Evaluasi Penyusunan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (Studi Pada Kantor Badan Perencanaan Dan Pembangunan Kota Pematangsiantar)

(1)

EVALUASI PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH

RENCANA TATA RUANG WILAYAH

(Studi pada Kantor Badan Perencanaan Dan Pembangunan Daerah Pematangsiantar)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara Oleh:

GUNAWAN SIRINGORINGO 070903023

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAKSI

Evaluasi Penyusunan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (Studi Pada Kantor Badan Perencanaan Dan Pembangunan Kota Pematangsiantar)

Nama : Gunawan Siringoringo

NIM : 070903023

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Pembimbing : Arifin Nasution, M.SP

Pendekatan baru dalam penataan ruang menuntut pemerintah berperan dalam menggali dan mengembangkan visi secara bersama anatara pemerintah daerah dan kelompok masyarakat di daerah dalam merumuskan wajah ruang di masa depan, standar kualitas ruang dan aktivitas yang diinginkan atau dilarang pada suatu kawasan yang direncanakan. Proses penyusunan rencana tata ruang wilayah kota pematangsiantar telah dimulai sejak bulan agustus tahun 2010 hingga sekarang yaitu proses penetapan menjadi peraturan daerah. Pada proses penyusunan peraturan daerah rencana tata ruang wilayah ini disusun berdasarkan undang-undang rencana tata ruang Wilayah Nomor 26 tahun 2007, peraturan daerah rencana provinsi, peraturan pemerintah nomor 26 tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah, serta prosedur yang sesuai dengan permendagri nomor 28 tahun 2008. Kendati demikian, masih juga dijumpai permasalahan penyimpangan dalam proses penyusunan ini. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi terhadap penyusunan peraturan daerah rencana tata ruang wilayah kota pematangsiantar.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengevaluasi penyusunan peraturan daerah rencana tata ruang wilayah di kantor Badan Perencanaan dan Pembangunan kota Pematangsiantar

Penelitian ini menitikberatkan pada penelitian lapangan dan metode yang dilakukan dalam studi ini adalah metode evaluatif dengan analisa kualitatif. Data diperoleh dengan para informan yang ada di Badan Perencanaan dan Pembangunan melalui wawancara sebagai data primer, disamping itu dilengkapi juga dengan data sekunder.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa penyusunan peraturan daerah rencana tata ruang wilayah Kota Pematangsiantar telah berjalan sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang mengatur tentang penataan ruang, walaupun masih terdapat permasalahan dalam hal penyusunan


(3)

peraturan daerah rencana tata ruang wilayah ini dikarenakan masalah yang paling mendasar yaitu keterbatasan anggaran yang menyebabkan kesalahan teknis lainnya, seperti kurangnya sosialisasi yang menyebabkan tidak semua elemen masyarakat mengetahui perihal penyusunan peraturan daerah rencana tata ruang wilayah kota pematangsiantar.

Kata Kunci: Evaluasi, Penyusunan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan sembah sujud penulis panjatkan kehadirat Allah Tritunggal, karena berkat kebesaran Allah Bapa, kasih setia Yesus Kristus, serta penyertaan Roh Kudus sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang berjudul “Evaluasi Penyusunan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Rencana Tata Ruang Wilayah” (Studi Pada Kantor Badan Perencanaan Dan Pembangunan Kota Pematangsiantar).

Skripsi ini penulis persembahkan terkhusus kepada kedua orangtua saya terkasih, bapak dan mama (G. Siringoringo/ T.br.Gultom) yang selalu berdoa di setiap langkah anak-anaknya, tidak ada orangtua yang seperti kalian pak, ma. Saya selalu ingat perkataan bapak dan mama ”tidak ada yang bisa kita andalkan selain Tuhan”. Kebaikan bapak/ mama gak dapat dijelaskan dengan kata-kata, Kesabaran bapak/ mama dalam membimbing kami anak-anakmu mulai dari kecil hingga sekarang. Terimakasih Ma, Pa. Semoga doa-doa kita didengar Tuhan agar apa yang kita harapkan diberkati oleh Tuhan kita Yesus Kristus.

Selama masa perkuliahan hingga penulisan skripsi ini, penulis tidak melaluinya sendirian dikarenakan keterbatasan kemampuan, waktu dan pengetahuan, penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan mungkin dapat terselesaikan dengan lancar tanpa bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:


(5)

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. M. Husni Thamrin Nst, M.Si, selaku Ketua Departemen Ilmu Admnistrasi Negara FISIP USU

3. Ibu Dra. Elita Dewi, M.SP, selaku sekretaris Depatemen Ilmu Admnistrasi Negara FISIP USU

4. Bapak Arifin Nasution, M.SP selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, pemikiran serta pengertian untuk membantu, membimbing dan mengarahkan penulis dengan sabar hingga selesainya penulisan skripsi ini.

5. Seluruh staf pegawai Departemen Ilmu Administrasi Negara FISIP USU khususnya K’Mega dan K’Dian yang telah membantu penulis dalam segala urusan administrasi.

6. Seluruh Perangkat yang ada di Kantor Bappeda, yang membantu penulis dalam hal memberikan data, baik melalui wawancara maupun dengan dokumentasi. khususnya kepada Kepala Bappeda kota Pematangsiantar, Herowhin T.F.Sinaga, Ap, Msi, kabid Perencanaan Pembangunan Fisik dan Prasarana, Tulus P. Silitonga, Ap, Msi, Sekretaris Bappeda, A Sijabat, Ap, Msi, dan yang terakhir kepada abang awak Kasubbid tata ruang, pemukiman dan lingkungan hidup Charles Yanri Siregar, S.Sos, makasi banyak abangda atas saran, kritik dan bantuannya selama dalam penelitian di kantor abangda.


(6)

7. Buat kedua abangku, bang Henry dan bang Edward, makasih buat Perhatian, nasehat dan bimbingan dari abang. Mari sama-sama berdoa kita bang, semoga apa yang menjadi harapan kita dapat terwujud dan buat kak Yeni yang turut membantu, baik dalam doa maupun materi. Semoga kita diberikan umur panjang kak.

8. Kepada Tulang D. Lubis(Alm) yang selama ini sangat baik kepada penulis maupun kepada keluarga penulis. Semoga Amalnya diterima Tuhan YME. 9. Untuk Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Cabang Medan

10.Buat teman-teman GMKI Komisariat FISIP USU, Pengurus Komisariat GMKI FISIP USU Mb 2009-2010, Dewi, Castri, Septy, Firsty, Sinta, Herbin, Rasna, Petrus, Alex, Riama, Manuk, Dedy, Febry, Joshua. Buat abang-abang awak, B’Zidane, B’Ganda, B’Charles, B’Rudi, B’Melki, B’Roni, B’Jo, B’Dodo B’ Frans, kak Citra, K Yuz, dan lain-lain, mohon maaf bila tak disebutkan satu-persatu. Makasih buat kebersamaan yang tak ternilai selama ini, UOUS, Syalom.

11.Buat teman-teman Seperjuangan di Administrasi Negara 07, Hilda, Nina, Afandi, Paul, Mandor, Parda Tomi, Juliando. Makasi buat waktu yang boleh kita lewati bersama. Bagi teman-teman yang belum selesai, mohon dicepatkan.

12.Buat teman-teman na pajumpang di pengkolan Herbin, Ary Ximare, Roy, Prabu. Dan juga teman-teman satu SMA, Romeo, Bobi, Rio, Nanot, Jepri. Thanks buat persaudaraan ini.


(7)

Akhir kata, tak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan skripsi ini yang masih banyak kekurangan didalamnya, harapan saya semoga pembaca dapat memberikan saran dan kritikan untuk menjadi masukan bagi penulis kedepannya dalam hal penulisan karya ilmiah. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Medan, Juni 2011


(8)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...ii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Masalah ...8

1.3 Tujuan Penelitian ...9

1.4 Manfaat Penelitian ...9

1.5 Kerangka Teori ...10

1.5.1 Evaluasi kebijakan ...11

1.5.1.1 Defenisi Evaluasi ...11

1.5.1.2 Model Evaluasi kebijakan...12

1.5.1.3 Indikator Pengukuran Evaluasi Kebijakan ...18

1.5.2 Pemerintah Daerah ...19

1.5.2.1 Kepala Daerah ...20

1.5.2.2 Wakil Pemerintah Pusat ...20

1.5.2.3 Perangkat Daerah ...21


(9)

1.5.3.1 Fungsi dan Manfaat RTRW Kota ...31

1.5.3.1.1 Fungsi RTRW Kota ...31

1.5.3.1.2 Manfaat RTRW Kota ...32

1.5.3.2 Proses dan prosedur Penyusunan RTRW Kota ...32

1.5.3.2.1 Proses Penyusunan RTRW Kota ...32

1.5.3.2.1.1 Persiapan Penyusunan RTRW ...32

1.5.3.2.1.2 Pengumpulan Data Yang dibutuhkan...34

1.5.3.2.1.3 Pengolahan dan Analisis Data...37

1.5.3.2.1.4 Perumusan Konsep RTRW Kota...40

1.5.3.2.1.5 Penyusunan Raperda tentang RTRW Kota ...42

1.5.3.2.2 Prosedur Penyusunan RTRW Kota ...43

1.5.3.3 Proses dan Prosedur Penetapan RTRW Kota ...47

1.5.4 Peraturan Daerah ...47

1.5.4.1 Mekanisme pembentukan Peraturan Daerah ...48

1.5.4.2 Pembentukan Peraturan Daerah ...49

1.5.4.3 Wewenang dan Pembentukan Peraturan Daerah ...51

1.5.5 Evaluasi Penyusunan Perda RTRW ...59

1.6 Defenisi Konsep ...61

BAB II METODE PENELITIAN 2.1 Bentuk Penelitian ...63


(10)

2.3 Informan ...63

2.4 Teknik Pengumpulan Data ...64

2.5 Teknik Analisa Data ...65

BAB III DESKRIPSI LOKASI 3.1 Gambaran Umum Kota Pematangsiantar ...67

3.1.1 Letak Geografis ...70

3.1.2 Demografi Penduduk ...70

3.1.3 Perekonomian ...71

3.1.4 Perumahan ...73

3.1.5 Kesehatan ...73

3.1.6 Pendidikan ...74

3.1.7 Sarana olahraga ...74

3.1.8 Pengembangan Wilayah ...75

3.2 Gambaran Umum Bappeda Kota Pematangsiantar ...75

3.2.1 Struktur Bappeda ...78

3.2.2 Bagan Organisasi Bappeda ...80

BAB IV PENYAJIAN DATA ...81


(11)

5.1 Penyusunan Perda RTRW ...93

5.1.1 Prosedur penyusunan RTRW kota...95 5.1.2 Indikator Pengukuran Evaluasi Kebijakan ...100

BAB VI PENUTUP

6.1 Kesimpulan ...104

6.2 Saran ...107


(12)

ABSTRAKSI

Evaluasi Penyusunan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (Studi Pada Kantor Badan Perencanaan Dan Pembangunan Kota Pematangsiantar)

Nama : Gunawan Siringoringo

NIM : 070903023

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Pembimbing : Arifin Nasution, M.SP

Pendekatan baru dalam penataan ruang menuntut pemerintah berperan dalam menggali dan mengembangkan visi secara bersama anatara pemerintah daerah dan kelompok masyarakat di daerah dalam merumuskan wajah ruang di masa depan, standar kualitas ruang dan aktivitas yang diinginkan atau dilarang pada suatu kawasan yang direncanakan. Proses penyusunan rencana tata ruang wilayah kota pematangsiantar telah dimulai sejak bulan agustus tahun 2010 hingga sekarang yaitu proses penetapan menjadi peraturan daerah. Pada proses penyusunan peraturan daerah rencana tata ruang wilayah ini disusun berdasarkan undang-undang rencana tata ruang Wilayah Nomor 26 tahun 2007, peraturan daerah rencana provinsi, peraturan pemerintah nomor 26 tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah, serta prosedur yang sesuai dengan permendagri nomor 28 tahun 2008. Kendati demikian, masih juga dijumpai permasalahan penyimpangan dalam proses penyusunan ini. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi terhadap penyusunan peraturan daerah rencana tata ruang wilayah kota pematangsiantar.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengevaluasi penyusunan peraturan daerah rencana tata ruang wilayah di kantor Badan Perencanaan dan Pembangunan kota Pematangsiantar

Penelitian ini menitikberatkan pada penelitian lapangan dan metode yang dilakukan dalam studi ini adalah metode evaluatif dengan analisa kualitatif. Data diperoleh dengan para informan yang ada di Badan Perencanaan dan Pembangunan melalui wawancara sebagai data primer, disamping itu dilengkapi juga dengan data sekunder.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa penyusunan peraturan daerah rencana tata ruang wilayah Kota Pematangsiantar telah berjalan sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang mengatur tentang penataan ruang, walaupun masih terdapat permasalahan dalam hal penyusunan


(13)

peraturan daerah rencana tata ruang wilayah ini dikarenakan masalah yang paling mendasar yaitu keterbatasan anggaran yang menyebabkan kesalahan teknis lainnya, seperti kurangnya sosialisasi yang menyebabkan tidak semua elemen masyarakat mengetahui perihal penyusunan peraturan daerah rencana tata ruang wilayah kota pematangsiantar.

Kata Kunci: Evaluasi, Penyusunan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah merupakan salah satu syarat administratif primer berdirinya suatu negara selain rakyat dan pemerintah ditambah pengakuan dari negara lain yang merupakan syarat sekunder. Bila pada masa lampau, menentukan wilayah perbatasan hanya dengan kondisi fisik alam seperti sungai, gunung, laut sedangkan pada zaman setelah masa kolonialisme, batas-batas wilayah dibuat oleh negara yang menguasai negara tersebut.

Sekilas kembali ke masa setelah kemerdekaan Indonesia, para petinggi di negeri ini membicarakan apa yang menjadi bentuk negara ini. Ada yang mengusulkan bahwa negara ini harus dibuat federal dengan harapan dapat menyerupai negara-negara yang berkembang dengan bentuk pemerintahan federal. Tetapi dengan pertimbangan bahwa dalam pembentukannya negara ini terdiri atas negara-negara bagian yang disepakati bersama untuk bersatu, maka diambillah keputusan bahwa negara ini merupakan Negara Kesatuan. Maka seiring perkembangan zaman dibentuklah undang-undang pemerintah daerah yang mengatur tentang Otonomi daerah untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur daerahnya masing-masing tanpa mengurangi makna negara kesatuan tersebut. Hal itu dilakukan karena dengan berkaca dari negara maju yang telah melakukannya


(15)

terlebih dahulu maka pemerintah menganggap ini penting agar setiap kawasan di daerah dapat tertata dengan baik dan setiap kawasan di daerah masing-masing dapat dikelola dengan semestinya, baik dari sumberdaya alam, sumberdaya buatan maupun sumberdaya manusianya untuk mengelola kedua sumberdaya kedua tersebut.

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka landasan administrasi dan keuangan diarahkan untuk mengembangkan otonomi daerah kepada Pemerintah Kabupaten/ Kota. Kedua undang-undang tersebut, yang lebih dikenal dengan Undang-undang Pemerintah Daerah (yang diperbaharui UU Nomor 32 tahun 2004), memberikan kewenangan yang luas kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Akan tetapi harus tetap disadari bahwa kewenangan tersebut tidaklah semata-mata untuk kepentingan suatu daerah Kabupaten/Kota tertentu, namun tetap dalam kerangka kepentingan pembangunan wilayah Propinsi dan Nasional. Dengan memasuki tahun kedua undang-undang otonomi daerah tersebut hingga sekarang masih banyak ditemukan permasalahan dan kendala pembangunan, terutama dalam kerangka pembangunan wilayah.

Permasalahan umum yang masih ditemukan antara lain : (1) Kesenjangan dalam dan antar wilayah, (2) Keterbatasan akses ke kawasan terpencil/tertinggal dan akses ke pasar, (3) Sistem pembangunan yang masih sentralistik dan sektoral, (4) Lemahnya keterpaduan program yang berbeda sumber pendanaannya, (5)


(16)

Belum efektifnya pemanfaatan rencana tata ruang sebagai alat keterpaduan pembangunan (wilayah/ sektoral), (6) Pengelolaan pembangunan di daerah belum optimal dalam menunjang upaya pengembangan wilayah, dan (7) Terakumulasi-nya modal di kawasan perkotaan.1

Dengan semakin terintegrasinya perekonomian secara global, harus diakui bahwa tata ruang bukanlah suatu fenomena internal semata, tetapi dinamikanya sangat dipengaruhi faktor-faktor global. Mungkin tidak terbayang sekitar 30 tahun yang lalu, bahwa gejala globalisasi ekonomi akan melanda dunia dengan sangat hebat, memasuki abad 21. Globalisasi, yang pada dasarnya ditandai dengan bebasnya aliran, modal, manusia, barang, serta informasi, pada gilirannya telah membawa implikasi semakin terintegrasinya sistem sosioekonomi dan politik secara global. Tentu saja, hal ini, berdampak luar biasa pada negara sedang berkembang, seperti Indonesia, sehingga masalah pembangunan yang dihadapi negara sedang berkembang semakin rumit karena Globalisasi tidak mengenal batas-batas yurisdiksi negara ataupun propinsi.2

Pertumbuhan dan perkembangan suatu wilayah khususnya kota pematang siantar dilatarbelakangi oleh berbagai aspek kehidupan seperti perkembangan penduduk, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dinamika kegiatan ekonomi, perkembangan/ perluasan jaringan komunikasi-transportasi dan

1 http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/Rini S. Saptaningtyas 2 http://. Penataan Ruang. Net/ taru/ sejarah/ BAB7.5 Footer. Pdf


(17)

sebagainya. Faktor-faktor tersebut akan membawa perubahan terhadap bentuk keruangan di wilayah yang bersangkutan, baik secara fisik maupun non fisik, sebagai wadah kegiatan manusia di dalamnya. Perubahan tersebut apabila tidak ditata dengan baik akan mengakibatkan perkembangan yang tidak terarah dan penurunan kualitas pemanfaatan ruang.3

Dari pengamatan selama ini, dapat ditemu-kenali beberapa kelemahan dalam proses perencanaan dan implementasi tata ruang wilayah di indonesia sebagai berikut: (1) Perencanaan berorientasi pada pencapaian tujuan ideal berjangka panjang, yang sering meleset akibat banyaknya ketidakpastian(uncertainties). Di sisi lain terdapat jenis-jenis perencanaan yang disusun dengan landasan pemikiran pemecahan masalah yang berjangka pendek kurang berwawasan luas, (2) Produk akhir berupa rencana tata ruang yang baik tidak selalu menghasilkan penataan ruang yang baik pula, tanpa didukung oleh para pengelola perkotaan dan daerah (urban and regional managers) yang handal, dilengkapi dengan mekanisme pengawasan dan pengendalian pembangunan (development control) yang jelas, (3) Terlihat kecenderungan yang kuat bahwa perencanaan tata ruang terlalu berat ditekankan pada aspek penataan ruang dalam arti fisik dan visual, (4) Keterpaduan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan selama ini terkesan sekadar sebagai slogan atau hiasan bibir belaka, belum mengejawantah dalam kenyataan, (5) Peran serta masyarakat

3diunduh tgl 28 april 2011


(18)

dalam proses perencanaan tata ruang wilayah masih sangat terbatas, (6) Adanya “gigi ompong” atau kata gagahnya ‘grey areas’ yaitu yang berupa rencanan kawasan ‘urban design’ yang sesungguhnya merupakan titi temu antara perencanaan kota yang berdimensi dua dengan perencanaan arsitektur yang berdimensi tiga. Dengan kata lain, sesudah tersusunnya rencana kota mulai dari rencana umum tata ruang kota (RUTRK), Rencana detail tata ruang kota (RDTRK) dan rencana teknis ruang kota (RTRK), biasanya langsung meloncat ke perncangan arsitektur secara individual bahkan bila dituntut lebih lanjut, seringkali RUTRK dibuat terlebih dahulu sedangkan rencana umum tata ruang daerah(RUTRD) dan rencana struktur tata ruang propinsi (RSTRP)-nya belum tersusun, (7) Yang juga cukup merisaukan adalah kekurang-pekaan para penentu kebijakan dan juga beberapa kalangan profesional terhadap warisan peninggalan kuno yang pada hakikatnya merupaan bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah perkotaan. Tergusur dan lenyapnya karya arsitektur langka yang estetis dan bernilai sejarah , berarti lenyaplah suatu babakan dari kisah perkembangan kota, (8) Penekanan perencanaan kota dan daerah cenderung lebih berat pada aspek lingkungan binaan (man made environment) dan kurang memperhatikan pendayagunaan atau optimalisasi lingkungan alamiah (natural environment), (9) Terakhir, yang paling meresahkan adalah tipisnya wibawa dan kekuatan hukum suatu produk rencana tata ruang. Tata ruang yang sudah tersusun dapat dengan begitu saja dijungkir balikkan karena adanya ‘surat sakti’ dari penguasa dan pejabat kalangan atas.4


(19)

Dengan adanya UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap provinsi maupun kabupaten/ kota wajib memiliki peraturan daerah mengenai tata ruang. Provinsi diberikan waktu dua tahun untuk menyesuaikan atau menyusun Perda Tata Ruang sesuai aturan dalam Undang-undang ini. Sementara, kabupaten/kota diberikan waktu tiga tahun. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 diundangkan pada April 2007 dan mulai berlaku saat itu juga. Artinya, pada tahun 2009 semua provinsi sudah harus memiliki perda yang sesuai dengan ketentuan UU. Untuk kabupaten/kota, batas waktunya adalah bulan April tahun 2010, tetapi yang terjadi yaitu daerah terkesan lambat dalam pembentukan Peraturan Daerah (perda) mengenai tata ruang. Padahal, perda ini sangat penting untuk mendorong perbaikan pembangunan di daerah. Kendati masih ada provinsi, kabupaten/ kota yang belum memiliki perda mengenai rencana tata ruang wilayah, tidak bisa juga dikatakan bahwa pembangunan di provinsi, kabupaten/ kota itu tidak berjalan dan walaupun banyak daerah yang telah memiliki perda rencana tata ruang wilayah, belum tentu daerah tersebut telah tertata dengan baik sesuai dengan rencana tata ruang yang ada di daerahnya masing-masing, karena masih banyak ditemukan daerah yang demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah, pemerintah daerah tersebut mengeluarkan kebijakan pemanfaatan tata ruang yang tidak konsisten dengan perda tata ruang yang telah disusun.

Dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) pada hakekatnya merupakan suatu paket kebijakan umum pengembangan daerah. Rencana tata ruang merupakan hasil perencanaan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang. Kebijakan yang dirumuskan pada dokumen ini merupakan dasar strategi


(20)

pembangunan spasial, baik yang berkenaan dengan perencanaan tata ruang yang lebih terperinci (RDTRK, RTBL), maupun rencana kegiatan sektoral seperti kawasan perdagangan, industri, pemukiman, serta fasilitas umum dan sosial. Dalam implementasinya, pemanfaatan ruang dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik internal maupun eksternal, sehingga apabila terjadi suatu penyimpangan atau pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW, maka perlu untuk disempurnakan, baik dalam format evaluasi maupun revisi supaya RTRW tersebut tetap aktual, mampu mengakomodir aktivitas kota dan dapat dipedomani oleh setiap stakeholder dalam pembangunan kota. Dalam operasinalisasinya, rencana tata ruang harus memiliki kekuatan hukum berupa peraturan daerah.5

Perlu diketahui bersama bahwa pada pemerintah kota pematang siantar telah memiliki rencana tata ruang wilayah berupa peraturan daerah, tetapi perda RTRW tersebut telah habis masa berlakunya, karena sesuai dengan UU nomor 26 tahun 2007, bahwa masa berlakunya peraturan daerah rencana tata ruang wilayah adalah 20 tahun, dan masa berlakunya perda RTRW pematang siantar telah habis pada tahun 2009. Maka sesuai dengan UU tersebut diatas maka pemerintah kota pematang siantar menganggap perlu untuk membuat rencana tata ruang wilayah yang baru dan nantinya akan dibuat kekuatan hukumnya berupa Peraturan daerah. Pemerintah Kota Pematangsiantar, yang dalam hal ini dikomandoi oleh Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan) dalam hal penyusunan RTRW telah selesai dalam penyusunan dokumen RTRW ini, dan sekarang masih pada tahap

5


(21)

Penyampaian raperda tentang RTRW kota kepada Menteri untuk permohonan persetujuan substansi dengan disertai rekomendasi gubernur.

Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan) merupakan sebuah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang mempunyai tugas untuk mengkoordinasikan program perencanaan pembangunan, baik jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. Sebagai sebuah lembaga SKPD, disamping mengkoordinasikan program perencanaan pembangunan daerah, Bappeda juga berfungsi sebagai pusat penelitian di daerah baik ekonomi, kependudukan, maupun sosial budaya. Bappeda juga berfungsi sebagai lembaga Evaluasi hasil pembangunan.

Memperhatikan permasalahan penataan tata ruang wilayah, paradigma penataan ruang dan masih banyaknya daerah yang belum memiliki perda tata ruang wilayah maupun yang sedang dalam tahapan penyusunan perda tata ruang wilayah, maka penulis memandang perlunya untuk melakukan penelitian tentang proses penyusunan peraturan daerah rencana tata ruang wilayah kota Pematang Siantar dengan judul “ Evaluasi Penyusunan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah di Kantor Bappeda Pematangsiantar”

1.2 Rumusan Masalah

Masalah timbul karena adanya tantangan, adanya kesangsian ataupun kebingungan kita terhadap suatu hal atau fenomena, adanya kemenduaan arti(ambiguity), adanya halangan dan rintangan, adanya celah(gap) baik antara kegiatan atau antar fenomena, baik yang telah ada ataupun yang akan datang.


(22)

Penelitian diharapkan dapat memecahkan masalah-masalah itu, atau sedikit-dikitnya menutup celah yang terjadi.6

1. Untuk mengetahui bagaimana Evaluasi Penyusunan Peraturan daerah Rencana Tata Ruang Wilayah di kantor Bappeda(Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pematangsiantar.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahannya sebagai berikut:

“Bagaimana Evaluasi Penyusunan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah di Kantor Bappeda Pematangsiantar?”

1.3 Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah pasti memiliki tujuan penelitian. Tujuan penelitian merupakan suatu pernyataan atau statement tentang apa yang ingin kita cari atau yang ingin kita tentukan. Dalam hal ini yang menjadi tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah

1. Secara subjektif, untuk mengembangkan pengetahuan, wawasan dan kemampuan berpikir dalam dalam pembuatan karya tulis ilmiah

6Moh.nazir, Ph.D Metode Penelitian 2005: 111


(23)

2. Secara praktis, sebagai masukan/ sumbangan pemikiran pada kantor Bappeda kota Pematangsiantar dalam penyusunan perda rencana tata ruang wilayah

3. Secara akademis, sebagai bahan masukan ataupun bahan perbandingan bagi orang-orang yang belum mengetahui proses penyusunan perda ataupun orang yang ingin mengadakan penelitian di bidang yang sama.

1.5 Kerangka Teori

Untuk memudahkan penulis dalam rangka penyusunan penelitian ini, maka dibutuhkan suatu landasan berfikir yang dijadikan sebagai pedoman untuk menjelaskan masalah yang sedang disorot, pedoman tersebut disebut dengan kerangka teori. Menurut setiawan djuharie7 Telaahan kepustakaan berisi tentang hasil telahaan terhadap teori dan hasil penelitian terdahulu yang terkait. Telahaan ini bisa dalam arti membandingkan, mengkontraskan atau meletakkan tempat kedudukan masing-masing dalam masalah yang sedang diteliti, dan pada akhirnya menyatakan posisi/ pendirian peneliti disertai dengan alasan-alasannya. Telahaan ini dipelukan karena tidak ada penelitian empirik tanpa didahului telahaan kepustakaan.

7 Setiawan Djuharie pedoman penulisanskripsi, tesis, disertasi 2001:55


(24)

1.5.1 Evaluasi Kebijakan

1.5.1.1Beberapa Defenisi Mengenai Evaluasi Kebijakan

Michael howlet dan M Ramesh(1995:11) dalam Subarsono (2005:13) mengemukakan bahwa evaluasi kebijakan adalah proses untuk memonitor dan menilai hasil atau kinerja kebijakan.

Anderson (1979) mengatakan bahwa Evaluasi adalah the appraisal of assesstment of policy including its content implementation and impact (penilaian atau pengukuran kebijakan termasuk isi, implementasi dan dampaknya).

Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating) dan penilaian (assesment), kata-kata yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti satuan nilainya. Dalam arti yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan.

Dengan evaluasi, kebijakan-kebijakan ke depan akan lebih baik dan tidak mengurangi kesalahan yang sama. Berikut ini ada beberapa argumen perlunya evaluasi:

1. Untuk menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi maka dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran

2. Untuk mengetahui keberhasilan/ kegagalan atau kebijakan 3. untuk mengetahui penyebab kegagalan


(25)

4. untuk mengetahui apabila ada penyimpangan. Evaluasi juga bertujuan utnuk mengetahui adanya penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian target.

5. Sebagai bahan masukan(input) untuk kebijakan yang akan datang. Tujuan akhir dari evaluasi adalah untuk memberikan masukan bagi proses kebijakan ke depan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik.

Ripley (1985) dalam subarsono (2005:10) hasil kebijakan bermanfaat bagi penentuan kebijakan dimasa yang akan datang, agar kebijakan yang akan datang lebih baik dan lebih berhasil.

Selanjutnya Jones dalam Tangkilisan (2003:25) mengemukakan bahwa evaluasi suatu kebijakan publik berarti dilakukan peninjauan ulang untuk mendapatkan perbaikan dari dampak yang tidak diinginkan.

Melihat pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Evaluasi kebijakan adalah kegiatan atau proses untuk mengukur dan selanjutnya menilai sampai dimanakah tujuan yang telah dirumuskan sudah dapat dilaksanakan.

1.5.1.2 Model/ Tipe Evaluasi Kebijakan

Evaluasi kebijakan merupakan langkah terakhir dalam proses suatu kebijakan. Namun, evaluasi secara lengkap mengandung tiga pengertian:


(26)

a. evaluasi awal, sejak awal sejak dari proses perumusan kebijakan sampai saat sebelum dilaksanakan (Ex-ante evaluation)

b. Evaluasi dalam proses pelaksanaan atau monitoring

c. Evaluasi akhir, yang dilakukan setelah selesai proses pelaksanaan kebijakan(ex-post evaluation)

Pentingnya evaluasi awal dalam proses kebijakan pada umumnya dirasakan karena setelah rumusan draff kebijakan dibuat atau disetujui masih dirasakan ada keperluan untuk melakukan sosialisasi guna memperoleh tanggaan awal dari masyarakat. Contoh yang paling jelas dapat dilihat dalam proses pembuatan undang-undang.

Bersamaan dengan proses pelaksanaan ada kegiatan penilaian yang disebut monitoring. Sekalipun kedua proses itu berjalan bersamaan, monitoring tidak boleh sampai mengganggu proses pelaksanaan. Bahkan monitoring diperlukan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan. Dengan monitoring diharapkan setiap kekeliruan atau ketidakcocokan yang terjadi sebagai akibat dari kekurangan informasi pada saat formulasi kebijakan atau karena ada perubahan-perubahan yang tidak terduga di lapangan, segera dapat diperbaiki dan disesuaikan. Dengan demikian, kekeliruan tidak berlarut-larut sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya kegagalan. Maka itu, fokusnya tidak hanya pada suatu tahap dalam proses kebijakan, tetapi pada keseluruhan proses. Karena itu, obyek yang diidentifikasi bukan sekedar kegagalan, melainkan juga keberhasilan. Kegagalan menjadi sasaran untuk diperbaiki, sementara keberhasilan menjadi contoh untuk dikembangkan.


(27)

Menurut William N Dunn, Gambaran utama evaluasi adalah bahwa evaluasi menghasilkan tuntutan-tuntutan yang bersifat evaluatif. Disini pertanyaannya bukan mengenai fakta(apakah sesuatu ada?) atau aksi (apakah yang harus dilakukan?)tetapi nilai(berapa nilainya?). karena itu evaluasi memiliki sejumlah karakteristik yang membedakannya dari metode-metode analisis kebijakan lainnya:8

1. Fokus nilai

Evalusi merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program dan buka sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi dan tidak terantisipasi. Karena ketepatan tujuan dapat selau dipertanyakan, evaluasi mencakup prosedur untuk mengevaluasi tujuan-tujuan dan sasaran itu.

2. Interdependensi fakta-nilai

Tuntutan evaluasi tergantung baik “fakta” maupun “nilai”. Untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tinggi atau rendah diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau seluruh masyarakat: untuk menyatakan demikian, harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan secara aktual merupakan konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk

8 William N Dunn pengantar analisis kebijakan publik 1998:608)


(28)

memecahkan masalah tertentu. Oleh karena itu pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi

3. Orientasi masa kini dan masa lampau

Tuntutan evaluatif, berbeda dengan tuntutan advokatif, diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil masa depan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan( ex post). Rekomendasi yang juga mencakup premis-premis nilai, bersifat prospektif dan dibuat sebelumaksi-aksi dilakukan

4. Dualitas nilai

Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan segaligus cara. Evaluasi sama dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada.

William Dunn dalam Abidin (2004;218), menunjuk pada perbedaan fungsi antar monitoring atau evaluasi dalam proses pelaksanaan dengan evaluasi kinerja atau evaluasi sesudah pelaksanaan. William Dunn mengemukakan bahwa monitoring ditujukan untuk menjawab pertanyaan tentang apa yang terjadi dalam proses pelaksanaan, bagaimana terjadinya dan mengapa, “what happened, how and why?” sementara evaluasi akhir menjawab persoalan tentang perubahan apa yang telah terjadi. Menurut Dunn, monitoring menghasilkan informasi yang sifatnya empiris, berdasarkan fakta-fakta yang ada (designative claims), sementara evaluasi akhir menghasilkan informasi


(29)

yang bersifat penilaian (values) dalam memenuhi kebutuhan, peluang dan/ atau memecahkan permasalahan.

Secara keseluruhan, evaluasi kebijakan memiliki empat fungsi :

1. Eksplanasi

Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya . disini, evaluator dapat mengetahui persoalan-persoalan politis dan manajemen yang melekat dalam implementasi kebijakan.

2. Kepatuhan

Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lain sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.

3. Auditing

Melalui evaluasi dapat diketahui apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran maupun penerima lain (individu, keluarga, organisasi, birokrasi desa, dan lain-lain) yang dimaksudkan oleh pembuat kebijakan. Tidak adakah penyimpangan dan kebocoran?


(30)

4. Akunting

Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari kebijakan tersebut.9

1. Proses pembuatan kebijakan

Dalam william dunn(278) di dalam samodra wibawa, dkk(10) Evaluasi kebijakan kiranya bermaksud untuk mengetahui empat aspek:

2. Proses implementasi 3. Konsekuensi kebijakan 4. Efektivitas dampak kebijakan

Lebih lanjut, tangkilisan(2003:26) menjelaskan bahwa dalam melakukan evaluasi kebijakan, secara umum ada tiga aspek yang diharapkan dari seorang evaluator kebijakan, yaitu:

1. Aspek perumusan kebijakan, dimana evaluator berupaya untuk menemukan jawaban bagaimana kebijakan tersebut dibuat dan dirumuskan 2. Aspek implementasi kebijakan, dimana evaluator berupaya mencari

jawaban bagaimana kebijakan tersebut dilakukan.

3. Aspek evaluasi dimana evaluator berusaha untuk mengetahui apa dampak yang ditimbulkan oleh suatu tindakan kebijakan, baik dampak yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan.

9

Samodra Wibawa, dkk Evaluasi Kebijakan Publik: 10; Dunn:278; Ripley:179


(31)

‘Di pihak lain, evaluasi dapat dilakukan sebelum maupun sesudah kebijakan dilaksanakan. Keduanya disebut evaluasi summatif dan formatif’10

Dengan mengkaji ketiga aspek tersebut diatas, dalam hal ini evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah-masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.

11

10

Samodra wibawa, dkk...ibid: 358

11 Budi Winarno Kebijakan Publik Teori dan Proses 2007: 226

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan model evaluasi awal. Dimana dalam penelitian ini penulis akan mencoba mengevaluasi penyusunan peraturan daerah rencana tata ruang wilayah

1.5.1.3 Indikator Pengukuran Evaluasi Kebijakan:

Menurut Subarsono (2005:121) pengukuran evaluasi bervariasi, namun secara umum evaluasi kinerja kebijakan tersebut mengacu pada lima indikator input, process, outputs, outcomes, dampak


(32)

Indikator input adalah bahan baku yang digunakan sebagai masukan dalam sebuah sistem kebijakan. Input tersebut dapat berupa, SDM, Sumberdaya finasnsial, tuntutan-tuntutan dan dukungan masyarakat.

Sedangkan indikator proses memfokuskan pada penilaian bagaimana sebuah kebijakan ditransformasikan dalam bentuk pelayanan langsung kepada masyarakat.

Sementara Indikator output(hasil), adalah keluaran dari sebuah sistem kebijakan, yang dapat berupa peraturan, kebijakan, pelayanan/ jasa dan program.

Outcomes, adalah hasil suatu kebijakan dalam jangka waktu tertentu sebagai akibat diimplementasikannya suatu kebijakan.

Impact(dampak) adalah akibat lebih jau pada masyarakat sebagai konsekuensi adanya kebijakan yang diimplementasikan.

1.5.2 Pemerintah Daerah

Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.12


(33)

1.5.2.1 Kepala Daerah

Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah. Kepala daerah untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten disebut bupati dan untuk kota adalah walikota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah, untuk provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil walikota. Kepala dan wakil kepala daerah memiliki tugas, wewenang dan kewajiban serta larangan. Kepala daerah juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.

1.5.2.2 Wakil Pemerintah Pusat

Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan, dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten dan kota. Wakil pemerintah sebagaimana dimaksud adalah perangkat pemerintah pusat dalam rangka dekonsentrasi.


(34)

1. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota;

2. koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota;

3. koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Dalam kedudukannya tersebut, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.13

1.5.2.3 Perangkat Daerah

Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.

diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Sekretaris Daerah Provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sekretaris Daerah karena kedudukannya sebagai pembina pengawai negeri sipil di daerahnya.


(35)

diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur dengan persetujuan DPRD Provinsi. Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota.

dipimpin oleh kepala dinas yang diangkat dan diberhentikan oleh kepala daerah dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris Daerah.

dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik berbentuk badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah. Badan, kantor atau rumah sakit umum daerah sebagaimana dimaksud dipimpin oleh kepala badan, kepala kantor, atau kepala rumah sakit umum daerah yang diangkat oleh kepala daerah dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris Daerah.

Kabupaten/Kota yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kecamatan dipimpin oleh seorang camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul sekretaris daerah kabupaten/kota dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


(36)

yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kelurahan dipimpin oleh seorang lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota. Lurah diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Tugas dan Wewenang

Pemerintah daerah bersama-sama pemerintahan daerah yang menjadi kewenangannya. Pemerintah daerah mengurus (bestuur) urusan pemerintahan daerah yang menjadi kewenangannya. Pemerintah daerah wajib menyebarluaskan Perda yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang telah diundangkan dalam Berita Daerah. Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal dari penerusan pinjaman hutang luar negeri dari Menteri Keuangan atas nama Pemerintah setelah memperoleh pertimbangan Menteri Dalam Negeri. Perjanjian penerusan pinjaman tersebut dilakukan antara Menteri Keuangan dan Kepala Daerah. Pemerintah daerah dengan persetujuan DPRD dapat menerbitkan obligasi daerah untuk membiayai investasi yang menghasilkan penerimaan daerah. Pemerintah daerah dalam meningkatkan perekonomian daerah dapat memberikan insentif dan/atau


(37)

kemudahan kepada masyarakat dan/atau investor yang diatur dalam Perda dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Pemerintah daerah dapat melakukan penyertaan modal pada suatu Badan Usaha Milik Pemerintah dan/atau milik swasta. Penyertaan modal tersebut dapat ditambah, dikurangi, dijual kepada pihak lain, dan/atau dapat dialihkan kepada badan usaha milik daerah. Pemerintah daerah dapat memiliki BUMD yang pembentukan, penggabungan, pelepasan kepemilikan, dan/atau pembubarannya ditetapkan dengan Perda yang berpedoman pada peraturan perundangundangan. Pemerintah daerah dapat membentuk dana cadangan guna membiayai kebutuhan tertentu yang dananya tidak dapat disediakan dalam satu tahun anggaran. Pengaturan tentang dana cadangan daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pemerintah daerah wajib melaporkan posisi surplus/defisit APBD kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan setiap semester dalam tahun anggaran berjalan. Pemerintah daerah mengajukan rancangan Perda tentang perubahan APBD, disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD. Pemerintah daerah dapat membentuk badan pengelola pembangunan di kawasan perdesaan yang direncanakan dan dibangun menjadi kawasan perkotaan. Pemerintah daerah mengikutsertakan masyarakat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan, dan pengelolaan


(38)

1.5.3 Rencana Tata Ruang Wilayah

Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya

Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang

Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang

Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam penataan ruang

Perencanaan tata ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang

Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/ atau aspek fungsional.


(39)

Rencana tata ruang wilayah nasional(RTRWN) adalah strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah negara untuk periode 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2026.14

Menurut Haeruman 2004 (dalam Suciaty).Tata ruang merupakan suatu rencana yang mengikat semua pihak, yang berbentuk alokasi peruntukan ruang di suatu wilayah perencanaan. Bentuk tata ruang pada dasarnya dapat berupa alokasi letak, luas, dan atribut lain (misalnya jenis dan intensitas kegiatan) yang direncanakan dapat dicapai pada akhir periode rencana.15

Langkah awal penataan ruang adalah penyusunan rencana tata ruang. Rencana tata ruang diperlukan untuk mewujudkan tata ruang yang memungkinkan semua kepentingan manusia dapat terpenuhi secara optimal. Rencana tata ruang, oleh sebab itu, merupakan bagian yang penting dalam proses pembangunan, bahkan merupakan persyaratan untuk dilaksanakannya pembangunan, baik bagi daerah yang sudah tinggi intensitas kegiatannya maupun bagi daerah-daerah yang baru mulai tumbuh dan berkembang.

Selain bentuk tersebut, tata ruang juga dapat berupa suatu prosedur belaka (tanpa

menunjuk alokasi letak, luas, dan atribut lain) yang harus dipenuhi oleh para pelaku pengguna ruang di wilayah rencana. Namun tata ruang dapat pula terdiri dari gabungan kedua bentuk diatas, yaitu terdapat alokasi ruang dan juga terdapat

prosedur.

14 Undang-undang RI 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang

15 suciaty. 2006.magister teknik pembangunan wilayah dan Kota: Partisipasi masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang perkotaan, hal26.


(40)

Menurut Budihardjo dan Sujarto (2005:208), perencanaan tata ruang kota selama ini masih saja cenderung terlalu berorientasi pada pencapaian tujuan ideal berjangka panjang, yang sering meleset akibat banyaknya ketidakpastian. Di sisi lain terdapat jenis-jenis perencanaan yang disusun dengan landasan pemikiran pemecahan masalah secara ad hoc yang berjangka pendek, kurang berwawasan luas.Seyogyanya pendekatan yang diambil mencakup keduanya.

Selanjutnya dijelaskan beberapa usulan atau rekomendasi untuk peningkatan kualitas perencanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup di masa mendatang agar dapat berkelanjutan:

1. Agar pengelolaan dan tata ruang kota tidak lagi sekadar dilihat sebagai management of growth atau management of changes melainkan lebih sebagai management of conflicts.

2. Mekanisme development control yang ketat agar ditegakkan, lengkap dengan

sanksi (dis-insentif) buat yang melanggar dan bonus (insentif) bagi mereka yang

taat pada peraturan.

3. Penataan ruang kota secara total, menyeluruh dan terpadu dengan model-model

participatory planning dan over the board planning atau perencanaan lintas sektoral sudah dilakukan secara konsekuen dan berkesinambungan.


(41)

4. Kepekaan sosio-kultural para penentu kebijakan dan profesional khususnya di bidang tata ruang kota dan lingkungan hidup seyogyanya lebih ditingkatkan melalui forum-forum baik secara formal maupun informal.

5. Dalam setiap perencanaan tata ruang kota dan pengelolaan lingkungan hidup agar lebih diperhatikan kekayaan khasanah lingkungan alam.

6. Peran serta penduduk dan kemitraan dengan pihak swasta agar lebih digalakkan.

7. Prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan pada kepentingan rakyat

agar dijabarkan dalam rencana dan tindakan nyata. Perencanaan tata ruang dapat mempengaruhi proses pembangunan melalui 3 alat utama yaitu (Cadman dan Crowe, 1991:143):

1. Rencana pembangunan, yang menyediakan pengendalian keputusan melalui

keputusan strategis dimana pemerintah mengadopsi rencana tata ruang untuk mengatur guna lahan dan perubahan lingkungan.

2. Kontrol pembangunan, yang menyediakan mekanisme administratif bagi perencana untuk mewujudkan rencana pembangunan setelah mengadopsi rencana tata ruang. Kontrol pembangunan ini berlaku pula bagi pemilik lahan, pengembang dan investor.

3. Promosi pembangunan, merupakan cara yang paling mudah mengetahui interaksi antara perencanaan tata ruang dengan proses pembangunan. Dalam


(42)

konteks pemerintahan, maka dengan adanya rencana tata ruang, pemerintah menginginkan adanya pembangunan dan investasi di daerahnya dengan cara mempromosikan dan memasarkan lokasi, membuat lahan yang siap bangun dan menyediakan bantuan dana serta subsidi.

Pola pikir secara terpadu dalam penataan kota diperlukan, tidak saja dalam pengertian komprehensif terhadap unsur-unsur pembangunan kota namun juga mengandung pengertian terhadap pendekatan sistem yang tak terpisahkan antara perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian (development cycle) dalam setiap tahap penataan kota. Artinya pada tahap perencanaan, harus berfikir tentang bagaimana mencapai rencana yang disusun (pemanfaatan), sekaligus bagaimana dapat konsisten terhadap rencana yang dirumuskan (pengendalian). Sebaliknya pada tahap pengendalian, harus melihat ijin pelaksanaan pembangunan (pemanfaatan) dan sekaligus mengacu pada rencana yang dibuat (Pasaribu dan Suprapto, 2004:9).

Selain itu, rencana tata ruang hendaknya (Kiprah, 2001:22):

1. Quickly yielding, rencana tata ruang mampu menganalisis pertumbuhan dan perkembangan daerah, menghasilkan langkah-langkah serta tahapan-tahapan dan waktu pelaksanaan pembangunan untuk kurun waktu tertentu.

2. Political friendly, demokratisasi dan transparansi sudah menjadi kebutuhan dalam seluruh rangkaian proses penyusunannya. Pengetahuan-pengetahuan rencana tata ruang mulai dari rembug desa hingga penetapan oleh DPRD sangat menentukan kewibawaan rencana tata ruang.


(43)

3. User friendly, mudah dimengerti dan dipahami oleh segenap lapisan masyarakat. Sosialisasi perlu dilakukan terus menerus, sehingga masyarakat mudah memahami rencana dan perkembangan yang terjadi.

4. Market friendly, rencana tata ruang membuka peluang kepentingan dunia usaha dan rencana penanaman investasi dengan memperhatikan rencana tata guna tanah yang sesuai dengan peruntukannya.

5. Legal friendly, mempunyai kepastian hukum dan masyarakat dapat memperoleh kemudahan-kemudahan untuk melakukan investasinya.

Lebih lanjut, suatu rencana tata ruang akan berhasil bila memenuhi kriteria/unsurunsur sebagai berikut:

a. Disusun berdasarkan orientasi pasar.

b. Rencana tata ruang memiliki peluang bagi aktor atau stakeholder mengikuti dan mengisi tata ruang tersebut.

c. Mempunyai batasan-batasan yang jelas terutama menyangkut kewenangan masing-masing aktor dan stakeholder agar mempunyai kepastian hukum yang jelas.

d. Disusun untuk mengurangi dampak psikologis yang berkembang di dalam masyarakat dan mengakomodasikan berbagai kepentingan pelaku pembangunan, baik kelompok minoritas (misalnya pengembang, kontraktor) maupun mayoritas (masyarakat).

e. Mempunyai informasi yang jelas mengenai tahapan pelaksanaan pembangunan dan kapan rencana tersebut dilaksanakan.


(44)

f. Memiliki konsep pembangunan fisik, sosial, dan ekonomi yang pasti, masyarakat mengetahui alokasi pembangunan dan pengembangan, sehingga diperoleh informasi daerah/kawasan yang dapat dikembangkan dan dipertahankan.

g. Disusun untuk membangun kebersamaan, memperoleh kesepakatan dengan menunjukkan pula kelemahan dan kelebihan rencana tata ruang serta dampak yang akan ditimbulkannya, baik positif maupun negatif.

1.5.3.1 Fungsi dan Manfaat RTRW Kota16

16 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17 tahun 2009

1.5.3.1.1 Fungsi RTRW Kota

Fungsi RTRW kota adalah sebagai:

1. Acuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

2. Acuan dalam pemanfaatan ruang/pengembangan wilayah kota

3. Acuan untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan dalam wilayah kota

4. Acuan lokasi investasi dalam wilayah kota yang dilakukan pemerintah, masyarakat, dan swasta


(45)

5. Pedoman untuk penyusunan rencana rinci tata ruang di wilayah kota

6. Dasar pengendalian pemanfaatan ruang dalam penataan/pengembangan wilayah kota yang meliputi penetapan peraturan zonasi, perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi; dan

7. Acuan dalam administrasi pertanahan.

1.5.3.1.2 Manfaat RTRW Kota

Manfaat RTRW kota adalah untuk:

1. Mewujudkan keterpaduan pembangunan dalam wilayah kota

2. Mewujudkan keserasian pembangunan wilayah kota dengan wilayah sekitarnya; dan

3. Menjamin terwujudnya tata ruang wilayah kota yang berkualitas.

1.5.3.2 Proses dan Prosedur Penyusunan RTRW Kota17

Kegiatan persiapan meliputi:

1.5.3.2.1 Proses Penyusunan RTRW Kota

1.5.3.2.1.1Persiapan Penyusunan RTRW Kota

A. Kegiatan Persiapan

17 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17 tahun 2009


(46)

1. Persiapan awal pelaksanaan, meliputi : pemahaman Kerangka Acuan Kerja (KAK) atau Terms of Reference (TOR) dan penyiapan Rencana Anggaran Biaya (RAB)

2. Kajian awal data sekunder, mencakup review RTRW Kota sebelumnya dan kajian kebijakan terkait lainnya

3. Persiapan teknis pelaksanaan yang meliputi:

a. penyimpulan data awal ;

b. penyiapan metodologi pendekatan pelaksanaan pekerjaan;

c. penyiapan rencana kerja rinci; Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

d. penyiapan perangkat survei (checklist data yang dibutuhkan, panduan wawancara, kuesioner, panduan observasi dan dokumentasi, dan lain-lain), serta mobilisasi peralatan dan personil yang dibutuhkan; dan

4. Pemberitaan kepada publik perihal akan dilakukannya penyusunan RTRW kota.

B. Hasil dari Pelaksanaan Kegiatan Persiapan

Hasil dari kegiatan persiapan ini, meliputi:

1. gambaran umum wilayah perencanaan;


(47)

3. hasil kajian awal berupa kebijakan terkait wilayah perencanaan, isu strategis, potensi dan permasalahan awal wilayah perencanaan, serta gagasan awal pengembangan wilayah perencanaan;

4. metodologi pendekatan pelaksanaan pekerjaan yang akan digunakan;

5. rencana kerja pelaksanaan penyusunan RTRW kota; dan

6. perangkat survei data primer dan data sekunder yang akan digunakan pada saat proses pengumpulan data dan informasi (survei).

C. Waktu Kegiatan

Untuk melaksanakan kegiatan persiapan ini dapat dibutuhkan waktu 1 bulan, tergantung dari kondisi daerah dan pendekatan yang digunakan.

1.5.3.2.1.2 Pengumpulan Data yang Dibutuhkan

A. Kegiatan Pengumpulan Data

Untuk keperluan pengenalan karakteristik wilayah kota dan penyusunan rencana struktur dan pola ruang wilayah kota, harus dilakukan pengumpulan data primer dan data sekunder.

Pengumpulan data primer dapat meliputi :

1. Penjaringan aspirasi masyarakat yang dapat dilaksanakan melalui penyebaran angket, temu wicara, wawancara orang per orang dan lain sebagainya.


(48)

2. Pengenalan kondisi fisik dan sosial ekonomi wilayah kota secara langsung melalui kunjungan ke semua bagian wilayah kota.

Data sekunder yang harus dikumpulkan sekurang-kurangnya meliputi:

1. peta

a. peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) atau peta topografi skala

1:25.000 sebagai peta dasar Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

b. citra satelit

untuk memperbaharui (update) peta dasar dan membuat peta tutupan lahan Citra satelit yang digunakan harus menggunakan citra dengan informasi terakhir. Untuk RTRW Kota disarankan untuk menggunakan citra satelit resolusi 60 cm - 1 m.

c. peta batas wilayah administrasi,

d. peta batas kawasan hutan,

e. peta informasi analisis kebencanaan (kegempaan, bahaya

gunung api, dll), dan

f. peta identifikasi potensi sumberdaya alam.

2. data dan informasi

a. data dan informasi kebijakan penataan ruang terkait (RTRW provinsi, RTR KSN, RTRW kota sebelumnya).


(49)

b. RPJP Kota dan RPJM Kota, untuk kota-kota yang telah memiliki RPJP dan RPJM

c. data tentang kependudukan

d. data tentang prasarana, sarana, dan utilitas wilayah

e. data perekonomian wilayah

f. data tentang kemampuan keuangan pembangunan daerah

g. data kondisi fisik/lingkungan dan sumber daya alam termasuk penggunaan lahan eksisting

h. data dan informasi tentang kelembagaan pembangunan daerah

i. data dan informasi tentang kebijakan pembangunan sektoral, terutama yang merupakan kebijakan pemerintah pusat

j. peraturan-perundang undangan terkait

Tingkat akurasi data, sumber penyedia data, kewenangan sumber atau instansi penyedia data, tingkat kesalahan, variabel ketidakpastian, serta variabel-variabel lainnya yang mungkin ada, perlu diperhatikan dalam pengumpulan data. Data dalam bentuk data statistik dan peta, serta informasi yang dikumpulkan berupa data tahunan (time series) minimal 5 (lima) tahun terakhir dengan kedalaman data setingkat kelurahan/desa. Dengan data berdasarkan kurun waktu tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran perubahan apa yang terjadi pada wilayah kota.


(50)

A. Hasil dari Pelaksanaan Kegiatan

Hasil kegiatan pengumpulan data harus didokumentasikan sebagai bagian dalam Buku Data dan Analisis.

C. Waktu Kegiatan

Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pengumpulan data primer dan sekunder antara 2 (dua) - 3 (tiga) bulan, tergantung dari kondisi ketersediaan data di daerah maupun jenis pendekatan dan metode yang digunakan pada tahap ini.

1.5.3.2.1.3 Pengolahan dan Analisis Data

A. Kegiatan Pengolahan dan Analisis Data

Secara garis besar ada dua rangkaian analisis utama yang harus dilakukan dalam penyusunan RTRW Kota. Pertama, analisis untuk menggambarkan karakteristik tata ruang wilayah kota. Kedua analisis potensi dan masalah pengembangan kota.

Karakteristik tata ruang wilayah kota yang harus digambarkan, meliputi :

1. kedudukan dan peran kota dalam wilayah yang lebih luas (regional)

a. kedudukan dan peran kota dalam sistem perkotaan nasional;

b. kedudukan dan peran kota dalam rencana tata ruang kawasan metropolitan (bila masuk dalam kawasan metropolitan);

c. kedudukan dan peran kota dalam rencana struktur ruang provinsi;


(51)

2. karakteristik fisik wilayah, sekurang-kurangnya meliputi:

a. karakteristik umum fisik wilayah (letak geografis, morfologi wilayah, dan sebagainya);

b. potensi rawan bencana alam (longsor, banjir, tsunami dan bencana alam geologi);

c. potensi sumberdaya alam (mineral, batubara, migas, panas bumi dan air tanah); dan

d. kesesuaian lahan pertanian (tanaman pangan, tanaman

perkebunan, dan sebagainya).

3. karakteristik sosial-kependudukan, sekurang-kurangnya meliputi:

a. sebaran kepadatan penduduk di masa sekarang dan di masa yang akan datang (20 tahun);

b. proporsi penduduk di masa sekarang dan di masa yang akan datang (20 tahun); dan

c. kualitas SDM dalam mendapatkan kesempatan kerja.

4. karakteristik ekonomi wilayah, sekurang-kurangnya meliputi:

a. basis ekonomi wilayah, ekonomi lokal, dan sektor informal;

b. prospek pertumbuhan ekonomi wilayah di masa yang akan datang; dan


(52)

5. kemampuan keuangan pembangunan daerah, sekurang-kurangnya meliputi:

a. sumber penerimaan daerah dan alokasi pembiayaan pembangunan; dan

b. prediksi peningkatan kemampuan keuangan pembangunan daerah.

Berdasarkan karakteritik tata ruang wilayah kota kemudian dilakukan analisis potensi dan masalah pengembangan kota yang meliputi :

1. analisis daya dukung wilayah kota serta optimasi pemanfaatan ruang;

2. analisis daya tampung wilayah kota;

3. analisis pusat-pusat pelayanan;

4. analisis kebutuhan ruang; dan

5. analisis pembiayaan pembangunan

Hasil dari keseluruhan kegiatan analisis meliputi :

1. visi pengembangan kota;

2. potensi dan masalah penataan ruang wilayah kota dari multi aspek yang berpengaruh;

3. peluang dan tantangan penataan ruang wilayah kota dari multi aspek yang berpengaruh;


(53)

5. perkiraan kebutuhan pengembangan wilayah kota yang meliputi pengembangan struktur ruang seperti sistem perkotaan dan sistem prasarana, serta pengembangan pola ruang yang sesuai dalammenyelesaikan permasalahan yang ada dengan menggunakan potensi yang dimiliki, mengelola peluang yang ada, serta dapat mengantisipasi tantangan pembangunan ke depan;

6. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup wilayah;

B. Hasil Pelaksanaan Kegiatan

Hasil kegiatan pengolahan data dan analisis didokumentasikan dalam buku Data dan Analisa. Pokok-pokok penting yang menggambarkan karakteristik tata ruang wilayah kota selanjutnya menjadi bagian awal dari buku RTRW kota.

C. Waktu Kegiatan

Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan analisis adalah antara 2-6 bulan, bergantung pada kondisi data yang berhasil dikumpulkan dan metoda pengolahan data yang digunakan.

1.5.3.2.1.4 Perumusan Konsep RTRW Kota

A. Kegiatan Perumusan Konsep RTRW Kota

Kegiatan perumusan konsepsi RTRW kota terdiri atas perumusan konsep pengembangan wilayah dan perumusan RTRW kota itu sendiri. Konsep pengembangan wilayah dilakukan berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan


(54)

sebelumnya dengan menghasilkan beberapa alternatif konsep pengembangan wilayah, yang berisi:

1. rumusan tentang tujuan, kebijakan, dan strategi pengembangan

wilayah kota; dan

2. konsep pengembangan wilayah kota;

Setelah dilakukan beberapa kali iterasi, dipilih alternatif terbaik sebagai dasar perumusan RTRW kota. Hasil kegiatan perumusan konsepsi RTRW yang berupa RTRW kota terdiri atas:

a. tujuan, kebijakan dan strategi penataan kota;

b. rencana struktur ruang kota;

c. rencana pola ruang kota;

d. penetapan kawasan-kawasan strategis kota;

e. arahan pemanfaatan ruang; dan

f. arahan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang.

B. Hasil Pelaksanaan Kegiatan Perumusan Konsepsi

Hasil kegiatan Perumusan Konsepsi RTRW Kota didokumentasikan dalam buku RTRW kota yang merupakan materi teknis RTRW kota.


(55)

C. Waktu Kegiatan

Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan perumusan konsep RTRW kota adalah 2 - 7 bulan.

1.5.3.2.1.5 Penyusunan Raperda Tentang RTRW Kota

A. Kegiatan Penyusunan Raperda Tentang RTRW Kota

Kegiatan penyusunan naskah raperda tentang RTRW kota merupakan proses penuangan naskah teknis RTRW kota ke dalam bentuk pasal-pasal dan mengikuti kaidah penyusunan peraturan perundang-undangan, khususnya ketentuan-ketentuan dalam UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

B. Hasil Pelaksanaan Kegiatan

Produk yang dihasilkan dari kegiatan ini adalah naskah Rancangan Peraturan Daerah tentang RTRW kota.

C. Waktu Kegiatan

Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penyusunan rancangan Peraturan Daerah tentang RTRW kota adalah 1 (satu) bulan, dan dapat dilakukan secara simultan dengan penyusunan naskah teknis RTRW.


(56)

1.5.3.2.2 Prosedur Penyusunan RTRW Kota

Prosedur penyusunan RTRW kota merupakan pentahapan yang harus dilalui dalam proses penyusunan RTRW kota sampai dengan proses legalisasi RTRW kota yang melibatkan instansi terkait pemerintah daerah kota, instansi terkait pemerintah provinsi, dewan perwakilan rakyat daerah, masyarakat, dan instansi terkait pemerintah pusat.

Masyarakat yang menjadi pemangku kepentingan dalam penyusunan RTRW kota

meliputi:

a. orang perseorangan atau kelompok orang;

b. organisasi masyarakat tingkat kota atau yang memiliki cakupan wilayah layanan satu kota atau lebih dari kota yang sedang melakukan penyusunan RTRW kota;

c. perwakilan organisasi masyarakat tingkat kota dan kabupaten/kota yang berdekatan secara sistemik (memiliki hubungan interaksi langsung) dari daerah yang dapat terkena dampak dari penataan ruang di daerah yang sedang disusun RTRW kota-nya; dan

d. Perwakilan organisasi masyarakat tingkat kota dan kabupaten/kota dari daerah yang dapat memberikan dampak bagi penataan ruang di daerah yang sedang disusun RTRW kotanya.


(57)

Prosedur penyusunan RTRW kota meliputi:

A. pembentukan tim penyusun RTRW kota yang beranggotakan unsur-unsur dari

pemerintah daerah kota, khususnya dalam lingkup Badan Koordinasi Penataan

Ruang Daerah (BKPRD) kota yang bersangkutan;

B. pelaksanaan penyusunan RTRW kota;

C. pelibatan peran mayarakat di tingkat kota dalam penyusunan RTRW kota

melalui:

1. Pada Tahap Persiapan, Pemerintah Telah Melibatkan Masyarakat Secara Pasif

Dengan Pemberitaan Mengenai Informasi Penataan Ruang Melalui:

a. media massa (televisi, radio, surat kabar, majalah);

b. brosur, leaflet, flyers, surat edaran, buletin, jurnal, buku;

c. kegiatan pameran, pemasangan poster, pamflet, papan pengumuman, billboard;

d. kegiatan kebudayaan (misal: pagelaran wayang dengan menyisipkan informasi yang ingin disampaikan di dalamnya);

e. multimedia (video, VCD, DVD);

f. website;

g. ruang pamer atau pusat informasi; dan/atau


(58)

2. Pada Tahap Pengumpulan Data, Peran Masyarakat/Organisasi Masyarakat Akan Lebih Aktif Dalam Bentuk:

a. pemberian data & informasi kewilayahan yang diketahui/dimiliki datanya;

b. pendataan untuk kepentingan penatan ruang yang diperlukan;

c. pemberian masukan, aspirasi, dan opini awal usulan rencana penataan ruang;

d. identifikasi potensi dan masalah penataan ruang.

Media yang digunakan untuk mendapatkan infomasi/masukan dapat melalui:

a) kotak aduan;

b) pengisian kuesioner, wawancara;

c) website, surat elektronik, form aduan, polling, telepon, pesan

singkat/SMS;

d) pertemuan terbuka atau public hearings;

e) kegiatan workshop, focus group disscussion (FGD);

f) penyelenggaraan konferensi; dan/atau

g) ruang pamer atau pusat informasi.

3. Pada Tahap Perumusan Konsepsi RTRW Kota, masyarakat terlibat secara aktif dan bersifat dialogis/komunikasi dua arah. Dialog dilakukan antara lain melalui


(59)

konsultasi publik, workshop, FGD, seminar, dan bentuk komunikasi dua arah lainnya.

Pada kondisi keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang telah lebih aktif, maka dalam penyusunan RTRW kota dapat memanfaatkan lembaga/forum yang telah ada seperti:

a. satuan kerja (task force/technical advisory committee);

b. steering committee;

c. forum delegasi; dan/atau

d. forum pertemuan antar pemangku kepentingan.

D. Pembahasan raperda tentang RTRW kota oleh pemangku kepentingan ditingkat kota. Pada tahap pembahasan raperda ini, masyarakat dapat berperan dalam bentuk pengajuan usulan, keberatan, dan sanggahan terhadap raperda tentang RTRW kota melalui:

1. media massa (televisi, radio, surat kabar, majalah);

2. website resmi lembaga pemerintah yang berkewenangan menyusun RTRW kota;

3. surat terbuka di media massa;

4. kelompok kerja (working group/public advisory group); dan/atau

5. diskusi/temu warga (public hearings/meetings), konsultasi publik, workshops, charrettes, seminar, konferensi, dan panel.


(60)

1.5.3.3 Proses dan Prosedur Penetapan RTRW Kota

Proses dan prosedur penetapan RTRW kota merupakan tindak lanjut dari proses dan prosedur penyusunan RTRW kota sebagai satu kesatuan sistem perencanaan tata ruang wilayah kota. Proses dan prosedur penetapannya diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara garis besar proses dan prosedur penetapan RTRW kota meliputi tahapan sebagai berikut:

a. Pengajuan Raperda tentang RTRW kota dari walikota kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota, atau sebaliknya;

b. Pembahasan RTRW oleh DPRD bersama pemerintah daerah kota;

c. Penyampaian raperda tentang RTRW kota kepada Menteri untuk permohonan

persetujuan substansi dengan disertai rekomendasi gubernur, sebelum raperda kota disetujui bersama antara pemerintah daerah kota dengan DPRD kota;

d. penyampaian raperda tentang RTRW kota kepada gubernur untuk dievaluasi setelah disetujui bersama antara pemerintah daerah kota dengan DPRD kota; dan

e. penetapan raperda kota tentang RTRW kota oleh Sekretariat Daerah kota.

1.5.4 Peraturan Daerah

Peraturan daerah adalah


(61)

Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Peraturan Daerah terdiri atas:

1. Peraturan Daerah Provinsi, yang berlaku di provinsi tersebut. Peraturan Daerah Provinsi dibentuk oleh DPRD Provinsi dengan persetujuan bersama

2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/kota tersebut. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibentuk oleh DPRD Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Daerah Kabupaten/Kota tidak subordinat terhadap Peraturan Daerah Provinsi.18

1.5.4.1 Mekanisme Pembentukan Peraturan Daerah

Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah (gubernur, bupati, atau walikota). Raperda yang disiapkan oleh Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD. Sedangkan Raperda yang disiapkan oleh DPRD disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah.


(62)

Pembahasan Raperda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama gubernur atau bupati/walikota. Pembahasan bersama tersebut melalui tingkat-tingkat pembicaraan, dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani legislasi, dan dalam rapat paripurna.

Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk disahkan menjadi Perda, dalam jangka waktu palinglambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. Raperda tersebut disahkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan menandatangani dalam jangka waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Jika dalam waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama tidak ditandangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota, maka Raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan.19

a. Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD

1.5.4.2 Pembentukan Peraturan Daerah 1. Prinsip Pembentukan Perda

Setelah UU No 22 tahun 1999 diganti dengan UU no.32 tahun 2004 prinsip-prinsip pembentukan peraturan daerah ditentukan sebagai berikut:

b. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi, tugas pembantuan dan merupakan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memerhatikan ciri khas masing-masing daerah c. Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/ atau

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

19 Undang-undang RI Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


(63)

d. Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan

e. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan ranperda

f. Perda dapat memuat ketentuan beban biaya paksaan penegakan hukum, atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya rp.50.000.000,-(lima puluh) juta rupiah

g. Peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah ditetapkan untuk melaksanakan Perda

h. Perda berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah

i. Perda dapat menunjuk pejabat tertentu sebagai pejabat-penyidik pelanggaran perda

j. Pengundangan perda dalam lembaran daerah dan peraturan daerah dalam berita daerah.20

2.Teknik Perundang-Undangan

Teknik perundang-undangan bertujuan membuat atau menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik. Suatu peraturan perundang-undangan yang baik dapat dilihat dari berbagai segi:21

1. Ketetapan struktur, ketetapan pertimbangan, ketetapan dasar hukum, ketetapan bahasa(peristilahan), ketetapan pemaiakan huruf dan tanda baca. 2. Kesesuaian isi dengan dasar yuridis, sosiologis dan filosofis. Kesesuaian

yuridis menunjukkkan adanya kewenanagn, kesesuaian bentuk dan jenis peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain, dan tidak bertentangan dengan asas-asas hukum umum yang berlaku. Kesesuaian sosiologis mengggambarkan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat sesuai dengan kebutuhan, tuntutan dan perkembangan masyarakat.

20 Ni’Matul Huda, SH.,M Hum Otonomi daerah 2005:23

21 H Abdul Latief Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah


(64)

Kesesuaian filosofis menggambakan bahwa perundang-undangan dibuat dalam rangka mewujudkan, melaksanakan atau memelihara cita hukum(rechtsidee) yang menjadi patokan hidup bermasyarakat.

3. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dilaksanakan(applicable) dan menjamin kepastian. Suatu peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan daya dukung baik lingkungan pemerintahan yang akan melaksanakan maupun masyarakt tempat peraturan perundang-undangan

Prof. Van der Vlies menyebutkan, untuk membuat peraturan perundang-undangan yang baik harus ada dua asas yaitu asas formal dan asas material.

Asas formal mencakup: asas tujuan yang jelas, asas organ/ lembaga yang tepat, asas perlunya peraturan, asas dapat dilaksanakan dan asas konsensus.

Sedangkan asas material mencakup: asas terminologi dan sistematika yang benar, asas dapat dikenali, asas perlakuan yang sama dalam hukum sesuai dengan keadaan individual.

1.5.4.3Wewenang Dan Pembentukan Peraturan Daerah 1. Kewenangan membentuk peraturan daerah

Peraturan daerah merupakan peraturan perundang-undangan. Peraturan daerah itu semacam undang-undang, karena itu kewenangan pembentuknya mengikuti kewenangan pembentukan undang-undang.


(65)

Peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah dengan persetujuan Dewan perwakilan rakyat Daerah. Telah dikemukakan pula,dalam penjelasan umum undang-undang no 32 tahun 2004 disebutkan bahwa kewenangan yang ada pada kepala daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah mengandung pengertian bahwa pembentukan peraturan daerah dapat dilakukan bersama-sama.

2. Prakarsa pembentukan peraturan daerah22 A. Prakarsa Kepala Daerah

telah dikemukakan bahwa kepala daerah mempunyai hak prakarsa menyusun rancangan peraturan daerah untuk disetujui dewan perwakilan rakyat daerah.

Pasal 140 uu no 32 tahun 2004 menyebutkan, ayat 1 rancangan perda dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau bupati/ walikota dan pasal 141 ayat 1 rancangan perda disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi, dengan mekanisme sebagai berikut:

1. Konsep rancangan peraturan daerah disusun oleh dinas/ biro/ unit kerja yang berkaitan dengan materi muatan yang akan diatur. Sebelum penyusunan dilakukan, dinas, biro, unit kerja bersangkutan memberitahukan kepada biro hukum atau bagian hukum. Penyusunan konsep oleh dinas/ biro/ unit kerja tidak berarti selalu oleh satu dinas/ biro/


(66)

unit. Penyusunan itu dapat juga dilakukan bersam-sama dinas, biro, unit kerja lain. Penyusunan bersama ini harus dimungkinkan karena ada kemungkinan (bahkan hampir selalu) materi muatan suatu peraturan daerah berkaitan dengan tugas berbagai dinas, iro dan sebagainya.

Bahkan ada baiknya ditradisikan penyusunan oleh sebuah tim seperti Tim Abtar Departemen atau penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah. Tim tersebut dapat mengikutsertakan pihak-pihak diluar pemerintah daerah yang bersangkutan seperti ahli-ahli dari Universitas, badan peradilan, kejaksaan, kepolisian, perbankan dan lain-lain instansi yang dipandang dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk melahirkan suatu peraturan daerah yang baik.

2. Konsep yang telah disusun dinas, biro, unit kerja tersebut disampaikan kepada biro hukum atau bagian hukum untuk pemeriksaan teknis seperti kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan lain, kesesuaian dengan kebijaksanaan umum pemerintahan (pusat atau daerah bersangkutan) dan kebakuan format sesuai dengan pedoman yang berlaku.

3. Biro hukum atau bagian hukum akan mengundang dinas, biro, unit kerja yang akan menyusun konsep dan unit-unit kerja lain untuk ikut menyempurnakan konsep tersebut. Apabila sejak penyusunan konsep, unit-unit kerja lain diikutsertakan, maka pembahasan bersama akan dipermudah bahkan mungkin ditiadakan. Dengan mengikutsertakan berbagai unit dalam penysusunan konsep, maka pembahasan bersama atas konsep mungkin hanya diperlukan apabila biro hukum atau bagian hukum


(67)

setelah melakukan pemeriksaan menemukan hal-hal yang memerlukan perubahan-perubahan (terutama perubahan substansi atau materi)

4. Biro hukum atau bagian hukum menyusun penyempurnaan(konsep final) untuk diteruskan kepada kepala daerah mengadakan mengadakan pemeriksaan (dibantu sekwilda)

5. Konsep rancangan peraturan daerah yang telah disetujui kepala daerah berubah menjadi rnacangan peraturan daerah.

6. Rancangan peraturan daerah disampaikan kepala daerah kepada ketua dewan perwakilan rakyat daerah disertai nota pengantar untuk memperoleh persetujuan dewan.

B. Prakarsa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Tata cara penyusunan rancangan peraturan daerah oleh dewan perwakilan rakyat daerah diatur dalam peraturan daerah dalam tata tertib dewan. Karena itu, “ada kemungkinan perbedaan antara peraturan daerah yang satu dengan daerah yang lain. Meskipun demikian kemungkinan, kemungkinan pernedaan tersebut kecil sekali, karena peraturan daerah disusun berdasarkan PP no. 25 tahun 2004 tentang pedoman penyusunan tatib DPRD yang menggantikan surat keputusan Menteri Dalam Negeri No 4/ I/ 25-138 tahun 1978. Tata cara penyusunan rancangan peraturan daerah menuntut peraturan tata tertib dewan perwakilan rakyat daerah:


(68)

1. Usul prakarsa dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya lima orang anggota yang tidak hanya terdiri dari satu fraksi

2. Usul prakarsa dalam bentuk rancangan peraturan daerah tersebut disampaikan kepada pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah

Pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah membawa rancangan peraturan daerah tersebut ke dalam sidang paripurna dewan perwakilan rakyat daerah setelah mendapat pertimbangan panitia musyawarah. Para pengusul diberi kesempatan untuk memberi penjelasan.

3. Pembahasan usul prakarsa dalam sidang-sidang dewan perwakilan rakyat daerah dilakukan oleh anggota dan kepala daerah

4. Tingkat-tingkat pembicaraan dilakukan sesuai dengan tata cara pembahasan rancangan peraturan daerah atas prakarsa kepala daerah

Ada yang menarik dalam tata cara tersebut di atas yaitu keikutsertaan kepala daerah membahas usul prakarsa anggota tersebut. Menurut cara-cara yang standar, keikutsertaan kepala daerah semestinya setelah usul prakarsa tersebut menjadi usul dewan perwakilan rakyat daerah. Kepala daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah tidak membahas usul prakarsa tetapi rancangan peraturan daerah yang telah diterima sebagai prakarsa dewan. Diakui, keikutsertaan kepala daerah terhadap usul prakarsa akan mempersingkat proses. Apabila kepala daerah tidak menyetujui seluruh atau sebagian usul prakarasa, dapat segera dimusyawarahkan sebelum menjadi rancangan peraturan daerah atas prakarsa dewan perwakilan rakyat daerah. Dewan perwakilan rakyat daerah dapat menerima atau menolak usul prakarsa


(69)

tersebut. Dalam hal ditolak, maka tidak lahir rancangan peraturan daerah dan tidak diperlukan pembahasan lebih lanjut bersama kepala daerah.

C. Pembahasan rancangan peraturan daerah di dewan perwakilan

rakyat daerah

Ketentuan pasal 40 ayat (11-14) UU no. 10 tahun 2004 pembahasan rancangan peraturan daerah di dewan perwakilan rakyat daerah dibagi-bagi ke dalam empat tahap pembicaraan. Tahap-tahap ini sama engan tingkat pembicaraan rancangan .undang-undang di DPR

1. Pembicaraan Tahap I (sidang paripurna)

Bagi rancangan peraturan daerah yang berasal dari kepala daerah, maka kepala daerah menyampaikan penjelasan mengenai rancangan peraturan daerah. Ini semacam keterangan pemerintah pada pembahasan rancangan undang-undang. Dalam hal rancangan peraturan daerah berasal dari prakarsa dewan perwakilan rakyat daerah penjelasan disampaikan oleh pimpinan rapat gabungan komisi atau pimpinan panitia khusus.

2. Pembicaraan tahap II (sidang paripurna)

Pembicaraan tahap II meliputi pemandangan umum anggota(fraksi). Seperti halnya pada rancangan undang-undang, epmandangan umum diwakili oleh fraksi. Tidak pernah anggota menyampaikan pemandangan umum seacara individual. praktik semacam ini ada kebaikan dan ada kekurangannya.


(1)

di kota pematangsiantar, melainkan dari provinsi dan masyarkat yang ikut dalam proses penyusunan rencana tata ruang wilayah. Sedangkan bila dilihat dari finansial atau uang, pematangsiantar memiliki keterbatasan dana dalam penyusunan rencana tata ruang sehingga membuat membuat proses penyusunan rencana tata ruang dan penetapan perda RTRW ini terkesan lambat.

b. Proses

Berdasarkan penelitian, dalam rangka penyusunan rencana tata ruang wilayah, sistem administrasi yang ada di Bappeda kota pematangsiantar dan interaksi yang terjalin antar Bappeda dengan SKPD dan para stakeholder dalam rangka penyusunan rencana tata ruang wilayah hanya berlangsung pada saat-saat tertentu saja, yaitu hanya pada forum diskusi publik atau sebagainya yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja sedangkan orang-orang yang tidak menghadiri pertemuan itu dikarenakan oleh ketidaktahuan informasi, maka tidak bisa mengakses penyusunan rencana tata ruang wilayah. Karena administrasi yang berjalan dan komunikasi yang berlangsung hanya pada orang-orang tertentu saja, masyarakat disini bukan masyarakat secara keseluruhan.

6.2SARAN

1. Untuk menjamin penyusunan rencana tata ruang wilayah yang sesuai dengan peraturan dan mendukung pelaksanaan sistem hukum, evaluasi harus dilakukan secara serius dan teerncana dalam setiap rangkaian proses yang ada oleh lembaga eksternal yang independen dan memiliki


(2)

kredibelitas. Hasil evaluasi harus disampaikan dan dimanfaatkan secara sistematis untuk perbaikan penyusunan rencana tata ruang wilayah

2. Agar seluruh lapisan masyarakat mengetahui tentang peraturan yang sedang disusun maupun yang telah ditetapkan, pemerintah kota pematangsiantar harus mensosialisasikan dan mengumumkannya kepada masyarakat baik lewat media elektronik, surat kabar yang ada maupun dengan poster-poster atau brosur, agar tercipta keterbukaan dalam sistem demokrasi.

3. Agar ke depannya pemerintah kota pematangsiantar melakukan pendidikan dan pelatihan dalam hal penyusunan rancangan peraturan-peraturan daerah agar ke depannya pemerintah daerah tidak kesuitan dan tidak kekurangan SDM yang memiliki keterampilan dibidangnya masing-masing.

4. Hendaknya pemerintah daerah melalui SKPD-SKPD menjalin komunikasi yang baik kepada seluruh lapisan masyarakat setiap saat agar tercipta hubungan yang saling membutuhkan dalam menjalankan roda pemerintahan daerah, agar tidak terulang kejadian-kejadian sebelumnya, pemerintah daerah melibatkan masyarkat hanya pada saat pemerintah daerah tersebut membutuhkan masyarakat seperti dalam penyusunan peraturan daerah.

5. Hendaknya pemerintah pusat maupun provinsi membantu setiap kabupaten/ kota yang memiliki APBD yang minim dalam hal penyusunan


(3)

peraturan daerah, agar peraturan daerah yang dibuat dapat selesai sesuai dengan waktu yang telah direncanakan

6. Dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah sampai pada penetapan menjadi peraturan daerah hendaknya dibentuk tim pengawas, hasil pengawasan disampaikan kepada publik agar dalam prosesnya tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dan hendaknya sesuai dengan pedoman yang berlaku.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, sad zainal, pfd. Kebijakan publik, jakarta: yayasan pancur siwah Budihardjo Eko. 1997 Tata Ruang Perkotaan, Bandung: P.T. ALUMNI

Dunn william. 1998. pengantar analisis kebijakan publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Pers

Djuharie Setiawan. 2001 pedoman penulisanskripsi, tesis, disertasi, Bandung: Yrama Widya

Huda Ni’matul. 2005 Otonomi Daerah, Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR Latief Abdul. 2005. Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan

Daerah, Yogyakarta: UII Press

Singarimbun Masri & Efendi Sofian. 1989 metode penelitian survei, Jakarta: LP3ES

Subarsono, AG. 2005 Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: CV Alfabeta

Tangkilisan, Nogi hesel, M.Si.2003 kebijakan publik yang membumi, yogyakarta: kerjasama Lukman offset dan yayasan pembaruan administrasi publik indonesia

Wibawa samodra dkk. Evaluasi Kebijakan Publik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Winarno Budi. 2007. Kebijakan publik teori dan proses, Yogyakarta: Media Pressindo


(5)

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UUD 1945

UU No. 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Peraturan Pemerintah RI no 47 tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17 tahun 2009 pedoman Penyusunan RTRW Kota

Peraturan pemerintah Pekerjaan Umum Nomor 11 tahun 2009 Tentang Pedoman Persetujuan Substansi dalam Penetapan Raperda RTRW Provinsi Dan RTRW Kabupaten/ Kota Beserta Rincinya

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

PP no. 25 tahun 2004 Tentang Pedoman Penyusunan Tatib DPRD

Permendagri 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Perda Tentang Rencana Tata Ruang Daerah

Sumber Internet

http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/Rini S. Saptaningtyas (diakses tanggal 12 maret 2011)

http://. Penataan Ruang. Net/ taru/ sejarah/ BAB7.5 Footer. pdf (diakses tanggal 12 maret 2011)


(6)

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintah_daerah_di_Indonesia (diakses tanggal 26 maret 2011)

(diakses tanggal 26 maret 2011)

(diakses tanggal 28 april 2011)

wahyunurharjadmo.staff.fisip.uns.ac.id/files/2010/.../Imple-evaluasi-KP.ppt (diakses tanggal 28 april 2011)