Macam-Macam Jarimah PEMBERAT HUKUM PIDANA DALAM PENGULANGAN JARIMAH

Pengertian qishash, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahran adalah, persamaan dan keseimbangan antara jarimah dan hukuman. Sanksi hukum qishash yang diberlakukan terhadap pelaku pembunuhan sengaja terencana terdapat dalam firman Allah sebagai berikut:  Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; QS : Al-Baqarah : 178 Ayat ini berisi tentang hukuman qishash bagi pembunuhan yang melakukan kejahatan secara sengaja dan pihak keluarga korban tidak memaafkan pelaku. Kalo keluarga korban ternyata memaafkan pelaku, maka sanksi qishash tidak berlaku, dan beralih menjadi hukuman diyat. 18 Namunapabila diperluas maka ada lima macam, yaitu 1 pembunuhan sengaja 2 pembunuhan menyerupai sengaja 3 pembunuhan karena kesalahan 4 penganiayaan sengaja 5 dan penganiayaan tidak sengaja 19 Pembunuhan sengaja adalah suatu pembunuhan dimana pelaku perbuatan tersebut sengaja melakukan suatu perbuatan dan dia menghendaki dari perbuatannya, yaitu matinya orang yang menjadi korban. Sebab indikator dari 18 Nurul Irfan, Masyrofah. Fiqh Jinayah, Jakarta, Paragonatama Jaya, 2013, cet 1, h. 5. 19 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm. 29 kesengajaan untuk membunuh tersebut dapat dilihat dari alat yang digunakannya, dalam hal ini alat yang digunakan untuk membunuh adalah alat yang galibnya lumrahnya dapat mematikan korban, seperti senjata api, senjata tajam, dan sebagainya. Pembunuhan menyerupai sengaja memiliki dua unsur, yaitu unsur kesengajaan dan unsur kekeliruan, unsur kesengajaan terlihat dalam kesengajaan berbuat berupa pemukulan. Unsur kekeliruan terlihat dalam ketiadaan niat membunuh. Dengan demikian pembunuhan tersebut menyerupai sengaja, karena ada kesengajaan dalam berbuat. Dalam pembunuhan karena kesalahan dapat dilihat bahwasannya tidak ada unsur kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang dilarang, dan tindak pembunuhan yang terjadi kurangnya kehati-hatian, atau karena kelalaian dari pelaku. Pembunuhan yang pembunuhnya harus di qishash ada beberapa syarat, yaitu: pembunuhan baliq. Pembunuhan berakal, dan yang dibunuh bukan budak. Qishash artinya balasan yang sepadan. Pembunuhan yang bisa dituntut qishash ialah yang mukallaf dan berakal. Pembunuhan yang terdiri dari anak kecil atau orang-orang yang tidak berakal seperti gila tidak boleh dituntut qishash, dan orang Islam yang membunuh orang kafir tidak dituntut qishash. 20 20 Abdul Fatah Idris, Abu Ahmadi, Fikih Islam, Jakarta, Rineka Cipta, h. 300. c.Jarimah Ta’zir Pengertian ta’zir secara etimologi, ta’zir berasal dari kata azzara yuazziru ta’ziran. Yang artinya mencegah menolak dan mendidik dan memukul dengan sangat. Secara terminologi, hukuman pendidik yang dijatuhkan hakim terhadap tindak pidana atau maksiat yang belum ditentukan hukumannya oleh syari’at, atau telah ditentukan hukumannya, akan tetapi tidak terpenuhi syarat pelaksanaanya seperti: bercumbu selain faraz, dan mencuri yang tidak terpenuhi syarat untuk pemotongan tangan. 21 Sebagaimana dikemukakan oleh Al-Mawardi adalah Ta’zir adalah hukuman pendidikan atas dosa tindak pidana yang belum ditentukan hukumannya oleh syara. Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa hukuman ta’zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara, dan wewenang untuk menetapkannya diserahkan kepada ulil amri. Di samping itu, dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah ta’zir adalah sebagai berikut. 22 21 Mardani, Kejahatan Pencurian Dalam Hukum Pidana Islam, h. 12-13. 22 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, cet 2, h. 12. 1. Hukuman tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya, hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ dan ada batas minimal dan maksimal. 2. Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa ulil amri. Tujuan diberikannya hak penentuan jarimah-jarimah ta’zir dan hukumannya terhadap penguasa adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta bisa menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap keadaan yang bersifat mendadak. Jarimah ta’zir disamping ada yang diserahkan penentuannya sepenuhnya kepada ulil amri, dan juga ada yang sudah ditetapkan oleh syara, seperti riba dan suap. Di samping itu juga termasuk kelompok ini, jarimah-jarimah yang sebenarnya sudah ditetapkan hukumannya oleh syara, hudud akan tetapi syarat- syarat untuk dilaksanakan hukuman tersebut belum terpenuhi. Misalnya pencuri yang tidak sampai selesai atau barang yang dicuri tidak sampai nishab pencurian, yaitu seperempat dinar. Syara tidak menentukan macam-macam hukuman untuk tiap-tiap jarimah ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan- ringannya sampai yang seberat-beratnya. Dalam hal ini hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai macam jarimah ta’zir tidak mempunyai batas tertentu. Juga jenis jarimah ta’zir tidak ditentukan banyaknya, sedangkan pada jarimah-jarimah hudud dan qishash diyat sudah ditentukan dan memang jarimah ta’zir tidak mungkin ditentukan jumlanya. Syara hanya menentukan sebagian jarimah-jarimah ta’zir, yaitu perbuatan-perbuatan yang selamanya akan tetap dianggap sebagai jarimah: seperti riba, menggelapi titipan, memaki-maki orang, penyuapan dan sebagainya, sedang sebagian terbesar dari jarimah ta’zir diserahkan kepada penguasa untuk menentukannya, dengan syarat harus sesuai dengan kepentingan-kepentingan masyarakat dan tidak boleh berlawanan dengan nash-nash ketentuan-ketentuan syara’ dan prinsip-prinsip umum. 23

C. Pertanggungjawaban Jarimah

Pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah pembebanan seseorang dalam akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu. Dalam hukum Islam pertanggungjawaban itu didasari kepada tiga hal: 24 1. Adanya perbuatan yang dilarang, 2. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri, dan 3. Pelaku mengetahui akibat perbuatan itu. Apabila terdapat tiga hal tersebut maka terdapat juga pertanggungjawaban. Apabila tidak terdapat maka tidak terdapat pula pertanggungjawaban. Dengan demikian, seorang anak tidak dikenaka hukuman Had karena kejahatan yang dilakukan, karena tak ada tanggung jawab hukum atas seorang anak yang berusia 23 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, cet 2, h.14. 24 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, cet 1, h. 74. berapa pun sampai ia sampai berumur puber, Qodhi hanya akan tetap berhak untuk menegur kesalahannya atau menetapkan beberapa pembatasan baginya yang akan membantu memperbaikanya dan menghentikannya dari membuat kesalahan lagi di masa yang akan datang. Menurut Abu Zaid Al-Qayrawani, seorang Ulama Madzhab Maliki, tetap tak akan ada hukuman Had bagi anak-anak kecil bahkan dalam hal tujuan zina yang palsu Qadzaf atau justru si anak sendiri yang melakukannya. Kalau seseorang melakukan tindak pidana dalam keadaan sakit saraf gila maka ia tidak akan mendapat hukuman. Imam Abu Yusuf berkata bahwa “Hukuman Hadd dapat dikenakan kepada tertuduh setelah ia mengakuinya, jika tidak penjelasan bahwa ia tidak gila, atau mengalami gangguan mental. Bila ternyata dia bebas dari kurungan semacam itu, maka ia harus menjalani hukuman yang berlaku”. Oleh karena itu, Hakim sangat perlu meyakinkan dirinya sendiri dengan pikiran yang jernih atas perkara kriminal itu sebelum dia menyatakan keputusannya. Tidur dianggap sebagai mati kecil, bila ada tindak pidana yang dilakukannya sewaktu dalam keadaan tidur, maka seseorang tidak harus mempertanggungjawabkannya asalkan diyakinkan bahwa hal itu benar-benar dalam keadaan tidur, kasus putra Umar, Ubaidillah, yang melakukan zina terhadap seorang wanita yang sedang tidur, disebutkan secara terperinci dalam bab tentang “Zina” Ubai dihukum, sedangkan si wanita dibebaskan. 25 Prinsip yang sama ditegaskan kalau seseorang mengigau ngelindur, berjalan dalam keadaan sedang tidur, meskipun ia tampaknya awas, namun ia tetap tertidur dan berjalan. Jika seseorang melakukan sesuatu perkara pidana dalam keadaan itu, maka secara hukum dia tak bertanggungjawab. Pembebasan pertanggungjawaban terhadap meraka di dasarkan kepada hadis Nabi, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud disebutkan: ﻢﺋ ﺎﻨﻟا ﻦﻋ ﺔﺛﻼﺛ ﻦﻋ ﻢﻠﻘﻟا ﻊﻓر :ﻢﻠﺳ و ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا ل ﻮﺳر ل ﺎﻓ : ﺖﻟ ﺎﻗ ﺎﮭﻨﻋ ﷲا ﻲﺻر ﺔﺸﺋﺎﻋ ﻦﻋ ﺘﺒﻤﻟا ﻦﻋو ﻆﻘﯿﺘﺴﯾ ﻰﺘﺣ ﺮﺒﻜﯾ ﻰﺘﺣ ﻲﺒﺼﻟا ﻦﻋو أﺮﺒﯾ ﻰﺘﺣ ﻰﻠ Artinya: Dari Aisyah ra. Ia berkata: telah bersabda Rasullullah SAW: dihapuskan ketentuan dari tiga hal, dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari orang yang gila sampai ia sembuh, dan dari anak kecil sampai ia dewasa. Para ahli Hukum Islam, sebagaimana para ahli hukum Positif, menegaskan bahwa harus ada hubungan sebab akibat causal relationship antara akibat seseorang agar seseorang itu dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, mengutip dua contoh Ibn Hazm. 26 1. Seorang pria sedang pergi dengan ibunya dengan mengendarai seekor keledai ketika seorang pria lain datang mengendarai kuda yang menderap dengan 25 Abdur Rahman, Tindak-Tindak Pidana dalam Islam, Jakarta, Rineka Cipta, h. 16-17 26 Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Bandung, Asy Syaamil Press dan Grafika, cet 1, h. 167. kecepatan tinggi. Keledai itu ketakutan sehingga melompat, ibu itupun jatuh dari keledai dan tewas. Putranya mengadukan kepada Khalifah Umar bin Khatab. Umar bertanya, apakah orang tersebut menabrak keledai? lelaki itu menjawab, “Tidak”. Maka Umar berkata, saat bagi ibumu telah tiba, maka tunduklah pada kehendak Allah. 2. Merupakan suatu pembunuhan bagi seseorang yang membuka dambendungan sampai menenggelamkan penduduk atau membakar suatu gedung hingga mengakibatkan matinya orang sanad, 1991: 86. Dalam teori hukum pidana orang tersebut dapat digolongkan memiliki kesengajaan berupa keinsapan kepastian atau kesengajaan sebagai keinsapan kemungkinan. Apabila pertanggungjawaban pidana itu tergantung kepada adanya perbuatan melawan hukum ini bertingkat-tingkat maka pertanggungjawaban itu juga bertingkat-tingkat. Hal itu disebabkan karena kejahatan seseorang itu erat kaitannya dengan niatnya. Perbuatan melawan hukum adakalanya disengaja dan ada kalanya karena kekeliruan, sengaja dibagi kepada dua bagian, yaitu sengaja semata-mata dan menyerupai sengaja, sedangkan kekeliruan juga ada dua macam, keliru semata- mata dan perbuatan yang disamakan dengan kekeliruan. Dengan demikian pertanggungjawaban itu juga ada empat tingkatan sesuai dengan tingkatan perbuatan melawan hukum tadi, yaitu sengaja, semi sengaja keliru, dan yang disamakan dengan keliru.