing persons. d. Menegaskan : ketentuan-ketentuan mengenai suplai bantuan militer relief supplies yang ditujukan kepada penduduk sipil. e. Memberikan : perlindungan terhadap kegiatan-kegiatan organisasi pertahanan sipil. f. Mengkhususkan : adanya tindakantindakan yang harus dilakukan oleh negara- negara untuk memfasilitasi implementasi hukum humaniter. Pelanggaran- pelanggaran terhadap ketentuan sub a tersebut di atas, dianggap sebagai pelanggaran berat hukum humaniter dan dikategorikan sebagai kejahatan perang wars crimes. Selanjutnya di dalam Konvensi Jenewa IV tahun 1949 dikenal istilah grave breachers. Dalam Konvensi Geneva IV tahun 1949, grave breaches dipakai untuk membedakan antara kejahatan perang yang terjadi dalam konflik bersenjata internasional dalam hubungannya dengan istilah ”orang-orang yang dilindungi” the protected persons dengan kejahatan yang dilakukan dalam konflik internal atau domestik Psl 4 Jo. Psl 147 Konvensi Geneva IV. Sementara yang dimaksud sebagai ”the protected persons” adalah ”… mereka yang dalam waktu tertentu dan dengan cara apa pun, mendapatkan dirinya, dalam sebuah konflik atau pendudukan, berada pada kekuasaan salah satu pihak dalam konflik, di mana nasionalitas mereka tidak sama dengan pihak yang menguasainya”.Penggunaan terminologi ”the protected Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009 person” di atas, memang mengarah pada proposisi bahwa tawanan perang ataupun orang-orang sipil dalam konflik internal, tidak mendapat perlindungan oleh Konvensi Jenewa. Maksudnya meskipun pasal 3 serta Protokol Tambahan II Konvensi Geneva dengan jelas melindungi kaum sipil serta tawanan perang dalam konflik internal tekstual legalnya mereka memang tak masuk dalam apa yang disebutkan sebagai ”the protected persons”. 106 Dalam perkembangannya hal tersebut di atas ternyata tidak bersifat absolut. Beberapa praktik hukum pidana internasional nyatanya memasukkan para korban sipil dalam konflik internal sebagai ”the protected persons”. Pengadilan Kejahatan Internasional untuk bekas Yugoslavia The International Tribunal for Former Yugoslavia, dalam beberapa keputusannya memutuskan bahwa muslim Bosnia termasuk ”orang orang yang dilindungi” dari kejahatan Serbia Bosnia dan begitu pula sebaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa yang terpenting dalam pengklasifikasian ”orang-orang yang dilindungi” bukanlah legal nationality dari seseorang, tetapi juga kenyataan bahwa ada kondisi yang secara de facto memperlihatkan tidak adanya perlindungan diplomatik atau hukum terhadap korban korban tersebut. 107 ”Kelemahan” Konvensi Jenewa., tampaknya menjadi perhatian khusus para pelaku hukum internasional. Usaha perluasan penafsiran atas konflik internal terus meningkat. Konflik internal Yugoslavia serta Genoside di Rwanda barangkali dapat disebutkan sebagai titik utama kriminalisasi atas kejahatan perang dalam konflik internal. Ketentuan yang dikeluarkan oleh peradilan Rwanda, misalnya, dengan jelas menegaskan mengenai otoritas jurisdiksinya terhadap pelanggaran atas pasal 3 Konvensi Jenewa., serta protokol tambahannya Protokol Tambahan II. Ini 106 Andrey Sudjatmoko, Op.cit, hal. 15. 107 Ibid. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009 merupakan kali pertama di mana pelanggaran atas kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan selama konflik internal, dikriminalisasikan dalam sebuah instrumen hukum internasional. Hal yang sama juga terjadi pada peradilan bekas Yugoslavia, di mana dalam persidangan kasus Tadic, pengadilan secara jelas menegaskan bahwa kasus tersebut merupakan sebuah pelanggaran yang diklasifikasikan sebagai kejahatan perang. Seakan tak puas dengan pola-pola precedent dalam bentuk keputusan peradilan, kriminalisasi kejahatan perang dalam sebuah konflik internal akhirnya dikukuhkan dunia internasional dalam sebuah statuta yang kita kenal sebagai Statuta Roma Pasal 8 2 c . Untuk itu Statuta Roma boleh disebut sebagai upaya penyempurnaan Konvensi Jenewa. 108 Dari semula, pembantaian rakyat Irak ini tidak mempunyai legitimasi sama sekali bagi pihak agresor dan penjajah. Sejak setahun yang lalu, saat presiden George D. Penerapan Prinsip Hukum Hak Asasi Manusia terhadap Penduduk Sipil Yang Menjadi Korban dalam Invasi Amerika Serikat ke Irak Ratapan dan isak tangis bangsa Irak tidak lagi bisa mengeluarkan air mata tapi sudah mengeluarkan air mata darah. Bila bangsa Irak telah sampai pada batas kesabaran dan berkata “Ini sudah cukup”. Maka Irak mulai membara, seperti yang kita saksikan minggu-minggu ini. Kota Fallujah bergolak, disusul Najaf, Ramadi, Sadr City, Baghdad. Juga kemudian kota-kota lain seperti Nassiriya, Anbar, Amara, Karbala, Kut, Kirkuk, Baquba dll. Pertempuran menggoncang Irak dari utara sampai ke selatan. Bangsa Irak sudah bangkit. Sejarah selalu ingin berulang, tidak ada satu bangsapun yang mau menyerah begitu saja kepada penjajah. 108 J. Supoyo, Hukum Perang di Udara dalam Hukum Humaniter, Gunung Agung, Jakarta, 1996, hal. 20. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009 W. Bush memerintahkan invasi ke Irak. Sejak bulan Maret 2003, saat operasi militer Amerika dan koalisinya dengan sebutan Operation Iraq Freedom, terungkap dengan nyata bahwa itu adalah peperangan yang tidak perlu. Alasannya, pemerintah Saddam Husein tidak terbukti menjadi ancaman Amerika dan negara-negara teluk lainnya. Irak tidak terbukti mengembangkan dan memiliki senjata pemusnah masal, apalagi senjata nuklir. Bangsa Irak tidak terbukti ada hubungan dan menyokong terorisme internasional. Irak sudah menerima hukumannya karena menyerbu Kuwait, berupa embargo internasional selama 13 tahun, yang berakibat timbulnya bencana mengerikan yang menimpa berjuta-juta anak-anak Irak.Angkatan Bersenjata Irak telah hancur. Selama embargo, Amerika dan koalisinya dengan semena-mena mengebom wilayah Irak dengan menggunakan pesawat tempur mereka tanpa ada perlawanan. Belum lagi dampak yang sangat mengerikan karena penggunaan persenjataan dengan kandungan depleted uranium DU; berupa kontaminasi partikel debu radioaktif yang bisa menyebabkan kanker, cacat lahir dan perubahan genetika lainnya bagi bangsa Irak dan generasi sesudahnya. 109 Jadi, apa alasan yang mendasar bagi Amerika dan koalisinya menggempur dan menduduki Irak? Tidak ada sama sekali. Legitimasi peperangan ini hanya berdasarkan pada kebohongan dan data inteligen yang menyesatkan. Bukan hanya kebohongan kepada Kongres Amerika dan publik Amerika saja, tapi juga kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini. Sungguh suatu pembodohan global yang sangat hebat. Dan setelah bencana ini berlangsung sekian lama, fakta-fakta nyata berbicara dan kebohongan-kebohongan Amerika dan koalisi terungkap; tak satupun pemerintahan yang berani angkat bicara dan bertindak, PBB demikian juga. Hanya menyaksikan 109 Krisnadi Yuliawan, Invasi Amerika Serikat ke Irak dan Legitimasinya, http:www.gatra.com2003-03-31versi_cetak.php?id=26793, hal. 1. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009 dan diam. Bahkan korban jiwa rakyat Irak yang tidak berdosa, yang mencapai hitungan 10.000 jiwa tidak menjadi perhatian sama sekali. Tapi kalau timbul korban 1 tentara Amerika dan koalisi, langsung menjadi headline media masa di seluruh dunia. Maka jangan terkejut, kalau bangsa Irak marah. Marahnya suatu bangsa, tidak saja mampu membakar dan membantai empat orang tentara bayaran Amerika, tapi mampu menghanguskan lembah subur sungai Euphrat dan Tigris, bahkan seluruh wilayah Irak. Mudah-mudahan ini tidak akan terjadi. Itulah, saya pikir, penjelasan yang masuk akal atas bangkitnya perlawanan bangsa Irak belakangan ini terhadap aksi pendudukan Amerika dan koalisinya. Sepintas, rentetan peristiwa-peristiwa sebelumnya, yaitu pembantaian mengerikan yang menimpa 4 orang tentara bayaran Amerika di Fallujah dan usaha penangkapan seorang ulama muda syiah Moqtada Al- Sadr atas tuduhan pembunuhan rivalnya; menjadi sebab utama meletusnya perang perlawanan. Tapi dua hal itu hanyalah pemicu bangkitnya perlawanan, seperti yang saya jelaskan sebelumnya akar permasalahan sebenarnya bukanlah itu. Sungguh suatu hal yang janggal, Amerika begitu serius dan sangat berkeinginan untuk menangkap seseorang dengan tuduhan pembunuhan kriminal biasa. Bagaimana dengan pembunuh-pembunuh yang ada di dalam pasukan Amerika dan koalisi, yang telah membantai rakyat Irak tak berdosa, setelah terbukti secara nyata bahwa penyerangan itu tidak sah. Dengan mengamati fakta-fakta pada pemberitaan selama ini dan sedikit analisa, sebenarnya rakyat Irak tidak begitu menghendaki kehadiran Amerika di tanah Irak, tidak ada sambutan yang gegap gempita, sorak sorai dan senyuman penyambutan serta kalungan bunga. Kemudian diperparah oleh tindakan pasukan dan politisi Amerika yang arogan. Kegagalan Amerika dalam mendekati dan mengambil hati Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009 rakyat Irak, juga memberikan kontribusi. Dan yang terakhir adalah kesombongan Amerika sebagai negara adidaya dan penjajah. 110 Sejak berkobarnya perlawanan rakyat Irak, sampai saat ini, telah jatuh korban di pihak Irak sebanyak 400 orang sahid dan ribuan terluka. Dari pihak Amerika dan koalisinya telah tewas sebanyak 50 orang. Sementara itu, jumlah korban peperangan di pihak Irak secara keseluruhan mencapai 50.000 orang termasuk 10.638 korban rakyat sipil, korban di pihak Amerika dan koalisi total 750 orang korban tentara Amerika 650 orang. Sebaliknya bagi bangsa Irak, perlawanan yang dilakukan mempunyai landasan dan legitimasi yang cukup kuat. Bangsa mana yang mau dijajah, bangsa mana yang mau dihina dan diinjak-injak kehormatan dan kedaulatannya. Bangsa mana yang mau diperlakukan sebagai bangsa inverior oleh bangsa lain. Kecuali orang yang kurang waras dan tidak mempunyai harga diri lagi. Peperangan akibat perlawanan rakyat Irak telah meluas ke hampir seluruh kota-kota penting Irak. Kelompok Mujahidin Sunni memulai dari Fallujah, kemudian menjalar ke Irak Tengah dan Utara. Sedangkan kelompok Pasukan Mahdi Syiah, yang dipimpin oleh Al-Sadr, yang disebut juga Pasukan Jubah Hitam, memulainya dari Najaf dan menjalar ke Irak Tengah dan Selatan. Laporan Al-Jazeera, yang mengutip pernyataan para Mujahidin Sunni Fallujah, bahwa kelompok Mujahidin mendukung sepenuhnya perlawanan yang dikobarkan oleh pasukan Al-Sadr. 111 Membicarakan perang Irak dan korban-korban terutama yang menimpa penduduk sipil, jelas bertentangan tidak hanya dengan Hukum Humaniter Internasional, namun yang pasti bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. 110 Ibid. 111 Ibid. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009 Pada dasarnya Declaration of Human Rights, atau Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia, banyak mengandung prinsip-prinsip dasar mengenai perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, sehingga terhadap penduduk sipil yang menjadi korban perang di Irak dapat diterapkan. Di dalam mukaddimah dijumpai pernyataan dunia tentang hak-hak asasi manusia mempertimbangkan beberapa hal, antara lain : a. bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak terasingkan dari semua anggota keluarga kemanusiaan, keadilan dan perdamaian dunia. b. bahwa mengabaikan dan memandang rendah pada hak-hak manusia telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan dalam hati kemanusiaan, terbentuknya suatu dunia di mana manusia akan mengecap kenikmatan, kebebasan berbicara, agama dan kebebasan dari ketakutan dan kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita yang tertinggi dari rakyat jelata. c. bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum supaya orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha yang terakhir guna menentang kelaliman dan penjajahan. d. bahwa bangsa-bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan sekali lagi dalam Piagam Kepercayaan mereka akan hak-hak dasar dari manusia, akan martabat dan penghargaan seseorang manusa dan akan hak-hak yang sama dari laki-laki maupun perempuan dan telah memutuskan akan memajukan kemajuan sosial dan tingkat penghidupan yang lebih baik dalam kemerdekaan yang lebih luas. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009 e. bahwa pengertian umum terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini adalah penting sekali untuk pelaksanaan yang benar dari janji ini. Selanjutnya mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil ini dapat dilihat juga dalam Konvensi yang menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, yang diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi oleh Resolusi Majelis Umum No. 3946 tanggal 10 Desember 1984. Dimana sebenarnya peraturan-peraturan ini dapat diterapkan untuk melindungi penduduk sipil yang menjadi korban dalam konflik bersenjata di Irak, sebab latar belakang dilaksanakannya Konvensi ini adalah untuk dapat menjadikan lebih efektif perjuangan menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia di seluruh dunia. Selanjutnya di dalam Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia bagi Umat Islam yang dideklarasikan pada tanggal 5 Agustus 1990, Pasal 3 menyatakan bahwa dalam konflik bersenjata, tidak diperkenankan untuk membunuh orang yang tidak bisa melawan seperti orang tua, perempuan dan anak-anak. Orang yang terluak dan sakit berhak utnuk mendapatkan perawatan medis, dan tawanan perang mempunyai hak untuk diberi makan, naungan dan pakaian, serta larangan untuk merusak tubuh orang yang sudah mati. Mengenai Genocida, Konvensi PBB tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genocida, tanggal 9 Desember 1984 Pasal 2 dengan jelas menyatakan bahwa perbuatan membunuh para anggota kelompok, menyebabkan luka-luka pada tubuh atau mental para anggota kelompok, dan dengan paksa mengalihkan anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lain dapat digolongkan pembantaian massal yang Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009 amat dicaci, sedangkan bagi anak-anak khususnya dapat diterapkan Konvensi PBB mengenai Hak Anak Convention of The Right of Child. Pertanggungjawaban terhadap korban yang berasal dari penduduk sipil dalam invasi Amerika Serikat ke Irak adalah dengan diadbentuknya pengadilan HAM yang permanent yang diberlakukan bagi para penjahat perang dan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan dimaksud adalah International Criminal Court ICC yang dibentuk berdasarkan Statuta Roma 1998. Walaupun selama ini pengadilan sejenis pernah ada, namun sifatnya hanya pengadilan ad hoc, misalnya pengadilan di Yugoslavia dan Ruwanda, dimana sampai pada tahun 2000 belum sampai 60 negara yang meratifikasi konvensi tersebut. Untuk invasi Amerika Serikat yang direncanakan dengan persiapan yang matang oleh Presiden Bush, dapat diberlakukan ketentuan ini. Yang juga mesti diingat, invasi ke Irak bukanlah rencana mendadak. Ide ini sudah muncul secara serius dalam surat terbuka Project for the New American Century, sebuah kelompok pemikir kaum konservatif, yang ditujukan untuk Presiden Clinton pada Januari 1998. Kumpulan pemikir utama kaum konservatif ini memperingatkan Clinton bahwa strategi containtment pembendungan untuk Irak telah gagal total. Maka sekarang, menyingkirkan Saddam dari tampuk kekuasaan harus menjadi tujuan dari politik luar negeri Amerika, demikian tertulis dalam surat yang ditandatangani 18 pemikir konservatif itu. 112 Lima sebelum melakukan invasi, 18 nama yang menandatangani surat itu cuma mantan pejabat pemerintahan Partai Republik Ronald Reagan yang berkiprah di pusat studi maupun lingkungan akademik. Tapi kini, separuh dari 18 penandatangan 112 Krisnadi Yuliawan, Op.cit, hal. 2. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009 itu punya posisi penting dalam pemerintahan Bush. Mereka antara lain Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, deputinya, Paul Wolfowitz; dua pejabat penting Departemen Luar Negeri Richard Armitage dan John Bolton, serta Elliot Abrams, sekarang pejabat penting Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat. Bahkan, sebelum muncul surat yang diserahkan pada Presiden Clinton pada 1998 itu, ide mengubah rezim Baghdad sudah lama ada. Pada 1996, Richard Perle yang baru saja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ketua Dewan Kebijakan Pertahanan Amerika-- mengirimkan sebuah memo untuk Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu. Perle seorang penganut garis kerasmengusulkan untuk mengganti Saddam Hussein dengan Hussein, Raja Yordania masa itu, sebagai bagian dari rencana memperkuat Israel. Perle mencoba merancang perubahan yang bisa mengamankan jalan-jalan dan perbatasan Israel lewat revolusi paksa di dunia Arab. Surat Perle ini juga disampaikannya kepada Presiden Clinton. 113 Sehubungan dengan hal tersebut di atas, di dalam artikel 7 Statuta Tribunal untuk negara bekas Yugoslavia menyatakan bahwa pertanggung jawaban dalam pelanggaran HAM bersifat individual. Ayat pertama artikel 7 tersebut menyebutkan, siapapun orang orang yang merencanakan, menghasut, memerintahkan melakukan atau hal-hal yang lain yang membantu dan bersekongkol dalam merencanakan Doktrin preemption duduki lebih dulu belakangan memang tengah naik daun di Amerika, terutama setelah serangan 11 September ke menara kembar World Trade Centre, New York. Doktrin yang telah mewujud dalam invasi militer Amerika ke Irak ini, jelas mengkhawatirkan dunia. Sebab tentu ada kemungkinan nafsu agresi Amerika tak hanya berhenti di Irak. 113 Ibid. Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008. USU Repository © 2009 persiapan atau pelaksanaan kejahatan seperti yang tersebut dalam artikel 2 sampai artikel 5 pada statute tersebut, seperti genocida, crime against humanity, violation of the law or custom of war, harus bertanggung jawab secara individu terhadap kejahatan yang dilakukannya. Ayat kedua menyebutkan, posisijabatan resmi untuk semua tersangka apakah kepala negara atau kepala pemerintahan atau sebagai pejabat pemerintahan resmi yang bertanggung jawab tidak bisa membebaskan orang tersebut dari tanggung jawab terhadap kejahatan yang dilakukannya ataupun yang mengurangi hukuman. 114

A. Kesimpulan