1. Mencari hari-hari yang baik
Dalam melaksanakan upacara yadnya, umat Hindu biasanya berkonsultasi terlebih dahulu kepada seorang Pemangku. Karena
melaksanakan upacara yadnya umat tidak boleh sembarangan dalam melaksanakannya termasuk menentukan hari yang baik dalam
melaksanakannya. Oleh karena itu peran Pemangku dalam hal menentukan hari yang baik dalam kegiatan keagamaan harus
diutamakan. Karena Pemangku mampu membaca perhitungan hari dan bulan dalam hitungan Jawa dan Hindu.
2. Memimpin Upacara-upacara Keagamaan
Sesungguhnya penyelenggaraan upacara Dewa-Yadnya sudah tidak asing lagi bagi umat Hindu, tetapi mungkin masih ada yang
belum memahami arti dan tujuan dari upacara tersebut. Demikian pula sesajen-sesajennya kebanyakan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan
yang telah berlaku atau ingatan orang tua, tanpa berpegang pada suatu sumber tertulis. Hal-hal tersebut sering menyebabkan
penambahan sesajen banten yang tidak menentu baik mengenai jenis dan jumlahnya. Penambahan sesajen berarti pula penambahan bahan
atau upacara yang dipergunakan. Yang lebih menyedihkan lagi ialah
sering terjadi tanggapan yang negatif terhadap penyelenggaraan upacara terutama mengenai sesajen yang di pergunakan.
12
Perlu dipahami betul oleh umat Hindu bahwa upacara telah di atur menjadi 3 tingkatan yang di sebut nista kecil, Madia sedang
dan utama besar yang bertujuan agar dapat di sesuaikan dengan: 1
Desa. Desa adalah tempat upacara diselenggarakan, misalnya di
perumahan kahyangan –desa, khayangan jagad, di Bali ataupun di luar Bali.
2 Kala.
Kala adalah waktu zaman, atau kapan upacara diselenggarakan.
3 Patta.
Patta adalah keadaan ekonomi kemampuan kedudukan sosial dan situasi lingkungan.
Berkenaan dengan Patta, atau kemampuan, Sudah menjadi kebiasaan yang di lakukan oleh umat Hindu sebelum umat hendak
melaksanakan suatu upacara Yadnya biasanya mereka terlebih
12
I G Mas Putri, Upacara Dewa Yadnya, h.1
dahulu memanggil seorang pemangku agar berkenan hadir ke tempat tinggalnya. Maksud umat memanggil seorang Pemangku
adalah untuk melihat keadaan umat tersebut dari berbagai aspek, terutama keadaan ekonominya. Lalu barulah Pemangku dengan
bijaksana dan atas beberapa pertimbangan dapat menentukan tingkat upacara yang akan di persembahkan dalam upacara Yadnya itu. Dan
lebih diutamakan seharusnya umat tidak menutup-nutupi keadaannya saat akan di nilai oleh pemangku untuk menentukan besar kecilnya
upacara yang akan di buat agar upacara yang akan di lakukan nanti benar-benar upacara yang baik dan sesuai dengan keinginan
Pemangku. Upacara yang dilakukan umat Hindu, baik upacara yang besar agung yang dihadiri oleh orang banyak dan biasanya
dilakukan di tempat yang terbuka maupun yang kecil sederhana tidak boleh sembarangan dalam menyelesaikannya. Oleh karena itu
dibutuhkan seseorang yang pintar dan ahli dalam menafsirkan kitab suci Weda. Umat Hindu mempercayakan kepada seorang pemangku
yang dianggap mampu memimpin upacara Yadnya yang akan dilaksanakan oleh umat itu sendiri.
Jikalau Pandita berhalangan hadir maka peran tersebut diambil alih oleh Pemangku. Dalam memimpin sebuah upacara
Pemangku biasanya menggunakan Dipa atau padamaran. Dipa atau Padamaran adalah lampu yang memakai minyak kelapa dengan
bentuk tertentu yang selalu menyertai Pemangku memimpin upacara Yajna. Dalam buku Veda Parikrama disebutkan Dhupa lambang Akasa
Tattva dan dipa lambang Sakti Tattya Hal ini dimaksudkan bhakti
umat untuk mencapai akasa simbolis Sthana Hyang widhi. Sedangkan Dipa sebagai sakti tattya sebagai simbol kekuatan suci pemangku umat
memantapkan bhakti umat kepada Hyang widhi
13
Tujuan dari penggunaan Dipa oleh Pemangku adalah untuk memantapkan pemujaan umat agar sampai pada alam Sang Hyang
Widhi Wasa. Dengan sarana Dipa itulah Pemangku menuntun umat untuk mendapatkan penerangan suci dari Hyang Widhi. Penerangan
suci dari Hyang Widhi merupakan salah satu tujuan umat melakukan pemujaan. Dalam kitab Isa Upanisad 18 ada istilah Agni Naya yang
artinya Agni sebagai penuntun. Dalam mantra Isa Upanisad tersebut dinyatakan dalam do’a semoga Hyang Widhi dengan sinar sucinya
Agni menuntun umat pada jalan kebenaran. Semoga semua tingkah laku menuju pada pemujaan Sang Hyang Widhi yang Maha bijaksana
dan terlepas dari perilaku yang tercela. Sebelum upacara di mulai
13
Wiana I Ketut, Makna upacara Yajna dalam Agama Hindu, Paramitha Surabaya; 2001, h. 74
dhupa dan dipa lampu harus di hidupkan dan di mantrai dengan mantra
Mantra : Om.Am. Dhupa-dipa astraya namah
Artinya : Om Sujud kepada Am, dhupa dan dipa,astra itu.
Penjelasan dari mantra tersebut adalah dupa atau wangi-wangian yang dipakai dalam upacara danu ntuk menyelesaikan upacara. Baik
Dhupa maupun Dipa kedua-duanya mempunyai arti simbolis yang berarti dhupa sarwa alam dan dipa bulan sabit atau dengan istilah
lain terwujudnya cipta pujaan itu akan dapat diintensifkan dengan mempergunakan Dhupa dan dipa itu.
14
Untuk menajamkan makna pemujaan pada Hyang Widhi ini umat awam walaka tidaklah semudah teorinya. Karena itu
Pemangku pemimpin upacara setelah mengucapkan mantra atau puja selalu mengambil dhupa dan dipa. Hal ini mengandung makna
Pemangkulah yang mempunyai kewajiban untuk mendekatkan umat pada Hyang Widhi terus menerus dan berulang-ulang. Dalam hal
inilah umat dan pemangku harus memiliki niat yang sama untuk membangun kesucian diri secara terus-menerus. Upaya ini akan dapat
14
G. Pudja., Weda Parikrama, Lembaga penyelenggara Penterjemah Kitab Suci Weda Jakarta: h. 112.
menghilangkan kabut kegelapan hati yang menutupi sinar suci atman mencapai sinar suci Brahman. Umat hindu di India selalu menyalakan
dipa yang berbentuk lilin dan dhupa seperti umat Hindu di Indonesia dalam pemujaannya. Hal ini juga mempunyai makna yang sama
dengan apa yang ada di Indonesia.
15
Pemangku untuk memimpin suatu upacara harus berpegang teguh pada ajaran kitab suci Weda karerna seorang Pemangku akan
selalu memberikan petunjuk dari segi pelaksanaanya baik itu menyangkut upacaranya maupun ketika acara prosesinya. Bimbingan
dan petunjuk dari seorang Pemangku harus ditaati. Oleh karena itu seorang pemangku harus pandai dan paham betul tentang ajaran
Weda.
15
Ibid., h. 75
BAB IV PENUTUP