Pemberatan Dalam Pengulangan Pidana Recidive.
Akan tetapi, apabila mereka ternyata mengulang kembali melakukan kejahatan, hal ini membuktikan bahwa mereka itu tidak dapat ditakut-takuti lagi.
Kriminologi menganggap, bahwa dasar hukum bagi residivis kurang tepat, berhubung seseorang yang telah menjalani hukuman sudah tidak takut lagi
menjalani hukuman. Akan tetapi, ancaman hukuman berat itu akan menakut- nakuti justru orang yang belum pernah menjalani hukuman, hingga orang itu akan
takut untuk melakukan sesuatu kejahatan. Perlu dijelaskan bahwa selain ketentuan umum tentang residivis yang
ditentukan di dalam pasal-pasal 486, 487 dan 488 KUHP, terdapat dalam berbagai pasal KUHP tentang pemberatan atau penambahan pidana berdasarkan
pengulangan, seperti yang diatur di dalam pasal-pasal 137 lid 2, 216 lid 3, 489 lid 1, 492 lid 2, 523 lid 2, 536 lid 2, 3 dan 4 WVS, yang jangka waktu lampau jangka
waktunya lebih pendek Jinkers 1946 : 175. Selain itu masih terdapat dasar penambahan pidana karena adanya
berbagai keadaan khusus, misalnya yang terdapat di dalam pasal-pasal 356, 361 dan 412 dan sebagainya.
Adapun Speciale recidive, pengulangan khusus jumlahnya sangat terbatas. Misalnya pasal 137 ayat 2 KUHP menyatakan bahwa kalau terpidana melakukan
kejahatan penghinaan kepada wakil presiden atau wakil presiden yang dilakukan dalam jabatannya dan belum lagi berlalu dua tahun setelah pidana yang dijatuhkan
pertama sudah memperoleh kekuatan tetap, maka residivis ini dapat dipecat dari jabatannya. Pasal 216 3 KUHP berupa kejahatan kalau diulang dilakukan dan
belum berlalu dua tahun sejak putusan pertama sudah mempunyai kekuatan hukum tetap maka pidana dapat ditambah sepertiganya.
Selanjutnya pasal 492 2 dan pasal 536 2, 3 dan 4 menentukan lampau waktu residivis ialah satu tahun, dan kalau terjadi pengulangan
pelanggaran tersebut maka pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan, yang merupakan pemberatan pidana.
Dasar Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam pasal 52 KUHP yang rumusan lengkapnya adalah: “Bilamana seorang pejabat kerena melakukan tindak
pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang
diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga”.
50
Dasar pemberat pidana tersebut dalam pasal 52 ini adalah terletak pada keadaan jabatan dari kualitas si pemberat pejabat atau pegawai negeri mengenai
4empat hal, ialah dalam melakukan tindak pidana dengan: a. Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatan,
b. Memakai kekuasaan jabatan, c. Menggunakan kesempatan karena jabatannya,
d. Menggunakan sarana yang diberikan karena jabatan. Tetapi pemberat pidana berdasarkan pasal 52 ini tidak berlaku pada
kejahatan-kejahatan jabatan maupun pelanggaran jabatan tersebut, melainkan
50
Adami Chazawi, penafsiran Hukum Pidana Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan Pidana Kejahatan Aduan, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002, cet 1, h. 73.
berlakunya pada kejahatan dan pelanggaran yang lain, sebabnya ialah pidana yang diancamkan pada kejahatan jabatan dan pelanggaran jabatan karena dari
kualitasnya sebagai Pegawai Negeri itu telah diperhatikan. Jadi pemberat pidana berdasarkan pasal 52 ini berlaku umum seluruh jenis
dan tindak pidana, kecuali pada kejahatan dan pelanggaran jabatan seperti yang diterangkan diatas, tetapi ada perbedaan antara tindak pidana dengan memperberat
atas dasar pasal 52 ini dengan kejahatan dan pelanggaran jabatan. Pengulangan delik berdasarkan pengelompokan menurut pasal 486, 487,
dan 488 KUHP lampau waktu untuk pengulangan seperti telah diuraikan adalah lima tahun. Sebagai contoh dapat dikemukakan kasus hipotesis sebagai berikut: A
dijatuhi pidana oleh Pengadilan Negeri Ujung Pandang tahun 1985 karena dinyatakan terbukti telah mencuri barang lain. Putusan ini telah menjadi res
judikata, mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pada tahun 1991 A melakukan penggelapanbarang orang lain. Dalam hal tersebut ketentuan pengulangan yang
diatur dalam pasal 486 KUHP tidak dapat dilakukan kepada terdakwa A, karena sudah lampau lima tahun sejak ia dijatuhkan pidana, sekalipun kejahatan pertama
pencurian dan kejahatan kedua penggelapan adalah sekelompok, yaitu golongan delik terhadap harta benda yang disebut secara limitatif di dalam pasal 486
KUHP.
Adapun dasar hukuman adalah bahwa, orang yang demikian itu membuktikan telah mempunyai tabiat yang jahat, dan oleh sebab itu dianggap
merupakan bahaya bagi masyarakat dan bagi ketertiban umum.
51
Apabila ketiga pasal yaitu pasal. 486,487, dan 488, penggolongan jenis-jenis kejahatan yang dapat digunakan berdasarkan pengulangan atau residivis adalah
sebagai berikut:
52
a. Pasal 486: kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan: dengan maksud mencari keuntungan yang tidak layak. Yang
menggunakan tipu muslihat. b. Pasal 487: kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan:
terhadap badan dan jiwa seseorang, kekerasan terhadap seseorang. c. Pasal 488: kejahatan- kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-
perbuatan yang bersifat penghinaan. Selain dibedakan antara bentuk pe
n gulangan umum dan peng
u la
n ga
n khusus, dalam dokt
ri n hukum p
i dana
j uga dikenal adanya bent
u k p
en g
u l
an g
an kebetulan accide
n tally re
d dive
da n pe
n g
u langan kebi
a saa
n habit
u al re
d dive.
Pengulangan kebetula n
maksu d
nya pembuat melakukan tin d
ak pi d
a n
a yang ke d
ua kalinya itu
d isebabkan oleh hal-hal yang b
u ka
n karena sifat atau pera
n gainya yang
bu ru
k, aka n
tetapi oleh sebab-sebab lai n
ya n
g mema n
g dia tidak mampu mengatasi
n ya, misalnya karena akibat dari kehila
n ga
n pekerjaan da
ri sebab masuk
Lembaga Pemasya r
aka t
a n
L P karena mencuri ua
n g majikan
n ya, setelah ke
lu ar
51
SatochidKartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian 2, Balai Lektur Mahasiswa, tth, hlm. 185.
52
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta, PT Raja Grafindo Permai, 2011, h. 184.
LP d
ia me n
curi sepoto n
g roti karena kelaparan, dalam hal sepe rt
i i n
i sepat u
tnya tidak dijadikan alasan pemberat pidana. Berbeda denga
; pe
n g
u la
n gan ka
r e
n a
kebiasaan, ya n
g menun j
ukkan perangai ya n
g b uru
k. Tidak j
ara n
g n
arapidana yang setelah keluar LP tidak
m en
jadikan pera
n gai yang
l ebih baik, justru pengaruh
pergaulan di dala m L
P menambah sifat buruk n
ya, kemudian m
elakukan ke j
ahatan lagi, da
n d isini me
m ang wa
j ar pida
n a
n ya diperberat. Namun
KUH P tidak
membedakan a n
tara dua je n
is pe n
gula n
ga n
ya n
g dibica r
aka n
te r
akhir i n
i.
53
Pemidanaan terhadap residivis adalah maksimum pidana dengan ditambah 13 dari pasal yang bersangkutan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas pengulangan
diatur dalam KUHP sebagai dasar pemberat hukuman, sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa pengulangan tidak dapat diperlukan terhadap setiap tindak
pidana.
53
Abdillah Munir, Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Penambahan 13 Hukuman karena Pengulangan Tindak Kejahatan Recidive dalam Pasal 486. Skripsi S1 IAIN Walisong
Semarang, 2010.
BAB IV
ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBERAT PIDANA DALAM PENGULANGAN TINDAK PIDANA RECIDIVE MENURUT
KUHP A.
Analisis Terhadap Pengulangan Tindak Pidana Recidive
Sebagaimana pembahasan terdahulu dalam pasal-pasal yang telah ditentukan, residivis tidak hanya membahas ketiga pasal yaitu pasal. 486,487, dan
488, penggolongan jenis-jenis kejahatan yang dapat digunakan berdasarkan pengulangan atau residivis adalah sebagai berikut:
a. Pasal 486: kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan: dengan maksud mencari keuntungan yang tidak layak. Yang
menggunakan tipu muslihat. b. Pasal 487: kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan:
terhadap badan dan jiwa seseorang, kekerasan terhadap seseorang. c. Pasal 488: kejahatan- kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-
perbuatan yang bersifat penghinaan. Tetapi perlu diketahui bahwa selain ketentuan umum tentang residivis
yang ditentukan di dalam pasal-pasal 486, 487 dan 488 KUHP, terdapat dalam berbagai pasal KUHP tentang pemberatan atau penambahan pidana berdasarkan
pengulangan, seperti yang diatur di dalam pasal-pasal 137 lid 2, 216 lid 3, 489 lid
56
1, 492 lid 2, 523 lid 2, 536 lid 2, 3 dan 4 WVS, yang jangka waktu lampau jangka waktunya lebih pendek Jinkers 1946 : 175.
Begitu juga melakukan kejahatan dengan menggunakan sarana bendera kebangsaan dirumuskan dengan pasal 52 a, KUHP yang bunyi lengkapnya adalah:
“Bilamana pada waktu melakukan kejahatan menggunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut dapat ditambah sepertiga”.
Menurut asas yang dipergunakan oleh KUHP, kejahatan-kejahatan yang diatur itu dibagi dalam golongan-golongan menurut sifatnya yang oleh KUHP
dianggap sama. Dengan melihat pasal-pasal yang telah ditentukan diatas, maka kita harus
mengetahui bagaimana
alasan-alasan seorang
residivis pengulangan.
diantaranya:Faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pida n
a ,
Faktor telah dijat
u hkan pidana terhadap si pembuat oleh Negara karenatindak pida
n a
y ang
pertama , dan
Pidana itu telah dijalankannya pada yang b
ersangkuta n
, didalam pasal 486 dan pasal 487 ditentukan, bahwa hukuman yang dijatuhkan
berhubungan dengan perbuatan yang pertama harus merupakan hukuman penjara, sedang di pasal 488 “tidak” ditentukan hukuman apa yang telah dijatuhkan dalam
perbuatan yang pertama, jangka waktu antara kejahatan yang diulangi kemudian, dan hukuman yang dijatuhkan terhadap perbuatan yang pertaman, jangka waktu
adalah lima tahun. Adapun alasan hukuman dari pengulangan sebagai dasar hukuman bahwa,
seorang yang telah dijatuhkan hukuman dengan mengulang lagi kejahatan,
membuktikan bahwa ia telah memiliki tabiat yang jahat, dan oleh sebab itu dianggap merupakan bahaya bagi masyarakat dan bagi ketertiban umum.
Pemidanaan terhadap residivis adalah maksimum pidana dengan ditambah 13 dari pasal yang bersangkutan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas pengulangan
diatur dalam KUHP sebagai dasar pemberat hukuman, sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa pengulangan tidak dapat diperlukan terhadap setiap tindak
pidana. Hukuman yang ada dalam KUHP ini kalau di lihat dari penomena-
penomena sekarang ini bukan semangkin membaik, melainkan tidak adanya keadilan dalam menjatuhkan hukuman, dan hukuman di Indonesia ini hanya
bersifat sementara dan mendidik saja, efek jera yang dialami terdakwa tidak ada melainkan selesai seorang dihukum bukan menimbulkan sifat membaik melainkan
memburuk, beda halnya dalam hukum Islam.