BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL
Pada bab ini peneliti menguraikan landasan teori yang digunakan dalam mengkaji dan menganalisa data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen tentang teroris dan
terorisme, sekaligus membuat kerangka konseptual atau paradigma yang digunakan peneliti dalam melaksanakan penelitian ini.
Landasan Teori
Dalam penelitian ini, ada beberapa hal yang dijadikan pijakan teoritis dalam mengkaji psikologi teroris, tetapi sebelum membahas lebih lanjut tentang landasan
teoritis atau penjelasan konseptual tentang proses seseorang menjadi teroris, akan dijelaskan lebih dahulu batasan dan pengertian tentang terorisme.
Definisi Terorisme
Kata teroris berasal dari kata terere yang berarti mengancam, atau membuat ketakutan. Sehingga secara harfiah, terorisme berarti adalah tindakan yang dilakukan
dengan tujuan untuk menciptkan atau menimbulkan ketakutan atan ancaman. Istilah teroris oleh para ahli
kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para
pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Sedangkan pengertian atau batasan
terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan
perang , aksi
terorisme adalah tindakan yang tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti, waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali
merupakan warga sipil
. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan
teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya teroris layak mendapatkan pembalasan yang kejam.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan teroris dan terorisme, para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai
separatis , pejuang
pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : Makna sebenarnya dari
jihad ,
mujahidin adalah jauh
dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang. Padahal Terorisme sendiri seringkali dilakukan dengan mengatasnamakan agama.
Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1
The Prevention of Terrorism Temporary Provisions act, 1984
, sebagai berikut: ―Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the
public or any section of the public in fear”.
Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau
suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata
psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau
kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan
terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat
dikatakan lebih sebagai psy-war. Dalam penelitian ini, batasan teroris merujuk pada aktifitas atau tindakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan untuk
membuat ketakutan kepada masyarakat. Terorisme mencerminkan pertemuan antara : Pertama, suatu identitas kultural
yang berbasis kuat pada kolektivisme dan pemahaman fundamentalis tentang prinsip
agama dan budaya.Kedua, suatu identitas sosial yang berbasis pertentangan yang tajam antara kelompok sendiri dan kelompok-kelompok yang dipersepsikan sebagai ancaman.
Ketiga, identitas personal yang tertutup dan otoritarian atau identitas personal yang berlebihan dan tanpa tujuan
ii
.
Karakteristik Perilaku Teror
Para ahli sepakat bahwa terdapat ciri-ciri perilaku terorisme yang dapat digunakan untuk membedakannya dengan perilaku kekerasan lainnya, yaitu: Pertama,
terorisme memiliki tujuan yang jelas dan terencana. Artinya, teror yang dilakukan bukan semata-mata untuk tujuan teror itu sendiri tetapi ada tujuan di balik perilaku teror
yang dilakukan. Kedua, motivasi terorisme bisa bersifat patologis tetapi bisa juga bersifat
politik, walaupun penelitian mutakhir yang dilakukan oleh sejumlah psikiater dan psikolog menyimpulkan bahwa para teroris umumnya adalah kumpulan orang-orang yang normal
yang sama sekali jauh dari karakteristik abnormal atau patologis. Ketiga, selalu ditujukan kepada khalayak yang besar atau massa dalam jumlah yang banyak. Hal itu
dsebabkan karena semakin banyak korban semakin cepat pesan teroris sampai ke target utama atau lawan utama. Keempat, terorisme dirancang untuk tujuan melakukan
perubahan sosial dan politik. Kelima, terorisme melibatkan suatu kelompok yang terdiri dari para pemimpin dan para pengikut.
Mozarth 2006 menyebutkan ada dua perspektif yang berkembang di kalangan komunitas pengkaji terorisme dalam melihat aksi teror, yaitu :
Pertama, sudut pandang sindrome, yaitu pandangan yang menyebutkan bahwa terorisme bersifat patologis. Pandangan ini menegaskan bahwa teror dilakukan oleh
orang-orang yang mengidap penyakit atau gangguan patologis. Menurut para penggagas dan pendukung perspektif ini, aktivitas teror yang dilakukan oleh orang-orang yang
tergabung dalam kelompok teror memenuhi syarat patologis, baik pada tingkat individu maupun pada tingkat kelompok dengan tujuan untuk mencari penyebab.
Kedua, sudut pandang alat, yaitu pandangan yang menyebutkan perilaku teror sebagai alat atau media untuk meraih tujuan yang lain sebagai solusi. Pandangan ini
menegaskan bahwa para pelaku teror sangat jelas memiliki tujuan strategis dengan ciri- ciri yang dapat diidentifikasi, yaitu bila dilihat dari sisi psikologi alat dan tujuan, teror
digunakan untuk meraih tujuan ketika alat lain tidak efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan; serta trait individu dan kelompok sangat sulit untuk dikenali.
Dalam konteks ini, psikologi agama berperan penting dalam menjelaskan motivasi kekerasan keagamaan dan upaya pencegahannya. Tindakan teroris dan relijiusitas kaum
fundamentalis tidak dapat dijelaskan semata-mata melalui patologi psikologis atau patologi sosial. Justeru proses psikologi sosial yang normal, seperti reduksi
ketidakpastian, manajemen teror, identitas sosial, dan pencarian makna melalui agama berkombinasi dengan faktor-faktor kognitif seperti intratekstualitas dan kompleksitas
integratif yang rendah, memberikan pemahaman yang lebih memadai mengenai radikalisasi kaum muda yang sebagian menjadi pelaku kekerasan dan kebencian terhadap
anggota kelompok lain.
Melihat Sisi Proses Psikologi Teroris
Jika penelitian psikologi tentang terorisme pada tahap awal sebagian besar berpusat pada upaya untuk menjawab kenapa individu-individu menjadi teroris atau
terlibat dalam terorisme? Maka pertanyaan yang diajukan para peneliti psikologi terorisme kontemporer lebih fokus dan lebih fungsional. Horgan dan lain-lain membantu
membuat kerangka penelitian masa depan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih baik.
Di dalam pertanyaan ―kenapa‖ terkandung asumsi bahwa menjadi teroris mencakup pilihan diskrit untuk mengubah status. Observasi sosial dan operasi terhadap
sejumlah teroris dan kelompok teroris menyimpulkan bahwa rekrutmen dan keterlibatan dalam terorisme tidak terjadi seperti itu. Horgan da
n Tylor 2001 mencatat,‖Apa yang kami ketahui tentang teroris aktual menyatakan bahwa tidak banyak keputusan sadar
yang dibuat untuk menjadi teroris. Hampir sebagian besar keterlibatan dalam terorisme terjadi melalui paparan dan sosialisasi bertahap terha
dap perilaku ekstrim.‖ Sebagai upaya menjadi kerangka konseptual untuk menguji pertanyaan tentang
kenapa seseorang menjadi teroris, Crenshaw menyatakan bahwa isu tentang kenapa teroris bertahan dalam terorisme walaupun penuh resiko dan tanpa balasan yang jelas
merupakan satu pertanyaan yang penting. Kemudian lebih lanjut ia mengatakan bahwa ada pertanyaan yang lebih penting lagi, yaitu kenapa dan bagaimana seseorang keluar
dari kelompok teroris? Psikolog John Horgan dan Max Tylor 2001 kemudian membahas terorisme dari
sisi proses yaitu fase sebelum menjadi teroris, fase menjadi teroris bisa dikonstruksi dengan : 1 tetap terlibat dan, 2 terlibat dan keluar dari terorisme. Mereka
menyebutkan bahwa ada suatu distingsi mendasar yang dapat dibuat dalam menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh pada tahap-tahap yang berbeda-beda, yaitu tahap
menjadi, tahap bertahan, dan tahap meninggalkan atau mengakhiri keterlibatan.
Motif dan Vulnerabilitas. Di antara faktor psikologi utama dalam memahami
bagaimana dan individu seperti apa dalam suatu lingkungan akan memasuki proses menjadi teroris adalah faktor motivasi dan vulnerabilitas. Secara definisi, yang
dimaksudkan dengan motif adalah emosi, hasrat, kebutuhan psikologis, atau impuls yang menjadi pendorong utama tindakan. Sedangkan vulnerabilitas adalah kecenderungan
untuk terpengaruh oleh bujukan atau ajakan. Motivasi seseorang untuk terlibat dalam terorisme seringkali diduga adalah
sebab kelompok atau ideologi kelompok. Kendati demikian, sebagaimana Crenshaw sebutkan bahwa kesan umum teroris sebagai individu yang termotivasi secara eksklusif
oleh komitmen politik yang dalam dan kuat merupakan suatu realitas yang kompleks. Realitasnya adalah bahwa motif bergabung ke dalam suatu organisasi teroris dan motif
terlibat dalam terorisme beragam sesuai dengan keragaman tipe kelompok dan keragaman di dalam kelompok serta berubah sesuai perubahan zaman.
Marta Crenshaw 1985 sebagai contoh, menyebutkan paling tidak ada empat kategori motivasi di kalangan para teroris, yaitu : Pertama, peluang bertindak. Kedua,
kebutuhan untuk diakui. Ketiga, hasrat terhadap status sosial, dan keempat, usaha mendapatkan balasan materi. Post 1990 lebih jauh menyebutkan bahwa terorisme akan
berakhir dengan sendirinya, tanpa terikat oleh tujuan politik atau ideologi. Alasannya adalah penyebab terorisme bukanlah penyebab itu sendiri the cause is not the cause.
Penyebab sebagaimana dikodifikasi dalam ideologi kelompok, menurut jalur argumen tersebut, menjadi rationale bagi tindakan kaum teroris adalah didorong untuk bertindak.
Dengan kata lain, sebenarnya argumen utama pendekatan ini adalah bahwa individu menjadi teroris karena bergabung ke dalam kelompok teroris dan melakukan tindakan
terorisme. Ketiga faktor psikologis yaitu ketidakadilan, identitas dan kepemilikan ditemukan
ada pada kaum teroris dan mempengaruhi pengambilan keputusan secara kuat untuk memasuki organisasi teroris dan terlibat dalam aksi terorisme. Sebagian analis
terorisme berpendapat bahwa ketiga faktor tersebut saling bersinergi satu sama lain dan dinamika di antara ketiganya merupakan akar penyebab terorisme, di luar faktor
ideologi. Luckabaugh dan kolega 1997 menyimpulkan bahwa penyebab riil atau motivasi psikologis untuk bergabung dalam terorisme adalah kebutuhan yang besar untuk diakui,
suatu kebutuhan untuk mengkonsolidasi identitas. Kebutuhan untuk diakui sejalan dengan identitas personal yang tidak lengkap merupakan suatu faktor yang sama pada
semua kelompok teroris. Dalam rumusan yang sama, Jerold Post 1984 berteori bahwa kebutuhan untuk diakui, kebutuhan untuk memiliki identitas yang stabil, untuk mengatasi
keterpecahan dan menyatu dengan diri sendiri dan dengan masyarakat merupakan konsep menjembatani yang penting dan membantu menjelaskan kesamaan perilaku para
teroris yang berasal dari berbagai kelompok dengan motivasi dan komposisi yang berbeda satu sama lain.
Bruce 1997 berpendapat bahwa untuk memahami proses menjadi seorang teroris dengan baik, motif tidak dapat dipisahkan dari peluang. Dalam pernyataan yang
sederhana, orang-orang mengikuti jalur tertentu menuju radikalisasi, terorisme dan
organisasi teroris. Jalur menuju terorisme mungkin berbeda antara satu orang dengan orang lain, dan semuanya sangat dipengaruhi oleh faktor yang beragam. Bandura 1990
melihat bahwa jalur menuju terorisme dapat terbentuk oleh faktor-faktor yang bersifat sengaja, pengaruh rasa suka personal yang terjadi secara bersamaan, dan
dorongan sosial. Transisi menuju proses menjadi teroris tidak pernah terjadi secara tiba-tiba dan
serta-merta. Horgan mengatakan bahwa proses menjadi teroris melalui proses yang panjang: paparan dan sosialisasi bertahap terhadap perilaku ekstrim. Pandangan yang
sama dikemukakan oleh Luckabaugh dan rekan-rakan yang menegaskan bahwa proses menjadi teroris tidak terjadi dalam waktu semalam. Mereka yang menjadi teroris
mengikuti suatu progres umum, dari alineasi sosial sampai kejenuhan sosial, kemudian ketidaksetujuan dan protes, sebelum akhirnya benar-benar berubah menjadi teroris.
McCormick 2003 menyebut proses tersebut dengan istilah pendekatan perkembangan. Terorisme dalam perspektif pendekatan perkembangan bukanlah produk
dari suatu keputusan tunggal, tetapi hasil akhir dari suatu proses dialektis yang mendorong seseorang secara bertahap menuju komitmen terhadap kekerasan sepanjang
waktu. Proses tersebut terjadi pada lingkungan politik yang lebih luas yang meliputi negara, kelompok teroris, dan konsituen politik. Interaksi di antara variabel-variabel
tersebut dalam suatu seting kelompok digunakan untuk menjelaskan kenapa individu berubah menjadi pelaku kekerasan dan pada akhirnya dapat menjustifikasi tindakan
kaum teroris. Pertanyaannya kemudian, bagaimana ideologi ekstrim berkembang menjadi
radikalisasi dan pada akhirnya diterjemahkan menjadi justifikasi atau imperatif untuk menggunakan kekerasan teroris? Frederick Hacker 1983 menjelaskan progresi
tersebut dalam tiga tahap, yaitu : Tahap pertama meliputi kesadaran akan penindasan; kedua, pengakuan bahwa penindasan tersebut bersifat sosial dan karenanya tidak dapat
dihindarkan; ketiga, impetus atau realisasi yang memungkinkan bertindak melawan penindasan.
Erick Shaw 1986 menjelaskan eksistensi jalur perkembangan umum yang dilalui para teroris memasuki profesi mereka. Ada empat tahap proses menjadi teroris, yaitu:
Pertama, proses sosialisasi dini; kedua, luka narsistik, misalnya, peristiwa hidup yang negatif dan secara negatif mempengaruhi citra diri atau harga diri; ketiga, peristiwa-
peristiwa yang bersifat eskalatif seringkali konfrontasi dengan polisi yang menyebabkan provokasi yang dipersepsikan; dan keempat, koneksi personal dengan
anggota kelompok teroris yang meningkatkan peluang, akses, dan insentif untuk memasuki kelompok teroris.
Berdasarkan analisa terhadap kelompok ekstrimis militan yang beragam dengan ideologi yang juga beragam, Borum 2003 berpendapat bahwa terdapat beberapa tahap
proses yang dialami individu anggota kelompok teroris dalam menganut ideologi ekstrim, baik luar negeri maupun domestik. Proses tersebut diawali dengan persepsi tentang
peristiwa yang tidak memuaskan atau kondisi yang tidak adil. Ketidakadilan kemudian dicela dan dikaitkan dengan kebijakan target, person atau bangsa.
Sebagai suatu disiplin ilmu, psikologi memiliki sejarah yang panjang dalam menjelaskan perilaku menyimpang sebagai suatu fungsi psikopatologi misalnya
penyakit mental, gangguan, atau disfungsi atau sindrom kepribadian malasuai. Menurut Schmid dan Jongman 1988, asumsi umum yang mendasari banyak teori
psikologi adalah bahwa para teroris dalam satu hal atau beberapa hal merupakan orang yang tidak normal, dan bahwa pemahaman dari psikologi dan psikiatri
menjadi kunci yang memadai untuk memahaminya. Pada kenyataannya, psikopatologi terbukti hanyalah faktor penentu yang umum bagi kekerasan biasa,
tetapi tidak relevan untuk memahami terorisme. Dalam realitasnya, ide tentang terorisme sebagai produk gangguan mental atau psikopati tidak tepat lagi.
Penelitian tentang psikologi terorisme hampir seragam menyimpulkan bahwa penyakit mental dan abnormalitas secara tipikal bukanlah faktor penting
dalam perilaku kaum teroris. Studi-studi yang dilakukan peneliti dari kalangan psikolog menemukan bahwa tingkat penyakit mental di kalangan sampel teroris
yang tertangkap adalah rendah atau lebih rendah dibandingkan populasi umum. Lebih lanjut, walaupun kaum teroris seringkali melakukan tindakan yang gila
tetapi jarang sekali mereka dicap sebagai psikopat klasik. Secara tipikal kaum teroris memiliki keterkaitan dengan prinsip atau ideologi, termasuk teroris lain
atau orang lain yang berbagi dengan mereka. Padahal, psikopat tidak memiliki bentuk hubungan seperti itu dan tidak pula mau mengorbankan diri termasuk
bunuh diri atau mati untuk suatu sebab.
Trait kepribadian secara konsisten telah gagal dalam menjelaskan sebagian besar tipe perilaku manusia, termasuk perilaku kekerasan. Pendekatan tidak dapat memberikan
sumbangan yang lebih banyak dan lebih signifikan dibandingkan faktor situasi atau faktor konteks. Crenshaw 2001 misalnya menyebutkan bahwa komitmen ideologi
bersama dan solidaritas kelompok merupakan determinan yang lebih penting bagi perilaku kaum teroris dibandingkan karakteristik individual. Bandura agaknya sepakat,
sebagaimana tercermin dalam sejumlah tulisannya, bahwa diperlukan kondisi sosial yang kondusif dibandingkan orang-orang gila untuk melakukan tindakan yang gila. Oleh karena
itu, metode yang paling efektif untuk menjelaskan perilaku adalah dengan mengkombinasikan antara faktor personal dan faktor situasi.
Sejumlah literatur secara tegas menyebutkan bahwa tidak ada kepribadian teroris dan tidak ada pula profil psikologis atau profil lainnya tentang teroris. Bahkan,
kepribadian sendiri cenderung tidak bisa menjadi prediktor yang sangat baik terhadap perilaku. Upaya memahami terorisme dengan mengkaji trait kepribadian teroris
merupakan bidang yang tidak produktif untuk menghasilkan investigasi dan studi selanjutnya.
Pengaruh Pengalaman Hidup Terhadap Terorisme
Pengalaman hidup tertentu secara umum cenderung ditemukan pada kaum teroris. Sejarah pengalaman kekerasan dan trauma agaknya sesuatu yang umum pada mereka.
Selain itu, tema-tema persepsi tentang ketidakadilan dan keterhinaan seringkali
mengemuka dalam biografi kaum teroris dan sejarah personal mereka. Namun, tidak ada satupun dari semua itu yang memberikan kontribusi yang banyak terhadap penjelasan
sebab-akibat mengenai terorisme, tetapi bisa terlihat sebagai penanda vulnarebilitas, sebagai sumber motivasi atau sebagai mekanisme untuk memperoleh atau menguatkan
ideologi kaum militan.
Peran Ideologi Dalam Terorisme
Ideologi seringkali didefinisikan sebagai serangkaian aturan yang umum dan disepakati secara luas serta menjadi patokan individu yang membantunya mengatur dan
menentukan perilaku. Ideologi-ideologi yang mendukung terorisme yang sangat beragam agaknya mengandung tiga karakteristik struktural yang umum. Karakteristik-
karakteristik tersebut mencakup: Satu, harus memberikan sehimpunan keyakinan yang membimbing dan menjustifikasi serangkaian mandat perilaku. Kedua, keyakinan-
keyakinan tersebut harus dihargai dan tidak boleh dipersoalkan atau dipertanyakan. Ketiga, perilaku-perilaku tersebut harus memiliki tujuan yang terarah dan terlihat
memberikan sebab tertentu dan sasaran yang bermakna. Budaya merupakan faktor penting dalam perkembangan ideologi, tetapi dampaknya terhadap ideologi kaum teroris
secara khusus belum dipelajari. Ideologi membimbing dan mengendalikan perilaku dengan memberikan satu himpunan penghantar perilaku yang menghubungan perilaku langsung
dan aksi terhadap hasil dan ganjaran yang positif atau dilihat sebagai satu bentuk aturan perilaku yang berdasarkan aturan.
Untuk menjelaskan tahapan-tahapan atau proses psikologis yang dialami seseorang dari seorang yang biasa atau bukan teroris menjadi seorang teroris, akan
digunakan teori ―Staircases to terrorism‖ dari Fathali Moghaddam 2005. Tangga
menuju terorisme adalah metafor yang digunakan Moghaddam untuk menggambarkan dan menjelaskan proses menjadi terorisme. Tangga-tangga menuju terorisme terdiri
dari :
1. Ground floor: Search for meaning. Mencari makna diri dan sosial menjadi
awal atau modal dasar menjadi terrorisme, walaupun tidak semua orang yang sedang mencari makna akan terjerumus ke dalam aktivitas terorisme.
Pada tahap ini, ada kekecewaan dan deprivasi atas kondisi pribadi terutama kondisi kelompok lain yang lebih baik dari kelompok sendiri.
Kondisi seperti ini sering disebut dengan istilah krisis identitas yang melahirkan persepsi ketidakadilan terhadap kelompok sendiri yang
dilakukan oleh kelompok lain. 2.
First floor : Presenting the ideology. Pada saat ini, muncul semangat untuk mencari musuh dan melawan pihak kambing hitam yang dianggap
melakukan ketidakadilan terhadap kelompok sendiri. Maka, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana melawan ketidakadilan tersebut?
3. Second floor: Cultivation stage. Pada tahap ini terjadi proses pengolahan
ideologi untuk melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang telah membuat ketidakadilan terhadap kelompok sendiri. Bentuk dasarnya
adalah displacement aggression. Aktifitas yang sering muncul adalah dalam
bentuk pencelaan dan pengutukan pihak-pihak yang telah dianggap menjadi penyebab ketidakadilan tersebut.
4. Third floor : yaitu aktifitas yang dilakukan dalam bentuk melihat dunia
sebagai hal yang hitam dan putih. Hanya ada benar atau salah. Dimana penilaian benar dan salah didasarkan pada ―fatwa leader‖. Leader
melakukan control, Control over member, dalam bentuk penanaman ide dan keyakinan moral yang bersifat benar vs salah. Pada tahap ini, semua cara
dihalalkan asalkan bisa digunakan untuk mencapai tujuan. 5.
Fourth floor : Moral engagement. Pada tahap ini terjadi proses polarisasi kelompok kawan dan lawan. ―Mereka adalah lawan yang hendak menyerang
dan menghancurkan kita.‖ Identitas sosial terbentuk secara mantap, yaitu identitas sebagai mujahid, dan orangkelompok yang tidak sejalan adalah
musuh. 6.
Fifth floor : Recruitment. Pada tahap ini seseorang mulai terlibat dalam aksi terorisme yang mencengangkan dunia. Keterlibatan secara aktif mulai
dari perencanaan, penentuan target, penentuan tehnik, waktu dan tempatlokasi sasaran, hingga yang aktifitas yang menentukan dalam
rekrutmen pelaksana.
Basis Dukungan Terorisme
Selama ini persepsi publik selalu mengaitkan terorisme pada pelaku teror yang terlibat secara langsung dalam kegiatan destruktif, padahal terorisme tidak hanya
melibatkan orang atau kelompok tertentu yang teridentifikasi oleh pihak intelijen atau aparat. Terorisme melibatkan suatu jaringan luas yang terdiri dari berbagai lapis. Bila
merujuk kepada pendapat Mozarth M.A 2006, basis dukungan terorisme terdiri dari :
Teroris aktual yaitu pelaku teror yang terlibat secara langsung di
lapangan.
Pendukung aktif, yaitu orang-orang yang menjadi perencana, mentor dan pengatur tenaga lapangan.
Pendukung pasif yaitu orang-orang yang tidak terlihat atau tidak
terdeteksi oleh aparat atau intelijen tetapi memiliki kontribusi yang besar atas terlaksananya aksi teror. Kelompok ini terdiri dari penyandang dana
atau ideolog.
Simpatisan, yaitu orang-orang yang sefaham dengan kelompok teroris tetapi tidak terlibat secara langsung dalam aksi teror. Mereka umumnya
adalah kelompok radikal yang mengusung ideologi yang sama dengan para teroris.
Islam dan Radikalisme
Ada tiga prinsip kunci ideologi radikal, yaitu intoleransi relijius, sentralitas jihad militan terhadap penerapan Islam, dan upaya formalisasi syariat dalam hukum
kenegaraan. Argumen teologis berbasis penafsiran radikal terhadap suatu keimanan melegitimasi, menjustifikasi dan mendorong tindakan terorisme. Walaupun kaum Muslim
mainstream di seluruh dunia mengutuk ideologi radikal tersebut, satu sekte kecil kaum ekstrimis telah berusaha menggunakan agama sebagai senjata perang selama satu abad.
Mereka bukan musuh dalam bentuk individu atau kelompok tetapi dalam bentuk jaringan organisasi transnasional yang kompleks. Ideologi tersebut membuat radikal individu dari
berbagai macam ras, etnik, status sosial-ekonomi, dan tingkat pendidikan, serta mengubah menjadi kaum militant.
iii
Kerangka Konseptual
Penelitian ini dilakukan berdasarkan kerangka konseptual sebagai berikut: Perilaku teror dilakukan oleh para teroris yang memilih jalan ini sebagai alat untuk
meraih tujuan jangka panjang. Para teroris memilih jalan teror karena mereka tidak menemukan jalan lain yang memungkinkan untuk dilakukan dalam melawan ―musuh‖ yang
dianggap bertanggungjawab atas kesulitan, nestapa dan malapetaka yang menimpa kaumnya.
Siapa saja bisa menjadi teroris. Artinya, orang biasa yang tidak berdosa sama sekali bisa terlibat dalam aksi teror, karena proses menjadi teroris merupakan
rangkaian panjang dari sebuah proses sosial dan psikologis. Tahap awal kemungkinan seseorang menjadi teroris ketika ia mengalami semacam krisis identitas sosial yang
ditandai oleh upaya pencarian jati diri dan kelompok. Pada tahap ini seseorang merasakan ketidakadilan telah dilakukan pihak-pihak tertentu terhadap kaumnya, lalu ia
akan mencari siapakah sesungguhnya yang bertanggungjawab atas ketidakadilan dan kezaliman yang menimpa kaumnya? Setelah diperoleh informasi tentang siapa yang
bertanggungjawab atas ketidakadilan dan kezaliman yang ada di depan mata –biasanya
informasi ini diperoleh dari seorang tokoh atau pemimpin kharismatik —maka terjadi
proses pengolahan ideologi atau kaderisasi atau ideologisasi atau pencucian otak oleh sang ideolog atau pemimpin yang bertugas merekrut dan mengkader para pelaku teror.
Pada saat itu, mentalitas lawan dan kawan atau ingroup dan outgroup yang sangat bernuansa hitam-putih dalam menilai segala hal. Proses penempaan terus berlangsung
sampai tiba saatnya seseorang berkomitmen untuk menjadi bagian dari jaringan perilaku teror. Pada saat ini, seseorang sudah pantas dianggap sebagai teroris yang tunduk pada
normal dan moral yang berlaku di kelompok teroris. Setelah itu, tentu saja ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu terus bertahan sebagai teroris atau berubah menjadi
orang biasa melalui beragam cara. Bila digambarkan dalam bentuk bagan maka prosesnya sebagai berikut:
Praradicalisation Radicalisation
Pre-involvement searching
Violent radicalisation
Remaining involved and
engaged
Disengagem ent
Deradicalisation
Keterangan:
Pra radikalisasi: orang biasa
Radikalisasi : Orang biasa berubah menjadi radikal
Pra pencarian keterlibatan : Orang yang radikal mencari cara dan
kelompok untuk melakukan aksi teror.
Radikalisasi kekerasan: Orang yang radikal memilih jalan teror, menemukan kelompok teroris dan mulai melakukan teror.
Tetap terlibat dalam kelompok teroris : seorang teroris tetap bertahan
dalam kelompok teroris dan konsisten memilih jalan teror.
Disengagement: Seorang teroris mulai berubah menjadi bukan teroris atau orang biasa.
Deradikalisasi: Seorang mantan teroris yang mulai mengubah ideologinya
menjadi ideologi yang moderat dan tidak memilih jalan teror dan kekerasan.
Penelitian ini akan menggunakan teori staircases to terrorism dari Moghaddam 2005. Teori ini dikembangkan setelah Moghaddam mengamati bahwa penelitian
psikologi tentang terorisme mengalami dua kelemahan, yaitu: Pertama, kurangnya kerangka kerja konseptual yang kuat dan ketergantungan reduksionis-positivistik pada
data yang dikumpulkan atas dasar asumsi bahwa data tersebut akan memungkinkan kita untuk meniru kesuksesan sain murni seperti fisika.
Kedua, kecenderungan para peneliti psikologi untuk terpecah ke dalam dua kubu, yaitu kubu disposisi dan kubu kontek aliran kepribadian dan aliran situasi. Faktor
disposisi dan faktor konteks memiliki pengaruh yang relatif terhadap perilaku manusia. Artinya, mereka yang menganut kubu disposisi terlalu berlebihan dalam menganggap
trait dan kepribadian sebagai satu-satunya faktor yang kuat dari perilaku teror. Sebaliknya, kubu situasi atau konteks terlalu berlebihan juga menganggap kekuatan
situasi atau konteks tidak bisa dilawan oleh siapapun. Jalan tengah yang baik adalah melakukan sinergi atas kedua pandangan tersebut, yaitu membangun suatu asumsi
teoritis yang mencakup kedua kubu, yaitu bahwa perilaku teror adalah sinergi antara kekuatan disposisi dan kekuatan situasi.
Konsep derajat kebebasan memperjelas isu pertentangan antara kedua kubu, dalam hal ini, Mogadham menggunakan metafora ―staircase to terrorism‖ tangga menuju
terorisme. Ada 5 lantai menuju terorisme, yaitu : Pertama, lantai dasar interpretasi psikologis tentang kondisi materil, persepsi terhadai kejujuran dan adekuasi identitas.
Kedua, lantai pertama tahap mencari cara untuk meningkatkan kondisi yang dipengaruhi oleh peluang mobilitas dan suara individual. Ketiga, lantai kedua pengaruh pesan
persuasif yang menyatakan bahwa akar persoalan mereka adalah musuh luar yang dipimpin Amerika, Keempat, lantai ketiga, mulai menganut moralitas yang mendukung
terorisme; mereka mulai terpisah dari moralitas mainstream umat Islam. Mereka mulai menganut moralitas ―the end justify the mean‖. Kelima, lantai keempat, menganut gaya
berpikir kategoris : kita lawan mereka, kebaikan melawan kejahatan, hitam dan putih. Muncul legitimasi psikologis untuk menyerang kekuatan-kekuatan setan dengan segala
cara. Keenam, lantai kelima, mengambil peran dan secara langsung mendukung aksi terorisme
iv
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Pendekatan penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, menyesuaikan dengan objek penelitian, dimana objek penelitian ini adalah isi dari buku atau
tulisan tentang biografi teroris. Pada mulanya, metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode yang biasa disebut dengan istilah
mixed methode metode campuran. Metode campuran ini adalah sebuah pendekatan baru yang menggabungkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif baik
dalam hal pengambilan data, pengolahan dan analisa. Tetapi karena keterbatasan peneliti dari sisi waktu, tenaga dan biaya maka pendekatan yang akhirnya
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif saja. Sedangkan untuk penelitian kuantitatifnya akan dilakukan sebagai tindak lanjut dari
penelitian ini. Dalam penelitian gabungan ini metode penelitian kualitatif dan kuantitatif
dilakukan secara bertahap. Metode pertama adalah pendekatan kualitatif, dan selanjutnya hasil dari penelitan pertama digunakan sebagai data untuk penelitian
tahap ke-2 kuantitatif. Metode pertama yang digunakan adalah metode kualitatif digunakan
dengan pendekatan Analisa isi dari Tulisan juga dikenal sebagai Documentary Hypothesis. Teknik yang digunakan adalah penelitian
biografi. Penelitian biografi adalah studi tentang individu dan pengalamannya yang dituliskan kembali dengan mengumpulkan dokumen dan
arsip-arsip.. Pendekatan ini menekankan pada analisa terhadap isi atau konten suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Pelopor
analisis isi adalah Harold D. Lasswell, yang memelopori teknik symbol coding, yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian
diberi interpretasi. Tujuan penelitian ini adalah mengungkap turning point
moment atau epipani yaitu pengalaman menarik yang sangat mempengaruhi atau mengubah hidup seseorang Dimana analisa isi biografi dibatasi pada
factor-faktor psikologis dan situasilingkungan yang secara teoritis dianggap memiliki pengaruh terhadap perilaku terorisme.. Peneliti
menginterpretasi subjek seperti subjek tersebut memposisikan dirinya sendiri.
Metode ini digunakan untuk menganalisa data-data yang dihasilkan dari metode analisa isi biografi. Hasil yang ditemukan dengan metode analisa isi,
faktor-faktor tersebut kemudian di jadikan variabel yang akan dianalisa. Teknik analisa regresi digunakan dalam metode ini. Analisa digunakan untuk menjelaskan
hubungan dan interaksi antar variabel dan pengaruhnya terhadap terorisme. Teknik analisa ini menggunakan soft ware SPSS dan Lisrel.
Objek penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah buku tentang pelaku terorisme, yang terdiri dari 3 buku, yaitu:
1. Temanku teroris oleh Noor Huda Ismail 2010, yang secara umum berisi
tentang Apa sebenarnya yang terjadi ketika dua santri menerapkan ilmu agama pada jalan hidup masing-masing? Penulis buku mengangkat kisah
dirinya dan pelaku teroris Fadlullah Hasan dengan empati dan simpati, menyisakan perenungan tentang terorisme, jihad Islam dan arti sebuah
persahabatan. 2.
Demi Allah aku seorang teroris oleh Damien Dematra adalah kisah tentang pencarian kebenaran yang dilakukan seorang anak manusia namun malah
dipelintir oleh sejumlah oknum dengan mengatasnamakan agama. Dalam kerinduannya mencari Tuhan, seseorang bergabung dengan sebuah
kelompok pengajian dan diminta mengucapkan janji setia pada sebuah organisasi dan mulai mempercayai pandangan bahwa negara yang benar
adalah negara yang berlandaskan hukum syariat agama. Ia pun percaya bahwa perlakuan orang-orang non-Muslim di Indonesia adalah kafir,
apalagi mereka yang berasal dari negara barat. 3.
Aku melawan teroris ditulis oleh Imam Samudra. Berisi tentang proses dan ungkapan-
ungkapan kesadaran mengenai jalan yang ia tempuh, dari sekian ragam jalan yang ditempuh oleh umat Islam. Agaknya ungkapan ini
mewakili metode pemahaman yang ia anut. 4.
Fuad Hussein Generasi Kedua Al-Qaidah; Apa dan Siapa Zarqawi, Ikon Kelompok
Perlawanan Iraq Masa Kini Fuad Hussein; Penerjemah, Ahmad Syakirin; Editor, Tony Syarqi, -- Solo:Jazeera, 2009
5. Noor Huda Ismail2010. Temanku, Teroris?. Jakarta: Penerbit Hikmah
6. N. Bin Laden, O. Bin Laden, Sasson, J. Growing Up Bin Laden 2010.
Jakarta:Penerbit Literati 7.
Ed Husain 2007. The Islamist. London: Penguin Book 8.
Al-Maqdisi, Abu Muhammad Mereka Mujahid tapi Salah LangkahAbu Muhammad Al-Maqdisi; Penerjemah, Abu Sulaiman; Editor, Fahmi Suwaidy
– Solo: Jazeera, 2007 9.
Damien Dematra 2009. Demi Allah, Aku Jadi Teroris. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama
10. Imam Samudra 2004. Aku Melawan Teroris. Jakarta: Jazeera
11. Ali Imron 2007. Ali Imron Sang Pengebom. Jakarta: Penerbit Republika
Instrument Penelitian
1. Metode kualitatif
Instrument dalam penelitian tahap pertama ini adalah panduan analisa isi buku, biografi.
Teknik analisa
Analisa dilakukan dengan mengumpulkan informasi atau data yang terkati deng hal-hal yang menyebabkan seseorang menjadi teroris, tentunya dalam ranah
psikologi. Informasi yang didapatkan dari satu pelaku dengan pelaku yang lain kemudian dicari karakteristik yang miripsama. Kemudian dijadikan tabulasi
factor psikologis yang dominan dari tokoh-tokoh tersebut.
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN