BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Kelapa Sawit Klasifikasi
Genus Elaeis terdiri atas tiga spesies yaitu Elaeis guineensis Afrika yang dikenal sebagai kelapa sawit, dan dua spesies asli dari Amerika Selatan dan
Amerika Tengah yaitu E. oleifera dan E. odora. Dari tiga spesies ini, kelapa sawit merupakan spesies ekonomi utama, lebih dikenal karena merupakan sumber
minyak nabati dibandingkan dengan dua spesies lain. Elaeis oleifera mempunyai kandungan minyak lebih rendah serta penggunaanya sebatas daerah produksi,
sedangkan informasi tentang E. odora sangat terbatas. Kelapa sawit Elaeis guineensis Jacq. bukanlah tanaman asli Indonesia
tetapi berasal dari Afrika. Kelapa sawit diintroduksi ke Asia Tenggara pada tahun 1848 melalui Kebun Raya Bogor, Indonesia. Keturunan generasi kedua dan ketiga
dari tanaman asli ini digunakan sebagai bahan tanam dan terbentuklah perkebunan pertama kelapa sawit di Sumatra sejak tahun 1911, dan di Malaysia
sejak tahun 1917 kemudian berkembang menjadi populasi Deli Dura. Sampai saat ini banyak varietas telah dihasilkan dan dapat diklasifikasikan
berdasarkan pada tipe buah, bentuk luar, tebal cangkang, warna buah, dan lain- lain. Berdasarkan warna buah maka spesies Elaeis guineensis dikelompokkan atas
1 Nigrescens buahnya berwarna violet sampai hitam waktu muda dan menjadi merah kuning orange setelah matang, 2 Virescens buahnya berwarna hijau
waktu muda dan sesudah matang berwarna orange, 3 Albescens buah berwarna kuning pucat, tembus cahaya karena mengandung sedikit karoten, dan 4 poissoni
sering disebut mantel atau buah dengan karpel tambahan mempunyai lebih dari satu biji dalam buah Hartley 1977; Price et al. 2007 . Dua tipe buah yang umum
adalah nigrescen dan virescen yang dibagi oleh Janssens 1927 ke dalam tiga bentuk yaitu dura, tenera dan pisifera. Varietas Nigrescen dipakai sebagai
tanaman komersial sedangkan dua varietas lain hanya dipakai dalam program pemuliaan dan sebagai koleksi Lubis 1992.
Hartley 1977 menyatakan bahwa berdasarkan bentuk buah internal bagian dalam dari buah ditemukan ada tiga varietas berbeda yaitu 1 Dura ;
tebal cangkang 2-8 mm, kandungan mesokarp rendah sampai medium kadang 35 -55, dan pada Deli Dura lebih dari 65, tidak mempunyai cincin sabut,
2 Tenera: tebal cangkang 0.5-4 mm, kandungan mesokarp medium sampai tinggi 60 -96 tetapi jarang lebih rendah dari 55 , mempunyai cincin sabut,
3 Pisifera; sedikit cangkang tipis. Menurut Paranjothy 1984 ketebalan cangkang dikendalikan oleh gen tunggal. Tiga tipe buah tersebut dibawah kontrol
monogenik dan menjadi dasar untuk klasifikasi minyak sawit yaitu 1 Dura; homosigous ShSh cangkang tebal 2-8 mm, 2 Tenera ; heterosigot Shsh
dengan cangkang tipis 0.5-4 mm, dan 3 Pisifera ; homosigot shsh tidak ada cangkang.
Pisifera umumnya mempunyai organ betina yang steril tetapi penyebab steril tersebut belum diketahui. Embrio yang dihasilkan oleh Pisifera tidak dapat
berkembang dengan baik karena tidak adanya cangkang berlignin. Dalam pemuliaan kelapa sawit, Pisifera biasanya digunakan sebagai sumber serbuk sari.
Sedangkan Tenera adalah hibrida dari hasil persilangan varietas Dura dan varietas Pisifera. Tenera merupakan varietas komersial dengan karakteristik yang
diharapkan yaitu mesokarp atau sabutnya menghasilkan minyak yang tinggi yaitu 60-90 per berat buah dibandingkan dengan Dura yang hanya
20-65 per berat buah, serta bercangkang tipis yang memungkinkan embrio berkembang dengan baik
http:www.hort.purdue.edunewcroptropicallecture_24palm_R.html .
Morfologi Tanaman Kelapa sawit tumbuh tegak lurus dapat mencapai ketinggian 15 – 20 m.
Batangnya dibungkusi oleh pangkal pelepah daun. Batang ini berbentuk silinder berdiameter 0.5 m pada tanaman dewasa. Bagian bawah umumnya lebih besar
disebut bongkol batang. Sampai umur tiga tahun batang belum terlihat karena masih terbungkus pelepah daun. Pangkal pelepah daun atau tangkai daun adalah
bagian daun yang mendukung atau tempat duduknya helaian daun dan terdiri atas rachis
, tangkai daun atau tangkai daun dan duri, helaian anak daun, ujung daun, lidi, tepi daun dan daging daun. Pada tiap pelepah diisi oleh anak daun dikiri
kanan rachis. Produksi pelepah daun pada tanaman selama setahun dapat mencapai 20 -30 kemudian akan berkurang sesuai umur yaitu 18 -25 atau kurang.
Panjang cabang daun dari pangkal dapat mencapai 9 m pada tanaman dewasa. Kelapa sawit berakar serabut yang sangat dangkal 15 cm – 30 cm dengan
permukaan tanah. Akar primer muncul dari pangkal batang bertumbuh ke bawah dan tumbuh juga akar sekunder yang tumbuh horisontal dan dari akar ini muncul
juga akar-akar tertier dan kwartier yang berada dipermukaan tanah. Tanaman kelapa sawit di lapangan mulai berbunga pada umur 12 -14 bulan tetapi baru
ekonomis untuk dipanen pada umur 2.5 tahun Lubis 1992.
Morfologi Biologi Bunga dan Buah
Kelapa sawit merupakan tanaman monoesious karena mempunyai bunga jantan dan betina terpisah tetapi berada pada tanaman yang sama. Tanaman ini
dapat menyerbuk sendiri dan dapat menyerbuk silang. Penyerbukan terjadi oleh angin dan kumbang. Dari setiap ketiak daun keluar satu tandan bunga jantan atau
bunga betina tetapi beberapa gugur sebelum muncul. Pada tanaman muda sering dijumpai bunga abnormal yaitu tandan bunga memiliki dua jenis kelamin atau
bunga hermaprodit Lubis 1992. Masing-masing bunga betina kelapa sawit diapit oleh dua bunga jantan
Gambar 2 namun bunga jantan ini tidak berkembang secara normal dan sangat jarang mencapai tahap perkembangan hingga serbuk sari dihasilkan Hartley
1977. Secara visual tandan bunga jantan atau betina dapat diketahui setelah
Gambar 2. Penampang Bunga Betina Kelapa Sawit Hartley 1977
muncul dari ketiak pelepah daun yaitu 7 - 8 bulan sebelum matang atau 1 –2 bulan sebelum antesis. Ttandan bunga jantan dan bunga betina yang masih dalam
seludang dapat dibedakan yaitu tandan bunga jantan bentuknya lonjong memanjang, ujung kelopak bunga agak runcing dan garis tengah bunga lebih kecil
dibandingkan dengan tandan bunga betina. Tandan bunga betina bentuknya agak bulat dengan ujung kelopak bunga agak rata dan garis tengah bunga lebih besar.
Tiap pembungaan merupakan suatu bulir atau gabungan tongkol spadix pada tangkai bunga yang kuat dengan panjang 30-45 cm. Spikelet disusun secara
spiral mengelilingi sumbu bunga yang bervariasi dengan umur dan posisi pada sumbu bunga. Seludang bunga bagian dalam dan bagian terluar menutupi
pembungaan secara kuat hingga kira-kira enam minggu sebelum anthesis. Dua atau tiga minggu selanjutnya seludang bagian dalam pecah, kemudian kedua
seludang menjumbai dan hancur, serta bunga terdorong keluar Hartley 1977. Satu tandan bunga betina memiliki 100 – 200 spikelet dan tiap spikelet memiliki
15 -20 bunga Lubis 1992. Bunga betina tidak serentak anthesis, pada satu tandan umumnya membutuhkan waktu 3-5 hari atau lebih. Tandan bunga jantan terpisah
tempatnya dengan tandan bunga betina dan tidak bersamaan anthesis maka tanaman ini dikatakan menyerbuk silang.
Tandan bunga jantan juga dibungkus oleh selundang bunga, yang pecah jika akan anthesis. Bunga jantan tidak bertangkai tersusun pada rachis dari suatu
spikelet. Spikelet berbentuk silinder seperti tongkol. Ukuran spikelet antara panjang 10 -20 cm. Spikelet terdiri atas 700 -1200 bunga jantan. Satu tandan
bunga jantan menghasilkan 25-50 g serbuk sari. Sebelum mekar, bunga secara sempurna terbungkus dalam bract triangular yang terdiri atas enam segmen
perhiasan kecil, suatu tabula androesium dengan enam atau tujuh kepala sari, serta gimnoesium rudimenter yang berhubungan dengan stigma tiga cuping
trilobe stigma. Bunga-bunga mulai mekar dari dasar spikelet Hartley 1977. Bunga betina setelah pembuahan akan berkembang menjadi buah. Buah
mencapai kematangan dalam 24 minggu setelah penyerbukan dan minyak mulai diakumulasi dalam mesokarp 20 minggu setelah penyerbukan Tandon et al.
2001. Menurut Hartley 1977 buah bervariasi dalam bentuk dari bentuk bola sampai panjang dan agak menonjol di bagian atas. Panjangnya bervariasi dari
kira-kira 2 cm sampai lebih dari 5 cm dengan berat dari 3 g sampai lebih dari 30 g. Buah Deli dari Far East biasanya lebih besar dibandingkan dengan buah
Afrika, meskipun berbeda dengan buah yang umum. Pericarp buah terdiri atas 1 eksokarp terluar atau kulit buah, 2 mesokarp atau daging buah sabut, dan 3
endokarp atau cangkang. Sedangkan biji terdiri dari kernel dan cangkang. Sering dijumpai buah mantel yaitu stamen yang rudimenter berkembang
menjadi karpel tambahan pada bunga betina. Tipe buah abnormal mantel ini dikenal dengan berbagai istilah seperti Poissoni, Mantled dan Diwakkawakka.
Pertumbuhan karpel tambahan ini mengelilingi bagian utama buah. Namun buah mantel jarang ditemui, contoh di suatu daerah di Nigeria dari 20.291 tandan yang
dipanen ditemukan 33 tandan buah mantel, sedangkan di Angola ditemukan sembilan pohon menghasilkan buah mantel dari 10.000 pohon Hartley 1977.
Ditemukan berbagai penampilan eksternal buah khususnya pada waktu matang. Eksokarp dari buah-buah eksternal cenderung lebih berpigmen
dibandingkan dengan buah internal. Tipe yang paling umum yaitu buah berwarna lebih ungu sampai hitam pada apeks dan tidak berwarna pada bagian dasar
sebelum matang. Tipe yang tidak umum adalah hijau sebelum matang, dan ini disebut buah hijau virescen yang kemudian berubah pada saat matang menjadi
orange kemerahan. Sedangkan untuk struktur internal, yang berbeda adalah pada ketebalan cangkang. Ketebalan cangkang dari yang paling kecil 1 mm sampai
yang paling tebal 8 mm. Tiap cangkang mempunyai tiga pori yang berhubungan dengan tiga bagian ovari tiga karpel. Namun hanya satu karpel yang biasanya
berkembang menjadi biji Price et al. 2007. Bagian dalam dari cangkang terdapat kernel. Cangkang terdiri atas lapisan endosperm yang keras yang berwarna putih
keabu-abuan yang dikelilingi oleh testa coklat tua yang dibungkus dengan sabut serta mempunyai satu pori yang terdapat embrio Hartley 1977.
Biosintesis Lemak Pada Tanaman
Lipid adalah kelompok senyawa organik berminyak atau berlemak yang tidak larut dalam air, dapat diekstrak dari sel dan jaringan oleh pelarut non polar
seperti kloroform atau eter Lehninger et al.1982. Terdapat tiga kelas lipid pada tanaman yaitu 1 trigliserida atau lemak, merupakan lipid paling sederhana yang
b a
Gambar 3. Struktur kimia triasilgliserol dan asam lemak. a Triasilgliserol, b Asam lemak jenuh dan tak jenuh Alberts et al. 2002
tersusun dari tiga asam lemak dan terikat dengan satu molekul gliserol melalui ikatan ester Gambar 3a, 2 membran lipid, mirip dengan trigliserida namun satu
asam lemak diganti oleh satu kelompok polar seperti gula pada senyawa glikolipid atau posfat pada posfolipid, dan 3 lipid kutikula, campuran hidrokarbon
kompleks dan ester dari asam alifatik rantai panjang dan alkohol, tersimpan dalam suatu polimer lipid yang disebut kutin. Kutin dan wax menyusun kutikula sebagai
barier penahan air. Menurut Ohlrogge dan Browse 1995 lipid kutikula membungkus permukaan tanaman sebagai barier hidropobik untuk mencegah
kehilangan air dan membentuk suatu pertahanan terhadap patogen dan stress lingkungan lainnya.
Jenis lipida yang paling banyak adalah lemak atau triasilgliserol TAG Lehninger et al.1982. Triasilgliserol merupakan bentuk lipid yang kaya energi
sebagai makanan cadangan yang digunakan untuk tanaman dan manusia. Terdapat lima asam lemak utama pada lipid tanaman yaitu yang berada dalam
bentuk cair oleat, linoleat dan linolenat merupakan asam lemak tidak jenuh dan sebagai nutrisi, sedangkan asam lemak jenuh meliputi palmitat Gambar 3b dan
stereat. Seperti dikemukakan oleh Stumpf 1976 bahwa triasilgliserol dalam bentuk cair pada suhu kamar disebut minyak, disusun terutama oleh asam lemak
tidak jenuh seperti asam oleat Gambar 3b, asam linoleat dan asam linolenat.
Sedangkan berupa padat dalam suhu kamar disebut lemak, disusun oleh asam lemak jenuh seperti asam palmitat. Asam lemak tidak jenuh mengandung satu
atau lebih ikatan rangkap. Sintesis asam lemak dibutuhkan pada tahap awal pertumbuhan sel dan perkembangan Sasaki Nagano 2004. Asam lemak
merupakan suatu kelompok asam karboksil alifatik yang dapat mengandung dua sampai dua puluh empat lebih atom karbon yang terdapat pada sebagian besar
jaringan tanaman dan hewan. Menurut Ohlrogge dan Browse 1995 tanaman dan sebagian besar organisme mempunyai asam lemak utama berantai panjang C16
atau C18 dengan satu sampai tiga ikatan ganda cis.
Gambar 4. Penggunaan asetil-KoA pada organel sel berbeda dalam tanaman disederhanakan. Pada mitokondria asetil-KoA
dihasilkan melalui piruvat, dalam plastid dihasilkan dari piruvat dan asetat, dan dalam sitosol asetil berasal dari sitrat
yang dikeluarkan dari mitokondria.. ht ACCase heteromerik asetil Ko-A mengkatalisis asetil menjadi malonil-KoA dalam
plastid. FAS asam lemak sintase mengkatalisis malonil-KoA menjadi asam lemak. hm ACCase homomerik asetil-KoA
mengkatalisis asetil menjadi malonil-KoA dalam sitosol Fatland et al. 2005.
Asetil-KoA merupakan suatu biomolekul penting dalam beberapa organel dan suatu prekursor dari biosintesis asam lemak Ke et al. 2000, dan hampir
semua asetil-KoA yang digunakan dalam metabolisme dibentuk pada mitokondria berasal dari oksidasi piruvat, oksidasi asam lemak dan degradasi kerangka karbon
asam aminol Lehninger et al.1982, namun Ke et al. 2000 mengatakan asetil- KoA untuk biosintesis asam lemak pada tanaman dihasilkan dari asam piruvat.
Biosintesis asam lemak pada tanaman ditempatkan dalam plastid dan dikatalisis oleh dua ensim yaitu asetil-CoA karboksilase ACCase dan asam lemak sintase
Gambar 4. ACCase mengkatalisis tahap pertama karboksilasi asetil-CoA menjadi malonil-CoA, membutuhkan ATP, asetil-CoA dan bikarbonat. ACCase
dipertimbangkan sebagai tahap yang membatasi kecepatan biosintesis asam lemak Töpfer et al. 1995.
Gambar 5. Reaksi ensim asetil-KoA karboksilase. 1 Reaksi membutuhkan ATP, BC mengaktivasi HCO
3 -
dengan menempel ke cincin biotin BCCP. 2 tangan biotin BCCP
membawa CO
2
yang diaktivasi dari situs aktif BC ke situs karboksiltransferase CT, 3 CT mentransfer CO
2
dari biotin ke asetil-KoA menghasilkan malonil-KoA Ohlrogge
Browse 1995.
Ohlrogge dan Browse 1995 mengatakan ACCase tersusun dari tiga daerah fungsional yaitu biotin carboxyl carrier protein BCCP, biotin karboksilase BC
dan karboksil transferase CT Gambar 5. Menurut Sasaki dan Nagano 2004 ensim ACCase mengkatalisis dua half-reaction berbeda sebagai berikut :
:1 BCCP + HCO
3
¯ + Mg
2+
-ATP BCCP-CO
2
+ Mg
2+
-ADP + Pi : biotin karboksilase
2 BCCP-CO
2
¯ + asetil-KoA
BCCP + malonil-KoA : karboksil transferase
Sedangkan ensim asam lemak sintase mengkatalisis tahapan reaksi pembentukan asam palmitat C16:0 pada tanaman, dan selanjutnya membentuk asam lemak
rantai C18:0 yang bervariasi ikatan rangkapnya. Rantai asil C16 dan C18 merupakan produk utama biosintesis asam lemak de novo T
őpfer et al. 1995. Menurut Sasaki dan Nagano 2004 di alam ditemukan bentuk ACCase
heteromerik dan homomerik yang berbeda secara fisik. Bentuk heteromerik ACCase tersusun dari empat subunit yaitu BCCP, BC, dan
α dan ß subunit CT, dan biasanya terdapat pada prokariot. Sedangkan bentuk homomerik tersusun dari
polipeptida besar tunggal dengan empat domain subunit dan ditemukan pada eukariot. Bentuk ACCase prokariot ini merupakan bentuk multisubunit,
sedangkan bentuk ACCase eukariot dikatakan sebagai bentuk multifungsi. Sebagian besar tanaman mempunyai kedua bentuk ACCase yaitu bentuk
heteromerik dalam plastid dan homomerik dalam sitosol, kecuali famili graminae seperti gandum dan padi mempunyai hanya bentuk homomerik pada plastid
maupun sitosol Konishi Sasaki 1994 ; Konishi et al. 1996. Aktivitas ACCase dari plastid kacang kapri ACCase prokariot tidak dihambat oleh herbisida
fenoxaprop atau sethoxydim, namun herbisida tersebut menghambat ACCase pada plastid gandum ACCase eukariot Konishi Sasaki 1994.
Pada sel tanaman, sejumlah besar malonil-KoA dibentuk dalam plastid untuk sintesis asam lemak, tetapi malonil-KoA juga dihasilkan dalam sitosol
untuk pemanjangan asam lemak yang dikeluarkan dari plastid Sasaki et al. 1995 ; Nikolau et al. 2003. Menurut Sasaki et al. 1995 asam lemak tersebut diekspor
ke sitosol untuk pemanjangan asam lemak, sintesis flavonoid dan fitoaleksin Sasaki et al. 1995 . Kumpulan malonil-CoA di sitosol dibutuhkan untuk reaksi
lintasan dengan selang yang luas meliputi flavanoid dan pemanjangan rantai
Gambar 6. Sintesis triasilgliserol melalui lintasan Kennedy
asam lemak VLCFA ≥ C20, kutikula, wax dan sphingolipid Roesier et al.
1994. Malonilasi D-asam amino, glikosida dan prekursor 1-aminocyclopropane- 1-carboxylic acid
ACC juga tergantung pada kumpulan malonil-CoA dalam sitosol Baud et al. 2003. Menurut Sasaki dan Nagano 2004 asam lemak yang
telah disintesis akan melewati pembungkus envelope plastid, kemudian dimodifikasi dalam sitosol dalam respons terhadap kebutuhkan tanaman.
Prekursor malonil-CoA tidak dapat melewati envelope tersebut sehingga malonil disintesis dalam plastid maupun sitosol oleh ACCase sesuai kebutuhan sel.
Biosintesis triasilgliserol terdiri atas tiga tahapan reaksi yaitu 1 biosintesis malonil-CoA dari asetil-CoA, 2 biosintesis asam lemak menggunakan malonil-
CoA sebagai prekursor, 3 biosintesis triasilgliserol melalui lintasan kennedy. Tahap pertama dan kedua berlangsung dalam plastid sedangkan tahap ketiga
berlangsung dalam retikulum endoplasma sitosol. Asetil-CoA karboksilase merupakan ensim yang berperan langsung dalam biosintesis TAG. Ensim ini
berkontribusi untuk sintesis asam lemak de novo dalam plastid dan juga pemanjangan asam lemak dalam retikulum endoplasma ER untuk membentuk
C20:0, C20:1 dan C22:1 yang mewakili 25 dari asam lemak TAG pada Arabidopsis Baud et al. 2002. Triasilgliserol disintesis melalui lintasan
Kennedy Gambar 6 yang secara garis besar terdiri atas dua tahap asilasi untuk mengubah gliserol-3 fosfat menjadi fosfatidat, dilanjutkan dengan pembentukan
diasilgliserol oleh ensim fosfatidat fosfohidrolase dan terakhir ensim diasilgliserol asiltransferase mengubah diasilgliserol menjadi triasilgliserol.
Tabel 1. Komposisi asam lemak pada minyak sawit, minyak kedele dan minyak kelapa
Kelapa sawit menghasilkan minyak dari dua bagian buah yaitu mesokarp dan kernel dengan kualitas asam lemak yang berbeda. Menurut Hartley 1970
kandungan asam lemak jenuh dan tak jenuh terbentuk sesuai dengan perkembangan endosperm untuk kernel dan perkembangan buah untuk mesokarp.
Sepuluh minggu dari penyerbukan jumlah lemak sangat sedikit pada kernel dan komposisinya berbeda dibandingkan dengan kernel matang. Asam lemak tidak
jenuh lebih besar jumlahnya seperti oleat C18:1 yang mencapai 67 dan linoleat C18:2 14 dibanding asam lemak jenuh pada tahap tersebut. Pada minggu
ke-14 sampai ke-16 pembentukan asam lemak jenuh lebih besar meliputi laurat C12 46-50, miristat C14 18-20 dan asam oleat C18:1 beberapa persen.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa pembentukan asam lemak sesuai dengan perkembangan fisiologi endosperm. Sedangkan pembentukan lemak pada
mesokarp sangat lambat dengan perkembangan buah. Pada minggu ke-8 sampai ke-16 setelah penyerbukan kandungan asam lemak kurang dari 2 dari berat
kering. Sangat sedikit penambahan lemak dan berat kering mesokarp dari minggu
ke-8-ke-19, tetapi beberapa saat sebelum kematangan buah bobot kering mesokarp meningkat 300-500 dan asam lemak 70-75 dari berat kering. Pada
minggu terakhir fase kematangan buah, semua asam lemak meningkat kuantitasnya. Asam oleat meningkat menjadi urutan kedua kuantitasnya setelah
palmitat. Minggu ke-20 minyak pada mesokarp didominasi asam palmitat C16 45.5, 34 oleat dan 11.8 linoleat. Minyak sawit didominasi oleh asam lemak
palmitat dan oleat. Sedangkan minyak kernel didominansi oleh asam lemak tak jenuh laurat dan miristat, seperti halnya minyak kelapa Tabel 1.
Keragaman Pada Tanaman Hasil Kultur Jaringan
Teknik kultur jaringan berkembang tahun 1900-an yang dimulai dengan kultur akar oleh Kotte dan Robbins. Kultur jaringan atau in vitro dapat
menyediakan banyak tanaman dalam waktu singkat serta bebas cendawan dan bakteri. Tahun 2000-an penggunaan kultur jaringan tidak sebatas untuk
memperbanyak tanaman tetapi lebih luas digunakan untuk memfasilitasi kegiatan transformasi gen, hibridisasi somatik, metabolik sekunder, tanaman haploid dan
lain-lain. Namun dalam perkembangan kultur jaringan ditemukan banyak keragaman dari tanaman-tanaman yang diregenerasi dari kultur sel maupun kultur
akar. Kemudian Larkin dan Scowcroft 1981 menyebutkan keragaman pada tanaman yang diregenerasi pada in vitro tersebut sebagai keragaman somaklonal.
Secara umum ditemukan konsentrasi zat pengatur tumbuh dalam media berpengaruh terhadap keragaman somaklonal. Skirvin et al. 1994 mengatakan
faktor-faktor penunjang terjadinya keragaman selama kultur jaringan adalah macam eksplan, pemilihan kultivar dan umur kultivar, level ploidi, metode dan
kondisi spesifik dari kultur termasuk zat pengatur tumbuh, tekanan seleksi, lamanya waktu in vitro dan kecepatan proliferasi. Sedangkan menurut Karp
1995 terdapat empat faktor yang menyebabkan keragaman yaitu 1 derajat awal dari pertumbuhan merismatik, 2 konstitusi genetik dari material awal, 3 zat
pengatur tumbuh pada media serta, 4 sumber jaringan. Keragaman somaklonal secara luas dibagi ke dalam perubahan genetik dan
epigenetik. Tipe keragaman berbeda-beda dari spesies ke spesies dan sering sulit menentukan salah satu keragaman genetik alami dari banyak tipe keragaman
yang terjadi. Keragaman somaklonal meliputi perubahan dalam struktur dan atau jumlah kromosom, mutasi titik, perubahan dalam ekspresi gen sebagai akibat
perubahan struktural pada kromosom heterokromatin dan position effect atau aktivasi elemen transposon, kehilangan kromatin, amplifikasi DNA, pindah silang
kromatin Rao et al. 1992 ; Kaeppler et al. 2000. Menurut Peschke dan Phillips 1992 beberapa tipe utama keragaman genetik dalam kultur jaringan adalah 1
aberasi kromosom, 2 aktivasi elemen transposon, dan 3 perubahan metilasi.
Perubahan Struktur dan Jumlah Kromosom
Keragaman genetik pada tanaman hasil kultur jaringan melibatkan perubahan pada struktur kromosom dan jumlah kromosom yang berhubungan
dengan ritme pembelahan mitosis dalam siklus sel. Menurut van Harten 1998 ketidakaturan mitotik berperan terjadinya ketidakstabilan kromosom, amplifikasi
gen, delesi dan inaktif gen atau aktif kembali gen-gen inaktif. Kejadian ini banyak ditemukan pada kultur kalus, protoplas dan kultur sel. Seperti yang dikemukakan
oleh Leroy et al. 2000 perubahan kromosom terjadi dengan frekuensi yang tinggi pada tahap awal kalus atau kultur sel cair sebagai penyebab abnormalitas.
Menurut Madlung Comai 2004 mutasi gen spontan atau penyimpangan pembelahan sel menyebabkan pengaruh yang merugikan terhadap regulasi
metabolik dan genetik. Kontrol siklus sel normal mencegah pembelahan sel sebelum terjadi
replikasi DNA secara sempurna, dan diduga terganggu melalui kultur jaringan yang mengakibatkan pematahan kromosom Phillips Kaepller 1994. Menurut
Kaeppler et al. 2000 replikasi sekuens heterokromatin yang tidak lengkap pada pembelahan sel berperan untuk adanya jembatan anafase dan selanjutnya terjadi
pematahan kromosom. Pematahan kromosom chromosome breakage dan konsekuensinya meliputi translokasi, inversi, delesi dan duplikasi Peshke dan
Philips 1992. Menurut Suryo 1995 translokasi adalah pemindahan suatu bagian dari sebuah kromosom ke bagian kromosom yang bukan homolognya.
Diduga tipe translokasi ini dapat terjadi pada sel-sel yang membelah secara mitosis karena pertukaran bagian kromosom diantara kromosom nonhomolog.
Translokasi terjadi apabila patahan-patahan tunggal pada dua kromosom nonhomolog saling tertukar. Seperti yang dikemukakan oleh Griffiths et al. 1993
translokasi yaitu pertukaran suatu bagian antara dua kromosom nonhomolog yang mengakibatkan pengaturan kembali rearrangement kromosom. Translokasi
merupakan fenomena kromosom abnormal yang lebih sering terjadi namun diamati juga inversi, insersi dan delesi Kaeppler et al. 2000.
Perubahan struktur kromosom dikenal juga sebagai mutasi kromosom meliputi 1 delesi yaitu kehilangan suatu segmen kromosom baik dibagian ujung
maupun tengah kromosom, 2 duplikasi yaitu suatu segmen kromosom berada lebih dari satu dalam satu kromosom. 3 inversi yaitu segmen suatu kromosom
membalik, dan 4 translokasi yaitu perubahan lokasi suatu segmen kromosom dimana bagian kromosom patah dan tersambung dengan kromosom berbeda atau
pada posisi baru dari kromosom yang sama. Translokasi menghasilkan position effect
. Perubahan-perubahan struktur kromosom tersebut menyebabkan perubahan dalam jumlah DNA tetapi tidak berubah jumlah kromosomnya.
Fenomena euploidi penambahan jumlah genom dalam satu sel dan aneuploidi penambahan satu atau lebih kromosom dalam sel sering terjadi pada
tanaman. Menurut Suryo 1995 polipolidi dapat terjadi pada tanaman diploid meliputi 1 kelipatan somatis yaitu pemisahan yang tidak teratur selama mitosis
menyebabkan kelipatan jumlah kromosom, dan 2 sel-sel reproduktif mengalami pembelahan yang tidak teratur sehingga jumlah kromosom dalam gamet dua kali
lipat. Aneuploidi terjadi pada pembelahan miosis maupun mitosis. Pembelahan mitosis menghasilkan dua sel yang konstitusi kromosomnya sama, tetapi dapat
menghasilkan sel atau organisme dengan kekurangan atau kelebihan kromosom tertentu. Hilangnya kromosom dalam sel-sel hasil mitosis ataupun miosis karena
terlambatnya pemisahan kromosom pada anafase, dan nondisjunction yaitu gagal berpisah kromosom atau kromatid selama miosis dan mitosis. Akibat hilangnya
kromosom atau kromatid maka distribusi ke kutub-kutub sel berlawanan tidak sama. Hang dan Bregitzer 1993 menemukan perubahan ploidi yang lebih
umum terjadi sebagai perubahan sitogenetik di antara regeneran barley walaupun kejadian pematahan kromosom juga terjadi. Namun hasil analisis pada gandum
dan jagung in vitro menunjukkan lebih sering terjadi pematahan kromosom dibandingkan dengan perubahan ploidi Benzion et al 1986.
Perubahan Metilasi DNA
Metilasi pada daerah genom dan peranannya meliputi 1 metilasi pada elemen regulator seperti promotor, enhancer, insulator dan represor menekan
fungsi elemen tersebut, 2 metilasi dalam daerah gen seperti perisentromik dan heterokromatin berfungsi mempertahankan konformasi dan integritas kromosom,
3 dan metilasi merupakan mekanisme perlindungan genom terhadap elemen trasnposon Bestor 1998 ; O’Neil et al. 1998. Daerah-daerah genom yang
termetilasi merupakan suatu ciri dalam struktur kromatin yang kompak. Namun banyak penelitian membuktikan sering terjadi perubahan metilasi DNA pada
kromatin yang kompak tersebut. Perubahan metilasi meliputi penurunan jumlah sitosin termetilasi hipometilasi atau bertambahnya sitosin termetilasi
hipermetilasi. Metilasi DNA pada sistim tanaman dan mamalia dihubungkan dengan perubahan pada ekspresi gen, perubahan struktur kromatin, aktivasi
elemen transposon, genom imprinting dan carcinogenesis Stam et al. 1997; Wolffe Matzke 1999; Ferguson-Smith Surani 2001; Finnegan 2001.
Epigenetik didefenisikan sebagai perubahan pewarisan pada fungsi suatu gen yang tidak dapat dijelaskan melalui perubahan pada sekuens DNA, sedangkan
metilasi didefenisikan sebagai suatu modifikasi DNA yang berperan sentral dalam regulasi epigenetik Bellucci et al. 2002. Perubahan metilasi pada tanaman
mempengaruhi keragaman dalam beberapa cara. Metilasi DNA penambahan sitosin trmetilasi menghambat transkripsi secara langsung dengan menghalangi
faktor transkripsi melalui modifikasi situs targetnya. Beberapa aktivitas gen
tanaman muncul berhubungan dengan metilasi sedangkan gen-gen lain tidak mengalaminya sehingga dikatakan ada regulasi perubahan gen melalui perubahan
metilasi di in vitro Hershkovitz et al. 1990. Frekuensi metilasi pada daerah heterokromatin lebih besar dibandingkan
dengan daerah eukromatin Bird 1986. Heterokromatin daerah yang sangat kompak kondens dan tidak ditranslasi, sedangkan eukromatin adalah daerah
DNA yang kurang kompak dan terdapat sebagian besar gen aktif. Pematahan kromosom tidak terjadi secara random tetapi pada bagian kromosom yang
bereplikasi lambat yaitu heterokromatin. Frekuensi tinggi pematahan kromosom dekat danatau dalam sentromer heterokromatin ditemukan pada tanaman gandum
McCoy et al. 1982 ; Johnson et al. 1987 dan barley Hang Bregitzer 1993. Keterlibatan heterokromatin dalam kejadian pematahan tersebut maka muncul
hipotesis bahwa heterokromatin bereplikasi terlambat selama kultur dibandingkan dengan siklus sel normal. Menurut Suryo 1995 heterokromatin ditemukan pada
daerah sentromer dan telomer yang mengandung banyak DNA berulang. Sentromer berfungsi sebagai tempat berpegangnya benang-benang gelendong
spindel untuk menarik kromatid atau kromosom ke kutub pada anafase. Telomer berfungsi menghalangi kromosom bersambungan pada ujung kromosom
sehingga tidak terjadi rantai kromosom yang panjang. Apabila terjadi pematahan kromosom maka patahan kromosom akan tersambung pada tempat-tempat
pematahan tetapi tidak pada ujung kromosom. Pada tanaman, kehilangan metilasi menyebabkan aktivasi pergerakkan
transposon dengan konsekuensi sering terjadi mutasi Miura et al. 2001; Singer et al
. 2001 ; Kato et al. 2003. Menurut Madlung dan Comai 2004 kehilangan metilasi berkorelasi dengan transkripsi dan transposisi aktivasi transposon yang
menyebabkan mutasi gen dan perubahan fenotip, sehingga metilasi pada genom menjaga kestabilan genom tersebut. Adanya hipotesis bahwa elemen transposon
berpindah dalam dan antara kromosom sebagai penyebab keragaman somaklonal Larkin Scowcroft 1981 ; Burr Burr 1981. Pada genom tanaman, lebih dari
85 DNA inti terdiri atas elemen bergerak Kumar Bennetzen 1999 bergantung pada ukuran genom, contoh Arabidopsis mengandung kira-kira 14
elemen bergerak transposon. Pada jagung, sebagian besar elemen transposon berada dalam jumlah kopi tinggi pada daerah heterokromatin SanMiguel et al.
1996; Rabinowicx et al. 1999. Menurut Belanger dan Hepburn 1990 kandungan sitosin termetilasi lebih tinggi pada beberapa tanaman ditandai dengan genom
yang besar karena disusun oleh sekuens DNA berulang, dan sekuens berulang pada genom adalah transposon Arnholdt-Schmitt 2004. Transposon berperan
penting untuk pengaturan kembali rearrangement genom. Frekuensi pemulihan
penghilangan elemen transposon lebih dari 20 kali terbesar pada in vitro dibandingkan dengan secara alami pada tanaman. Menurut Kaeppler dan Phillips
1993b kecenderungan penurunan metilasi menyebabkan elemen transposon dikembalikan atau diaktifkan dalam proses kultur jaringan.
Pembuktian lain menunjukkan bahwa metilasi sitosin pada DNA sering menyebabkan transisi sitosin 5mC menjadi timin T dan deaminasi pada 5-mC
sebagai penyebab mutasi titik. Menurut Zingg dan Jones 1997 peningkatan frekuensi mutasi seperti ini memperlihatkan bahwa deaminasi hidrolitik spontan
dari 5-mC menjadi T terjadi dengan frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan C menjadi U.
Keragaman Somaklonal Pada Kelapa Sawit
Perbanyakan kelapa sawit melalui kultur jaringan telah dimulai tahun 1970. Tahun 1974, Unilever berhasil menumbuhkan dari kalus kemudian tahun 1976
Robechault dan Martin berhasil menumbuhkan dari daun. Pusat Penelitian Marihat sejak tahun 1980 telah merintis perbanyakan tanaman kelapa sawit
melalui kultur jaringan. Keberhasilan ini membuka peluang mendapatkan tanaman haploid dari serbuk sari dan menghasilkan hibrida somatik melalui fusi sel atau
pengembangan kearah perbaikan sifat melalui bioteknologi. Secara umum perbanyakan tanaman kelapa sawit dengan kultur jaringan meliputi beberapa
tahap yaitu inisiasi kalus embriogenik, proliferasi dari kalus embrio, pembentukan embrio, germination embrioid, dan pembentukan tunas dan akar. Inisiasi kalus
embriogenik dilakukan dengan suspensi sel, kemudian subkultur supaya terjadi proliferasi kalus embriogenik, selanjutnya pembentukan embrioid selama dua
bulan dan subkultur pada media pada untuk pembentukan tunas dan akar Wong et al. 1999.
Keberhasilan perbanyakan kelapa sawit melalui kultur jaringan ini tidak seperti yang diharapkan. Corley et al. 1986 melaporkan proporsi kelapa sawit
yang berasal dari embrio somatik memperlihatkan fenotip varian somaklon yang mempengaruhi struktur bunga pada kedua seks. Fenomena varian kelapa sawit
hasil kultur jaringan menghasilkan buah-buah yang abnormal yang ditunjukkan
melalui adanya karpel tambahan. Karpel tersebut adalah perkembangan abnormal dari primodia staminodia Matthes et al. 2001. Menurut Rival et al. 1997
plantlet kelapa sawit yang berasal dari nodular kalus kompak menunjukkan
fenotip mantel rata-rata 5, sebaliknya ditemukan mencapai 100 pada planlet- planlet yang berasal dari kalus pertumbuhan cepat. Penggunaan skala besar kultur
jaringan dihambat oleh kejadian fenotip buah mantel kira-kira 5-10 pada semua klon kelapa yang diregenerasi Tregear et al. 2002.
Beberapa penelitian mengungkapkan kejadian buah mantel dan abnormal bunga pada kelapa sawit tidak berhubungan dengan keragaman pada kandungan
jumlah DNA dan hasil ini menguatkan hipotesis adanya epigenetik penyebab keragaman somaklonal pada kelapa sawit Rival et al. 1997, bukan karena
pengaturan transposon tetapi perubahan dalam pola metilasi yang berhubungan dengan komponen genomik lain Kubis et al. 2003. Tregear et al. 2002
mengatakan bahwa perubahan epigenetik meliputi perubahan metilasi pada DNA genom yang menyebabkan buah mantel.
Fitohormon mempengaruhi genom melalui modulasi status metilasi sehingga dikatakan bahwa modulasi metilasi DNA merupakan satu mekanisme
dasar aksi hormon pada tanaman dan hewan Vanyushin 2005. Dikatakan juga bahwa fitohormon menghambat metilasi pada rantai yang baru terbentuk tetapi
tidak pada fragmen Okazaki karena fragmen ini resisten terhadap berbagai reaksi metilasi dan tidak dipengaruhi oleh hormon misalnya auksin pada tanaman.
Metilasi secara luas pada kultur sel meningkat dengan konsentrasi auksin yang tinggi Arnholdt-Schmitt et al. 1991. Konsentrasi zat pengatur tumbuh
PGR seperti 2,4-diclorophenoxyacetic acid 2,4-D I-naphthaleneacetic acid NAA, indole-3-ecetic acid IAA meningkat dalam media maka didapati
metilasi DNA juga meningkat pada sel wortel LoShiavo et al. 1989. Sedangkan kinetin telah menunjukkan penyebab ekstensif hipometilasi DNA pada proliferasi
kultur eksplan akar wortel dalam 2 minggu Arnholdt-Schmitt et al. 1991, dan NAA auksin mempunyai pengaruh berlawanan dan sebagai penyebab
hipermetilasi LoSchiavo et al. 1989. Konsentrasi auksin NAA dan sitokinin dalam media kultur dapat mempunyai pengaruh dramatis terhadap timbulnya
bunga mantel pada ramet kelapa sawit yang dihasilkan. Penambahan kinetin ke
media kultur tanpa NAA meningkatkan secara nyata timbul bunga mantel Eeuwens et al. 2002. Menurut Armini et al. 1992 embriogenesis sangat
memerlukan zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin, dan auksin 2,4-D paling sering digunakan untuk mendorong pembentukan embrio somatik. Pada tanaman
dikotil konsentrasi auksin 2,4-D digunakan berkisar 4.0-14.0 µM 0.9-3.1 mgl, sedangkan pada tanaman monokotil konsentrasi berkisar 2.0-10 mgl. Menurut
Heldt 1997 2,4-D merupakan herbisida yang dapat merusak tanaman dikotil, namun monokotil tidak sensitif terhadap hormon tersebut dan pada konsentrasi
tinggi dapat mengacaukan morphogenesis.
Fenomena Metilasi DNA Pada Tanaman S-Adenosil-L- Metionin SAM Sebagai Donor Metil
Fenomena metilasi DNA yang terjadi pada tanaman berperan untuk regulasi ekspresi gen yang berhubungan dengan differensiasi dan perkembangan. Metilasi
sitosin pada genom eukariot penting untuk mengontrol ekspresi gen dan stabilisasi genom Martienssen Colot 2001 ; Bird 2002. Metilasi DNA berperan untuk
mempertahankan kestabilan genom melalui kestabilan kromatin. Perubahan metilasi DNA genom ditentukan oleh keberadaan S-adenosil-L-metionin SAM
karena SAM merupakan satu donor metil universal untuk sejumlah besar reaksi transfer metil. Metilasi sitosin pada DNA dikatalisis oleh ensim DNA
metiltransferase yang mentransfer kelompok metil dari S-adenosyl-L-methionine SAM ke posisi 5 dari basa sitosin C.
Meningkatnya konsentrasi SAM menstimulasi reaksi DNA metiltransferase untuk hipermetilasi dan melindungi genom terhadap hipometilasi
Detich et al. 2003. Sebaliknya suplai SAM yang tidak cukup berperan dalam
defisiensi donor metil penyebab hipometilasi Kekacauan metilasi sitosin pada mutan atau karena perlakuan inhibitor berperan terhadap kerusakan
perkembangan pada organisme mulai dari tanaman, fungi sampai mamalia Li et al
. 1992; Okano et al. 1999 ; Martienssen Colot 2001. Pada manusia, defisiensi donor metil SAM berkorelasi dengan meningkatnya resiko untuk
tumor pada hati dan usus besar Giovannucci et al. 1993. Defisiensi donor metil pada hewan lebih rentan untuk sejumlah tumor dan menunjukkan gejala lain yang
tidak langsung berhubungan dengan metilasi DNA Rogers 1995. Ensim metiltransferase bertanggung jawab pada metilasi DNA genom
tanaman, khusus pada Arabidopsis ada paling sedikit 10 gen yang mengkode metiltransferase, yang dapat dibagi kedalam tiga famili Finnegan Kovac
2000. Kelas pertama adalah metiltransferase 1 MET1, famili kedua adalah chromomethylase
CMT dan ketiga adalah domain rearranged methyltransferase
DRM Wada 2005. MET1 mempertahankan metilasi genom global dan mutan met1 memperlihatkan penurunan metilasi DNA
secara drastis dan abnormalitas morfologi Finnegan et al. 1996; Ronemus et al. 1996 ; Kankel et al. 2003. CMT mengontrol metilasi non-CpG Cao Jacobsen
2002a. Sedangkan ditemukan pada Arabidopsis, gen DRM1 dan DRM2 bertanggung jawab untuk metilasi sitosin pada transgene inverted-repeat pada
situs CpNpG dan CpNpN Cao Jacobsen 2002b. Menurut Radchuk et al. 2005 terdapat empat ensim yang bertanggung
jawab untuk reaksi siklus metilasi yaitu metionin sintase, AdoMet sintase, methyltransferase yang tergantung SAM, S-Adenosil-L-Homosistein SAH
hidrolase. Pada tanaman, AdoMet sintase dengan adanya ATP merubah hampir 80 metionin menjadi SAM. SAM digunakan untuk menghasilkan kelompok
metil dan ditransfer melalui adanya metiltransferase namun dapat juga dikonversi menjadi AdoHcy Radchuk et al. 2005. SAM dan SAH merupakan
pertimbangan krusial untuk reaksi transfer metil dalam sel Kocsis et al. 2003 .
Rasio SAM: SAH ratio metilasi menentukan aktifitas ensim metiltransferase Cantoni et al. 1977. Menurunnya rasio SAM : SAH sebagai prediksi
menurunnya metilasi yang berarti terjadi peningkatan SAH Caudill et al. 2001.
Gambar 7. Jalur penggunaan S-Adenosil-L-Metionin SAM atau AdoMet dan pengaruh etilen. ACC 1-aminosiklopropan-1
- asam karboksilat. carboxylic. MACC malonil-ACC van der Straeten van Motagu 1990.
Gambar 7. Jalur penggunaan S-Adenosil-L-Metionin SAM atau AdoMet dan pengaruh etilen pada tanaman. ACC
1-aminosiklopropan-1 - asam karboksilat.. MACC malonil-ACC van der Straeten van Montagu 1990.
Sebagian besar SAM 90 disiapkan sebagai donor kelompok metil untuk sebagian besar transmetilasi DNA Ravanel et al. 1998. Menurut Zingg dan
Jones 1997 aberasi metabolisme SAM tidak hanya mempengaruhi metilasi DNA karena sebagai donor metil, tetapi juga sebagai donor aminopropil yang
ditambahkan ke putresin membentuk poliamin spermidin dan spermin Chiang et al
. 1996. Kira-kira 1 SAM disiapkan untuk sintesis spermidin dan spermin melalui reaksi SAM dekarboksilase Chiang et al. 1996, sisa SAM dirubah
menjadi etilen Gambar 7. Menurut Ravanel et al. 1998 SAM merupakan suatu intermediet untuk biosintesis fitohormon poliamin dan etilen.
Secara umum poliamin berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan pada sebagian besar organisme Tabor Tabor 1984, melalui interaksinya
dengan berbagai makromolekul dan membran. Spermin dan spermidin terlibat dalam berbagai respons stress pada tanaman, khususnya pertahanan terhadap
kekeringan seperti yang diperlihatkan melalui over ekspresi AdoMetDC pada padi Capell et al. 2004. SAM dikonversi menjadi ACC 1-aminosiklopropan-1-asam
karboksilat oleh ensim ACC sintase ACS, selanjutnya ACC dikonversi menjadi etilen oleh ensim ACC oksidase ACO Yang Hoffman 1984 ; Kende 1993.
Berdasarkan hasil penelitian pada embriogenesis somatik pada wortel maka Minocha et al. 1990 menyimpulkan bahwa 1 auksin menekan embriogenesis,
2 auksin memacu biosintesis etilen, 3 etilen menghambat embrogenesis somatik, 4 penghambatan biosintesis poliamin mengakibatkan penghambatan
embriogenesis, 5 biosintesis poliamin dipacu dengan memanfaatkan SAM dan menekan sintesis etilen karena menggunakan prekursor yang sama SAM.
Metilasi DNA dan Penghambatan Ekspresi Gen
Modifikasi DNA telah dipostulasikan berperan sentral dalam regulasi epigenetik melalui pengaturan akses informasi genetik Riggs 1975. Ditinjau dari
genetik molekuler, epigenetik didefenisi secara sempit sebagai modifikasi heritable
pada ekspresi gen tanpa perubahan pada sekuens nukleotidanya, dimana modifikasi ditandai dengan pola metilasi DNA dan atau modifikasi histon yang
berhubungan dengan gen Bender 2002. Metilasi adalah penambahan kelompok metil ke nukleotida DNA dan asam amino pada protein. Menurut Kalisz dan
Purugganan 2004 bahwa dua tipe utama metilasi yang dihubungkan dengan perubahan epigenetik adalah metilasi DNA dan metilasi Histon.
Semua nukleotida DNA dapat termetilasi namun lebih umum bentuk metilasi DNA adalah metilasi pada basa sitosin Martienssen Colot 2001.
Metilasi DNA terjadi pada tempat spesifik seperti yang dikatakan oleh Bird 1995 bahwa genom eukariot tidak termetilasi seragam tetapi hanya daerah
spesifik yang sedangkan domain lain yang tersisa tidak termetilasi. Sebagian besar kelompok metil ditemukan pada CG. DNA eukariot tingkat tinggi, termetilasi
pada atom karbon nomor 5 dari beberapa sitosin. Proporsi sitosin yang termodifikasi dengan metilsitosin
m5
C antara 3-8 pada vertebrata Shapiro 1976, dan lebih dari 30 pada beberapa spesies tanaman Shapiro 1976 ; Wagner
Capesius 1981 ; Matassi et al. 1992. Pada genom vertebrata,
m5
C lebih banyak pada dinukleotida CG sedangkan pada tanaman tingkat tinggi
5m
C ditemukan pada beberapa sekuens genom nuklear terutama pada dinukleotida CG dan trinukleotida
CNG. Metilasi sitosin pada nukelotida CG dan CNG ditemukan dalam frekuensi sepanjang kromosom dan bertindak untuk meregulasi ekspresi gen pada level gen
atau secara regional yang mempengaruhi daerah kromosom. Fungsi metilasi regional untuk menginaktif heterokromatin dan elemen pada atau yang dekat
heterokromatin karena frekuensi metilasi pada daerah heterokromatin lebih besar dibandingkan dengan daerah eukromatin Bird 1986, dan menurut Richards dan
Elgin 2002 struktur heterokromatin memperlambat transkripsi sedangkan eukromatin mengaktivasi ekspresi gen.
Berdasarkan derajat kekompakkan dan aktivitas transkripsi maka kromatin dapat dibagi atas eukromatin yang aktif aktivasi transkripsi dan heterokromatin
menghambat transkripsi. Asetilasi dan metilasi pada ujung N-terminal lisin K dari histon H3 dan H4 berperan penting dalam pembentukan heterokromatin pada
berbagai organisme secara luas Richards Elgin 2002. Pada mamalia dan tanaman, akumulasi histon H3 yang termetilasi pada lisin 9 H3K9
Me
dan hipermetilasi DNA berhubungan dengan heterokromatin, sebaliknya hipometilasi
dan adanya H3K4
Me
dipertimbangkan sebagai karakteristik eukromatin Richards Elgin 2002 ; Jenuwein Allis 2001. Modifikasi histon tersebut dapat merubah
struktur kromatin dan menghasilkan suatu range konsekuensi epigenetik spesifik yang merubah fenotip.
Fungsi metilasi sitosin pada sel eukariot kurang jelas. Namun banyak percobaan membuktikan adanya peranan metilasi DNA dalam mengatur ekspresi
gen. Menurut Gardner et al. 1991 argumen-argumen untuk keterlibatan metilasi dalam kontrol ekspresi gen pada eukariot didasarkan terutama pada tiga macam
bukti yang tidak langsung yaitu 1 sejumlah studi menunjukkan ada korelasi antara level ekspresi gen dan derajat metilasi yaitu metilasi rendah maka ekspresi
gen tinggi, metilasi tinggi maka ekspresi gen rendah, 2 adanya pola metilasi jaringan spesifik pada beberapa kasus, dan 3 5-azasitidin basa analog dari
sitosin tidak dapat termetilasi setelah jenis obat ini bergabung dengan DNA sehingga gen dapat terekspresi pada jaringan yang secara normal tidak terekspresi.
Muncul beberapa pendapat bahwa regulasi ekspresi gen oleh perubahan struktur kromatin lokal Davey et al. 1997, pencegahan terikatnya protein
binding DNA ke daerah promotor Inamdar et al. 1991 atau sebagai suatu isyarat pengikatan represor transkripsi Kass et al. 1997. Metilasi dan demetilasi sitosin
pada daerah promotor merupakan mekanisme penting mengregulasi ekspresi gen
a
e d
c b
a
Gambar 8. Metilasi DNA pada promotor penyebab tidak aktifnya gen. a dan b faktor transkripsi dan protein regulator pada
promotor berperan untuk aktif dan tidak aktifnya gen, c Metilasi pada 5
m
C, d dan e pengikatan represor pada 5
m
C terjadi remodeling kromatin dan deasitilasi histon penyebab
gen tidak aktif secara lengkap Alberts et al. 2002
pada sel dan jaringan spesifik Boyes Bird 1991 ; Renckens et al. 1992. Menurut Lewin 1997 bahwa CG island mengandung konsentrasi doublet CG
yang sering berada disekitar promotor dari gen-gen yang terekspresi konstitutif dan pada promotor dari gen yang akan diregulasi. Metilasi CG island pada suatu
promotor biasanya menekan ekspresi gen. Penekanan disebabkan oleh salah satu dari dua protein MeCP-1 dan MeCP-2 terikat dengan sekuens CG yang
termetilasi. Protein MeCP-1 membutuhkan beberapa kelompok metil pada sekuens CG untuk terikat ke DNA sedangkan MeCP-2 membutuhkan hanya
pasangan basa tunggal.
MeCP2 apabila terikat ke domain binding CG yang termetilasi menyebabkan terikatnya ko-represor mSin3A diikuti dengan deasetilasi histon
HDAC1 dan HDAC2. Seperti dikemukakan oleh Razin 1998 bahwa CG termetilasi menginduksi deasetilasi, remodeling kromatin, dan gen silensing
melalui suatu kompleks represor transkripsi yang melibatkan deasetilasi histon HDAC1 dan HDAC2 dengan mengelilingi mSin3A.
Asetilasi histon memacu trankripsi sedangkan deacetilasi menghambat transkripsi. Kelompok asam amino lisin histon bermuatan positif berinteraksi
dengan DNA yang bermuatan negatif. Asetilasi lisin dapat menetralisasi muatan positif tersebut sehingga struktur kromatin kurang padatkompak yang
memberi ruang untuk terikatnya faktor transkripsi ke DNA. Sebaliknya apabila terjadi deasetilasi penghilangan kelompok asetil dapat menyebabkan kromatin
lebih kompak dan terjadi silensing trasnkripsi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan metilasi menghambat transkripsi
secara langsung melalui pencegahan pengikatan faktor transkripsi spesifik, atau secara tidak langsung melalui pembentukan represor kompleks melalui protein
binding pada CG yang termetilasi Gambar 8. Dikemukakan juga oleh Finnegan 2001 bahwa protein yang terikat pada
5
mC seperti MeCP2, berinteraksi dengan ko-represor kompleks sehingga terjadi deasetilasi asetil terlepas mengakibatkan
transkripsi terhambat. Pengepakan DNA dalam nukleosom dan struktur lebih kompak merupakan suatu hambatan untuk mengregulasi protein binding DNA
Niu et al. 1996, dan RNA polimerase Williamson Felsenfeld 1978 untuk proses transkripsi.
Metilasi DNA dan Perkembangan Tanaman
Sebagian besar hipotesis mengatakan bahwa pola metilasi yang terbentuk selama perkembangan mengalami demetilasi pada jaringan spesifik dimana
kelompok metil dilepaskan dari tempat kritis dari suatu gen yang telah dijadwalkan terekspresi pada tipe sel tertentu. Pada perkembangan awal sel
embrio, sebagian besar gen termetilasi kemudian diferensiasi sel membentuk jaringan spesifik terjadi penghilangan kelompok metil pada basa sitosin
demetilasi menyebabkan gen-gen terkespresi pada jaringan tersebut Gardner et al
. 1991.
Pada proses replikasi, situs CG atau CNG yang termetilasi akan berpasangan dengan utas baru yang tidak termetilasi yang dikenal sebagai situs
hemimetilasi yaitu utas lama termetilasi dan utas baru tidak termetilasi. Pada proses selanjutnya situs hemimetilasi dikenal oleh ensim dan merubahnya menjadi
lengkap termetilasi. Ketika suatu DNA yang termetilasi lengkap full metilasi diintroduksi ke dalam suatu sel maka secara kontinyu DNA tersebut termetilasi
melalui sejumlah siklus replikasi. Jika DNA nonmetilasi diintroduksi maka tidak termetilasi secara de novo. Ini menunjukkan bahwa ensim hanya mengenal situs
yang hemimetilasi untuk menghasilkan metilasi lengkap Lewin 1997. Dikatakan bahwa metilasi sekuens simetrik ini model semi-konservatif memberikan signal
untuk transmisi metilasi melalui aksi ensim maintenaice metiltransferase untuk menempatkan metil ke sitosin pada utas yang baru disintesis, jika utas
komplemennya membawa
5m
C Holiday Pugh 1975 ; Riggs 1975. Ensim maintenance metilase bertindak memetilasi sekuens CG yang
berpasangan basa dengan GC orientasi berlawanan. Maintenance metilase menunjuk pada pewarisan automatik 5-metil nukleotida pada keadaan
hemimetilasi, namun secara normal tidak dapat memetilasi DNA yang tidak termetilasi penuh Alberts et al. 1994. Menurut Lewin 1997 kondisi metilasi
dapat hilang dengan dua cara yaitu 1 gugus metil secara efektif dihilangkan oleh ensim demetilase, dan atau 2 gagal terjadi metilasi pada situs hemimetilasi dan
diturunkan melalui replikasi selanjutnya. Penghilangan kelompok metil dari sekuens DNA diistilahkan sebagai demetilasi, sedangkan hipometilasi adalah
berkurang metilasi pada sekuens DNA yang secara alami termetilasi. Peran metilasi sitosin dalam perkembangan tanaman telah diperlihatkan
melalui paling sedikit tiga macam pembuktian yang berbeda yaitu 1 ekspresi spesifik dari beberapa gen pada perkembangan benih, 2 kontrol waktu
pembungaan dan morfogenesis bunga, 3 dan korelasi dengan silensing dari sekuens DNA mobile elemen genetik dan transgen Zluvova et al. 2001.
Mekanisme pada benih adalah tidak adanya transkripsi berkaitan dengan hipermetilasi DNA. Metilasi DNA dipelajari pada benih gandum selama
perkecambahan yaitu terjadi reduksi kandungan
5
mC yang diamati melalui penambahan aktivitas metabolik Drozdenyuk et al. 1976. Zluvova et al. 2001
menemukan bahwa metilasi relatif tinggi pada benih namun kemudian mengalami hipometilasi secara bertahap yaitu dimulai pada sel ekstraembrionik endosperm,
kemudian kontinyu pada hipokotil, dan akhirnya pada kotiledon. Pembungaan tanaman mempunyai level metilasi sitosin lebih tinggi dan
pada perkembangan lanjut pembungaan terjadi penurunan substansial derajat metilasi DNA. Menurut Zluvova et al. 2001 bahwa derajat metilasi tinggi
ditemukan pada zone sentral dari meristem shoot apical selama periode pertumbuhan vegetatif dan pada daerah ini aktivitas pembelahan sel rendah.
Namun pada waktu transisi meristem apikal ke kuncup bunga, terjadi penurunan status metilasi dan pembelahan sel dimulai. Dikatakan juga bahwa demetilasi
DNA diamati terutama untuk replikasi DNA pada semua kasus. Pembelahan sel terjadi sesaat setelah replikasi DNA, kemudian utas DNA yang baru terbentuk
mengalami remodeling kromatin untuk menjaga kestabilan kromatin tersebut. Razin dan Cedar 1994 mengatakan bahwa metilasi sitosin kecuali yeast
mempunyai peranan sangat penting dalam pengontrolan perkembangan pada hewan, dan terjadi gangguan pola metilasi sering berperan untuk perkembangan
abnormal. Demikian juga Jacobsen dan Meyerowitz 1997 mengemukakan bahwa perubahan pada level metilasi yang menginduksi mutasi atau supresi gen
metilase menyebabkan perubahan morfologi dan fisiologi secara nyata pada tanaman. Sejumlah aberasi perkembangan yang terjadi dihipotesiskan sebagai
hasil dari hipometilasi genom global yang diinduksi secara genetik atau epigenetik dalam sekuens tunggal pada tanaman maupun hewan Finnegan et al. 1996 ;
Baylin Herman 2000. Abnormalitas fenotipik disebabkan oleh akumulasi mutasi Chen et al. 1988 ; Miura et al. 2001, mirip dengan perubahan epigenetik
heritable pada metilasi DNA Kakutani et al. 1996 ; Jacobsen et al. 2000 ; Soppe
et al . 2000 yang berperan merubah ekspresi gen.
Pemisahan Nukleosida Dengan Teknik HPLC
Teknik kromatografi yang dapat digunakan untuk menganalisis komposisi basa utama dan basa minor dari total basa DNA meliputi gas-liquid
chromatography, cation-exchange chromatography, reverse-phase HPLC, paired- ion reverse-phase
HPLC dan gas chromatography-massspectrometry. Metode
mass spectral dan immunologikal juga dapat dipakai untuk analisis DNA. Prinsip
pemisahan kolum khromatografi digambarkan melalui suatu kolum yang dipadatkan dengan suatu fase stasioner granular padat dengan tinggi 5 cm,
dikelilingi dengan fase gerak yang berada 1 cm
3
per cm dari kolum. Suatu senyawa ditambahkan ke kolum pada 1 cm
3
fase gerak akan bergerak pada kolum untuk menempati posisi teratas. Senyawa tersebut ditambahkan lagi ke kolum
pada 1 cm
3
fase gerak sehingga memperlihatkan pergerakan fase gerak, dan posisi teratas bergerak ke posisi dibawahnya Wilson Walker 2000.
Tipe sistim kolum kromatografi menggunakan fase gerak cair terdiri atas kolum, suatu wadah fase gerak dengan sistim deliver, suatu pendeteksi detector
untuk identifikasi senyawa analytes yang dipisahkan melalui eluent dari kolum, suatu pencatat recorder serta suatu fraksi kolektor. Pendeteksi dan pancatat
recorder secara kontinyu mencatat adanya senyawa-senyawa pada eluent, diukur melalui parameter fisik seperti absorpsi ultraviolet. Kemudian masing-masing
senyawa yang dipisahkan ditampilkan lagi melalui suatu puncak peak pada kertas pencatat Wilson Walker 2000.
Terdapat dua partisi kromatografi yang biasanya digunakan yaitu normal phase liquid chromathography
dan reverse phase liquid chromatography RP- HPLC. Perbedaan keduanya pada polaritas relatif dari fase gerak mobile dan
diam stasioner. Pada kromatografi fase normal cair, fase diam merupakan suatu senyawa polar seperti alkil nitril atau alkilamin, sedangkan fase gerak pelarutnya
nonpolar seperti hexane. Untuk RP-HPLC, pelarut fase tetap adalah senyawa non polar seperti octasilan OS atau octadesilan ODS, sedangkan fase gerak adalah
pelarut polar seperti airasetonitrile atau airmethanol Wilson Walker 2000. Level metilasi yang terjadi pada DNA genomik dapat diukur dengan teknik
pemisahan high-performance melalui ensimatikkemikal. Untuk mengetahui konsentrasi metilsitosin dalam DNA genomik dikuantifikasi dengan high-
performance separation seperti High Performance Liquid Chromathography
HPLC dan High Performance Capillary Electrophoresis HPCE atau pendekatan ensimatikkemikal Fraga Esteller 2002. Kuo et al. 1980
mengatakan bahwa metode RP-HPLC merupakan alat penelitian yang bermanfaat dalam studi berbagai subfraksi DNA dan membantu untuk menguraikan metilasi
DNA. Menurut Bellucci et al. 2002 metode untuk mendeteksi terjadinya metilasi secara biokimia yaitu Spektrofotometrik dan High Performance Liquid
Chromatography HPLC. Kubis et al 2003 membuktikan bahwa RP-HPLC mampu mengidentifikasi tiap nukleotida termasuk metilsitosin dan sitosin dari
DNA tanaman normal dan regeneran. Hasil analisis HPLC tersebut menunjukkan bahwa tingkat metilasi lebih rendah pada pohon-pohon yang barasal dari klon
buah mantel dibandingkan dengan tanaman tetua. Perkiraan jumlah 5-metilsitosin genomik memperlihatkan adanya hipometilasi yang nyata pada kalus
pertumbuhan cepat dan daun regeneran mantel dibandingkan dengan regeneran normalnya Jaligot et al. 2000.
Identifikasi Variabilitas Genetik dengan Teknik RAPD
Tanaman-tanaman yang berasal dari kultur jaringan memperlihatkan keragaman somaklonal. Berbagai strategi dilakukan untuk mengevaluasi struktur
genetik dari klonasal in vitro namun mempunyai keterbatasan. Strategi yang umum digunakan adalah melalui penanda morfologi karena mudah dilakukan,
cepat dan relatif lebih mudah. Penanda morfologi ini mempunyai kelemahan karena karakter yang diamati kemungkinan dipengaruhi oleh lingkungan. Penanda
sitologi tidak dapat memperlihatkan perubahan dalam gen tertentu atau dalam pengaturan kembali kromosom yang kecil Isabel et al. 1993. Penanda molekuler
didasari oleh adanya polimorfis pada tingkat protein atau DNA. Penanda molekuler protein isoensim merupakan metode yang sesuai untuk mendeteksi
perubahan genetik namun terbatas dalam jumlah sampel, dan hanya daerah pengkode protein saja yang terdeteksi. Sedangkan penanda molekuler DNA untuk
mendeteksi variabilitas genetik melalui variabilitas sekuens nukleotida meliputi teknik RFLP Restriction Fragment Length Polymorphism, RAPD Random
Amplified Polimorphic DNA, AFLP Amplified Fragment Length Polymorphism, dan SSR Simple Sequences Repeast microsatelite Powell et al.
1996, namun tiap teknik tersebut juga mempunyai keterbatasan. RAPD merupakan suatu teknik untuk mengidentifikasi keragaman genetik
Welsh McClelland 1990. Analisis RAPD dengan PCR menggunakan primer memperlihatkan sensitifitas dalam mendeteksi keragaman di antara individu
de Enrech 2000. Keuntungan dari teknik ini adalah 1 dapat menggunakan sejumlah besar sampel dan relatif cepat, serta secara ekonomi menggunakan
bahan dalam jumlah mikro, 2 amplikon tidak tergantung dari ekspresi ontogenetik, dan 3 banyak daerah genom dapat disampling dengan jumlah yang
tak terbatas Isabel et al. 1993. Namun teknik ini mempunyai keterbatasan yaitu tidak reproducible karena dipengaruhi oleh banyak faktor meliputi isolasi DNA
Korbin et al. 2000, konsentrasi DNA cetakan dan primer, konsentrasi Taq DNA polimerase, suhu penempelan primer pada cetakan annealing, jumlah siklus
thermal dan konsentrasi MgCl
2
Bassam et al. 1992 ; Kernodle et al. 1993. Namun beberapa peneliti melaporkan bahwa mayoritas pita DNA reproducible
jika digunakan protokol standar dalam tiap reaksi Hedrick 1992 ; Gibbs et al. 1994, sehingga untuk mendapatkan hasil RAPD yang reproducible tinggi maka
reaksinya perlu dioptimasi. Prinsip kerja teknik RAPD berdasarkan mesin PCR Polymerase Chain
Raction dapat mengamplifikasi sekuens DNA tertentu secara in vitro Menurut Williams et al. 1990 teknik RAPD yang didasarkan pada PCR menggunakan
sekuens primer arbitrary pendek untuk menghasilkan amplifikon secara acak dari suatu genom. Polimorfis terdeteksi diantara hasil yang diamplifikasi sebagai hasil
perubahan pada sekuens nukleotida spesifik pada satu atau kedua situs primer. Prinsip kerja PCR dengan memanfaatkan urutan nuklotida tertentu sebagai
cetakan dan primer, seperti halnya pada proses replikasi DNA Mullis Faloona 1987. Satu siklus PCR terdiri atas tiga tahap yaitu tahap pemisahan utas ganda
DNA genom denaturasi, tahap penempelan primer annealing dan tahap pemanjangan atau sintesis DNA extension. Tahap denaturasi, dua utas DNA
genom dipisahkan secara sempurna, umumnya pada suhu 94-95
o
C. Tahap penempelan primer primer, primer menempel pada DNA cetakan dengan suhu
bergantung pada komposisi, panjang dan konsentrasi primer, dan proses sintesis fragmen DNA namun sekitar 55
o
C Seperti yang dikemukakan oleh Pauls et al.
1993 bahwa suhu penempelan primer dipengaruhi oleh panjang primer dan
persentase GC dalam primer serta konsentrasi garam larutan penyangga. Tahap sintesis fragmen, terjadi polimerasi nukleotida yang dimulai dari ujung 3’ primer
berdasarkan urutan DNA cetakan, suhu tahap ini bergantung pada panjang dan
susunan dari DNA cetakan, namun sekitar 72
o
C. Tiga tahapan diulang dalam beberapa siklus untuk mendapatkan kualitas fragmen yang nampak jelas.
Analisis RAPD merupakan suatu alat yang efisien untuk karakterisasi diverisitas genetik secara tepat di antara genotip kerabat dekat Rajasegar et al.
1997. Marker RAPD dimanfaatkan khususnya untuk menguji stabilitas genetik diantara embrio somatik pada spesies Picea glauca Isabel et al. 1993; 1996, dan
diantara tanaman mikropropagasi dari Populus deltoides Rani et al. 1995. Pola RAPD yang dihasilkan oleh primer mendapatkan persentase fragmen polimorfik
yang tinggi di antara lima genotip kentang, mengindikasikan level tinggi keragaman genetik antara kultivar kentang Bordallo et al. 2004. ebrowska dan
Tyrka 2003 menggunakan marker RAPD untuk identifikasi strawberry dan studi diversiti genetik, demikian juga Gaafar dan Saker 2006 dapat
mengidentifikasi kultivar strawberry yang berbeda dan mendeteksi keragaman genetik tanaman strawberry hasil perbanyakan mikro. Dikatakan juga bahwa
teknik RAPD efektif dengan memperlihatkan pola pita yang spesifik genotip sehingga dapat digunakan untuk identifikasi kultivar. Hasil penelitian Rout et al.
1998 menunjukkan bahwa analisis RAPD dapat dipakai untuk akses kebenaran genetik dari tanaman yang berasal in vitro dalam skala industri sebagai bagian
program perbaikan tanaman. Hasil penelitian pada strawberry in vitro menunjukkan adanya variabilitas genetik melalui pola pita RAPD namun
morfologi daunnya mempunyai keragaman minor Gaafar Sekar 2006.
BAB III KARAKTERISASI MORFOLOGI BUNGA DAN