Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Ditengah menguatnya peranan pajak dalam penerimaan negara, secara bersamaan muncul sebuah kesadaran umat akan peranan zakat. Dua hal ini menuntut adanya pengelolaan yang tepat. Manajemen yang buruk atas dua hal ini akan menimbulkan efek yang kontra produktif dalam pembangunan nasional. Salah satunya yaitu beban ganda atas kewajiban untuk membayar pajak dan zakat Damanhur, 2006: 24. Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang kewajibannya bersifat mutlak atas harta kekayaan seseorang menurut aturan tertentu yang telah diatur dalam Al Quran dan Hadis. Dalam konteks negara modern, zakat bukanlah pajak yang merupakan salah satu sumber pendapatan negara. Zakat dipandang sebagai sarana komunikasi utama antara manusia dengan manusia lain, yang memiliki peranan sangat penting sebagai sarana distribusi penghasilan dalam menyusun kehidupan yang sejahtera dan berkeadilan di dalam sebuah negara. Kedudukan zakat dalam Islam merupakan suatu keunggulan dalam sistem agama Islam. Zakat menggambarkan perwujudan kekuatan seorang muslim terhadap Sang Khaliq. Hal ini merupakan suatu penjelmaan dari solidaritas seorang muslim dalam kehidupan bermasyarakat. Solidaritas itu sendiri merupakan hasil dari persetujuan-persetujuan di dalam masyarakat sebagai keanekaragaman yang ada dalam kehidupan 2 bermasyarakat. Keanekaragaman dalam hal ini misalnya dari sisi nasib, kepandaian dan keterampilan manusia. Jadi jika sholat berusaha membentuk keshalehan pribadi individu, maka zakat berperan membentuk keshalehan sosial dalam diri individu. Hikmah zakat adalah mengurangi kesenjangan sosial antara golongan mampu dengan golongan tidak mampu, disinilah fungsi distribusi berperan. Adapun korelasi antara zakat dengan pajak adalah sama-sama mempunyai fungsi pemungutan. Pada zakat, fungsi pemungutannya dapat dilakukan oleh orang yang terkena kewajiban membayar zakat dan dapat langsung disalurkan kepada orang yang berhak menerimanya atau dilakukan oleh suatu badan atau lembaga resmi BAZ atau LAZ yang dibentuk untuk memungut zakat serta mendistribusikan kepada delapan golongan yang berhak menerima zakat. Sedangkan dalam pajak, fungsi pemungutannya dilakukan oleh negara melalui Dirjen Pajak. Menurut ajaran Islam, zakat sebaiknya dipungut oleh negara atau lembaga yang diberi mandat oleh negara dan atas nama pemerintah yang bertindak sebagai wakil fakir miskin. Pengelolaan dibawah otoritas badan yang dibentuk oleh negara akan jauh lebih efektif pelaksanaan fungsi dan dampaknya dalam membangun kesejahteraan umat yang menjadi tujuan zakat itu sendiri, dibanding zakat dikumpulkan dan didistribusikan oleh lembaga yang berjalan sendiri-sendiri dan tidak ada koordinasi satu sama lain. Untuk memfasilitasi kewajiban berzakat bagi umat Islam di Indonesia, undang-undang menetapkan kewajiban pemerintah yaitu memberikan perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada muzakki, 3 mustahiq, dan amil zakat. Dalam hal ini yaitu dilakukan oleh badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah. Disamping itu, Undang- Undang juga memberi peluang kepada amil zakat swasta untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat dengan syarat dan ketentuan yang telah diatur. Dengan fakta bahwa subjek pajak terbesar adalah kaum muslim yang jumlahnya 87 dari total penduduk Indonesia, pemerintah berupaya untuk meminimalkan kewajiban ganda yang memberatkan. Untuk mengatasinya dilakukan upaya titik temu antara pajak dan zakat sehingga kedua kewajiban tersebut dapat dilaksanakan oleh umat Islam tanpa memberatkannya. Pemerintah membuat peraturan yang dapat menjadi solusi bagi kewajiban ganda yaitu pajak dan zakat yang dialami oleh umat Islam ini dalam Undang- Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dan Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan. Di dalam kedua undang-undang ini, zakat atas penghasilan yang telah dibayarkan oleh wajib pajak beragama Islam kepada badan atau lembaga yang disahkan oleh pemerintah, dapat dikurangkan dari laba atau pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah mencoba untuk berperan aktif dalam menciptakan pelaksanaan kewajiban keagamaan masyarakatnya dengan menjadikan unsur zakat sebagai salah satu tax relief dalam pemungutan PPh di Indonesia. Saat ini undang-undang menjadikan zakat sebagai salah satu faktor pengurang penghasilan neto wajib pajak orang 4 pribadi dalam menentukan besarnya penghasilan kena pajak. Hal ini diharapkan dapat meminimalkan beban ganda yang dipikul oleh umat Islam sebagai wajib pajak dan muzakki. Namun, apakah dalam prakteknya pola perlakuan ini adalah yang optimal untuk mengelola dan mengakomodasi zakat dan pajak, yang kenyataannya kedua hal tersebut merupakan dua sumber pemungutan yang sama-sama dihimpun dari masyarakat. Padahal bila upaya pengelolaan dan pengakomodasian ini telah berjalan baik, dapat memberikan suatu efek yang produktif dalam pembangunan nasional. Jika dilihat dari fungsi dasarnya membayar zakat bisa disamakan nilainya dengan membayar pajak yakni sama-sama dimaksudkan untuk melaksanakan kewajiban yang bertujuan untuk kemaslahatan umat dan bangsa. Berbeda dengan posisi zakat di Indonesia yang hanya menjadikan salah satu bagian dari komponen biaya yang dapat mengurangi penghasilan neto, di Malaysia zakat telah dijadikan sebagai pengurang langsung PPh atau sebagai kredit pajak. Dengan demikian, beban ganda yang harus ditanggung oleh umat Islam yang juga merupakan wajib pajak tidak hanya diminimalkan, tetapi dihilangkan dengan adanya kebijakan tersebut. Di Malaysia sendiri kebijakan zakat sebagai kredit pajak baru berlaku pada tingkat individu. Satu hal yang perlu dicermati dari penerapan zakat sebagai kredit pajak di Malaysia adalah adanya peningkatan penerimaan zakat dan pajak secara bersamaan pasca penerapan kebijakan ini Irfan S. Beik, 2007: 88. Dalam Laporan Kementrian Keuangan Malaysia Tahun 2006 dan Laporan Pusat Keuangan Zakat Malaysia Tahun 2006 terungkap bahwa penerimaan pajak 5 dan zakat memiliki korelasi positif. Fakta ini memunculkan usulan yang menyebutkan bahwa zakat bukan dianggap sebagai biaya, melainkan zakat dapat mengurangi langsung pajak penghasilan sebagai kredit pajak Hafidhuddin, 2007. Usulan ini muncul antara lain dari Baznas serta FOZ sebagai asosiasi organisasi pengelola zakat Indonesia yang mewadahi BAZ dan LAZ di Indonesia. Tabel 1.1 Penerimaan Pajak dan Zakat di Malaysia dalam Ringgit Malaysia Tahun Zakat Pajak Zakat terhadap Pajak 2001 321 juta 79,57 milyar 0,40 2002 374 juta 83,52 milyar 0,45 2003 408 juta 92,61 milyar 0,45 2004 473 juta 99,4 milyar 0,44 2005 573 juta 106,3 milyar 0,48 Sumber: Irfan Syauqi Beik 2007. Dari tabel 1.1 dapat dilihat bahwa penerapan zakat sebagai kredit pajak di Malaysia tidak menyebabkan berkurangnya penerimaan dari sektor pajak. Justru penerimaan dari kedua sektor ini mengalami peningkatan setiap tahunnya sejak kebijakan tersebut diterapkan. Padahal secara sistematis semakin besar jumlah zakat yang dapat dijadikan kredit pajak, semakin kecil jumlah penerimaan pajaknya. Sesungguhnya di Indonesia, kebijakan zakat sebagai pengurang pajak ternyata telah diterapkan di Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam Pasal 192 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa, Zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak pengahasilan PPh terhutang dari wajib pajak. Ketentuan tersebut lebih lanjut diatur dengan Qanun Nomor 6 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal. Dan di Aceh juga zakat merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah PAD Aceh dan PAD KabupatenKota. Dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat yang berlaku secara nasional, disebutkan pembayaran zakat hanya dapat mengurangi jumlah penghasilan kena pajak taxes deductable yang pelaksanaannya diatur dengan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP- 163PJ2003, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, pembayaran pajak dapat mengurangi pajak penghasilan terhutang taxes credit. Adanya ketentuan yang dimuat dalam Pasal 192 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang menyatakan zakat sebagai faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang, dan hanya berlaku di Aceh, adalah merupakan suatu kemajuan yang luar biasa bagi umat Islam di Aceh. Ketentuan tersebut sudah diperjuangkan oleh beberapa organisasi Islam secara nasional dalam waktu yang cukup lama. Ini berarti pembayaran zakat di Aceh diakui setingkat dengan pajak, karena kedua-duanya merupakan sumber pendapatan daerah yang dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam porsi yang berbeda sebagaimana yang telah berlaku di Malaysia. Penelitian yang dilakukan oleh Abdul Basir 2002, Zakat Atas Penghasilan Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak, menekankan pada pengkajian perlakuan zakat menurut undang-undang. Hasil penelitiannya yaitu perlakuan zakat bisa disamakan dengan pajak penghasilan yaitu bukan sebagai faktor pengurang PKP melainkan sebagai kredit pajak yang nonrefundable. 7 Perbedaan penelitian ini dengan Abdul Basir adalah Abdul Basir hanya mengkaji dari sisi undang-undang saja. Sedangkan peneliti menggunakan studi kasus untuk menjelaskan perbedaan mengenai kedua perlakuan zakat tersebut. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk membuat penelitian tentang perbedaan dua perlakuan zakat dengan menggunakan analisis studi kasus. Dengan melihat kenyataan diatas dan besarnya potensi dana zakat di Indonesia serta fakta yang terjadi di Malaysia mengenai peningkatan penerimaan pajak dan zakat setelah diterapkannya kebijakan zakat sebagai kredit pajak, maka penelitian ini membahas masalah tersebut dengan judul Analisis Komparatif Antara Perlakuan Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak Dengan Perlakuan Zakat Sebagai Pengurang Langsung Pajak Penghasilan.

B. Perumusan Masalah