31 mereka bertanya kepadamu, apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: yang lebih dari keperluan...” Namun menurut Yusuf Qardawi, zakat penghasilan sebaiknya
ditunaikan dari jumlah bruto penghasilan yang diterima oleh muzakki. Hal senada juga diungkapkan oleh ketua BAZNAS Didin
Hafidhuddin 2007.
B. Teori dan Konsep Pajak
1. Pengertian Pajak
Pengertian pajak menurut P.J.A. Adriani, adalah: ”Pajak merupakan iuran kepada negara yang dapat dipaksakan
yang terhutang menurut peraturan perundang-undangan tanpa mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk yang
digunakan untuk membiayai pengeluaran umum sehubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”
Termuat dalam buku Leroy Beaulieu yang berjudul Traite de la
Science des Finances 1906 mengatakan: “Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak
langsung yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah.”
Deutsche Reichs Abgaben Ordnung 1919, mengatakan: “Pajak adalah bantuan uang secara incidental atau secara periodik
dengan tidak ada kontraprestasinya, yang dipungut oleh badan yang bersifat umum sama dengan Negara, untuk memperoleh
pendapatan, di mana terjadi suatu Tatbestand sasaran pemajakan, yang karena undang-undang telah menimbulkan utang pajak.”
Dalam buku De overheidsmiddelen van Indonesia N. J. Feldmann,
1949 mengatakan:
32 “Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang
kepada penguasa menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum, tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan
untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.” Dalam buku De Economische Betekenis der Belastingen M.J.H.
Smeets, 1951 mengatakan: “Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui
norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa ada kalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang
individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.”
Menurut Soeparman Soemahamidjaja 1964 dalam disertasinya
yang berjudul Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong, “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut
oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam
mencapai kesejahteraan umum.” Menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Dasar-dasar Hukum
Pajak dan Pajak Pendapatan, “Pajak adalah iuran rakyat kepada penguasa negara berdasarkan
undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat jasa imbal kontraprestasi, yang langsung dapat ditunjukkan dan
yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” “Dapat dipaksakan” artinya bila utang pajak tidak dibayar, utang itu dapat
ditagih dengan menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita.
Secara konstitusional pajak adalah salah satu sumber penerimaan
negara yang sah dan dikukuhkan dalam Undang-Undang Dasar. Dalam UUD 1945 pasal 23A menyebutkan bahwa, “Pajak dan pungutan lain
yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang- undang.”
33 Dari beberapa pengertian pajak yang dikemukakan oleh beberapa
ahli diatas dapat disimpulkan bahwa, pajak adalah sejumlah kekayaan yang dipungut oleh negara dari masyarakat, bersifat memaksa, ditujukan
untuk membiayai pengeluaran dalam kegiatan pemerintah guna mencapai sasaran sosial ekonomi negara.
Dari pengertian pajak diatas, dapat ditarik kesimpulan mengenai karakteristik pajak Agoes dan Trisnawati, 2008: 4, yaitu:
a. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang
serta aturan pelaksanaannya. b.
Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
c. Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun daerah.
d. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah
fungsi budgeter, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, maka dipergunakan untuk membiayai investasi publik.
e. Pajak dapat pula membiayai tujuan yang tidak budgeter, yaitu
fungsi mengatur reguler. 2.
Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak yang selama ini dikenal dan diterapkan
dalam pemungutan pajak sebagaimana tercermin dalam Undang-undang Pajak Wirawan dan Richard, 2007: 22 yaitu Official Assessment
System, Semi Self Assessment System, Self Assessment System, Withholding System. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
34 a.
Official Assessment System Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan
pajak yang memberi wewenang kepada pemungut pajak fiskus untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar pajak yang
terhutang oleh seseorang. Dengan sistem ini masyarakat wajib pajak bersifat pasif menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan
pajak oleh fiskus. Besarnya hutang pajak seseorang baru diketahui setelah adanya surat ketetapan pajak.
b. Semi Self Assessment System
Semi Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemungut pajak fiskus
dan wajib pajak untuk menentukan besarnya pajak seseorang yang terhutang. Dalam sistem ini setiap awal tahun pajak wajib pajak
menentukan sendiri besarnya pajak yang terhutang untuk tahun berjalan yang merupakan angsuran bagi wajib pajak yang harus
disetor sendiri. Baru kemudian pada akhir tahun pajak, fiskus menentukan besarnya utang pajak yang sesungguhnya berdasarkan
data yang dilaporkan oleh wajib pajak. c.
Self Assessment System Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan
pajak yang memberi wewenang penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan
sendiri besarnya utang pajak. Dalam sistem ini wajib pajak yang
35 aktif sedangkan fiskus tidak turut campur dalam menentukan
besarnya pajak yang terhutang seseorang, kecuali wajib pajak melanggar ketentuan yang berlaku.
d. Withholding System
Withholding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang pada pihak ketiga untuk memotong atau
memungut besarnya pajak yang terutang. Pihak ketiga yang telah ditentukan tersebut selanjutnya menyetor dan melaporkan kepada
fiskus. Pada sistem ini fiskus dan wajib pajak tidak aktif. Fiskus hanya bertugas mengawasi saja pelaksanaan pemotongan atau
pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Dari keempat sistem pemungutan pajak diatas, yang diterapkan di
Indonesia secara penuh adalah self assessment sesuai dengan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan UU KUP. Sistem ini memberikan kepercayaan kepada masyarakat
khususnya wajib
pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar atau menyetor, dan melapor ke Kantor
Palayanan Pajak sendiri. 3.
Pajak Penghasilan Menurut data APBN pada tahun 2009 dari pendapatan negara
sebesar Rp.984.787.000.000.000, pajak penghasilan memberikan kontribusi pendapatan sebesar Rp.357.400.000.000.000 atau sebesar
36,3 dari pendapatan negara. Dari data tersebut, jelas bahwa pajak
36 penghasilan mempunyai peranan yang cukup besar bagi penerimaan kas
negara. Salah satu jenis pajak yang dikenakan oleh wajib pajak adalah
pajak penghasilan. Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan tehadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya
dalam tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, jika kewajiban pajak subjektifnya dimulai
atau berakhir dalam tahun pajak Erly Suandy, 2006. Oleh karena pajak penghasilan melekat pada subyeknya maka ia termasuk pajak subyektif.
Subyek pajak akan dikenai pajak apabila dia menerima atau memperoleh penghasilan. Di dalam undang-undang subyek pajak yang menerima atau
memperoleh penghasilan ini disebut sebagai Wajib Pajak. Kewajiban membayar pajak bagi subjek pajak dimulai saat wajib pajak memenuhi
persyaratan subjektif dan objektif. Berikut ini penggolongan wajib pajak: a.
Wajib Pajak Orang Pribadi, subjek pajaknya adalah individu sebagai orang pribadi. Wajib Pajak Orang Pribadi WPOP
dikategorikan menjadi dua, yaitu: 1
WPOP yang mempunyai penghasilan dengan melakukan
kegiatan usaha
dan atau
pekerjaan bebas
yang menyelenggarakan pembukuan atau bekerja pada satu atau
lebih pemberi kerja. Wajib pajak ini wajib menyampaikan SPT 1770 pada tiap tahun pajak.
37 2
WPOP yang mempunyai penghasilan dengan tidak melakukan kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas dan
bekerja pada satu atau lebih pemberi kerja. Wajib pajak ini wajib menyampaikan SPT 1770 S pada tiap tahun pajak.
Namun jika wajib pajak dengan jumlah penghasilan bruto setahun tidak lebih dari Rp 48.000.000 menggunakan SPT
1770 SS. b.
Wajib Pajak Badan, subjek pajaknya adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, ataupun badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia atau menerima penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di
Indonesia. 4.
Jenis Penghasilan Dari bahasan sebelumnya, dijelaskan bahwa seorang subjek pajak
statusnya akan berubah menjadi wajib pajak bila telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Dimana kewajiban objektif muncul
bila subjek pajak memperoleh tambahan kemampuan ekonomis berupa penghasilan yang dikenakan sebagai objek pajak dalam pajak
penghasilan. Penghasilan dikategorikan menjadi tiga macam, yakni: a.
Taxable Income, yakni penghasilan yang dapat dijadikan objek untuk dikenakan pajak.
38 b.
Non Taxable Income, yakni penghasilan yang tidak dapat dijadikan objek untuk dikenakan pajak. Dalam hal penghasilan yang
diperoleh mustahid atas dana zakat yang dipungut dan disalurkan oleh lembaga amil zakat termasuk dalam non taxable income.
c. Penghasilan yang dipotong pajak final, yang diatur dalam pasal 4
ayat 2 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, yaitu 1
Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan
yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.
2 Penghasilan berupa hadiah undian.
3 Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya,
transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal
pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.
4 Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah
danatau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah danatau bangunan, dan
5 Penghasilan tertentu lainnya.
5. Biaya-biaya sebagai Pengurang Penghasilan
Sistem perpajakan seperti halnya sistem akuntansi mengakui adanya pengeluaran atau biaya yang dipakai oleh wajib pajak untuk
39 menghasilkan pendapatan yang diperoleh. Namun tidak semua
pengeluaran atau biaya dalam akuntansi dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan dalam perpajakan. Bagi wajib pajak muslim,
dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 4 ayat 3 huruf a disebutkan bahwa,
Yang dikecualikan dari objek pajak adalah bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak
atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang
ketentuannya
diatur dengan
atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
Maksudnya, berdasarkan penjelasan pasal 4 ayat 3 huruf a diatas, menyatakan bahwa penghasilan yang diperoleh mustahid atas dana zakat
yang diterima dan disalurkan oleh lembaga amil zakat termasuk dalam non taxable income. Maka zakat adalah penghasilan yang tidak dapat
dijadikan objek untuk dikenakan pajak. Sedangkan dalam perhitungannya, dalam Undang-undang Nomor
36 Tahun 2008 pasal 9 ayat 1 huruf g menyatakan bahwa, ”Zakat yang dibayarkan oleh Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap
kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, merupakan salah satu item yang boleh
dikurangkan untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak.” Artinya, zakat tersebut dapat dijadikan sebagai biaya yang mengurangi
40 penghasilan kena pajak, jika zakat atas penghasilan tersebut dibayarkan
kepada badan atau lembaga amil zakat. Hal ini memperkuat Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 dan
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-163PJ.2003 sebelumnya. Dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 pasal 14 ayat 3 menyatakan
bahwa, ”Zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dapat dikurangkan dari laba atau pendapatan sisa
kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.” Sedangkan pada Keputusan Dirjen Pajak
Nomor KEP-163PJ.2003 dinyatakan bahwa, Zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk
agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan
Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, boleh dikurangkan dari penghasilan bruto Wajib Pajak badan atau
penghasilan neto Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak.
Dari penjabaran diatas dijelaskan bahwa bagi wajib pajak orang pribadi yang membayar zakat penghasilan, zakat tersebut diperbolehkan
menjadi deductible expense. Dalam keputusan Dirjen Pajak tersebut, disebutkan pula bahwa penghasilan yang dimasukkan dalam perhitungan
zakat penghasilan bukan penghasilan yang dikenakan pajak final. Maka jika kita memperoleh penghasilan sebagaimana yang terdapat dalam
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 4 ayat 2 yaitu penghasilan dari bunga deposito dan tabungan, hadiah undian, transaksi saham,
41 transaksi pengalihan harta, maka zakat atas penghasilan tersebut tidak
dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Besarnya zakat yang dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak adalah
sebesar 2,5 dua setengah persen dari jumlah penghasilan yang merupakan objek pajak yang bukan merupakan pajak final. Sedangkan
cara perhitungan menurut Keputusan D291 Tahun 2000 Dirjen Bimas Islam Departemen Agama Republik Indonesia pasal 16, pada dasarnya
perhitungan zakat menganut self assesment system dimana muzakki diberi kewenangan untuk melakukan perhitungan sendiri atas jumlah
zakatnya, namun bila muzzaki merasa kesulitan untuk menghitungnya maka dapat meminta pertolongan badan atau lembaga amil zakat.
6. Kredit Pajak
Kredit pajak adalah pajak yang telah dilunasi setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dalam tahun pajak
berjalan, baik yang dibayar sendiri oleh wajib pajak maupun yang dipotong serta dipungut oleh pihak lain, yang merupakan angsuran
pajak yang boleh dikurangkan dari pajak yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan, kecuali yang bersifat pembayaran pajak
penghasilan PPh yang final Djuanda, 115: 2006. Kredit pajak tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Diperoleh penghasilan oleh wajib pajak dalam negeri dari
pekerjaan atau kegiatan diatur dalam PPh Pasal 21.
42 b.
Pemungutan oleh pihak lain atas penghasilan dari usaha diatur dalam PPh Pasal 22.
c. Diperoleh penghasilan dari modal, jasa, dan kegiatan tertentu
diatur dalam PPh Pasal 23. d.
Diperoleh penghasilan oleh wajib pajak luar negeri dari pekerjaan, jasa, kegiatan dan modal diatur dalam PPh Pasal 26.
e. Pajak yang dipotong atau dipungut, dibayar terutang di luar negeri.
f. Pembayaran pajak oleh wajib pajak sendiri diatur dalam PPh Pasal
25. Dalam perhitungan jumlah pajak yang harus dibayar, jumlah pajak
terutang harus dikurangi terlebih dahulu dengan kredit pajak. Apabila pajak yang terutang lebih besar dari pada kreditnya, wajib pajak harus
membayar kekurangannya ke kas negara. Sebaliknya wajib pajak dapat mengajukan restitusi atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak
jika kreditnya lebih besar dari pada pajak yang telah dibayar. Menurut Thomas R. Pope dan John L. Kramer 1999 kredit pajak adalah “Tax
Credit Which include prepayment, are amount that can be substracted from the gross tax to arrive at the tax due or refund due.” Kemudian tax
credit ini diklasifikasikan menjadi: 1 Refundable Tax Credit, are allowed to reduce tax payer’s tax
liability to zero and if some credit still remains, are rendable paida by the government to the tax payer’s. Apabila kredit pajak
lebih besar dari pada pajak yang terutang maka kelebihan kredit
43 pajak tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak, contohnya
yaitu prepayment of tax. “Prepayment of tax, which are amount paid to the goverment during the year through means such as
witholding from wages, and selected other item are classified as refundable tax credit.” Pengkreditan ini dapat dilakukan dengan
tujuan misalnya, untuk memperhitungkan pajak yang telah dipotong oleh orang ketiga dan pajak yang telah dipotong di luar
negeri. 2
Non Refundable Tax Credit, can be substracted from the tax but will not be paid to the tax payer’s institutions where the tax credit
exceed the tax. Non Refundable Tax Credit are that have been created by congress for various social, economic, and political
reason such as the child and dependent care credit. Dalam konteks ini, dengan berbagai pertimbangan sosial, ekonomi, dan politik,
ada beberapa biaya yang walau tidak terkait dengan pajak dapat dikreditkan terhadap pajak terutang.
7. Pengenaan Zakat Dalam Perpajakan
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Zakat, maka formal pengenaan pajak dan zakat untuk wajib pajak orang pribadi adalah sebagai berikut:
44
Tabel 2.1 Formal Pengenaan Pajak dan Zakat untuk Wajib Pajak Orang
Pribadi
Gaji satu bulan Tunjangan istrianak
Tunjangan perumahan Tunjangan pendidikan anak
Tunjangan jabatan Tunjangan transport
Jaminan Kecelakaan kerja Jaminan kematian
Jaminan pemelihara kesehatan Penghasilan Bruto PB
Pengurang: Biaya Jabatan 5 x PB
Iuran Pensiun Iuran THT
Penghasilan neto sebulan Penghasilan neto setahun
- Zakat Ph. 2,5 x PB setahun - PTKP
PKP PPh 21 terhutang setahun
PKP x tarif pasal 17 Rp. XXX
XXX XXX
XXX XXX
XXX XXX
XXX XXX
Rp. XXX XXX
XXX Rp XXX
RpXXX Rp XXX
Rp XXX RpXXX
RpXXX
Rp. XXX Rp. XXX
Sumber: Data diolah sendiri sesuai UU Untuk Penghasilan Tidak Kena Pajak PTKP per tahun sesuai
dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2 Penghasilan Tidak Kena Pajak PTKP
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak PTKP Rp 15.840.000 untuk diri wajib pajak orang pribadi
Rp 1.320.000 tambahan untuk wajib pajak menikah
45
Lanjutan Tabel 2.2
Rp 15.840.000 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
Rp 1.320.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah
dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak tiga orang untuk setiap keluarga
Sumber: UU No.36 Tahun 2008 Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak PKP
bagi wajib pajak orang pribadi adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3 Tarif Pajak Pasal 17
Lapisan PKP Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000 5
Diatas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000
15 Diatas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp
500.000.000 25
Diatas Rp 500.000.000 30
Sumber: UU No.36 Tahun 2008
C. Persamaan Antara Zakat dan Pajak