Amal Perbuatan Termasuk Syarat Iman

B. Amal Perbuatan Termasuk Syarat Iman

Iman bagi Ibn Taimiyyah ialah pembenaran dalam hati dan pengucapan dengan lisan, serta dibarengi dengan pembuktian yakni dengan amal perbuatan. Ibn Taimiyyah menambahkan konsep iman dengan amal perbuatan, dimaksudkan agar tidak ada orang yang beranggapan bahwa hanya dengan iman saja atau hanya dengan pembenaran dalam hati saja dan pengucapan dengan lisan, seseorang sudah cukup mendapatkan janji masuk surga, tanpa mereka memperdulikan amal perbuatannya. Justru amal shalih ini merupakan keharusan bagi iman. Dan sesungguhnya iman itu tidak bisa dipisahkan dengan amal salih. 5 Sebagaimana firman Allah swt: ☺ ﺮܣﻌﻟ ا : – “ Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran, dan nasehat menasehati supaya menetapi kebenaran”. QS. al-Ashr : 1-3 Ayat ini jelas bahwa iman itu tidak bisa dipisahkan dengan amal perbuatan salih, atau dengan kata lain yang dikatakan orang yang beriman itu adalah orang mewujudkan amal perbuatannya yang shalih. Tidak hanya pembenaran dalam hati dan pengucapan dengan lisan, tetapi ia membuktikan imannya itu dengan amal 5 Ibn Taimiyyah, al-Iman terj, Kathur Suhardi, h. 119 perbuatan. Jadi penyebutan amal salih itu merupakan pengkhususan terhadap nash yang sudah ada, agar dapat diketahui bahwa pahala yang dijanjikan di akhirat, yaitu berupa surga tanpa azab, tidak akan diberikan kepada orang yang menyatakan iman tanpa beramal. Allah telah menjelaskan di beberapa ayat, bahwa orang-orang yang benar- benar dalam perkataannya. “Aku beriman”, harus melaksanakan kewajiban. Karena banyak orang yang mengaku beriman, tetapi ia tidak melakukan kewajibannya. Sebagaimana Allah berfirman: ☺ رﻮݏﻟ ا : ٧ “Dan mereka berkata: Kami Telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami mentaati keduanya. Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman”. QS. al-Nur : 47 Oleh karenanya iman itu perkataan dan perbuatan, keduanya tidak terpisahkan, sebagaimana yang sudah diterangkan di atas. Ibn Taimiyyah mengatakan hanya semata-mata pembenaran oleh hati dan ucapan lisan, tetapi disertai benci kepada Allah dan tidak menjalankan syariat-Nya ini adalah bukan iman, sampai pembenaran oleh hati itu bergandengan dengan amal shalih 6 . 6 Ibn Taimiyyah, al-Amar bi al-Ma’rûf wa an al-Munkar Kairo: Maktaba Sunnah, tth, h. 109 Jadi yang dikatakan dengan iman yang sempurna ialah pembenaran hati, serta mewujudkan dengan amal yang nyata atau secara lahir. Hal ini merupakan harga mati, mustahil di dalam hati ada iman yang sempurna tanpa amal yang lahir. Sebagai misal, ada orang yang berkata, “Di dalam hatinya ada iman seperti iman yang ada di dalam hati Abû Bakar dan Umar”. Padahal dia tidak pernah sujud kepada Allah, tidak puasa Ramadhan, lalu ia berzina. Apakah orang semacam ini adalah orang mukmin yang sempurna. Tentu saja semua orang mukmin menolak pendapat ini. Bahkan al-Isfirayainy mengatakan, sesungguhnya orang mukmin itu menjadi orang mukmin yang sebenarnya jika dia mewujudkan imannya itu dengan amal salih. Sebagaimana orang berilmu yang disebut orang berilmu sebenarnya jika ia berbuat sesuai dengan ilmu yang dimilikinya 7 , sebagaimana Allah berfirman: ☺ ☺ ☺ ☺ ☺ ☺ 7 Ibn Taimiyyah, al-Iman terj, Kathur Suhardi, h. 90 “ Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu, adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka dan kepada Tuhan-nya lah mereka bertawakkal, yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya”. QS. Al-Anfal: 2-4. Lebih lanjut al-Isfayainy mengatakan, bahwa hakikat iman menurut bahasa adalah pembenaran, yang tidak dapat terwujud kecuali dengan ma’rifat dan melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya, atau dapat dilakukan dengan isyarat dan kepatuhan sebagai ganti dari ungkapan lewat kata-kata artinya, bagi orang yang bisu umpamanya, dapat melakukannya dengan isyarat, sebagai ganti dari ungkapan dengan kata-kata. Adapun tentang orang yang melakukan dosa besar, Ibn Taimiyyah mengatakan, dia tidak bisa disebut sebagai kafir di dalam hatinya, kecuali jika dia orang munafik, yang dimaksud dengan orang munafik, ialah dia yang telah mengucapkan syahadat dengan lisannya tetapi masih ada di dalam hatinya keragu- raguan tentang Allah dan Rasul-Nya. Maka kata Ibn Taimiyyah, orang yang seperti ini akan kekal di dalam neraka, adapun bagi orang yang fasik atau melakukan dosa besar, maka orang tersebut tidak kekal di neraka, dan Allah akan masukkan dia ke dalam surga. 8 8 Syaikh Sa’id Abdul Azhim, Ibn Taimiyyah Pembaharu Salafi dan Dakwah Reformasi, terj, Faisal Shaleh Lc Jakarta: Pustaka Kausar, 2005, h. 213 Ibn Taimiyyah mengkritik Mu’tazilah yang mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar dan dia belum sempat bertaubat, maka orang itu akan kekal di dalam neraka. Mu’tazilah menyebut fasik kepada orang yang melakukan dosa besar, dan orang fasik sama seperti orang munafik yang akan kekal di neraka. Kaum Mu’tazilah memakai dalil, bahwasanya Allah berfirman ⌧ ﺔ۸ﻮﺘﻟا : ۵ “Katakanlah: Nafkahkanlah hartamu, baik dengan sukarela ataupun dengan terpaksa, namun nafkah itu sekali-kali tidak akan diterima dari kamu. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang fasik”. QS. al-Taubah : 52 Menurut kaum Mu’tazilah setelah disebutkan bahwa infaq mereka tidak akan diterima, ini menunjukkan bahwa sebab tidak diterimanya adalah kefasikan mereka. Mu’tazilah mengatakan bahwa bentuk lahiriah dari ayat ini menunjukkan bahwa penafian penerimaan itu terjadi karena kefasikan. 9 Ibn Taimiyyah mengkritik Mu’tazilah bahwa yang kekal di dalam neraka, adalah orang kafir dan orang munafik, kalau setiap orang yang melakukan dosa besar dikatakan sebagai orang fasik atau munafik dan akan kekal di neraka, lalu apa gunanya syafaat yang akan diberikan kepada Nabi Muhammad Saw kepada umatnya. Sementara Nabi Muhammad Saw apabila didatengi seseorang yang membutuhkan 9 Muhsin, al-Qadhi Abd Jabbar Mutasyabih al-Qur’an Dalih Rasionalitas al-Qur’an, h. 157- 158 sesuatu, maka beliau bersabda kepada para sahabat-Nya,’ Baiklah dia syafa’at 10 , niscaya kalian akan mendapat pahala, dan Allah akan memenuhi lewat lisan Nabi-nya menurut apa yang di kehendaki-Nya. Atas dasar ini maka Ibn Taimiyyah membagi kezhaliman menjadi tiga macam: Pertama; kezhaliman yang berupa kemusrikan dan tidak ada syafa’at di dalamnya., kedua; kezhaliman sebagian manusia terhadap sebagian yang lain, dengan keharusan pemenuhan hak bagi orang yang dizhalimi, yang harus di lakukan oleh orang yang berbuat zhalim., ketiga; orang yang menzhalimi dirinya sendiri, seperti sering melakukan dosa besar, orang yang seprti ini kata Ibn Taimiyyah masih dalam keadaan Islam, dan dia tetap ahli tauhid masih dalam keadaan bertauhid meskipun ia zhalim kepada dirinya sendiri, dan dalam hal ini dia termasuk orang yang mendapatkan syafa’at 11 .

C. Kritik Ibn Taimiyyah Terhadap Aliran Kalam Tentang Makna Iman