Bandar Lampung. Sistem pembayaran kedelai dilakukan dengan berbagai cara, yakni cara tunai, kredit dan pembayaran di belakang setelah tempe
terjual konsinyasi. Namun para pengrajin umumnya menggunakan sistem konsinyasi. Menurut para pengrajin, cara ini lebih meringankan
mereka karena uang untuk membeli kedelai dapat dialokasikan untuk keperluan lainnya diantaranya untuk membeli inokulum atau bahan
pengemas. Harga kedelai di lokasi penelitian berkisar antara Rp. 3100-3500 per
kg. Dengan kata lain, harga pembelian para pengrajin di Jakarta relatif sama dengan harga di pelosok-pelosok daerah seperti di Kecamatan
Sindang Laut maupun Kecamatan Wiradesa Pekalongan. Selain memasok kedelai, pedagang kedelai juga menyediakan
inokulum dan kemasan plastik termasuk menyediakan alat-alat pengupas kulit baik manual maupun semi otomatis seperti di Bekasi dan Kecamatan
Wiradesa Pekalongan. Oleh karena itu para pedagang dapat dikatakan memasok seluruh kebutuhan para pengrajin tempe.
Kedelai impor didistribusikan dalam karung plastik dengan bobot 50 kg per karung, dengan berbagai merk seperti kedelai cap Gunung, cap
Jempol, cap Pelangi, dan sebagainya. Akan tetapi informasi tentang produk yang dikemas kedelai sangat minim, yakni hanya mencantumkan
merek dan bobot. Sedangkan informasi penting lain seperti nama dan alamat importir tidak tercantum.
2. Inokulum Starter
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa hampir seluruh responden 96.7 menggunakan inokulum instan yang diproduksi oleh
Puslitbang Kimia Terapan LIPI – Bandung Gambar 9. Alasan para pengrajin menggunakan inokulum ini antara lain : a inokulum mudah
diperoleh di pasaran pedagang pengecer kedelai di seluruh wilayah sentra produksi tempe, b penggunaan inokulum praktis, c tingkat kegagalan
fermentasi rendah, d harga relatif murah yakni Rp. 5500,- hingga Rp. 6000,- per 500 gram.
Pada umumnya inokulum yang ditambahkan untuk 10 kg kedelai sebanyak 1 sendok makan. Untuk menghemat pemakaian inokulum,
beberapa pengrajin melakukan pencampuran inokulum instan tersebut dan tepung onggok dengan perbandingan 1:5 Gambar 10, seperti yang
dilakukan oleh pengrajin di Kota Bogor dan Jakarta.
Gambar 9. Inokulum LIPI Gambar 10. Inokulum Campuran
3. Air
Untuk pengolahan satu kg kedelai pada pembuatan tempe, diperlukan air bersih kurang lebih sekitar tiga liter Syarief et al., 1999. Berdasarkan
survei, para pengrajin menggunakan air untuk pembuatan tempe rata-rata 4-5 liter untuk satu kg kedelai. Oleh karena itu proses pembuatan tempe
dapat dikatakan boros air, terutama pembuatan tempe dengan menggunakan metode pengupasan kulit kedelai cara basah.
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa para pengrajin umumnya 6.4 menggunakan air permukaan air sungai, air kolam seperti di Kota
Bandar Lampung dan Ciamis. Sedangkan di wilayah studi lainnya, umumnya 87.3 menggunakan air tanah dangkal sumur dengan
kedalaman 5-10 meter, kecuali 6.3 di komplek KOPTI Kota Bandung Gambar 11.
276 87,40
20 6,30 20 6,30
Air permukaan Air tanah dalam
Air tanah dangkal
Gambar 11. Sumber air yang digunakan Di sentra produksi tempe di komplek KOPTI Kota Bandung telah
dibangun instalasi sumur bor dengan kedalaman 200 meter, di mana air dialirkan melalui menara air ke rumah masing-masing para pengrajin.
Biaya investasi instalasi air ini sekitar 250 juta rupiah. Kecuali di komplek KOPTI Bandung, air yang digunakan oleh para pengrajin tempe umumnya
tidak disaring dan kotoran hanya dilakukan pengendapan untuk memisahkan kotoran.
Air yang tidak memenuhi syarat sebagai air untuk pengolahan pada industri pangan merupakan salah satu penyebab tejadinya kontaminasi
pada produk tempe, terutaman kontaminan yang berupa mikroba Escherichia coli dan Salmonella dan logam seperti tembaga, seng,
timah, raksa, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dalam Standar Nasional Indonesia SNI telah ditetapkan batas maksimum cemaran
mikroba ataupun logam yang terdapat pada tempe.
4. Bahan Bakar