Pemanfaatan Serat Enceng Gondok dan Kitosan Sebagai Bahan Baku Untuk Pembuatan Poly Lactic Acid sebagai Kemasan Ramah Lingkungan

(1)

PEMANFAATAN SERAT ENCENG GONDOK DAN KITOSAN

SEBAGAI BAHAN BAKU UNTUK PEMBUATAN POLY LACTIC

ACID SEBAGAI KEMASAN RAMAH LINGKUNGAN

SKRIPSI

FARIDA 060801041

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

PEMANFAATAN SERAT ENCENG GONDOK DAN KITOSAN

SEBAGAI BAHAN BAKU UNTUK PEMBUATAN POLY LACTIC

ACID SEBAGAI KEMASAN RAMAH LINGKUNGAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

FARIDA 060801041

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(3)

PERSETUJUAN

Judul : PEMANFAATAN SERAT ENCENG GONDOK DAN

KITOSAN SEBAGAI BAHAN BAKU UNTUK

PEMBUATAN POLY LACTIC ACID SEBAGAI KEMASAN RAMAH LINGKUNGAN

Kategori : SKRIPSI

Nama : FARIDA

NIM : 060801041

Program Study : SARJANA (S1) FISIKA Departemen : FISIKA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di Medan, 10 April 2012

Diketahui/disetujui oleh

Departemen Fisika FMIPA USU

Ketua, Pembimbing,

Dr. Marhaposan Situmorang Dr. Kerista Sibayang, M.S NIP: 195510301980031003 NIP: 195806231986011001


(4)

PERNYATAAN

PEMANFAATAN SERAT ENCENG GONDOK DAN KITOSAN SEBAGAI BAHAN BAKU UNTUK PEMBUATAN POLY LACTIC ACID SEBAGAI

KEMASAN RAMAH LINGKUNGAN

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya

Medan, 10 April 2012

FARIDA 060801041


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan Syukur penulis persembahkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan setiap anugerah, rahmat, rahmanNya serta memberikan yang terindah di setiap rencana yang telah di buat penulis hingga skripsi yang berjudul: Pemanfaatan Serat Enceng Gondok dan Kitosan Sebagai Bahan Baku Untuk Pembuatan Poly Lactic Acid sebagai Kemasan Ramah Lingkungan ” berhasil diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Sholawat dan salam kepada Rasululloh Muhammad SAW sebagai suri teladan terbaik di muka bumi, semoga juga disampaikan kepada para sahabat, tabi’ dan tabi’in.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada, Dr. Kerista Sebayang, MS

selaku pembimbing yang telah memberikan panduan, bantuan serta segenap perhatian dan dorongan kepada penulis dalam menyempurnakan skripsi ini. Paduan ringkas dan padat serta profesional telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini. Kemudian ucapan terimakasih kepada Ibu Dra. Manis Sembiring, M.Si selaku dosen wali yang telah memperhatikan kemajuan studi penulis. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Ketua dan Sekretaris Departemen Fisika Dr. Marhaposan Situmorang dan Dra. Justinon, M.Si, Dekan dan Pembantu Dekan FMIPA USU, Bapak dan Ibu Staf Pengajar Departemen Fisika FMIPA USU terima kasih atas ilmu yang diberikan selama ini, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan juga kepada dosen Penguji seminar hasil dan sidang saya, Dr. Perdinan Sinuhaji, MS, Dr. Susilawati, M.Si, S.Si dan Drs. Aditia Warman, M.S yang telah menguji dengan pertanyaan-pertanyaan yang cukup menegangkan, serta terima kasih saya ucapkan kepada seluruh staf pegawai di Departemen Fisika FMIPA USU.

Ucapan terima kasih terbesar penulis sampaikan kepada Bapak dan Mamak tercinta Edi Syahputra dan Fatimah atas segala kasih sayang, cinta dan do’a yang selalu dihadiahkan kepada penulis tanpa henti, juga tak lupa kepada kakak dan adik- adik penulis, kak pipit, isa dan dian yang selalu memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Adik-adik di Komisariat Nusantara (Evi, Yanti, rini,


(6)

Saidah, anna, dll), KAMDA SU, BINSAT KAMMI MEDAN, Anak-anak FORSAI (Shand, Qi, Rica, kak Dian, kak Nailul, Uni, dll) dan adik-adik penginspirasi (Juni, mega dkk, Lisda, ami dkk, wika, fika,ulan dkk, winny dkk, Maya,wanda, zuhra, dkk), teman-teman di sakan MAUT Tahfidz Putri, Ustadzah Ramlah, Ummi dan buya. Serta untuk Ummi Fahrina, Arni, dan lainnya yang banyak membantu dan memotivasi dengan senyum dan candaaan kalian. Semoga Allah SWT akan membalas semua kebaikan dan do’a kalian semuannya. Dan orang-orang yang selalu mendukung untuk menyelesaikan studi ini (kak yesi, kak cici, kak devi, kak sarah, arinil, putri).

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas apa yang dikehendaki-Nya


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN

Persetujuan iii

Pernyataan iv

Penghargaan v

Abstrak vi

Abstract vii

Daftar Isi viii

Daftar Tabel xi

Daftar Lampiran xii

Bab 1 Pendahuluan 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 6

1.3 Batasan Masalah 6

1.4 Tujuan Penelitian 7

1.5 Manfaat Penelitian 7

1.6 Sistematika Penulisan 8

Bab 2 Tinjauan Pustaka 9

2.1 Plastik 9

2.1.1 Pengertian Plastik 9

2.1.2 Sampah Plastik 11

2.1.3 Penanggulangannya 12

2.2 Biodegradable 14

2.2.3 Pengertian Biodegredable 14

2.3 Poly Lactic Acid (PLA) 18

2.3.3 Pengertian 18

2.3.2 Prospek Perkembangan PLA di Indonesia 20

2.4 Kemasan Makanan 22

2.5 Enceng Gondok 25

2.5.1 Ketersediaan Enceng Gondok 25

2.5.2 Selulosa dan Lignin 31

2.5.2.1 Selulosa 32

2.4.2.2 Lignin 35

2.6 Proses Pemisahan Lignin 36

2.6.1 Proses Pemisahan Lignin Secara Mekanik 36 2.6.2 Proses Pemisahan Lignin Secara Semikimia 37 2.6.3 Proses Pemisahan Lignin Secara Kimia 37

2.7 Proses Pemutihan Pulp 38

2.7.1 Teori Pemutihan Pulp 39

2.7.2 Bahan Kimia Proses Pemutihan 39

2.7.2.1 Klor Dioksida 39


(8)

2.7.2.3 Natrium Hipoklorit (NaOCl) 40

2.8 Kitin dan Kitosan 40

2.8.1 Kitin 41

2.8.1.1 Sumber Kitin 42

2.8.1.2 Karakteristik kitin 42

2.8.2 Kitosan 42

2.8.2.1 Karakteristik Kitosan 44

2.8.2.2 Sifat-Sifat Kitosan 44

2.8.2.3 Reaksi Kimia 44

2.8.2.4 Hidrolisa Kitosan 45

2.8.2.5 Pemanfaatan Kitosan 45

2.7.3 Beberapa Manfaat Kitin dan Kitosan 46

2.9 Tepung Beras 47

2.9.1 Anatomi Beras 47

2.9.2 Kandungan Beras 47

2.9.3 Macam dan Warna Beras 48

2.9.4 Aspek Pangan 49

2.9.5 Aspek Budaya dan Bahasa 50

2.9.6 Karbohidrat 50

2.9.6.1 Definisi 50

2.9.6.2 Klasifikasi 51

2.9.6.2.1 Monosakarida 52

2.9.6.2.1.1 Glukosa 52

2.9.6.2.1.2 Fruktosa 52

2.9.6.2.1.3 Galaktosa 53

2.9.6.2.2 Disakarida 53

2.9.6.2.2.1 Sukrosa 53

2.9.6.2.2.2 Maltosa 53

2.9.6.2.2.3 Laktosa 54

2.9.7 Pati 54

2.10 Bahan Aditif 58

2.10.1 Mekanisme Plastisasi 59

2.10.2 Gliserol 59

2.10.2.1 Pengertian Gliserol 60

2.10.2.2 Pemanfaatan gliserol dan Turunannya 61

2.10.2.3 Kompatibilitas Polimer 62

2.10.2.4 Proses Pembuatan Campuran Polimer 63

Bab 3 Metodologi Penelitian 64

3.1 Alat dan Bahan 64

3.1.1 Peralatan 64

3.1.2 Bahan 65

3.2 Tempat Penelitian 65

3.3 Diagram alir(flow Chart) penelitian 66 3.3.1 Variasi komposisi sampel penelitian 69

3.4 Prosedur Pembuatan Sampel Uji 70

3.4.1 Persiapan Bahan 70

3.4.2 Pembuatan Plastik 71


(9)

3.4.1 Pengujian Kuat Tarik 72

3.4.2 Uji Kemuluran 74

3.4.3 Uji Densitas 74

3.4.4 Uji Kelarutan 75

Bab 4 Hasil dan Pembahasan 76

4.1 Hasil Penelitian 76

4.1.1 Hasil Pengujian Kuat tarik 76

4.1.2 Hasil Pengujian Kemuluran 77

4.1.3 Hasil Pengujian Densitas 77

4.1.4 Hasil Pengujian Biodegradasi 78

4.2 Pembahasan 79

4.2.1 Pengujian Kuat Tarik 79

4.2.2 Pengujian Kemuluran 80

4.2.3 Pengujian Densitas 82

4.2.4 Pengujian Biodegradasi 83

Bab 5 Kesimpulan dan Saran 86

5.1 Kesimpulan 86

5.2 Saran 87

Daftar Pustaka 88


(10)

DAFTAR TABEL

HALAMAN

Tabel 1.1 Kandungan kimia enceng gondok kering 5 Tabel 3.1 Variasi komposisi sampel penelitian 69 Tabel 4.1 Data hasil pengujian kuat tarik 76 Tabel 4.2 Data hasil pengujian kemuluran 77

Tabel 4.3 Hasil pengujian densitas 77

Tabel 4.4 Hasil pengujian biodegradasi 78


(11)

DAFTAR GAMBAR

HALAMAN

Gambar 1.1 Struktur Selulosa 4

Gambar 2.2 Polimer biodegradabel sebagai bahan biokemasan 16 Gambar 2.2 Klasifikasi polimer biodegradable 17

Gambar 2.3 Rumus struktur Poly Asam Laktat 18

Gambar 2.4 Struktur molekul asam asetat 19

Gambar 2.5 Enceng gondok (Eichornia Crassipes) 25 Gambar 2.6 Skema ringkasan faktor yang membatasi hidrolisa selulosa 32

Gambar 2.7 Struktur polimer selulosa 33

Gambar 2.8 Struktur polimer kitin 42

Gambar 2.9 Struktur polimer kitosan 43

Gambar 2.10 Berbagai Macam Beras di Indonesia 48

Gambar 2.11 Struktur Kimia Amilosa 56

Gambar 2.12 Struktur Kimia Amilopektin 56

Gambar 3.1 Pengeringan enceng gondok 66

Gambar 3.2 Proses pembuatan pulp dan pati enceng gondok 67 Gambar 3.3 Proses pencetakan dan pengujian sampel 68

Gambar 3.4 Ukuran Sampel Uji Tarik 73

Gambar 4.1 Grafik kuat tarik versus massa kitosan 79 Gambar 4.2 Grafik kemuluran versus massa kitosan 81 Gambar 4.3 Grafik densitas versus massa kitosan 82 Gambar 4.4 Grafik massa yang hilang versus massa kitosan 83


(12)

ABSTRAK

Pembuatan komposit Plastik Biodegradabel berbahan baku Enceng gondok dan gliserol telah dilakukan dengan modifikasi kitosan sebagai plastisizer. Metode yang digunakan adalah dengan mencampurkan Pati enceng gondok, kitosan dan tepung beras dengan formulasi 10:0:3, 9:1:3, 8:2:1, 7:3:3, 6:4:3 (m/m) kemudian diaduk dengan menggunakan kecepatan pengadukan 50 rpm dan suhu 90-100o C selama 30 menit, kemudian ditambahkan gliserol 10 ml dan diaduk dengan suhu 90-100o C selama 30 menit. Kemudian plastik dicetak dan dipanaskan dalam oven dengan temperature 60-70o C selama 24 jam. Sifat mekanik dan fisis benda uji seperti : Kuat tarik, Kemuluran, Densitas, Biodegradasi. Kuat tarik yang Optimal senilai 3,87 Mpa pada variasi kitosan 30%. Nilai kemuluran yang Optimal sebesar 10,691% pada variasi kitosan sebesar 30%. Nilai densitas yang optimal senilai 1,543 gr/mm3 pada variasi kitosan sebesar 40%. Sedangkan nilai biodegradasi (kelarutan dalam air) yang optimal pada waktu perendaman selama 7 hari yaitu senilai 91,7% pada variasi kitosan 40%, dan pada perendaman 14 hari yaitu senilai 93,3% pada variasi kitosan sebesar 40%.


(13)

USE OF FIBER ENCENG GONDOK AND CHITOSAN AS RAW MATERIALS FOR POLY LACTIC ACID AS ENVIRONMENTALLY

FRIENDLY PACKAGING

ABSTRACT

Manufacture of biodegradable plastic composites made from enceng gondok and glycerol have been made with modified chitosan as a plasticizer. The method used is by mixing the enceng gondok starch, chitosan and rice flour with formulation of 10:0:3, 9:1:3, 8:2:1, 7:3:3, 6:4:3 (m/m) Then stirred by mixed 50 rpm and temperature 90-100o C during 30 minutes. Then add 10 ml glycerol and stirred with temperature of 90-100o C for 30 minutes. Then plastic molded and heated in the oven with temperature 60-70o C during 24 hours. Mechanical and physical properties of test objects such as: Tensile strength, elasticity, density and biodegradation (dissolve in water). Tensile strenght Optimal in the value of 3,88 Mpa at chitosan variation of 30%. The optimal elasticity in the value 10,691% at chitosan variation of 30%. The optimal density value of 1.543 gr/mm3 at chitosan variation of 40%. While optimal biodegradation with value when soaking in during 7 days, that is 91,7% at kitosan variation of 40% and in during 14 days, that is 93,3% at chitosan variation of 40%.


(14)

ABSTRAK

Pembuatan komposit Plastik Biodegradabel berbahan baku Enceng gondok dan gliserol telah dilakukan dengan modifikasi kitosan sebagai plastisizer. Metode yang digunakan adalah dengan mencampurkan Pati enceng gondok, kitosan dan tepung beras dengan formulasi 10:0:3, 9:1:3, 8:2:1, 7:3:3, 6:4:3 (m/m) kemudian diaduk dengan menggunakan kecepatan pengadukan 50 rpm dan suhu 90-100o C selama 30 menit, kemudian ditambahkan gliserol 10 ml dan diaduk dengan suhu 90-100o C selama 30 menit. Kemudian plastik dicetak dan dipanaskan dalam oven dengan temperature 60-70o C selama 24 jam. Sifat mekanik dan fisis benda uji seperti : Kuat tarik, Kemuluran, Densitas, Biodegradasi. Kuat tarik yang Optimal senilai 3,87 Mpa pada variasi kitosan 30%. Nilai kemuluran yang Optimal sebesar 10,691% pada variasi kitosan sebesar 30%. Nilai densitas yang optimal senilai 1,543 gr/mm3 pada variasi kitosan sebesar 40%. Sedangkan nilai biodegradasi (kelarutan dalam air) yang optimal pada waktu perendaman selama 7 hari yaitu senilai 91,7% pada variasi kitosan 40%, dan pada perendaman 14 hari yaitu senilai 93,3% pada variasi kitosan sebesar 40%.


(15)

USE OF FIBER ENCENG GONDOK AND CHITOSAN AS RAW MATERIALS FOR POLY LACTIC ACID AS ENVIRONMENTALLY

FRIENDLY PACKAGING

ABSTRACT

Manufacture of biodegradable plastic composites made from enceng gondok and glycerol have been made with modified chitosan as a plasticizer. The method used is by mixing the enceng gondok starch, chitosan and rice flour with formulation of 10:0:3, 9:1:3, 8:2:1, 7:3:3, 6:4:3 (m/m) Then stirred by mixed 50 rpm and temperature 90-100o C during 30 minutes. Then add 10 ml glycerol and stirred with temperature of 90-100o C for 30 minutes. Then plastic molded and heated in the oven with temperature 60-70o C during 24 hours. Mechanical and physical properties of test objects such as: Tensile strength, elasticity, density and biodegradation (dissolve in water). Tensile strenght Optimal in the value of 3,88 Mpa at chitosan variation of 30%. The optimal elasticity in the value 10,691% at chitosan variation of 30%. The optimal density value of 1.543 gr/mm3 at chitosan variation of 40%. While optimal biodegradation with value when soaking in during 7 days, that is 91,7% at kitosan variation of 40% and in during 14 days, that is 93,3% at chitosan variation of 40%.


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggunaan plastik semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia, karena memiliki banyak kegunaan dan praktis. Plastik merupakan produk polimer sintetis yang terbuat dari bahan-bahan petrokimia termasuk dalam sumber daya alam yang tidak dapat diperbahurui. Struktur kimiawinya yang mempunyai bobot molekul tinggi dan pada umumnya memiliki rantai ikatan yang kuat sehingga plastik membutuhkan waktu yang lama terurai di alam. Limbah plastik tidak hanya menjadi masalah di kalangan masyarakat umum tetapi juga menjadi masalah bagi perindustrian di Indonesia.

Seiring dengan perkembangan teknologi, kebutuhan akan plastik terus meningkat. Data dari Departemen Perindustrian menunjukkan volume impor plastik dalam bentuk primernya adalah sebesar 958,7 juta US$ pada bulan Januari-Juli tahun 2007 dan sebesar 1776,8 juta US$ pada bulan Januari-Juli 2008, sehingga dalam kurun waktu tersebut terjadi peningkatan sebesar 85,33 %. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus meningkat pada tahun-tahun selanjutnya. Sebagai konsekuensinya, peningkatan limbah plastik pun tidak terelakkan.

Dewi (2009), limbah yang diproduksi Jakarta sebesar 6000 ton per hari dengan 70 hingga 80 persen dari limbah tersebut tergolong limbah anorganik, dan proporsi ini terus meningkat. Rata-rata setiap pabrik di Jabotabek menghasilkan satu ton limbah plastik setiap minggunya. Jumlah tersebut akan terus bertambah, disebabkan sifat-sifat yang dimiliki plastik, antara lain tidak dapat membusuk, tidak terurai secara alami,


(17)

tidak dapat menyerap air, maupun tidak dapat berkarat, dan pada akhirnya akhirnya menjadi masalah bagi lingkungan.

Sampah plastik rata-rata memiliki porsi sekitar 10 persen dari total volume sampah. Dari jumlah itu, sangat sedikit yang dapat didaur ulang termasuk sampah plastik berbahan polimer sintetik. Butuh 300-500 tahun agar bisa terdekomposisi atau terurai sempurna. Membakar plastik pun bukan pilihan baik. Plastik yang tidak sempurna terbakar, di bawah 800 derajat Celsius, akan membentuk dioksana. Senyawa inilah yang berbahaya (Vedder, T. 2008).

Teknik konvensional seperti daur ulang dan pembakaran dilakukan untuk menanggulangi pencemaran yang diakibatkan plastik. Namun, belum mampu mengurangi tumpukan sampah plastik di alam. Pembakaran sampah plastik pun menimbulkan gas beracun yaitu dioksana dan abunya tidak dapat dicerna oleh tanah.

Selain masalah lingkungan yang ditimbulkan, juga terdapat masalah baru yaitu sumber bahan baku plastik yang kian hari akan semakin habis. Karena, plastik konvensional di buat dari bahan baku minyak bumi dan gas alam.

Suatu cara yang tepat dan telah diteliti adalah pencarian sumber bahan baku plastik alternatif yang dapat diperbaharui dan dapat didegradasi dengan cepat oleh tanah yaitu plastik biodegradabel atau bioplastik. Namun, perkembangan plastik biodegradabel jauh lebih lambat dari pada plastik konvensional, mengingat biaya produksi yang lebih mahal dari plastik konvensional. Walaupun lebih bersifat komersil, tetapi nilai keamanannya terhadap lingkungan jauh lebih efektif. Produksi bahan plastik biodegradabel akan mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian lingkungan.

Jenis plastik biodegradabel antara lain: polyhidroksibutyrate (PHB), polyhidroksialkanoat (PHA) dan poli-asam amino yang berasal dari sel bakteri, polylaktida (PLA) yang merupakan modifikasi asam laktat hasil perubahan zat tepung kentang atau jagung oleh mikroorganisme, dan poliaspartat sintesis yang dapat terdegradasi. Bahan dasar plastik berasal dari selulosa bakteri, kitin, kitosan, atau tepung yang terkandung dalam tumbuhan, serta beberapa material plastik atau polimer lain yang terdapat di sel tumbuhan dan hewan. Senyawa-senyawa hasil degradasi


(18)

polimer selain menghasilkan karbon dioksida dan air, juga menghasilkan senyawa organik lain yaitu asam organik dan aldehid yang tidak berbahaya bagi lingkungan. Hasil degradasi plastik ini dapat digunakan sebagai makanan hewan ternak atau sebagai pupuk kompos. Plastik biodegradabel yang terbakar tidak menghasilkan senyawa kimia berbahaya. Kualitas tanah akan meningkat dengan adanya plastik biodegradabel, karena hasil penguraian mikroorganisme meningkatkan unsur hara dalam tanah.

Perkembangan terakhir di bidang teknologi pengemasan adalah suatu kemasan yang bersifat anti mikroba (Antimicrobial food packaging). Keuntungan utama kemasan tersebut adalah dapat bersifat seperti halnya bahan-bahan yang mengandung antiseptik seperti sabun, cairan pencuci tangan yaitu berfungsi untuk mematikan kontaminan mikro organisme (kapang, jamur, bakteri) secara langsung pada saat mikroba kontak dengan bahan kemasan, sebelum mencapai bahan/produk pangan di dalamnya. Salah satu proses yang memegang peranan penting dalam produksi bahan kemasan bersifat antimikroba adalah proses penambahan bahan aktif pada bahan kemasana tersebut. Bahan aktif anti mikroba yang telah diapakai antara lain: zeolit, yang tersubsitusi oleh logam perak, triklosan, klorin dioksidase, karbondioksida (Rismana, 2004). Untuk perkembangan di masa mendatang akan dikembangkan kemasan yang mempunyai permukaan aktif seperti kitosan, kitosan oligosakarida atau derivatif kitosan lainnya. Di samping itu, karakteristik anti oksidan dapat dihasilkan dengan menambahkan asam arkobat dan asam sitrat yang berfungsi sebagai bahan antioksidan (Mawarwati et al, 2001)

Dipahami bahwa penelitian dalam bidang ilmu dasar memerlukan waktu lama dan dana yang besar. Sebenarnya prospek pengembangan biopolimer untuk kemasan plastik biodegradabel di Indonesia sangat potensial. Alasan ini didukung oleh adanya sumber daya alam, khususnya hasil pertanian yang melimpah dan mudah diperoleh. Hal ini menjadi potensi yang besar di Indonesia, karena terdapat berbagai tanaman penghasil tepung seperti singkong, beras, kentang, selulosa dan yang berasal dari hewan seperti kitin, kitosan. Dengan memanfaatkan selulosa dari enceng gondok dan kitosan sebagai bahan plastik biodegradabel, akan memberi nilai tambah ekonomi


(19)

yang tinggi. Untuk itu perlu adanya inovasi dalam pembuatan plastik yang ramah lingkungan.

Penggunaan pati sebagai bahan baku pembuatan plastik biodegradabel ini ternyata menimbulkan masalah baru, yaitu krisis pangan. Hal ini disebabkan pati, selain sebagai bahan baku plastik biodegradabel, juga berfungsi sebagai sumber pangan bagi manusia. Dengan demikian, pemanfaatan pati sebagai bahan baku pembuatan plastik biodegradabel akan berkompetisi dengan penggunaan pati sebagai sumber pangan bagi manusia. Oleh karena itu, untuk mengatasi munculnya permasalahan krisis bahan pangan akibat terbatasnya suplai sumber pati, diperlukan sumber daya lain yang dapat dijadikan bahan baku pembuatan plastik biodegradabel.

Enceng gondok (Eichornia crossipes) merupakan jenis gulma yang pertumbuhannya sangat cepat. Pertumbuhan enceng gondok dapat mencapai 1.9 % per hari dengan tinggi antara 0,3-0,5 m. Pertumbuhannya yang begitu pesat, dirasakan sangat merugikan karena sifat enceng gondok yang menutupi permukaan air akan menyebabkan kandungan oksigen berkurang. Enceng gondok dapat hidup di perairan dalam dengan tumbuh mengapung. Selain itu, tumbuhan ini dapat pula tumbuh di perairan dangkal dengan akar yang tumbuh pada permukaan tanah.

Pada akhirnya enceng gondok menjadi gulma yang sulit dikendalikan, menutupi seluruh permukaan air sehingga sinar matahari tidak bisa masuk ke dalam air, dan juga menyumbat saluran-saluran air. Sisi positif dari tanaman enceng gondok adalah selain dapat dimanfaatkan dalam pengolahan limbah, terutama limbah-limbah industri yang mengandung senyawa-senyawa toksik di perairan, juga dapat dimanfaatkan menjadi kompos, makanan ternak, kerajinan (dari serat batang enceng gondok yang dikeringkan), bahan baku kertas, maupun sebagai sumber biogas.


(20)

Gambar 1.1 merupakan struktur selulosa yang termasuk serat panjang dan berikatan dengan air. Panjang struktur menyebabkan ikatan yang kuat antara...

Komposisi kimia enceng gondok tergantung pada kandungan unsur hara tempatnya tumbuh, dan sifat daya serap tanaman tersebut. Enceng gondok mempunyai sifat-sifat yang baik antara lain dapat menyerap logam-logam berat, senyawa sulfida, selain itu mengandung protein lebih dari 11,5 %, dan mengandung selulosa yang lebih tinggi besar dari non selulosanya seperti lignin, abu, lemak, dan zat-zat lain. Berikut ini adalah Tabel 1.1 Kandungan kimia enceng gondok kering .

Tabel 1.1 Kandungan Kimia Enceng Gondok Kering

Sumber : www.Brodes.multiply.com

Pada Tabel 1.1 terlihat bahwa kandungan kimia enceng gondok kering terdiri dari : selulosa dengan kadarnya 64,51 %, pentosa dengan kadarnya 15,61 %, lignin memiliki kadar 7,69%, silika dengan kadar 5,56% dan abu dengan kadarnya12%. Dari Tabel 1.1 terlihat jelas bahwa kandungan terbesar yang terdapat pada enceng gondok kering yaitu selulosa.

Penelitian ini memanfaatkan serat enceng gondok yang mengandung selulosa serat panjang untuk dibuat sebagai bahan baku plastik biodegradabel. Serat enceng gondok dimanfaatkan karena ingin mengurangi pemakaian pati yang berasal dari tumbuhan. Di Indonesia sendiri, pati masih digunakan sebagai sumber makanan dan masih ada sebagian daerah juga memanfaatkan pati dari tumbuhan ini sebagai bahan

Senyawa Kimia Persentase (%)

Selulosa 64,51

Pentosa 15,61

Lignin 7,69

Silika 5,56


(21)

makanan utama. Oleh karena itu, pada penelitian kali ini penulis mengambil sselulosa sebagai bahan baku pembuatan plastik biodegradabel. Karena selulosa pada enceng gondok sangat tinggi, maka enceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku plastik biodegradabel dari selulosa yang terkandung pada enceng gondok dan bahan aditif kitosan dan tepung beras serta gliserol. Dengan demikian diharapkan akan dihasilkan suatu plastik biodegradabel baru yang memiliki sifat lebih unggul.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah :

1. Bagaimana menghasilkan kemasan yang ramah lingkungan ?.

2. Dapatkah enceng gondok digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan Poly Lactic Acid yang ramah lingkungan ?.

3. Berapa komposisi optimum dari (Enceng gondok : Kitosan : tepung beras : Gliserol) yang dibutuhkan untuk menghasilkan kemasan yang ramah lingkungan ?.

1.3 Batasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada:

1. Variabel tetap pada penelitian ini adalah : Gliserol dan tepung beras. Variabel bebas pada penelitian ini adalah : Enceng Gondok dan kitosan. 2. Konsentrasi campuran enceng gondok dan kitosan adalah ; 60%:40%,

70%:30%, 80%:20%, 90%:10%, 100%:0% dengan jumlah campurannya sebanyak 10 gram.

3. Massa Tepung beras 3 gr dan gliserol 10 ml.

4. Pengujian yang dilakukan pada penelitian ini meliputi : Pengujian mekanik (pengujian kuat tarik, kemuluran, densitas) dan kelarutan dalam air (biodegradasi).


(22)

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menghasilkan kemasan yang ramah lingkungan berbahan baku enceng gondok dan kitosan.

2. Mengetahui berapa komposisi optimum (Enceng gondok : kitosan : tepung beras : gliserol) yang dibutuhkan untuk menghasilkan kemasan yang ramah lingkungan.

3. Untuk mengetahui sifat mekanik dari plastik biodegradabel yang divariasikan dengan kitosan dan gliserol sebagai plastisizer serta tepung beras sebagai bahan aditif.

1.5 Manfaat Penelitian

Memberikan alternatif dalam mengurangi limbah plastik yang tidak terurai oleh tanah dan ramah terhadap lingkungan serta memberikan pengetahuan tentang enceng gondok, tepung beras, kitosan dan gliserol yang dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan plastik yang ramah terhadap lingkungan.


(23)

1.6 Sistematika Penulisan

Laporan tugas akhir ini disusun dalam lima bab yaitu sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

Bab ini mencakup latar belakang penelitian, tujuan penelitian, rumusan masalah, batasan masalah, manfat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan Pustaka

Bab ini berisi tentang landasan teori yang mendasari penelitian.

BAB III Metodologi Penelitian

Bab ini membahas tentang diagram alir penelitian, peralatan, bahan-bahan pembuatan, tempat penelitian , benda uji dan pengujian sampel.

BAB IV Hasil dan Pembahasan

Bab ini memberikan hasil penelitian pengembangan plastik biodegradabel dengan bahan baku enceng gondok dan kitosan sebagai polibend serta gliserol sebagai plastisizer dengan variasi dari enceng gondok dan kitosan yaitu ; 60%:40%, 70%:30%, 80%:20%, 90%:10%, 100%:0% dari 10 gram campuran, 3 gr tepung beras dan 10 ml gliserol.

BAB V Kesimpulan dan Saran

Bab ini memberikan kesimpulan dari hasil penelitian pengembangan plastik biodegradabel dengan bahan baku enceng gondok, kitosan dan tepung beras dan gliserol yang telah dilakukan dan juga memberikan saran-saran untuk penelitian selanjutnya.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Plastik

2.2.1 Pengertian Plastik

Plastik adalah bahan yang mempunyai derajat kekristalan lebih rendah dari pada serat. Plastik dapat dicetak (dicetak ulang) sesuai dengan bentuk yang diinginkan dan dibutuhkan dengan menggunakan proses injection molding dan ekstrusi.

Komponen utama plastik sebelum membentuk polimer adalah monomer, yakni rantai yang paling pendek. Polimer merupakan gabungan dari beberapa monomer yang akan membentuk rantai yang sangat panjang. Bila rantai tersebut dikelompokkan bersama-sama dalam suatu pola acak, menyerupai tumpukan jerami maka disebut amorf, jika teratur hampir sejajar disebut kristalin dengan sifat yang lebih keras dan tegar.

Berdasarkan ketahanan plastik terhadap perubahan suhu, maka plastik dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Termoplastik, bila plastik meleleh pada suhu tertentu, melekat mengikuti perubahan suhu, bersifat reversible (dapat kembali ke bentuk semula atau mengeras bila didinginkan).

2. Termoset atau termodursisabel, jenis plastik ini tidak dapat mengikuti perubahan suhu (non-reversible). Sehingga bila pengerasan telah terjadi maka bahan tidak dapat dilunakkan kembali. Pemanasan dengan suhu tinggi tidak akan melunakkan jenis plastik ini melainkan akan membentuk arang dan terurai.


(25)

Plastik merupakan suatu bahan yang tidak mudah terdekomposisi oleh mikroorganisme pengurai karena sifat khusus yang dimilikinya yaitu suatu polimer rantai panjang sehingga bobot molekulnya tinggi dimana atom-atom penyusunnya saling mengikat satu sama lain. Hampir setiap produk seperti makanan dan minuman, menggunakan plastik sebagai kemasan. Sedangkan produk rumah tangga banyak yang menggunakan bahan dasar plastik karena plastik mempunyai keunggulan seperti ringan, kuat, transparan, tahan air serta harganya relatif murah dan terjangkau oleh semua kalangan masyarakat.

Plastik merupakan produk polimer sintetis yang terbuat dari bahan-bahan petrokimia yang merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbahurui. Struktur kimiawinya yang mempunyai bobot molekul tinggi dan pada umumnya memiliki rantai ikatan yang kuat sehingga plastik membutuhkan waktu yang lama terurai di alam.

Penggunaan plastik sintetik sebagai bahan pengemas memang memiliki berbagai keunggulan seperti mempunyai sifat mekanik dan barrier yang baik, harganya yang murah serta kemudahannya dalam proses pembuatan dan aplikasinya. Plastik sintetik mempunyai kestabilan fisiko-kimia yang terlalu kuat sehingga plastik sangat sukar terdegradasi secara alami dan telah menimbulkan masalah dalam penanganan limbahnya. Permasalahan tersebut tidak dapat terselesaikan melalui pelarangan atau pengurangan penggunaan plastik.

Diantara bahan kemasan tersebut, plastik merupakan bahan kemasan yang paling populer dan sangat luas penggunaannya. Plastik tidak hanya dipakai untuk kemasan pangan (food grade), tetapi juga banyak diaplikasikan sebagai bahan pelindung, pewadahan produk elekronika, komponen/suku cadang dan zat kimia untuk industri. Bahan kemasan ini memiliki berbagai keunggulan yakni, fleksibel (dapat mengikuti bentuk produk), transparan (tembus pandang), tidak mudah pecah, bentuk laminasi (dapat dikombinasikan dengan bahan kemasan lain), tidak korosif dan harganya relatif murah.


(26)

Disamping memiliki berbagai kelebihan yang tidak dimiliki oleh bahan kemasan lainnya, plastik juga mempunyai kelemahan yakni: tidak tahan panas, dapat mencemari produk (migrasi komponen monomer), sehingga mengandung resiko keamanan dan kesehatan konsumen dan plastik termasuk bahan yang tidak dapat dihancurkan dengan cepat dan secara alami (non-biodegradable).

2.2.2 Sampah Plastik

Abad ini, masyarakat dunia disibukkan dengan maraknya isu mengenai pemanasan global (global warming) dan lingkungan. Pengaruh memburuknya kondisi lingkungan, tentunya akan mempengaruhi pemanasan global dan juga ekosistem yang terdapat di dalamnya. Salah satu permasalahan mengenai lingkungan di dunia ataupun di Indonesia khususnya mengenai limbah plastik. Penggunaan plastik semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia, karena memiliki banyak kegunaan dan praktis. Jakarta sebagai ibukota negara, mengalami masalah yang juga dialami oleh sebagian besar kota-kota lainnya, yaitu masalah penanganan limbah kota. Limbah plastik tidak hanya menjadi masalah di kalangan masyarakat umum tetapi juga menjadi masalah bagi perindustrian di Indonesia.

Polimer plastik yang tidak mudah terurai secara alami mengakibatkan terjadinya penumpukan limbah dan menjadi penyebab pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Selain itu, plastik dalam proses pembuatannya menggunakan minyak bumi yang ketersediannya semakin berkurang dan sulit untuk diperbaharui (non-renewable). Kondisi demikian menyebabkan bahan kemasan plastik tidak dapat dipertahankan penggunaannya secara meluas, karena dapat menambah persoalan lingkungan dan kesehatan di waktu mendatang.

Sampah plastik merupakan suatu permasalahan global karena plastik sulit terdegradasi oleh mikroorganisme dalam lingkungan juga cuaca, sehingga menyebabkan masalah lingkungan yang sangat serius. Plastik yang berbentuk film ini akan menutup permukaan tanah, sehingga aerasi tidak bisa berjalan semestinya (Sumari, 1995).


(27)

Ratusan juta plastik yang digunakan di bumi ini, maka ratusan juta ton juga sampah plastik dan menjadi polutan utama dunia. Karena bahan utama pembuatan plastik adalah phthalat ester di(ethylhexyl) phthalat (DEHP) yang bersifat stabil dan sukar diuraikan oleh mikroorganisme sehingga kita terus-menerus memerlukan area untuk pembuangan sampah. (Koswara S, 2006).

Plastik mudah terbakar, ancaman terjadinya kebakaranpun semakin meningkat. Asap hasil pembakaran bahan plastik sangat berbahaya karena mengandung gas-gas beracun seperti hidrogen sianida (HCN) dan karbon monoksida (CO). Hidrogen sianida berasal dari polimer berbahan dasar akrilonitril, sedangkan karbon monoksida sebagai hasil pembakaran tidak sempurna yang menyebabkan sampah plastik sebagai salah satu penyebab pencemaran udara dan menyebabkan efek jangka panjang berupa pemanasan secara global pada atmosfer bumi.

Sampah plastik yang berada di dalam tanah dan tidak bisa diuraikan oleh mikroorganisme menyebabkan mineral-mineral dalam tanah baik organik maupun anorganik semakin berkurang. Hal ini menyebabkan jarangnya fauna tanah, seperti cacing dan fauna tanah yang hidup pada area tanah tersebut dikarenakan sulitnya memperoleh makanan dan tempat berlindung. Selain itu, kadar O2 dalam tanah

semakin sedikit, sehingga fauna tanah sulit untuk bernapas dan akhirnya mati. Ini berdampak langsung pada tumbuhan yang hidup di area tersebut. Tumbuhan memerlukan mikroorganisme tanah sebagai perantara dalam kelangsungan hidupnya (Ahmad D, dan Dorgan J R, 2007).

2.2.3 Penanggulangannya

Penggunaan plastik ramah lingkungan yang dapat didegradasi dalam waktu yang relatif singkat (plastik biodegradabel) sebagai substitusi plastik berbahan baku petrokimia merupakan salah satu solusi pemecahan masalah lingkungan akibat limbah plastik. Kebutuhan dunia akan plastik biodegradabel semakin meningkat dari tahun ke tahun. Potensi pasar plastik biodegradable saat ini cukup besar, yaitu mencapai 1,2 juta ton pada tahun 2010. Industri plastik biodegradabel akan berkembang menjadi industri besar di masa yang akan datang (Pranamuda, 2001).


(28)

Menurut Ir. Sah Johan Ali Nasiri,Ph.D, Senior Advisor Sentra Teknologi Polimer, BPPT, kehidupan modern ini tidak bisa terlepas dari plastik. Pertumbuhan penggunaan plastik di negara maju diperkirakan mencapai 4%, sedangkan di Indonesia kemungkinan lebih tinggi lagi karena kebutuhan masih sekitar 10 kg/orang per tahun sementara di negara maju mencapai 50 kg/hari per tahun. Hal tersebut, memberikan gambaran mengenai potensi pengembangan kemasan plastik biodegradabel. Penggunaan kemasan biodegradabel diharapkan dapat menjadi alternatif solusi bagi permasalahan limbah plastik, lingkungan, dan pemanasan global.

Dari berbagai masalah yang ditimbulkan oleh plastik sintetik, terdapat sebuah konsep yang merupakan solusi dari masalah tersebut, yaitu pembuatan plastik biodegradabel. Namun, Hasil dari pembuatan plastik biodegradabel masih terdapat kekurangan, plastik biodegradabel yang dihasilkan masih memiliki kekuatan dan elastisitas yang rendah sehingga perlu adanya optimasi hasil pembuatan plastik biodegradabel.

Kemasan ramah lingkungan merupakan sebuah konsep mengenai pengemas produk, baik produk pangan atau non pangan yang tidak mengganggu kestabilan lingkungan apabila mengalami kontak dengan unsur-unsur lingkungan, seperti air, udara, dan tanah (Bastioli, 2005). Kemasan yang dimaksud adalah kemasan dari plastik. Pada awalnya plastik kebanyakan dibuat dari minyak bumi dan bersifat non-biogradable. Plastik sintetik mempunyai kestabilan fisiko-kimia yang sangat kuat sehingga plastik sangat sukar terdegradasi secara alami (Suyatma, 2007). Oleh karena itu plastik dianggap tidak ramah lingkungan karena sifatnya yang tidak bisa didegradasi secara biologi ditanah dan tentunya akan mencemari tanah (Bastioli, 2005). Jika plastik ini dihancurkan dengan cara yang lain misalnya pembakaran, maka akan menghasilkan gas CO2 yang akan semakin memperparah pamanasan global.

Berdasarkan fakta dan kajian ilmiah yang ada serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan dan lingkungan lestari, mendorong dilakukannya penelitian dan pengembangan teknologi bahan kemasan yang biodegradabel. Saat ini penelitian dan pengembangan teknologi bahan kemasan biodegradabel terarah pada usaha membuat pengemas yang mempunyai sifat seperti plastik yang berbasiskan bahan alami dan mudah terurai.


(29)

Penggunaan pati sebagai bahan baku pembuatan plastik biodegradabel ini ternyata menimbulkan masalah baru, yaitu krisis pangan. Hal ini disebabkan pati, selain sebagai bahan baku plastik biodegradabel, juga berfungsi sebagai sumber pangan bagi manusia. Dengan demikian, pemanfaatan pati sebagai bahan baku pembuatan plastik biodegradabel akan berkompetisi dengan penggunaan pati sebagai sumber pangan bagi manusia. Oleh karena itu, untuk mengatasi munculnya permasalahan krisis bahan pangan akibat terbatasnya suplai sumber pati, diperlukan sumber daya lain yang dapat dijadikan bahan baku pembuatan plastik biodegradabel salah satunya dengan memanfaatkan selulosa enceng gondok. Dan dibutuhkan adanya alternatif bahan plastik yang diperoleh dari bahan yang mudah didapat dan tersedia di alam dalam jumlah besar dan murah tetapi mampu menghasilkan produk dengan kekuatan yang sama atau bahkan lebih baik.

2.4 Biodegradabel

2.2.1 Pengertian Biodegradabel

Secara umum, kemasan biodegradabel diartikan sebagai film kemasan yang dapat didaur ulang dan dapat dihancurkan secara alami. Stevens (2001), plastik biodegradabel disebut juga bioplastik yaitu plastik yang seluruh atau hampir seluruh komponennya berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui.

Griffin (1994), plastik biodegradable adalah suatu bahan dalam kondisi tertentu, waktu tertentu mengalami perubahan dalam struktur kimianya, yang mempengaruhi sifat-sifat yang dimilikinya karena pengaruh mikroorganisme (bakteri, jamur, alga). Sedangkan Seal (1994), kemasan plastik biodegradabel adalah suatu material polimer yang merubah pada senyawa yang berat molekul rendah dimana paling sedikit satu tahap pada proses degradasinya melalui metabolisme organisme secara alami.

Pranamuda (2001), plastik biodegradabel adalah plastik yang dapat digunakan layaknya seperti plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas


(30)

mikroorganisme menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke lingkungan. Plastik biodegradabel merupakan bahan plastik yang ramah terhadap lingkungan karena sifatnya yang dapat kembali ke alam. Secara umum, kemasan biodegradabel diartikan sebagai film kemasan yang dapat didaur ulang dan dapat dihancurkan secara alami.

Berdasarkan sumber atau cara memperolehnya, Tharanathan (2003) mengklasifikasikan biopolimer sebagai bahan baku bio-kemasan menjadi empat kelompok dan dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini. Kelompok 1 yaitu : biopolimer yang berasal dari sumber hewan yaitu; collagen gelatin, kelompok 2 adalah biopolimer yang berasal dari limbah industri pengolahan ikan yaitu chitin/chitosan, kelompok 3 berasal dari pertanian yaitu diklasifikasikan menjadi 2 bagian yaitu lemak dan hydrocelloid.

Yang berasal dari lemak terdiri dari : bees wax, camauba wax, asam lemak; sedangkan dari hydrocolloid dibagi menjadi 2 bagaian yaitu: protein dan polysacharida. hydrocolloid yang berasal dari protein adalah: zein (protein jagung), kedelai, whey susu, glutera gandum sedangkan hydrocolloid yang berasal dari polysacharida adalah : cellulosa, serat, pati, pektin, garns. Selain dari polimer alami, ada beberapa zat sintetis yang merupakan campuran antara zat petrokimia dengan biopolimer dan atau biopolimer yang telah mengalami perlakuan yang kompleks tetapi tetap memiliki sifat biodegradable, contohnya adalah poly alkilene esters, poly lactic acid, poly amid esters, poly vinil esters, poly vinil alcohol, dan poly anhidrides. Polimer mikrobiologi (polyester) : biopolimer ini dihasilkan secara bioteknologi atau fermentasi dengan mikroba genus Alcaligenes . Biopolimer jenis ini diantaranya polihidroksi butirat (PHB), polihidroksi valerat (PHV), asam polilaktat (polylactic acid) dan asam poliglikolat (polyglycolic acid). Bahan ini dapat terdegradasi secara penuh oleh bakteri, jamur dan alga. Namun oleh karena proses produksi bahan dasarnya yang rumit mengakibatkan harga kemasan biodegradable ini relatif mahal. Berikut ini Gambar 2.3 Polimer biodegradabel sebagai bahan biokemasan.


(31)

Gambar 2.4 Polimer biodegradabel sebagai bahan biokemasan (Tharanathan, 2003)

Berdasarkan bahan baku yang digunakan plastik biodegradabel dikelompokkan menjadi 2, yaitu kelompok dengan bahan baku petrokimia (non-renewable resources) dengan bahan aditif dari senyawa bio-aktif yang bersifat biodegradabel dan kelompok kedua dari semua bahan bakunya berasal dari sumber daya alam terbarukan (renewable resources), seperti dari bahan tanaman pati dan selulosa serta hewan seperti cangkang atau mikroorganisme yang dimanfaatkan untuk mengakumulasi plastik yang berasal dari sumber tertentu misalnya lumpur aktif dan limbah cair yang kaya akan bahan-bahan organik sebagai sumber makanan bagi mikroorganisme tersebut (Wilkipedia, 2009; Adam et al, 2009).

Averous (2008), mengelompokkan polimer biodegradabel ke dalam dua kelompok dan empat keluarga berbeda berikut ini klasifikasi polimer biodegradabel yang dapat dilihat pada Gambar 2.2.


(32)

Gambar 2.2 Klasifikasi Polimer Biodegradabel (Averous, 2008)

Pada Gambar 2.2 Klasifikasi Polimer Biodegradabel, Averous (2008), mengelompokkan polimer biodegradabel ke dalam dua kelompok dan empat keluarga berbeda. Kelompok utama adalah: (1) agro-polymer yang terdiri dari polisakarida, protein dan sebagainya; dan (2) biopoliester (biodegradable polyesters) seperti poli asam laktat (PLA), poly hydroxy alkanoate (PHA), aromatik and alifatik kopoliester. Biopolimer yang tergolong agro-polymer adalah produk-produk biomassa yang diperoleh dari bahan-bahan pertanian. seperti polisakarida, protein dan lemak. Biopoliester dibagi lagi berdasarkan sumbernya. Kelompok Polyhydroxy-alkanoate (PHA) didapatkan dari aktivitas mikroorganisme yang didapatkan dengan cara ekstraksi. Contoh PHA diantaranya Poly (hydroxybutyrate) (PHB) dan Poly (hydroxy butyrate co-hydroxy valerate) (PHBV). Kelompok lain adalah biopoliester yang diperoleh dari aplikasi bioteknologi, yaitu dengan sintesa secara konvensional monomer-monomer yang diperoleh secara biologi, yang disebut kelompok polilaktida. Contoh polilaktida adalah poli asam laktat. Kelompok terakhir diperoleh dari produk-produk petrokimia yang disintesa secara konvensional dari monomer-monomer sintetis. Kelompok ini terdiri dari poly capro lactones (PCL), polyester amides, aliphatic co-polyesters dan aromatic co-polyesters.


(33)

2.3 Poly Lactic Acid (PLA)

2.3.1 Pengertian

Asam laktat (lactic acid) adalah salah satu asam organik yang penting di industri, terutama di industri makanan. Di samping itu, penggunaannya sekarang lebih luas karena bisa dipakai sebagai bahan baku pembuatan poly lactic acid, biodegradabel plastik yang merupakan polimer dari asam laktat (Datta et al. 1995; Hofvendahl and Hahn-Hagerdal 2000).

Pengolahan bahan baku pati cukup mudah dilakukan dengan melibatkan proses fermentasi asam laktat menjadi Poly Lactic Acid (PLA). PLA memiliki sifat mirip dengan plastik konvensional (Pranamuda, 2001).

Salah satu jenis biodegradabel poliester adalah Poli asam laktat (poly lactic acid). Poli asam laktat (PLA) ditemukan pada tahun 1932 oleh Carothers (DuPont) yang memproduksi PLA dengan berat molekul rendah dengan memanaskan asam laktat pada kondisi vakum. Pada tahap selanjutnya, DuPont dan Ethicon memfokuskan pembuatan aplikasi medical grade satures, implan dan kemasan obat. Baru-baru ini, beberapa perusahaan seperti Shimadzu dan Mitsui Tuatsu di Jepang telah memproduksi sejumlah PLA untuk aplikasi plastik. Poli asam laktat atau Poli laktida (PLA) dengan rumus kimia (CH3CHOHCOOH)n adalah sejenis polimer atau plastik

yang bersifat biodegradabel, termoplastik dan merupakan poliester alifatik yang terbuat dari bahan-bahan terbarukan seperti pati jagung, pati ubi dan sebagainya. Walaupun PLA sudah dikenal sejak abad yang lalu, namun baru diproduksi secara komersial dalam beberapa tahun terakhir dengan keunggulannya yaitu memiliki kemampuan untuk terdegradasi secara biologi.


(34)

(http://en.wikipedia.org/wiki/Lactic_acid).

Pada Gambar 2.3 terdapat rumus struktur Poly Asam Laktat, yang secara struktur Poly asam laktat adalah asam karboksilat dengan satu gugus (hidroksil) yang menempel pada gugus karboksil. Asam laktat larut dalam air dan etanol serta bersifat higroskopik. Dalam air, ia terlarut lemah dan melepas proton (H+), membentuk ion laktat. Asam ini juga larut dalam alkohol dan bersifat menyerap air (higroskopik).

Langkah pertama dalam sintesa PLA adalah produksi asam laktat. Asam laktat (IUPAC: 2-hydroxy propanoic acid) yang biasa disebut sebagai asam susu adalah salah satu bahan kimia yang berperan penting dalam industri biokimia. Asam laktat pertama kali berhasil diisolasi oleh ahli kimia Swedia, Carl Wilhelm Scheele pada tahun 1780. Asam laktat mempunyai rumus kimia C3H6O3, termasuk keluarga asam

hidroksi propionat dengan rumus molekul CH3CHOHCOOH. Pada Gambar 2.4 adalah

struktur molekul asam laktat. Asam laktat dalam larutan akan kehilangan satu proton dari gugus asam dan menghasilkan ion laktat CH3CH(OH)COO-. Berikut ini adalah

gambar struktur molekul asam asetat.

Gambar 2.4 Struktur molekul asam laktat

(http://en.wikipedia.org/wiki/Lactic_acid).

Asam laktat adalah cairan pekat tak berwarna, tak berbau, larut di dalam air dalam berbagai perbandingan, alkohol dan eter tetapi tidak larut dalam kloroform. Senyawa ini termasuk asam lemah dengan daya penguapan yang rendah. Menurut Botelho et al (2004), kelebihan PLA dibandingkan dengan plastik yang terbuat dari minyak bumi adalah:

2 Biodegradable artinya PLA dapat diuraikan secara alami di lingkungan oleh mikroorganisme.

3 Biocompatible dimana pada kondisi normal, jenis plastik ini dapat diterima oleh sel atau jaringan biologi.


(35)

4 Dihasilkan dari bahan yang dapat diperbaharui (termasuk sisa industri) dan bukan dari minyak bumi.

5 100% recyclable melalui proses hidrolisis asam laktat dan digunakan kembali untuk aplikasi yang berbeda atau bisa digabungkan untuk menghasilkan produk lain.

6 Tidak menggunakan pelarut organik/bersifat racun dalam memproduksi PLA. 7 Dapat dibakar sempurna dan menghasilkan gas CO2 dan air.

Saat ini, PLA sudah digunakan untuk beragam aplikasi, diantaranya dibidang medis, kemasan dan tekstil. Dibidang medis, PLA sudah lama digunakan sebagai benang jahit pada saat operasi serta bahan pembungkus kapsul. Selain itu, pada dasawarsa terakhir PLA juga dikembangkan dalam upaya perbaikan jaringan tubuh manusia. PLA juga telah dikembangkan untuk pembuatan kantong plastik (retail bags), kontainer, bahkan edible film untuk sayuran dan buah. Dalam bentuk film dan bentuk foam digunakan untuk pengemas daging, produk susu, atau roti. Dapat juga digunakan dalam bentuk botol dan cangkir sekali pakai untuk kemasan air, susu, jus dan minuman lainnya. Piring, mangkok, nampan, tas, film pertanian merupakan penggunaan lain dari jenis plastik ini. Selain itu dibidang tekstil PLA juga telah diaplikasikan untuk pembuatan kaos dan tas. Di Jepang, PLA bahkan sudah dikembangkan sebagai bahan dasar pembuatan Compact Disc (CD) oleh Sanyo.

2.3.2 Prospek Perkembangan PLA di Indonesia

Upaya pengembangan teknologi kemasan plastik biodegrdabel dewasa ini berkembang sangat pesat. Berbagai riset telah dilakukan di negara maju (Jerman, Prancis, Jepang, Korea, Amerika Serikat, Inggris dan Swiss) ditujukan untuk menggali berbagai potensi bahan baku biopolimer. Di Jerman, pengembangan untuk mendapatkan polimer biodegradabel pada poly hydroxy butiyrat (PHB), Jepang (chitin dari kulit Crustaceae, zein dari jagung). Aktivitas penelitian lain yang dilakukan adalah bagaimana mendapatkan kemasan termoplastik degradabel yang mempunyai masa pakai (life times) yang relatif lebih lama dengan harga yang lebih murah. Pengembangan lain yang sangat penting adalah perbaikan sifat-sifat fisik dan penggunaan bahan pemlastis.


(36)

Kendala utama yang dihadapi dalam pemasaran kemasan ini adalah harganya yang relatif tinggi dibandingkan film kemasan PE. Biaya produksi yang tinggi berasal dari komponen bahan baku (sumber karbon), proses fermentasi (isolasi dan purifikasi polimer) dan investasi modal.

Sebenarnya prospek pengembangan biopolimer untuk kemasan plastik biodegradabel di Indonesia sangat potensial. Alasan ini didukung oleh adanya sumber daya alam, khususnya hasil pertanian yang melimpah dan dapat diperoleh sepanjang tahun. Berbagai hasil pertanian yang potensial untuk dikembangkan menjadi biopolimer adalah jagung, sagu, kacang kedelai, kentang, tepung tapioka, ubi kayu (nabati) dan kitin dari kulit udang (hewani) dan lain sebagainya. Kekayaan akan sumber bahan dasar seperti tersebut di atas, justru sebaliknya menjadi persoalan potensial yang serius pada negara-negara yang telah maju dan menguasai ilmu dan teknologi kemasan biodegrdabel, khususnya di Jerman. Negara tersebut dengan penguasaan IPTEK yang tinggi di bidang teknologi kemasan, merasa khawatir kekurangan sumber bahan dasar (raw materials) dan akan menjadi sangat tergantung pada negara yang kaya akan sumber daya alam.

Pada tahun 2005 Liesbetini Hartono, dkk melakukan penelitian, yaitu Rekayasa proses produksi poli asam laktat (PLA) dari pati sagu sebagai bahan baku plastik biodegradabel dengan menggunakan variasi jenis bakteri dan kondisi operasi proses fermentasi untuk menghasilkan asam laktat dan dengan proses polimerisasi kondensasi langsung dapat dihasilkan PLA.

Pada tahun 2006, Hanny Widjaja, dkk melakukan penelitian mengenai sintesa PLA dari Limbah Pembuatan Indigenous Starch untuk Pembuatan Plastik Ramah Lingkungan, dimana pada penelitian ini variasi yang dipakai adalah jenis bakteri untuk fermentasi, dimana nantinya diperoleh bakteri yang terbaik untuk menghasilkan Asam Laktat, dengan proses polikondensasi azeotropik dapat dihasilkan PLA. Ery Susiany Retnoningtyas, dkk melakukan penelitian mengenai pembuatan plastik biodegradabel dari kulit pisang.


(37)

Pada tahun 2009, Yusmarlela melakukan penelitian dengan judul Studi Pemanfaatan Plastiser Gliserol Dalam Film Pati Ubi Dengan Pengisi Serbuk Batang Ubi Kayu. Sifat Mekanik Campuran Pati Ubi Kayu dengan Pemlastis pada berbagai komposisi dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Hasil Uji Sifat Mekanik Campuran Pati Ubi Kayu dengan Pemlastis Gliserol pada Berbagai Komposisi

Komposisi

No Pati ubi (gram) Gliserol (gram) Kekuatan tarik (MPa) Kemuluran (%)

1 10 0 5,833 2,895

2 10 1 7,667 18,516

3 10 2 3,000 26,547

4 10 3 2,500 20,922

5 10 4 1,300 16,094

6 10 5 1,000 13,793

Hasil uji sifat mekanik pada Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa penggunaan gliserol pada kadar 10% memberikan kekuatan tarik lebih tinggi dibandingkan dengan kadar 0%. Hal ini terjadi karena pada kadar 10 % dari 10 gram campuran berada pada titik jenuh yang menyebabkan molekul-molekul pemlastis hanya terdispersi dan berinteraksi diantara stuktur rantai pati yang menyebabkan rantai-rantai pati lebih sulit bergerak akibat halangan sterik. Sementara itu yang menyebabkan kekuatan tarik meningkat dikarena adanya gaya intermolekuler antar rantai pati tersebut. Apabila kadar gliserol ditingkatkan 20%-50% akan menyebabkan kekuatan tarik menurun. Hal ini disebabkan karena titik jenuh telah terlampaui, sehingga molekul pemlastis yang berlebih berada pada fase tersendiri di luar fase pati dan akan menurunkan gaya intermolekuler antar rantai yang menyebabkan gerakan rantai lebih bebas dan akibatnya gaya intermolekuler antar rantai menurun. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa campuran pati ubi kayu dengan gliserol mencapai kompatibilitas tertinggi pada kadar 10%.


(38)

Tabel 4.2. Hasil Uji Sifat Mekanik Campuran Pati Ubi Kayu dengan Pemlastis Gliserol dan Penambahan Serbuk Batang Ubi Kayu pada Berbagai Komposisi

Komposisi No Pati ubi

(gram)

Gliserol

(gram) Serbuk(gram)

Kekuatan tarik (Mpa)

Kemuluran (%)

1 10 1 0,5 9,333 18,531

2 10 2 0,5 4,167 17, 656

3 10 2 1 7,583 13,000

4 10 3 0,5 3,250 15,406

5 10 3 1 2,750 10,313

6 10 4 0,5 2,250 16,670

7 10 4 1 2,167 9,453

Hasil uji sifat mekanik pada Tabel 4.2 menunjukan peningkatan sifat mekanik uji tarik pada campuran antara 10 gram pati dengan 1 gram gliserol dan 0,5 gram serbuk batang ubi kayu yang dapat meningkatkan sifat mekanik uji tarik bahan dibandingkan tanpa gliserol. Hal ini disebabkan serbuk dapat memperkuat bahan tersebut.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah :

1. Penambahan gliserol dalam film pati ubi kayu dapat meningkatkan kelarutan pati dalam air dan juga dapat menambah kuat tarik film pati dibandingkan tanpa gliserol, perbandingan yang baik antara gliserol dan pati yaitu 10 : 1.

2. Hasil analisa uji tarik pada film pati ubi kayu dengan campuran gliserol dan sebuk batang ubi kayu rasio (1 : 0,5) memperlihatkan naiknya nilai kuat tarik dari 7,667 Mpa sebelum penambahan serbuk menjadi 9,333 Mpa sesudah penambahan serbuk.

3. Hasil analisa uji tarik, uji DTA dan uji-FTIR menunjukkan bahwa film pati ubi kayu yang mengandung gliserol dan serbuk batang ubi kayu menunjukkan adanya interaksi fisik (ikatan hidrogen) antara pati, gliserol dan serbuk batang ubi kayu.


(39)

Masih dengan menggunakan variasi kondisi operasi fermentasi untuk menghasilkan PLA. Kebanyakan penelitian yang dilakukan di Indonesia adalah dengan variasi bahan baku untuk memperoleh bahan alam apa yang paling sesuai untuk membuat PLA dan juga proses fermentasi bukan dengan variasi katalis. Penelitian yang pernah dilakukan yaitu sintesis PLA dengan bahan baku yang berasal dari pati sagu, limbah indigenous pati, kulit pisang, pati singkong, pati jagung, kulit udang, talas, dan lain sebagainya.

PLA memiliki sifat properties yang cukup baik jika digunakan sebagai aplikasi pengganti plastik konvensional. Aplikasi PLA yang telah dikembangkan saat ini diantaranya di bidang medis, pengemasan makanan, edible film, tekstil bahkan casing barang elektronik ringan. Perkembangan plastik biodegradabel di Indonesia, khususnya PLA masih terkendala masalah teknologi dan investasi, sementara tersedia bahan baku yang melimpah.

2.4 Kemasan makanan

Pengertian umum dari kemasan adalah suatu benda yang digunakan sebagai wadah atau tempat yang dikemas dan dapat memberikan perlindungan sesuai dengan tujuannya. Adanya kemasan yang dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan yang ada di dalamnya dari pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan, benturan dan getaran. Dari promosi kemasan berfungsi sebagai perangsang atau daya tarik pembeli. Bahan kemasan yang umum untuk pengemasan produk hasil pertanian untuk tujuan pengangkutan atau distribusi adalah kayu, serat goni, plastik, kertas dan gelombang karton.

Melindungi bahan pangan dari kontaminasi berarti melindunginya terhadap mikroorganisme dan kotoran serta terhadap gigitan serangga atau binatang pengerat lainnya. Melindungi kandungan airnya berarti makanan di dalamnya tidak boleh menyerap air dari atmosfer dan juga tidak boleh berkurang kadar airnya. Jadi, wadahnya harus kedap air. Perlindungan terhadap bau dan gas dimaksudkan supaya bau atau gas yang tidak diinginkan tidak dapat masuk melalui wadah tersebut dan


(40)

jangan sampai merembes keluar melalui wadah. Wadah yang rusak karena tekanan atau benturan dapat menyebabkan makanan di dalamnya juga rusak dalam arti berubah bentuknya (Winarno, 1983).

Untuk itu perlu adanya inovasi dalam pembuatan plastik yang ramah lingkungan. Menurut Syarief (1988) ada lima syarat yang dibutuhkan kemasan yaitu penampilan, perlindungan, fungsi, bahan dan biaya, serta penanganan limbah kemasan.

Pengemasan komoditi hortikultura adalah suatu usaha menempatkan komoditi segar ke dalam suatu wadah yang memenuhi syarat sehingga mutunya tetap atau hanya mengalami sedikit penurunan pada saat diterima oleh konsumen akhir dengan nilai pasar yang tetap tinggi. Dengan pengemasan, komoditi dapat dilindungi dari kerusakan, benturan mekanis, fisik, kimia dan mikrobiologis selama pengangkutan, penyimpanan dan pemasaran (Sacharow dan Griffin, 1980).

Menurut Erliza dan Sutedja (1987) bahan kemasan harus mempunyai syarat-syarat, yaitu : tidak toksik, harus cocok dengan bahan yang dikemas, harus menjamin sanitasi dan syarat-syarat kesehatan, dapat mencegah kepalsuan, kemudahan membuka dan menutup, kemudahan dan keamanan dalam mengeluarkan isi, kemudahan pembuangan kemasan bekas, ukuran, bentuk dan berat harus sesuai, serta harus memenuhi syarat-syarat yaitu kemasan yang ditujukan untuk daerah tropis mempunyai syarat yang berbeda dari kemasan yang ditujukan untuk daerah subtropis atau daerah dingin. Demikian juga untuk daerah yang kelembaban tinggi dan daerah kering.

Berdasarkan fungsinya pengemasan dibagi menjadi dua, yaitu pengemasan untuk pengangkutan dan distribusi (shiping/delivery package) dan pengemasan untuk perdagangan eceran atau supermarket (retail package). Pemakaian material dan pemilihan rancangan kemasan untuk pengangkutan dan distribusi akan berbeda dengan kemasan untuk perdagangan eceran. Kemasan untuk pengangkutan atau distribusi akan mengutamakan material dan rancangan yang dapat melindungi kerusakan selama pengangkutan dan distribusi, sedangkan kemasan untuk eceran


(41)

diutamakan material dan rancangan yang dapat memikat konsumen untuk membeli (Peleg, 1985).

Menurut Winarno, et al. (1986) makanan yang dikemas mempunyai tujuan untuk diawetkan, yaitu : mempertahankan mutu kesegaran, warnanya yang tetap untuk menarik konsumen, memberikan kemudahan penyimpanan dan distribusi serta yang lebih penting lagi dapat menekan peluang terjadinya kontaminasi dari udara, air dan tanah, baik oleh mikroorganisme pembusuk, mikroorganisme yang dapat membahayakan kesehatan manusia, maupun bahan kimia yang bersifat merusak atau racun.

Beberapa faktor yang penting diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan tersebut, keadaan lingkungan dan sifat bahan pengemas. Sifat bahan pangan antara lain adalah adanya kecendrungan untuk mengeras dalam kadar air dan suhu yang berbeda-beda, daya tahan terhadap cahaya, oksigen dan mikroorganis. Winarno dan Jennie (1982) mengemukakan bahan pengemas harus tahan serangan hama atau binatang pengerat dan bagian dalam yang berhubungan langsung dengan bahan pangan harus tidak berbau, tidak mempunyai rasa serta tidak beracun serta tidak boleh bereaksi dengan komoditi.

Adanya pengemasan dapat membantu mencegah atau mengurangi terjadinya kerusakan-kerusakan. Menurut Brody (1972) kerusakan terjadi karena pengaruh lingkungan luar dan pengaruh kemasan yang digunakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan bahan pangan sehubungan dengan kemasan yang digunakan. Winarno dan Jenie (1983) kerusakan dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu : golongan pertama kerusakan ditentukan oleh sifat alamiah dari produk dan tidak dapat dicegah dengan pengemasan, misalnya : perubahan kimia, biokimia, fisik serta mirobiologi sedangkan golongan kedua, kerusakan yang ditentukan oleh lingkungan dan hampir seluruhnya dapat dikontrol dengan kemasan yang dapat digunakan, misalnya kerusakan mekanis, perubahan kadar air bahan, absorpsi dan interaksi dengan oksigen. Berbagai jenis bahan digunakan untuk keperluan kemasan, diantaranya adalah bahan-bahan dari logam, kayu, gelas, kertas, papan, kertas.


(42)

2.5 Enceng Gondok

2.5.1 Ketersediaan Enceng gondok

Enceng gondok merupakan tumbuhan air tawar yang dikenal sebagai gulma. Tumbuhan ini banyak ditemukan di Indonesia khususnya di perairan. Enceng gondok menghasilkan bahan organik yang mempercepat proses pendangkalan, juga mengurangi produksi ikan karena kerapatan tumbuhan menghalangi masuknya sinar matahari kedalam air dan menghambat proses aerasi. Pertumbuhannya sangat cepat dan menimbulkan berbagai masalah. Enceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuat kertas, dan apabila diproses lebih lanjut bisa dibuat etanol.

Gambar 2.5 Enceng gondok (Eichornia Crassipes)

(Sumber : www.ahmadfauzibratasena.wordpress.com)

Gambar 2.5 adalah gambar enceng gondok. Enceng gondok termasuk dalam genus Eichornia, famili Pontederiaceae, kelas monocotyledonae dan divisi

phanerogamae. Enceng gondok merupakan tanaman yang hidup mengapung di air dan kadang-kadang berakar dalam tanah. Tingginya sekitar 0,4 – 0,8 meter. Tidak mempunyai batang, daunnya tunggal dan berbentuk oval. Ujung dan pangkalnya meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung. Permukaan daunnya licin dan berwarna hijau. Bunganya termasuk bunga majemuk berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam. Buahnya kotak


(43)

beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut. Pada umumnya enceng gondok tumbuh dengan cara vegetatif yaitu dengan menggunakan stolon. Kondisi optimum bagi perkembangannya memerlukan kisaran waktu antara 11-18 hari.

Enceng gondok merupakan gulma yang tumbuh di wilayah perairan yang hidup terapung pada air yang dalam atau mengembangkan perakaran di dalam lumpur pada air yang dangkal (Pasaribu 2007). Gulma air tersebut juga banyak terdapat di waduk-waduk (Artati 2006).

Enceng gondok berkembang biak dengan sangat cepat, baik secara vegetatif maupun generatif. Perkembangbiakan dengan cara vegetatif dapat melipat ganda dalam waktu 7-10 hari. Enceng gondok merupakan tanaman asli Brazil yang didatangkan ke indonesia tahun 1894 untuk melengkapi koleksi tanaman di Kebun Raya Bogor. Tanaman ini telah menyebar ke seluruh perairan yang ada, baik waduk, rawa, maupun sungai di perairan Jawa, sumatera, Kalimantan dan daerah lainnya (Suprapti, 2008).

Tumbuhan enceng gondok tumbuh dengan sangat pesat karena tumbuh mengapung di air, maka dengan mudah tumbuhan ini menutupi permukaan air. Pemanfaatan enceng gondok belum bisa menanggulangi laju pertumbuhannya yang sangat pesat. Pemanfaatan enceng gondok yang telah dilakukan adalah pemanfaatan sebagai pejernih air, karena sifatnya yang mampu mengabsorpsi logam berbahaya yang terkandung dalam air. Selain itu protein yang terdapat pada enceng gondok mampu dijadikan sebagai pakan ternak.

Kandungan serat pada enceng gondok mencapai 20% dari berat keringnya. Dengan kondisi seperti itu, maka serat enceng gondok berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan komposit tekstil. Pertumbuhan tekstil di Indonesia sangat baik. Bahkan industri tekstil merupakan komoditi ekspor terbesar non migas.

Enceng gondok yang tumbuh sangat cepat menjadi masalah bagi para petani. Namun dengan telah ditemukannya manfaat dari enceng gondok, banyak yang mencoba untuk memanfaatkannya sekaligus sebagai salah satu upaya pengendalian tumbuhan gulma tersebut. Dengan teknologi sederhana, tumbuhan ini dapat digunakan


(44)

untuk pembuatan karton kasar. Sejak tahun 1981 kota San Diego telah memanfaatkan kemampuan enceng gondok yang mampu mengabsorpsi logam-logam berbahaya yang terdapat pada air. Selain itu eceng gondok telah dimanfaatkan di Tegal sebagai bahan kerajinan seperti tas (Republika, 1997). Namun dari berbagai macam pemanfaatan tersebut belum dapat mengoptimalkan pengendalian enceng gondok dengan laju pertumbuhannya yang cepat.

Hasil penelitian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Sumatera Utara di Danau Toba (2003) melaporkan bahwa satu batang enceng gondok dalam waktu 52 hari mampu berkembang seluas 1 ha, atau dalam waktu 1 tahun mampu menutup area seluas 7 ha. Heyne (1987) menyatakan bahwa dalam waktu 6 bulan pertumbuhan enceng gondok pada areal 1 ha dapat mencapai bobot basah sebesar 125 ton.

Secara fisiologis, enceng gondok dapat berkembang biak secara cepat, baik secara vegetatif maupun secara generatif. Perkembangan dengan cara vegetatif dapat melipat ganda dua kali dalam waktu 7-10 hari (Pasaribu 2007).

Menurut Sastroutomo (1977), enceng gondok tiap tahunnya berbunga dan setelah 20 hari terjadi penyerbukan, buah masak, lepas dan pecah kemudian biji masuk ke dalam air. Enceng gondok merupakan gulma lingkungan perairan dan merupakan jenis tumbuhan agresif. Tanaman ini bukan tanaman asli daerah indonesia yang mampu menguasai vegetasi alami dan menghambat jenis-jenis asli bahkan memusnahkan.

Danau dan waduk yang telah ditumbuhi enceng gondok semakin banyak, misalnya : Danau Rawa Pening, Danau Toba, Danau Kerinci, Danau Limboto, Danau Tempe, Danau Tondano, Danau Sentani, Waduk Saguling, waduk dan bendung Curug (ketiganya di DAS Citarum). Demikian juga enceng gondok di Sungai Rokan, Siak, Musi serta sungai lainnya di Kalimantan dan sungai lainnya di Indonesia. Beberapa faktor lingkungan ternyata sangat mempengaruhi kelimpahan dan penyebaran enceng gondok di perairan tersebut, diantaranya kecepatan arus dan kedalaman air.

Menurut Zerrudo dkk, (1979), tangkai daun (petioules) enceng gondok mengandung 34,6% fiber berdasarkan berat kering oven, dengan panjang fiber


(45)

rata-rata 1,53 mm dan berdinding tipis, mengandung sedikit lignin, holoseluosa, pentosa yang tinggi tetapi mengandung sedikit silika, ekstraktif cukup larut dalam alkohol – benzena tetapi larut banyak dalam NaOH 1%.

Menurut Gopal dan Sharma (1981), enceng gondok mengandung 11,3% lignin, 13,3% pentosan, 26,9% - 50% selulosa dan hanya 0,018% pati. Kadar selulosa dilaporkan ditemukan dalam jumlah yang besar yaitu 26,1%; 32%, 42% dan 40-50%. Selulosa yang dihasilkan sebaik kapas dengan karakteristik serat sebagai berikut : panjang 1,53 mm, lebar 0,023 mm, tebal dinding sel 3,5 µ m dengan kadar abu yang tinggi.

Banyak peneliti melaporkan bahwa enceng gondok dapat menyerap zat pencemar dalam air dan dapat dimanfaatkan untuk mengurangi beban pencemaran lingkungan. Tercatat bahwa dalam waktu 24 jam enceng gondok mampu menyerap logam Cd, Hg dan Ni sebesar 1,35 mg/g; 1,77 mg/g dan 1,16 mg/g bila logam itu berada dalam keadaan tidak tercampur dan menyerap Cd 1,23 mg/g, 1,88 mg/g dan Ni 0,35 mg/g berat kering apabila logam-logam itu berada dalam keadaan tercampur dengan logam lain dalam air (Aningsih, 1991).

Kandungan selulosa Cross and Bevan enceng gondok sebesar 64,51% dari berat total (Joedodibroto, 1983) memungkinkan enceng gondok dapat dipakai sebagai bahan baku pembuatan papan partikel. Pemanfaatan enceng gondok sebagai bahan baku pembuatan papan partikel merupakan salah satu alternatif manfaat yang memberikan nilai tambah eceng gondok bagi masyarakat. Dengan bertambahnya cara pemanfaatan eceng gondok maka populasinya diharapkan dapat dikontrol, sehingga permasalahan yang timbul sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya dapat diatasi (Saputra dan Prasetyo, 2005).

Salah satu upaya yang cukup prospektif untuk menanggulangi gulma enceng gondok di kawasan perairan danau adalah dengan memanfaatkan tanaman enceng gondok untuk kerajinan kertas seni. Enceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kertas karena mengandung serat/selulosa (Joedodibroto, 1983). Pulp enceng gondok yang dihasilkan berwarna coklat namun dapat diputihkan dengan proses pemutihan (bleaching). Pulp juga dapat menyerap zat pewarna yang diberikan dengan


(46)

cukup baik, sehingga berbagai variasi warna kertas dapat dihasilkan melalui proses ini.

Pengaruh enceng gondok yang menyebabkan lingkungan kekurangan oksigen merangsang anaerob untuk produksi etilen, sehingga aktifitas selulosa meningkat. Hal ini menyebabkan peleburan parenkim membentuk aerenkim. Dengan populasi yang begitu melimpah dan pengendaliannya yang kurang maksimal maka, enceng gondok harus dimanfaatkan khususnya serat pada enceng gondok. Hal tersebut diharapkan dapat mengendalikan pertumbuhannya yang begitu pesat serta mengkomersialisasikan enceng gondok.

Upaya mengendalikan pertumbuhan enceng gondok pada perairan danau yang sering dilakukan dengan cara mengangkat dan membuangnya ke media lingkungan menjadi sampah. Namun, beberapa tahun ini enceng gondok dimanfaatkan dan dikembangkan potensinya sebagai bahan pupuk organik yang sangat berguna bagi tanaman yang sekaligus dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di daerah tangkapan air danau maupun masyarakat sekitar danau.

Pupuk organik dari bahan baku enceng gondok ini dapat pula digunakan sebagai media tumbuh persemaian, pembibitan maupun pertumbuhan tanaman wadah (pot). Dengan tersedianya pupuk organik tersebut, diharapkan dapat membantu upaya pemulihan kualitas air danau dan mempercepat upaya pemulihan lahan kritis di daerah tangkapan air danau.

Dengan banyaknya dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh enceng gondok, maka penanganan atau pengelolaan tanaman ini harus dilaksanakan dengan lebih serius. Biaya pengawasan dan penanggulangan masalah enceng gondok ini memang tidak sedikit, karena itu maka partisipasi masyarakat untuk menjaga kondisi lingkungan perairan agar tetap bersih dengan misalnya, tidak membuang sampah ke dalam sungai, secara bergotong-royong mengangkat enceng gondok dari permukaan air, sangat diperlukan untuk mengurangi penyebaran tanaman tersebut, sekaligus dapat membantu pemerintah mengurangi beban dana yang harus dikeluarkan bagi pengelolanya.


(47)

Akibat-akibat negatif yang ditimbulkan enceng gondok antara lain:

 Meningkatnya evapotranspirasi (penguapan dan hilangnya air melalui daun-daun tanaman), karena daun-daunnya yang lebar dan serta pertumbuhannya yang cepat.

 Menurunnya jumlah cahaya yang masuk kedalam perairan sehingga menyebabkan menurunnya tingkat kelarutan oksigen dalam air (DO: Dissolved Oxygens).

 Tumbuhan enceng gondok yang sudah mati akan turun ke dasar perairan sehingga mempercepat terjadinya proses pendangkalan.

 Mengganggu lalu lintas (transportasi) air, khususnya bagi masyarakat yang kehidupannya masih tergantung dari sungai seperti di pedalaman Kalimantan dan beberapa daerah lainnya.

 Meningkatnya habitat bagi vektor penyakit pada manusia.

 Menurunkan nilai estetika lingkungan perairan.

Penyebaran tanaman ini dengan cepat telah menimbulkan kerugian ekonomi, sosial dan lingkungan yaitu menutupi jalannya air, mempengaruhi transportasi air untuk pertanian dan pariwisata, menutupi danau dan sungai, menurunkan oksigen yang terlarut (dissolved oxygen) pada badan air dan menurunkan produksi perairan (Ding et al., 2000). Keberadaan enceng gondok sebagai gulma yang sulit diberantas menimbulkan berbagai masalah bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara lain di belahan dunia yang sejak lama mendapatkan permasalahan baik sosial, ekonomi maupun lingkungan oleh keberadaan enceng gondok (Kurniawan, 2002).

Berbagai upaya pengendalian telah banyak dilakukan, namun hasilnya kurang memuaskan. Sebagai contoh, upaya pengendalian yang telah dilakukan oleh Perum Otorita Jatiluhur di Bendungan Curug, PT Indonesia Power di Saguling serta dilakukan juga di Cirata, Departemen Pekerjaan Umum di Danau Kerinci dan Rawa Pening, dan KLH di Danau Limboto, Danau Tempe dan Danau Tondano. Banyak biaya yang telah dikeluarkan oleh instansi tersebut di atas, namun hasilnya kurang optimal.

Karena enceng gondok dianggap sebagai gulma yang mengganggu, maka berbagai cara dilakukan untuk menanggulanginya. Tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mengatasinya antara lain:


(48)

 Menggunakan herbisida

 Mengangkat enceng gondok tersebut secara langsung dari lingkungan perairan

 Menggunakan predator (hewan sebagai pemakan enceng gondok), salah satunya adalah dengan menggunakan ikan grass carp (Ctenopharyngodon idella) atau ikan koan. Ikan grass carp memakan akar enceng gondok, sehingga keseimbangan gulma di permukaan air hilang, daunnya menyentuh permukaan air sehingga terjadi dekomposisi dan kemudian dimakan ikan. Cara ini pernah dilakukan di danau Kerinci dan berhasil mengatasi enceng gondok di danau tersebut.

 Memanfaatkan enceng gondok tersebut, misalnya sebagai bahan pembuatan kertas, kompos, biogas, perabotan, kerajinan tangan sebagai media pertumbuhan bagi jamur merang, dsb.

Ketersediaan bahan baku mutlak diperlukan dalam mengembangkan suatu bidang usaha. Dari segi bahan baku, dirasakan masih akan terus melimpah sampai waktu yang masih lama. Jadi, belum dirasakan masalah akan pengadaan bahan baku enceng gondok ini.

Selulosa termasuk dalam serat yang panjang, yang memiliki kekuatan yang lebih dari serat lainnya karena serat panjang mempunyai struktur yang lebih sempurna disebabkan struktur kristal tersusun sepanjang sumbu serat dan cacat internal pada serat lebih sedikit dari pada material.

2.5.2 Selulosa dan Lignin

Selulosa dan lignin merupakan salah satu kriteria yang menunjukkan kekuatan serat. Sifat mekanik yang luar biasa dari selulosa adalah regangan, kekuatan, ketahanan terhadap tekanan, mengembang dan sifat permeabilitasnya bertambah terus selama proses pembentukan dinding.


(49)

Gambar 2.6 skema ringkasan faktor yang membatasi hidrolisis selulosa (Sumber : Jorgensen 2007)

Pada gambar 2.6 adalah Berikut ini skema tentang mekanisme pemisahan selulosa dari lignin dan unsur-unsur yang terdapat di dalam serat. (1) merupakan proses terpisahnya cellobiose dan β-glucosidase dari cellobiohydrolase, (2) proses lepasnya cellobiohydrolase dari serat tumbuhan, (3) proses penguraian hemiselulosa dari zat yang lain pada serat tumbuhan, (4) proses penguraian lignin dari zat yang lain yang terpadat pada serat, (5) proses terlepasnya lignin, cellobiohydrolase dan endoglucanase dari ikatan ke udara sehingga yang dihasilkan dari hidrolisis ini ada selulosa dan (6) proses terpisahnya cellobiohydrolase dan endoglucanase dari lignin .

Di bawah tekanan komprehensif, fibril-fibril selulosa itu membengkok. Perbedaan struktur dapat disebabkan karena perbedaan arah dan kerapatan mikrofibril selulosa, perbedaan kandungan lignin dan lain-lain. Lignin menambah ketahanan dinding terhadap tekanan dan mencegah melipatnya mikrofibril selulosa. Arah mikrofibril yang berbeda-beda pada dinding sel merupakan faktor penting penentu kekuatan dinding (Fahn, 1991). Wickens (2001) menyatakan bahwa besarnya kadar selulosa, lignin dan pektin pada serat mempengaruhi kualitas serat.


(50)

2.5.2.1 Selulosa

Selulosa memiliki struktur yang kuat dan berat molekul yang tinggi. Hal ini menyebabkan selulosa memiliki kelarutan yang rendah di dalam air, sehingga sulit untuk diserap oleh mikroorganisme selulotik melalui dinding selnya. Mikroorganisme baru dapat memanfaatkan energi sumber dan sumber karbon dari selulosa, jika selulosa telah dihidrolisis menjadi bentuk yang sederhana dengan berat molekul yang lebih rendah. Berikut ini adalah struktur polimer selulosa yang dapat dilihat pada Gambar 2.7 .

Gambar 2.7 Struktur polimer selulosa

(Sumber : http://id.wikipedia.org)

Gambar 2.7 menunjukkan struktur selulosa yang merupakan polimer tak bercabang dari unit anhidroglukosa yang dihubungkan oleh ikatan glukosidik β-1,4. Serat selulosa adalah sangat halus dan fleksibel. Hidrolisis lengkap dalam HCl 40% dalam air hanya menghasilkan D-glukosa. Disakarida yang terisolasi dari selulosa yang terhidrolisis sebagian adalah selobiosa, yang dapat dihidrolisis lebih lanjut menjadi D-glukosa dengan suatu katalis asam dengan emulsin enzim. Selulosa sendiri tidak mempunyai karbon hemiasetal, selulosa tidak dapat mengalami mitarotasi atau dioksidasi oleh reagensia seperti reagensia Tollens. (Mungkin terdapat suatu hemiasetal pada satu ujung dari tiap molekul selulosa, tetapi ujung ini hanya sebagian kecil dari keseluruhan dan tidak menyerah ke reaksi yang dapat diamati).

Dilihat dari strukturnya, selulosa mempunyai potensi yang cukup besar untuk dijadikan sebagai penyerap karena gugus OH yang terikat dapat berinteraksi dengan komponen adsorbat. Adanya gugus OH, pada selulosa menyebabkan terjadinya sifat polar pada adsorben tersebut. Dengan demikian selulosa dan hemiselulosa lebih kuat


(51)

menyerap zat yang bersifat polar dari pada zat yang kurang polar. Mekanisme penyerapan yang terjadi antara gugus -OH yang terikat pada permukaan dengan ion logam yang bermuatan positif (kation) merupakan mekanisme pertukaran ion.

Dalam sistem pencernaan hewan herbivora terdapat beberapa bakteri yang memiliki enzim β-glikosida sehingga hewan jenis ini dapat menghidrolisis selulosa. Contoh hewan yang memiliki bakteri tersebut adalah rayap, sehingga dapat menjadikan kayu sebagai makanan utamanya. Selulosa sering digunakan dalam pembuatan plastik. Selulosa nitrat digunakan sebagai bahan peledak, campurannya dengan kamper menghasilkan lapisan film (seluloid).

Selulosa adalah bahan kristalin untuk membangun dinding-dinding sel atau merupakan komponen kayu terbesar yang dalam kayu lunak dan kayu keras jumlahnya mencapai hampir setengahnya. Bahan dasar selulosa adalah glukosa dengan rumus C6H12O6.

Molekul-molekul glukosa disambung menjadi molekul-molekul besar, panjang dan berbentuk rantai dalam susunan menjadi selulosa. Selulosa merupakan bahan dasar yang penting bagi industri-industri yang memakai selulosa sebagai bahan baku, misalnya pabrik kertas, pabrik sutera tiruan dan lain sebagainya (J.F. Dumanauw, 1990).

Mekanisme pemecahan selulosa oleh mikroorganisme selulotik dihambat oleh adanya lignin yang membungkus molekul selulosa dan sangat dipengaruhi oleh derajat polimerisasi dan derajat kristalisasi. Selama derajat polimerisasi, derajat kristalisasi dan kandungan lignin tinggi, selulosa akan sulit untuk dihidrolisis. Pada kondisi demikian, produktivitas mikroorganisme sulit dalam menghasilkan enzim selulosa akan rendah.

Pengecilan ukuran enceng gondok menjadi 100 mesh dan perlakuan delignifikasi dalam suasana basa merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan efektivitas hidrolisis selulosa oleh mikroorganisme. Pengecilan ukuran dan delignifikasi menyebabkan terputusnya rantai polimer yang panjang menjadi rantai


(52)

polimer yang lebih pendek dan memisahkan lignin dan hemiselulosa dari selulosa serta meningkatkan daerah amorf (menurunkan derajat kristalisasi).

Selulosa mempunyai sifat seperti kristalin dan tidak mudah larut dalam air walaupun polimer ini sangat hidrofilik. Hal ini disebabkan oleh sifat kristalinitas dan ikatan hidrogen intermolekuler antara gugus hidroksil (Mulder, 1996). Selulosa asetat adalah suatu senyawa kimia buatan yang digunakan dalam film fotografi. Secara kimia, selulosa asetat adalah ester dari asam asetat dan selulosa. Senyawa ini pertama kali dibuat pada tahun 1865. Selain pada film fotografi, senyawa ini juga digunakan sebagai komponen dalam bahan perekat, serta sebagai serat sintetik.

2.5.2.2 Lignin

Lignin merupakan zat yang tidak berbentuk yang bersama-sama dengan selulosa membentuk dinding sel dari pohon kayu. Lignin berfungsi sebagai bahan perekat antara sel-sel selulosa dari pohon kayu. Struktur molekul lignin sangat berbeda bila dibandingkan dengan polisakarida karena terdiri atas sistem aromatik yang tersusun atas unit-unit fenilpropana (Anonim. 2001).

Meskipun tersusun atas karbon, hidrogen dan oksigen, lignin bukanlah suatu karbohidrat, sebaliknya lignin pada dasarnya adalah suatu fenol. Lignin sangat stabil dan sukar dipisahkan dan mempunyai bentuk yang bermacam-macam karenanya susunan lignin yang di dalam kayu tetap tidak menentu. Lignin terletak terutama dalam lamella tengah dan dinding primer. Di dalam kayu lignin merupakan bahan yang tidak berwarna. Apabila lignin bersentuhan dengan udara, terutama dengan adanya sinar matahari, maka (bersama-sama dengan karbohidart-karbohidrat tertentu) lama kelamaan lignin cenderung menjadi kuning.

Lignin merupakan bagian terbesar dari selulosa. Penyerapan sinar (warna) oleh pulp terutama berkaitan dengan komponen ligninnya. Untuk mencapai derajat keputihan yang tinggi, lignin tersisa harus dihilangkan dari pulp, dibebaskan dari gugus yang menyerap sinar kuat sesempurna mungkin. Lignin akan mengikat serat selulosa yang kecil menjadi serat-serat panjang. Lignin tidak akan larut dalam larutan


(53)

asam tetapi mudah larut dalam alkali encer dan mudah diserang oleh zat-zat oksida lainnya.

Penelitian Mission et al (2009) yang menyatakan bahwa 99% lebih lignin TKKS terdegradasi setelah perlakuan NaOH dan H2O2. NaOH secara teoritis dapat

mendegradasi lignin dengan cara memecah ikatan silang ester pada lignin dan hasilnya porositas biomasa limbah agroindustri meningkat (Rebeca et al., 2007).

Proses delignifikasi ialah proses penghilangan lignin, pada proses delignifikasi ini ada berbagai cara antara lain proses mekanik, proses kraft, dan proses organosolv. Proses mekanik kurang diminati karena dianggap terlalu sulit dan memerlukan tenaga yang banyak. Proses delignifikasi yang banyak digunakan adalah proses kraft padahal proses ini berdampak buruk bagi lingkungan karena bahan-bahan yang digunakan tidak ramah lingkungan.

2.6 Proses Pemisahan Lignin

Pemisahan serat selulosa dari bahan-bahan yang bukan serat didalam kayu dapat dilakukan dengan berbagai macam cara / proses, yaitu :

1. Proses pemisahan ligninsecara mekanik 2. Proses pemisahan ligninsecara semikimia 3. Prosespemisahan lignin secara kimia

2.6.4 Proses Pemisahan Lignin Secara Mekanik

Dalam proses pembuatan pulp secara mekanik, pemisahan serat dilakukan dengan cara menggunakan tenaga mekanik. Proses ini dilakukan dengan menggerinda kayu menjadi serat pulp dan menghasilkan rendemen sebesar 90-95 %, tetapi menyebabkan kerusakan pada serat. Penggunaan pulp yang dihasilkan pada proses mekanik ini nilainya kecil sekali, juga pulp itu masih mengandung banyak lignin dan serat-seratnya tidak murni sebagai serat. (Anonim. 2001).


(1)

Kitosan 80 Mesh Enceng Gondok 100 Mesh


(2)

Peralatan penelitian termometer oC


(3)

Enceng gondok 6 gr Enceng gondok 7 gr Enceng gondok 8 gr

Enceng gondok 9 gr Enceng gondok 10 gr


(4)

6 gr Enceng Gondok(a) 6 gr Enceng Gondok (c)


(5)

8 gr Enceng Gondok (a) 8 gr Enceng Gondok (c)


(6)