Kesalahan dan Konsep Pertanggungjawaban Pidana

yang dijatuhkan pidana dengan keputusan hakim yang mempunyai kekuasaan hukum tetap karena perbuatan pidana yang telah dilakukan lebih dahulu. 48 Menurut doctrine, dari sudut sifatnya sistem residivis itu dapat dibagi dalam: 49 1. Generale residivis atau recidive umum. Residivis umum adalah melakukan kejahatan terhadap kejahatan mana telah dijatuhkan hukuman maka apabila ia telah melakukan kejahatan lagi yang merupakan bentuk kejahatan apapun, ini dapat dipergunakan sebagai alasan untuk memperberat hukuman. Contoh: A melakukan kejahatan pencurian, karenanya ia dijatuhkan hukuman. Setelah ia dijatuhkan hukuman itu, ia kembali dalam masyarakt. Akan tetapi A melakukan kejahatan kembali yaitu penganiayaan terhadap B. Berdasarkan residivis ini perbuatan penganiayaan itu dapat merupakan alasan untuk memperberat hukuman yang dijatuhkan atas dirinya. 2. Special residivis atau recidive khusus. Residivis khusus adalah seseorang melakukan kejahatan, dan terhadap kejahatan itu dijatuhkan oleh hakim. Kemudin ia melakukan kejahatan lagi yang sama sejenis dengan kejahatan pertama, maka persamaan kejahatan yang dilakukan kemudian itu merupakan dasar untuk memberatkan hukuman. Akan tetapi perlu pula diketahui, bahwa residivis harus memenuhi beberapa syarat. 48 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, h.139-140. 49 Satochid, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian 2, Balai Lektur Mahasiswa, tth, hlm. 186-187. Dan syarat-syarat yang dimaksud adalah: 1. Terhadap kejahatan yang pertama yang telah dilakukan harus telah ada keputusan hakim yang mengandung hukuman. 2. Keputusan hakim tersebut harus merupakan keputusan yang tidak dapat diubah lagi, artinya yang mempunyai keputusan akhir. Ini tidak berarti bahwa hukum ini harus sudah dijalani seluruhnya. 3. Didalam pasal 486 dan pasal 487 ditentukan, bahwa hukuman yang dijatuhkan berhubungan dengan perbuatan yang pertama harus merupakan hukuman penjara, sedang di pasal 488 “tidak” ditentukan hukuman apa yang telah dijatuhkan dalam perbuatan yang pertama. 4. Jangka waktu antara kejahatan yang diulangi kemudian, dan hukuman yang dijatuhkan terhadap perbuatan yang pertaman, jangka waktu adalah lima tahun. Pada tanggal 2 januari 1951, setelah ia menjalani hukuman seluruhnya, A dibebaskan. Kemudian pada tanggal 1 Januari 1952, A melakukan perbuatan penggelapan. Dengan demikian jangka waktu antara tanggal 2 Januari 1951 dan saat perbuatan kedua masih terletak kurang dari lima tahun, dan atas dasar pasal 486, hukuman atas diri A berhubungan dengan perbuatan yang kedua tadi, dapat ditambah dengan sepertiga. Akan tetapi, setelah ia dibebeskan pada tanggal 2 Januari 1951, pada tanggal 10 Januari 1956 melakukan penipuan, maka atas diri A tidak boleh dijatuhkan hukuman yang terberat karena setelah dijatuhkan hukuman yang kedua itu telah terletak diluar jangka waktu. Akan tetapi, apabila mereka ternyata mengulang kembali melakukan kejahatan, hal ini membuktikan bahwa mereka itu tidak dapat ditakut-takuti lagi. Kriminologi menganggap, bahwa dasar hukum bagi residivis kurang tepat, berhubung seseorang yang telah menjalani hukuman sudah tidak takut lagi menjalani hukuman. Akan tetapi, ancaman hukuman berat itu akan menakut- nakuti justru orang yang belum pernah menjalani hukuman, hingga orang itu akan takut untuk melakukan sesuatu kejahatan. Perlu dijelaskan bahwa selain ketentuan umum tentang residivis yang ditentukan di dalam pasal-pasal 486, 487 dan 488 KUHP, terdapat dalam berbagai pasal KUHP tentang pemberatan atau penambahan pidana berdasarkan pengulangan, seperti yang diatur di dalam pasal-pasal 137 lid 2, 216 lid 3, 489 lid 1, 492 lid 2, 523 lid 2, 536 lid 2, 3 dan 4 WVS, yang jangka waktu lampau jangka waktunya lebih pendek Jinkers 1946 : 175. Selain itu masih terdapat dasar penambahan pidana karena adanya berbagai keadaan khusus, misalnya yang terdapat di dalam pasal-pasal 356, 361 dan 412 dan sebagainya. Adapun Speciale recidive, pengulangan khusus jumlahnya sangat terbatas. Misalnya pasal 137 ayat 2 KUHP menyatakan bahwa kalau terpidana melakukan kejahatan penghinaan kepada wakil presiden atau wakil presiden yang dilakukan dalam jabatannya dan belum lagi berlalu dua tahun setelah pidana yang dijatuhkan pertama sudah memperoleh kekuatan tetap, maka residivis ini dapat dipecat dari jabatannya. Pasal 216 3 KUHP berupa kejahatan kalau diulang dilakukan dan