Berdasarkan pemikiran di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Badan Permusyawaratan Desa BPD dalam menjalankan peran fungsinya
terhadap pelaksanaan pengawasan pemerintahan desa dengan judul “Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Badan Permusyawaratan Desa Studi Tentang
Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Pada Badan Permusyawaratan Desa BPD di Desa Telaga Sari Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli
Serdang”.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana pelaksanaan fungsi
pengawasan Badan Permusyawaratan Desa BPD di implementasikan pada pemerintahan Desa di Desa Telaga Sari Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli
Serdang”.
1.3. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah pasti mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah:
“Untuk menggambarkan secara lebih mendalam implementasi fungsi pengawasan Badan Permusyawaratan Desa BPD di Desa Telaga Sari Kecamatan Tanjung
Morawa Kabupaten Deli Serdang”.
1.4. Manfaat Penelitian
Setelah selesai penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat yang baik bagi kami sendiri maupun pihak lain yang berkepentingan dalam penelitian
ini. Adapun manfaat penelitian yang diharapkan adalah: 1. Manfaat akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dalam menambah bahan kajian perbandingan bagi yang menggunakannya.
2. Manfaat praktis: a. Penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran mengenai
permasalahan dan juga masukan bagi pemerintah desa dan masyarakat desa Telaga Sari.
b. Sebagai bahan informasi bagi pihak yang berkepentingan terutama pemerintah desa dan masyarakat dalam pembangunan desa.
1.5. Kerangka Teori
Untuk memudahkan penelitian diperlukan pedoman dasar berpikir, yaitu kerangka teori. Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut, seorang peneliti
perlu menyusun kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih Nawawi;
1987:40. Selanjutnya Singarimbun menyebutkan bahwa teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, dan konstruksi, defenisi dan proposisi untuk
menerangkan fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Ringkasnya, teori adalah hubungan satu konsep dengan
konsep lainnya untuk menjelaskan gejala tertentu. Adapun teori-teori yang mendasari penelitian ini adalah:
1.5.1. Kebijakan Publik 1.5.1.1 Definisi Kebijakan Publik
Kebijakan policy hendaknya dibedakan dengan kebijaksanaan wisdom karena kebijaksanaan merupakan pengejawantahan aturan yang sudah ditetapkan
sesuai situasi dan kondisi setempat oleh pejabat yang berwenang. Bahwa public adalah masyarakat umum itu sendiri, yang selayaknya diurus, diatur, dan dilayani
oleh pemerintah sebagai administrator, tetapi juhga sekaligus kadang-kadang bertindak sebagai penguasa dalam pengaturan hukum tata negaranya.
Menurut Thomas R. Dye, kebijakan publik adalah apa pun yang dipilih pemerintah, apakah mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan mendiamkan
sesuatu itu whatever goverment choose to do or not to do. Menurut RC. Chandler dan JC. Plano, kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis
terhadap sumber daya-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah publik. Menurut A. Hoogerwerf, kebijakan publik sebagai unsur penting dari
politik, dapat diartikan sebagai usaha untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu menurut waktu tertentu. Menurut William N. Dunn, kebiajakan publik adalah
suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas
pemerintahan, seperti pertahanan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perkotaan, dan lain-lain.
Banyak alasan maupun definisi mengenai kebijakan publik. Setiap definisi memberi penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena setiap ahli
mempunyai latar belakang yang berbeda-beda pula. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa kebijakan publik adalah pengetahuan tentang sebab-sebab,
konsekuensi dan kinerja kebijakan serta program publik. Pembagian jenis-jenis kebijakan publik berdasarkan pada dua kategori
menurut Nugroho 2004:54-57 yaitu: 1. Berdasarkan maknanya, bahwa kebijakan publik adalah hal-hal yang
diputuskan pemerintah untuk dikerjakan dan hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk tidak dikerjakan atau dibiarkan. Pembagian menurut
kategori ini menghasilkan tiga jenis kebijakn publik yaitu: a. Kebijakan publik yang dibuat oleh legislatif atau disebut sebagai kebijakan
publik yang paling tertinggi. b. Kebijakan publik yang dibuat dalam bentuk kerjasama antara legislatif dan
eksekutif. c. Kebijakan publik yang dibuat oleh eksekutif saja.
2. Kebijakan alokatif dan distributif, kebijakan kedua ini biasanya berupa kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan anggaran atau keluaran publik.
Selain dari itu, ada beberapa model yang dipergunakan dalam pembuatan kebijakan publik yaitu:
1. Model Elit Yaitu pembentukan kebijakan publik hanya berada pada sebagian
kelompok orang-orang tertentu yang sedang berkuasa. Walaupun pada kenyatannya mereka sebagai preference dari nilai-nilai elit tertentu, tetapi mereka
masih saja berdalih merefleksikan tuntutan-tuntutan rakyat banyak. Karena itu mereka cenderung melakukan pengendalian dengan berkesinambungan, dengan
perubahan-perubahan hanya bersifat tambal sulam. Masyarakat banyak dibuat sedemikian rupa tetap miskin informasi.
2. Model Kelompok Berlainan dengan model elit yang dikuasai oleh kelompok tertentu yang
berkuasa, maka pada model ini terdapat beberapa kelompok kepentingan interest group yang saling berebutan mencari posisi dominan. Jadi, dengan demikian
model ini merupakan interaksi antarkelompok dan merupakan fakta sentral dari politik serta pembuatan kebijakan publik. Antarkelompok mengikat diri secara
formal atau informal dan menjadi penghubung pemerintah dan individu. Antarkelompok berjuang mempengaruhi pembentukan kebijakan publik, bisa
membentuk koalisi mayoritas, tetapi juga dapat menimbulkan check and balance dalam persingan antarkelompok untuk menjaga keseimbangan.
3. Model Kelembagaan Yang dimaksud dengan kelembagaan disini adalah kelembagaan
pemerintah. Yang masuk dalam lembaga-lembaga pemerintah eksekutif presiden, menteri-menteri dan departemennya, lembaga legislatif parlemen, lembaga
yudikatif, pemerintah daerah dan lain-lain. Dalam model ini kebijakan publik dikuasai oleh lembaga-lembaga tersebut, dan sudah tentu lembaga tersebut adalah
satu-satunya yang dapat memaksa serta melibatkan semua pihak. Perubahan dalam kelembagaan pemerintah tidak berarti perubahan kebijakan.
4. Model Proses Model ini merupakan rangkaian kegiatan politik mulai dari identifikasi
masalah, perumusan usul, pengesahan kebijakan, pelaksanaan, dan evaluasinya. Model ini akan memperhatikan bermacam-macam jenis kegiatan pembuatan
kebijakan publik. 5. Model Rasialisme
Model ini bermaksud untuk mencapai tujuan secara efisien, dengan demikian dalam model ini segala sesuatu dirancang dengan tepat, untuk
meningkatkan hasil bersihnya. Seluruh nilai diketahui, seperti kalkulasi semua pengorbanan politik dan ekonomi, serta menelusuri semua pilihan dan apa saja
konsekuensinya, perimbangan biaya, dan keuntungan cost and benefit. 6. Model Inkrimentalisme
Model ini berpatokan pada kegiatan masa lalu, dengan sedikit perubahan. Dengan demikian hambatan seperti waktu, biaya, dan tenaga untuk memilih
alternatif dapat dihilangkan. Arti model ini tidak banyak bersusah payah, tidak banyak resiko, perubahan-perubahannya tidak radikal, tidak ada konflik meninggi,
kestabilan terpelihara, tetapi tidak berkembang karena hanya menambah dan mengurangi yang sudah ada.
7. Model Sistem Model ini beranjak dari memperlihatkan desakan-desakan lingkungan
antara lain, berisi tuntutan, dukungan, hambatan, tantangan, rintangan, gangguan, pujian, kebutuhan atau keperluan, dan lain-lain yang mempengaruhi kebijakan
publik. Setelah diproses, akan ada jawaban. Desakan lingkungan dianggap masukan input, sedangkan jawabannya dianggap keluaran output, yang berisi
keputusan-keputusan, peraturan-peraturan, tindakan-tindakan, dan kebijakan- kebijakan dari pemerintah.
1.5.1.2 Kebijakan Pemerintah Desa
Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga
dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Status desa adalah satuan pemerintahan di bawah kabupatenkota. Desa tidak sama dengan kelurahan yang statusnya di bawah camat. Kelurahan hanyalah
wilayah kerja di bawah camat yang tidak mempunyai hak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Sedangkan desa atau yang disebut dengan
nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, danatau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
a. Kewenangan Desa
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan
bahwa kewenangan Desa meliputi: 1. Kewenangan berdasarkan hak asal usul;
2. Kewenangan lokal berskala Desa;
3. Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupatenkota; dan
4. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupatenkota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Kewenangan Desa tersebut dalam PP Desa sedikitnya terdiri atas:
1. Sistem organisasi masyarakat adat; 2. Pembinaan kelembagaan masyarakat;
3. Pembinaan lembaga hukum adat; 4. Pengelolaan tanah kas desa; dan
5. Pengembangan peran masyarakat desa.
b. Kewenangan Lokal Berskala Desa