Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
yang menetapkan keadaan yang merupakan syarat bagi berlakunya konvensi itu dapat disimpulkan pengertian perang. Keadaan yang dimaksud adalah pertikaian bersenjata,
yang dibagi menjadi 2 dua, yaitu :
1. Pertikaian bersenjata Internasional
Pertikaian bersenjata dalam konvensi ini dimaksudkan untuk menggantikan istilah perang yang digunakan dalam konvensi-konvensi sebelumnya. Penggantian
istilah itu dimaksudkan untuk menyempurnakan pengertian perang tersebut. Adapun pertikaian bersenjata internasional adalah pertikaitan bersenjata yang terjadi di antara
dua negara atau dua pihak peserta agung. Jadi, pelakunya adalah negara, sehingga bersifat internasional.
Untuk invasi Amerika Serikat ke Irak, jelas merupakan pertikaian bersenjata yang bersifat internasional, karena melibatkan dua negara. Namun, pertikaian
bersenjata tersebut belum dapat dikategorikan sebagai perang. Seperti diketahui, bahwa gertakan Presiden Bush yang bertalu-talu sejak
beberapa bulan pada tahun 2002-2003 terakhir kini benar-benar diwujudkan, yaitu dengan mengirim ribuan pasukan ke Irak untuk misi invasi ke Irak dan untuk
menggulingkan kepemimpinan Saddam Husein yang diklaim oleh Bush sebagai tahap awal untuk menciptakan demokratisasi Irak. Meski sulit dipercaya oleh manusia-
manusia yang bernurani, dan yang sedikit banyak menyadari betapa akan dahsyatnya penghancuran oleh Amerika Serikat itu, Irak sungguh-sungguh diserang. Umumnya
media menyebut peristiwa ini secara gampangan sebagai “perang”. Faktanya, ia sama sekali bukan perang; bukan karena kekuatan kedua pihak
sungguh tak seimbang, melainkan karena alasan penyerbuan itu berlawanan langsung dengan hukum internasional yang sudah disepakati dunia selama setengah abad.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
Karena itu istilah yang lebih tepat adalah “penyerbuan” invasion, dan dalam konteks korban-korbannya ia lebih pantas dinamai “pembantaian massal” massacre, lantaran
dahsyatnya kekuatan destruktif mesin perang Amerika Serikat yang berteknologi tinggi itu. Satu-satunya alasan Amerika Serikat yang dicoba dikaitkan dengan hukum
dalam menyerbu Irak adalah bahwa Irak melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB, yang mengharuskannya menghancurkan semua persenjataan pemusnah masalnya,
termasuk nuklir, kimia dan biologi CBW, setelah Irak mengakhiri pendudukannya atas Kuwait 1991. Kalaupun alasan yuridis-formal ini bisa dibenarkan, ia mengidap
masalah.
92
Pertama, alasan pelanggaran itu tentunya harus diterapkan secara konsisten, yaitu harus berlaku pula bagi semua negara yang melanggar resolusi DK-PBB
maupun semua kesepakatan internasional. Faktanya, hampir 90 buah resolusi serupa telah dan sedang dilanggar oleh sekutu-sekutu terdekat AS. Misalnya serbuan Maroko
atas Sahara Barat, pendudukan Turki terhadap Siprus Utara dan, tentu saja, keganasan Israel atas Palestina dengan melanggar berpuluh-puluh resolusi Dewan Keamanan
PBB maupun Majelis Umum PBB dalam 25 tahun terakhir. Semua tindakan itu masih berlangsung sampai hari ini. Kalapun benar Irak memiliki senjata nuklir, dan jika
pemilikan ini harus dihukum, maka tentunya yang juga harus dihukum paling sedikit adalah India, Pakistan, Korea Utara dan Israel. Mereka semua memiliki nuklir, dengan
melangggar perjanjian non-proliferasi NPT, yang membatasi pemilikan nuklir hanya pada negara-negara besar yang disebut “The Nuclear Club”.
93
92
Harja Syaputra, Invasi Amerika Serikat ke Irak, diakses dari situs : http:harjasaputra.wordpress.com20070519irak-pasca-perang-3
93
Ibid.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
Kedua, serbuan Amerika Serikat terhadap Irak inilah yang sudah pasti melanggar aturan main internasional, sebab menurut Pasal 41 dan 42 Piagam PBB,
tiada satu pun negara anggota yang berhak menerapkan resolusi apapun secara militer kecuali telah diputuskan oleh Dewan Keamanan bahwa memang telah terjadi
pelanggaran material atas resolusi tersebut.
94
Mekanisme itulah yang ditempuh pada November 1990 di masa kekuasaan Bush Senior, ketika Dewan Keamanan PBB menerapkan resolusi 678 sebagai respon
terhadap pendudukan Irak atas Kuwait, suatu tindakan yang melanggar sejumlah resolusi yang dikeluarkan pada Agustus 1990 yang mendesak Irak agar segera mundur
dari negeri mini itu. Irak akhirnya menaati resolusi ini pada Maret 1991. Tentu saja ia sekarang bisa diperdebatkan: Apakah resolusi itu masih boleh dianggap berlaku pada
tahun 2003, ketika pokok masalahnya sangat berbeda? Amerika Serikat pun sepenuhnya mengerti aturan main ini. Itu sebabnya, sejak semula ia berusaha keras
memperoleh persetujuan Dewan Keamanan PBB, yang oleh Presiden Bush tak henti- hentinya dipuji dan dia nyatakan bahwa dia menghormati lembaga terpenting PBB ini.
Tapi ketika makin terlihat gejala Dewan Keamanan PBB akan menolaknya, Bush Menurut Piagam PBB, Dewan Keamanan juga harus memutuskan sebelumnya
bahwa semua cara nonmiliter memang telah diupayakan tapi tidak mempan, dan Dewan Keamanan PBB pula yang harus memberi wewenang untuk menggunakan
cara militer. Faktanya, sampai sidangnya yang terakhir bulan lalu, Dewan Keamanan PBB tak juga memberi wewenang itu, meski AS sudah berupaya habis-habisan
meyakinkan siding termasuk dengan memanipulasi data bahwa Irak memang sungguh-sungguh memiliki senjata-senjata pemusnah massal itu.
94
Ibid.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
mulai berbalik dan menggertak bahwa Amerika Serikat akan tetap menyerang Irak secara unilateral kalaupun DK tak menyetujuinya. Dan ketika Dewan Keamanan PBB
benar-benar menolaknya, Amerika Serikat sunguh-sungguh membombardemen rakyat Irak.
95
Pertikaian bersenjata yang bersifat non-internasional diatur di dalam 3 tiga pasal kembar Konvensi Jenewa tahun 1949. Sesuai dengan ucapan salah satu delegasi
dalam konferensi Jenewa tahun 1949, pasal itu sering disebut sebagai suatu Konvensi Kecil Convention in Miniature, karena merupakan salah satu pasal yang
mengandung semua pokok utama tentang perlakuan terhadap korban perang menurut Konvensi Jenewa tahun 1949, karena merupakan salah satu pasal yang mengandung
semua pokok utama tentang perlakuan terhadap korban perang menurut Konvensi Jenewa tahun 1949.
Dengan aksi ilegalnya ini, Amerika Serikat yang berdalih ingin “mengubah rezim” Baghdad dan membidik Presiden Saddam Hussein seraya tahu pasti bahwa
korban-korban utamanya adalah rakyat sipil Irak secara serius melanggar prinsip keamanan kolektif dan kewenangan PBB serta membuka lebar pintu bagi anarki
internasional. Tindakan ini merupakan aksi unilateral pertama dalam sejarah PBB.
2. Pertikaian bersenjata non-Internasional