BAB VII PEMBAHASAN UMUM
Perbanyakan kelapa sawit melalui kultur jaringan merupakan tindakan bijak untuk menanggulangi kekurangan bibit sawit di Indonesia. Namun tanaman-
tanaman hasil kultur jaringan menghasilkan bunga abnormal atau bunga mantel 0-17 pada tujuh klon. Secara umum tanaman tidak memperlihatkan perubahan
morfologi yang lain. Perubahan morfologi nampak pada bunga betina, bunga jantan dan buah. Staminode stamen rudimenter pada bunga betina terinduksi
menjadi karpel pada bunga betina, sedangkan stamen pada bunga jantan berubah menjadi struktur seperti karpel atau terjadi feminisasi. Bunga betina abnormal
berkembang menjadi buah abnormal. Hasil penelitian secara visual menunjukkan bahwa organ bunga kelapa
sawit yang menyusun satu individu bunga berada pada enam posisi lingkaran bunga, dan secara mikroskopis menurut Hartley 1977 terdiri dari tujuh posisi
lingkaran bunga dimana posisi keenam adalah stamen rudimenter yang berubah menjadi karpel. Sedangkan Adam et al. 2005 menempatkan identitas lingkaran
organ bunga pada kelapa sawit secara mikroskopis, yaitu organ bunga betina tersusun atas empat lingkaran bunga meliputi lingkaran pertama dan kedua adalah
perhiasan bunga atau tepala, lingkaran ketiga adalah enam staminode stamen rudimenter dan lingkaran keempat ditempati oleh tiga karpel. Sedangkan organ
bunga jantan tersusun atas perhiasan bunga pada lingkaran pertama, stamen pada lingkaran kedua dan gimnosium rudimenter pada lingkaran ketiga.
Kasus feminisasi kelapa sawit pada kedua seks tersebut menurut beberapa peneliti berhubungan dengan hipometilasi. Metilasi meregulasi ekspresi gen pada
jaringan spesifik yang diduga terlibat dalam pembentukan bunga abnormal mantel pada kelapa sawit. Kasus perubahan staminodestamen menjadi karpel
kemungkinan melibatkan gen-gen kelas B dalam MAD Box. Apabila stamen berubah menjadi karpel berarti tidak berperannya gen-gen kelas B, maka akan
berakibat pula pada perubahan kelopak menjadi tajuk. Fungsi gen kelas B conserve
antara monokotil dan dikotil Whipple et al. 2004. Stamen pada kelapa
sawit berubah menjadi karpel namun tidak diikuti dengan perubahan kelopak menjadi tajuk apabila tidak berperannya gen kelas B.
Adam et al. 2007 menjelaskan gen-gen yang terlibat dalam pembentukan organ individu bunga kelapa sawit. Didapatkan dua gen yaitu EgDEF1 dan
EgGLO2 berperan sebagai gen kelas B. Gen EgDEF1 terekspresi pada staminode dan tajuk pada bunga betina, dan terekspresi pada stamen dan tajuk pada bunga
jantan. Gen EgGLO2 terekspresi pada kelopak dan tajuk pada bunga betina, sedangkan pada bunga jantan gen ini terekspresi pada kelopak, tajuk dan stamen.
Pada kasus bunga abnormal, kedua gen ini terekspresi namun berkurang ekspresinya.
Ditinjau dari gen-gen yang terlibat dalam pembentukan organ bunga maka terdapat banyak gen yang terekspresi tumpang-tindih dalam menentukan suatu
organ bunga pada tanaman dikotil maupun monokotil. Contoh kasus pada Arabidopsis, diuraikan oleh Zahn et al. 2005 bahwa pembentukan petal
melibatkan gen kelas A, B dan E meliputi AP1, PIAP3 dan SEP, sedangkan stamen melibatkan gen kelas B, C, dan E meliputi PIAP3, AG dan SEP. Pada
kasus abnormal bunga kelapa sawit kemungkinan melibatkan gen-gen lain, selain gen EgDEF1 dan EgGLO2 yang dikelompokkan oleh Adam et al. 2007 sebagai
gen kelas B. Alwee et al. 2006 mengatakan bahwa beberapa hormon ditemukan turut
mempengaruhi ekspresi gen MAD box. Giberelin mengontrol identitas meristem pada mutan ap2 dan ap 1 Arabidopsis Okamuro et al. 1997, perlakuan auksin
eksogenous menyebabkan bunga betina berubah menjadi jantan Hamdi et al. 1987, etilen merupakan regulator penentuan seks pada Cucumis sativus dan C.
Melo Byers et al. 1972.
Perubahan morfologi bunga ini berkembang terus sampai pada tingkat buah dengan tingkat abnormalitas yang berbeda. Perbedaan didasarkan pada kedudukan
karpel tambahan terhadap karpel utama, keadaan mesokarp dan keberadaan biji. Didapatkan lima tingkat abnormalitas buah dari tanaman hasil kultur jaringan
yaitu normal, abnormal ringan AbR, abnormal berat AbB, abnormal sangat berat 1 AbSB1 dan abnormal sangat berat 2 AbSB2. Tanaman yang
menghasilkan buah AbR dan AbB sekitar 5.6 sedangkan AbSB 4.9 dari 143
tanaman. Keabnormalan pada buah kelapa sawit ini menjadi masalah penting karena dapat menurunkan produktivitas. Eeuwens et al. 2002 mengatakan
bahwa produktivitas buah abnormal menurun karena buah yang terbentuk biasanya gugur selama dalam perkembangan.
Seberapa menurunnya produksi minyak akibat abnormalitas buah tersebut serta apakah semua tanaman yang menghasilkan buah abnormal akan
menghasilkan minyak yang rendah. Menjadi pertanyaan kritis untuk dijawab dalam rangka pengembangan selanjutnya kelapa sawit hasil kultur jaringan. Hasil
penelitian kandungan minyak menunjukkan bahwa tidak semua buah yang abnormal mempunyai kandungan minyak rendah seperti pada buah AbR dan AbB
dengan kandungan minyak cenderung sama dengan buah normal, serta mempunyai mesokarp tebal berdaging yang nampak melalui bobot bahan kering
yang rendah. Kandungan minyak yang tinggi pada kedua tipe buah abnormal ini didukung oleh kandungan malonil-KoA yang tinggi dibandingkan dengan asetil-
KoA sebagai bukti bahwa ensim asetil-KoA karboksilase ACCase dalam buah aktif mengkatalisis asetil-KoA menjadi malonil-KoA. Namun terjadi sebaliknya
pada buah abnormal sangat berat AbSB, diduga tidak aktifnya ensim ACCase dalam buah AbSB berhubungan dengan mulai membusuknya buah. Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa buah AbR dan AbB menghasilkan biji sehingga dapat menghasilkan minyak kernel jika dibandingkan dengan buah
sangat berat yang tidak berbiji. Namun minyak pada kedua tipe buah abnormal tersebut perlu dianalisis kualitas dan kuantitas minyak pertandan buah segar, serta
bobot kering mesokarp perbuah. Selain itu fenotipik dari kedua buah abnormal tersebut bukan fenotipik yang ideal kemungkinan tidak dapat digunakan dalam
prosesing minyak karena tidak sesuai dengan prototipe mesin. Fenotip buah abnormal biasanya ditemukan pada awal reproduksi kelapa
sawit yang diperbanyak dengan benih, namun menjadi stabil berbunga dan berbuah normal pada umur 2.5 tahun Lubis 1992. Tregear et al. 2002
mengatakan fenomena tersebut merupakan epigenetik, dengan kenyataan bahwa fenotip ini dapat kembali menjadi normal di lapangan. Perubahan epigenetik
adalah perubahan pada metilasi DNA genom, suatu fenomena yang berhubungan dengan variasi somaklonal Kaeppler Phillips 1993b.
Hasil penelitian mendapatkan adanya fenomena hipometilasi pada jaringan daun, dan hipermetilasi pada jaringan bunga pada semua tanaman berbunga
abnormal dibandingkan dengan jaringan yang sama pada tanaman normal. Dua fenomena yang berbeda namun menunjuk pada morfologi bunga abnormal yang
sama yaitu organ bunga jantan terinduksi menjadi struktur seperti organ bunga betina karpel. Selain itu, adanya peningkatan metilasi sitosin hanya 0.69 pada
jaringan bunga AbSB1 dan 2.66 pada AbB sama-sama menunjuk pada bentuk morfologi abnormal yang sama. Diduga kejadian bungabuah mantel tidak
berhubungan langsung dengan perubahan metilasi pada gen-gen pembungaan. Sejumlah peneliti membuktikan terjadi hipometilasi pada bunga abnormal
Jaligot et al. 2000 ; Matthes et al. 2001; Jaligot et al. 2002 ; Kubis et al. 2003; http:www.actahort.orgbooks530l530_52.html; Jaligot et al. 2004 yang
dideteksi pada jaringan kalus dan daun. Namun Shah dan Ahmed-Parveez 1995
mendapatkan fenomena berbeda yaitu hipermetilasi pada tanaman berbunga abnormal tersebut. Dua fenomena metilasi DNA yang berbeda menunjuk pada
morfologi bunga abnormal. Perubahan metilasi DNA berdampak pada perubahan ekspresi gen dan
secara global ditingkat kromosom. Perubahan pada ekspresi gen melalui terhalangnya faktor transkripsi dan ensim DNA polimerase terikat pada situs
target. Perubahan sitosin C menjadi timin T merupakan fenomena mutasi titik akibat perubahan metilasi. Sedangkan perubahan pada tingkat kromosom terutama
pada daerah heterokromatin, yang kuat termetilasi karena struktur kompakkondens dari kromatin. Kaeppler dan Phillips 1993b mengatakan bahwa
perubahan metilasi DNA berakibat pada perubahan struktur kromatin melalui terlambatnya replikasi heterokromatin dalam kultur jaringan sehingga terjadi
pematahan kromosom. Pada tanaman, kehilangan metilasi juga dapat menyebabkan aktivasi pergerakan transposon dengan konsekuensi sering terjadi
mutasi Miura et al. 2001; Singer et al. 2001 ; Kato et al. 2003. Pematahan kromosom maupun aktivasi elemen transposon dapat menyebabkan perubahan
sekuens DNA akibat perubahan tempat atau kehilangan bagian kromosom. Perubahan sekuens DNA dapat terjadi pada daerah suatu gen ataupun daerah
heterokromatin yang tidak berhubungan suatu gen.
Perubahan sekuens DNA terjadi pada kelapa sawit hasil perbanyakan dari kultur jaringan. Dibuktikan dalam penelitian ini dengan teknik RAPD yaitu lima
primer OPC-08, OPD15, W-15, OPC-09 dan SC10-19 dari sepuluh primer menunjukkan pita-pita berbeda antara tanaman normal dan abnormal pada klon
MK 152. Primer OPC-08 memperlihatkan satu pita DNA pada tanaman normal tetapi tidak terdapat pada tanaman abnormal, menunjukkan bahwa pita tersebut
berpotensi sebagai pita DNA yang unik pada tanaman normal. Namun penelitian Yuniastuti 2004 dengan kedua primer ini menunjukkan pita-pita-pita berbeda
antara tanaman normal dan abnormal namun tidak konsisten antara klon, bahkan primer OPC-08 dapat membedakan tanaman normal dan abnormal pada klon yang
lain namun tidak pada klon MK 152. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan sampel tanaman berbeda dari klon yang sama kemungkinan sebagai penyebab
perbedaan hasil. Untuk konfirmasi pita unik tersebut maka diperlukan data dari beberapa tanaman normal pada klon MK 152 serta menggunakan tanaman normal
dan abnormal dari klon-klon yang lain. Empat primer yang lain menunjukkan pita-pita berbeda antara tanaman
normal, AbB dan AbSB2 namun tidak konsisten pada keabnormalan. Penelitian sebelumnya oleh Toruan-Mathius et al. 2001 dengan teknik RAPD dapat
membedakan tanaman berbuah normal dan abnormal namun pita-pita DNA berbeda tersebut tidak sama untuk tiap klon yang digunakan. Perubahan sekuens
DNA kemungkinan dapat terjadi pada daerah suatu gen yang meregulasi organ bunga atau juga berhubungan dengan proses metabolisme yang lain. Untuk
konfirmasi adanya perubahan ekspresi gen pembungaan maka diperlukan primer- primer spesifik yang berhubungan dengan gen-gen pembungaan tersebut.
Abnormalitas pada kelapa sawit melalui adanya struktur karpel pada bunga betina maupun bunga jantan namun tidak diikuti dengan perubahan organ bunga
yang lain merupakan suatu fenomena menarik untuk dikaji dari sisi yang lain. Kemungkinan yang menginduksi feminisasi pada kedua seks pada kasus bunga
kelapa sawit adalah hormon etilen. Menurut Yin dan Quinn 1995 etilen memacu pembentukan bunga betina sedangkan menghambat bunga jantan, sedangkan
gibberelin GA memacu pembentukan bunga jantan dan menghambat bunga betina.
Etilen diketahui dihasilkan sebagai respons dengan pelukaan Konze Kwiatkowski 1981 ; Imaseki et al. 1990. Hal tersebut kemungkinan terjadi
selama cutting up kultur yang melepaskan dan mengakumulasi etilen dalam wadah kultur dan hormon ini dapat juga mempengaruhi bunga mantel Eeuwens
et al . 2002. Biosintesis etilen juga dipacu oleh auksin Minocha et al. 1990, dan
auksin adalah salah satu hormon yang digunakan dalam kultur jaringan kelapa sawit Eeuwens et al. 2002, sehingga dikatakan oleh Eeuwens et al. 2002
bahwa yang mengherankan adalah tidak ada data yang dipublikasi mengenai akumulasi etilen selama kultur jaringan atau pengaruh etilen terhadap bunga
mantel. Buah abnormal sangat berat mengalami penghambatan kematangan buah kemungkinan berhubungan dengan keterbatasan hormon etilen. Kejadian-kejadian
yang saling terkait antara cekaman selama kultur jaringan, perubahan organ bunga jantan menjadi betina bunga mantel, dan penghambatan kematangan buah.
BAB VIII SIMPULAN UMUM DAN SARAN