BAB II BIOGRAFI IBN TAIMIYYAH
A. Riwayat Hidup Ibn Taimiyyah
Nama lengkapnya adalah Ahmad Taqiyuddîn ibn Abbâs ibn Syihâbuddîn Abdul Mahâsin Abdul Halîm ibn Syaikh Majduddîn Abil Barakat Abd al-Salâm
ibn Abî Muhammad Abdillah ibn Abî Qâsim al-Khadar ibn Muhammad ibn al Khadhar ibn Alî ibn Abdillah. Famili ini dinamakan Ibn Taimiyyah karena
neneknya yang bernama Muhammad ibn al Khadhar. Beliau ketika naik haji melalui jalur Taima. Setelah ia kembali dari haji ia dapati istrinya melahirkan
seorang anak wanita, yang kemudian diberi nama Taimiyyah dan keturunannya dinamai keturunan Ibn Taimiyyah,
1
sebagai peringatan bagi jalan yang dilalui oleh neneknya ketika mengerjakan haji itu.
Ahmad Taqiyuddîn yang kita bicarakan sekarang ini lahir di desa Heran, sebuah desa kecil di Palestina pada tanggal 10 Rabi al-Awwal 661 H. Ahmad
Taqiyuddîn tinggal di desa ini sampai ia berumur 7 tahun, lalu ia pindah ke Damsyik sampai ia wafat pada tahun 724 H.
2
Ibn Taimiyyah tumbuh di dalam keluarga yang berilmu, ayahnya Abdul Halim merupakan direktur dari madrasah Sukkariyyah, sebuah sekolah mazhab
Hambali, di Damaskus keluarga Taimiyyah sendiri dikenal sebagai keluarga ulama. Pamannya Fakhr al-Dîn dan kakeknya Majd al-Dîn adalah pakar teolog
1
Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah Jakarta: Pustaka Tarbiah, 2006, h. 296
12
2
Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama Jakarta: Pustaka Tarbiah, 2005, h. 218
dan fikih Hambali, di kemudian hari Ibn Taimiyyah melanjutkan jejak keluarga sebagai penerus tradisi Hambali.
3
Di dalam lingkungan yang bagus inilah Ibn Taimiyyah tumbuh. Beliau mulai menuntut ilmu kepada bapaknya dan para ulama di Damaskus. Maka beliau
mampu menghafal al-Qur’an ketika beliau masih sangat kecil, beliau dikenal sebagai sosok yang cerdas dan memiliki hafalan yang begitu kuat, dan beliau
kemudian memperluas dan memperdalam disiplin-disiplin ilmu di sana, sampai terkumpulah pada diri beliau sifat-sifat seorang mujtahid sejak masih sangat
muda. Ibn Taimiyyah menggantikan ayahnya sebagai direktur madrasah
Sukkariyyah, setahun kemudian ia menjadi pengajar tafsir al-Qur’an di masjid Umayyah. Di akhir tahun 691 H, ia naik haji ke Mekkah dari sana ia menulis
sebuah risalah yang mengungkapkan sejumlah bid’ah dalam pelaksanaan ibadah haji. Pada tanggal 17 Sya’ban 695 H, Ibn Taimiyyah mulai mengajar di
Hanbaliyyah, madrasah Hanbali tertua di Damaskus, menggantikan gurunya yang telah tiada.
4
Ibn Taimiyyah, selain seorang yang alim, ia juga seorang mujahid keberaniannya luar biasa ketika ia berjuang melawan bangsa Tartar. al-Qâdhi
Syihabudîn Abû al-Abas Ahmad ibn Fadhullah berkata: “Syaikhul Islam duduk bersama Sultan Ghazan saat pasukan
musuh telah siap siaga, dan hati menciut karena takut menghadapinya. Sultan duduk lalu mengisyaratkan tangannya ke dadanya sembari meminta
doa kepada Syaikh. Maka Ibn Taimiyyah mengangkat kedua tangannya dan berdoa, sementara Sultan mengaminkan doa tersebut”.
3
Henri Loust, Ibn Taimiyyah’, Encyclopaedia of Islam ttp 1980, h. 951 13
4
Muhammad Sharif Khan dan Anwar Saleem, Muslim Philosophy and Philosophers Delhi: Ashish Pubishing Housw, 1994, h. 103
Pertempuran itu terjadi pada tahun 669 H. Mereka menceritakan tentang keberanian Ibn Taimiyyah dapat dijadikan teladan oleh para patriot-patriot
kenamaan. Sultan dan pasukan-pasukannya sangat takjub dengan keberaniannya menghadapi Mongolia Tartar.
Ibn Taimiyyah pergi ke Syam untuk menemui penguasa Syam, dia memberi semangat kepada penduduk Syam dan menjanjikan kemenangan atas
musuh-musuh mereka jika mereka sabar dan mempersiapkan segalanya.
5
Dia juga membacakan firman Allah:
☺
⌦ ⌧
“Demikianlah, dan barangsiapa membalas seimbang dengan penganiayaan yang pernah ia derita Kemudian ia dianiaya lagi, pasti Allah akan menolongnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” al-Hajj : 60
Ibn Taimiyyah juga pernah turun langsung pada perang Syaqhab
6
pada tahun 702 H. Latar belakangnya, karena mental pasukan sudah jatuh dan gemetar,
saat itu Ibn Taimiyyah bersama beberapa sahabatnya terjun langsung dalam kancah pertempuran, dan berakhir dengan kemenangan untuk kaum muslimin,
dalam perang itu pasukan Tartar banyak yang terbunuh. Sikap kepahlawanan yang ditunjukkan oleh Ibn Taimiyyah dalam
mengusir bangsa Mongol, menjadikannya sebagai seorang tokoh yang penting
14
5
Said Abdul Azhim, Ibn Taimiyyah Pembaharu Salafi dan Dakwah Reformasi, terj, Faisal Saleh Lc Jakarta: Pustaka Kausar, 2005, h. 26-27
`
6
Perang Syaqhab ialah peperangan yang terjadi melawan bangsa tartar.
dalam percaturan politik pada saat itu. Hal ini pula yang menyebabkan hampir dari seluruh hidupnya dihabiskan untuk berpolemik dengan musuh-musuhnya.
Sifat kritis yang ditunjukkan oleh Ibn Taimiyyah pada dasarnya hasil dari polemik pahit yang ia alami dalam memperjuangkan kepercayaannya. Bagi Ibn
Taimiyyah agama Islam telah digerogoti dari dalam oleh sufisme, panteisme, kalam, filsafat dan berbagai khurafat. Karenanya untuk meluruskan ajaran agama
seorang muslim harus kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah serta perilaku kaum salaf. Ibn Taimiyyah juga menentang sebagian kaum sufi yang dengan
ajarannya itu dapat membuat beku pikiran umat dan membuat umat bertaklid buta, dan umat banyak yang menggantungkan harapan bukan lagi kepada Allah.
Banyak sekali dakwaan yang ditunjukkan kepada Ibn Taimiyyah, akan tetapi dengan kecerdasannya yang luar biasa dalam menjawab setiap dakwaan ia mampu
meyakinkan para hakim yang mengadilinya bahwa apa yang ia kerjakan itu benar sejalan dengan ajaran al-Qur’an dan hadis.
7
15
Tidak puas dengan hasil pengadilan sebelumnya, lawan-lawan Ibn Taimiyyah mendesak diadakan sebuah pengadilan kembali. Kali ini yang
menuntut qadhi Syafi’î dan sekali lagi mereka gagal memberangus karyanya
tersebut. Sejumlah musuhnya pun pergi ke Kairo untuk mengadakan sebuah konsili baru. Konsili pun diadakan, kali ini berlangsung di benteng Mesir dan
dihadiri oleh sejumlah para pejabat tinggi negara. Ibn Taimiyyah di tuduh sebagai antropomorfis dan dijebloskan ke tahanan bersama dua orang saudaranya selama
satu setengah tahun.
7
Ibn Taimiyyah, al-Iman, terj, Kuthur Suhardi Jakarta: Darul Falah, 2007, h.13
Setelah bebas Ibn Taimiyyah kembali untuk menyeru memberantas bid’ah, hal ini membuat dua orang sufi berpengaruh di Mesir yakni Ibn ‘Atha’illah dan
Karim al-Din al-Amuli memusuhinya, lalu pada bulan syawal dua ribuan orang sufi melakukan demonstrasi untuk menentangnya. Lalu mereka menuntut seorang
hakim dari mazhab Syâfi’î untuk mengadilinya, lalu Ibn Taimiyyah dibawa ke meja pengadilan. Maka dia berkata, ’Tidak ada yang pantas dimintai pertolongan
kecuali Allah dan Rasul-Nya.’ Hakim menganggap perkataannya ini tidak pantas diucapkan.
Pemerintah menawarkan pilihan kepada Ibn Taimiyyah antara pulang ke Damaskus atau dijebloskan ke penjara, dia memilih yang terakhir. Alasannya
karena campur tangan sebagian orang yang dengki kepadanya agar hakim menjebloskannya ke dalam penjara.
8
Selama di dalam penjara orang-orang datang untuk meminta fatwa, maka Ibn Taimiyyah memberikan fatwa dalam berbagai
masalah. Pada tahun 709 H, hakim mengekstradisikannya ke Iskandaria dan dia
ditempatkan di sebuah kastel yang besar dan luas milik Sultan Jasyingkir, yang sepertinya akan melenyapkannya. Para pengikut Ibn Taimiyyah mengkhawatirkan
keselamatannya dari tipu daya Jasyingkir. Selama delapan bulan Ibn Taimiyyah berada di sana dan banyak orang yang mengunjunginya untuk berdiskusi dan
meminta fatwa. Ketika Sultan Jasyingkir berhasil dikalahkan oleh Sultan al-Nasir, Ibn
Taimiyyah dibebaskan dari penjara, Sultan sangat menghormatinya, lalu Ibn
16
8
Ibn Taimiyyah, al-Iman, terj, Kuthur Suhardi Jakarta: Darul Falah, 2007, h. 14
Taimiyyah menetap di Mesir, bergaul dengan orang khusus dan umum serta tempat menjadi kunjungan mereka. Para fuqaha dan hakim mengunjunginya untuk
meminta maaf kepadanya atas apa yang pernah mereka perbuat terhadap dirinya. Pada tahun 712 Ibn Taimiyyah kembali ke Damaskus untuk menyertai
Sultan, setelah dia berjauhan dengannya selama tujuh tahun. Pada saat kedatangannya, semua penduduk Damaskus keluar untuk menyambutnya. Mereka
merasa bergembira atas kedatangannya ke Damaskus. Ibn Taimiyyah berada di sana untuk melanjutkan penyebaran ilmu dan penyusunan buku, menyampaikan
fatwa kepada manusia. Ibn Taimiyyah mengeluarkan fatwa berdasarkan ijtihadnya yang terkadang sama dengan empat mazhab dan terkadang berlainan.
Pada tahun 726 H ia ditangkap lagi atas perintah Sultan, dan dikurung di penjara benteng Damsyik. Banyak murid-muridnya ketika ia ditangkap dan
dikurung di dalam penjara, di antara muridnya ialah Ibn Qayyîm al-Jauzîah yang nantinya akan meneruskan perjuangannya. Maka wafatlah Ibn Taimiyyah di
dalam penjara pada 20 Dzulqaedah 728 H.
9
Banyak para pemimpin, tokoh masyarakat, ulama datang untuk menyaksikan jenazah beliau, setelah jenazah beliau dikeluarkan maka setiap orang
berebut ingin merangkul dan memegang jenazah beliau. Jenazah beliau kemudian dibawa ke tempat peristirahatannya yang terakhir dengan penuh penghormatan,
pengagungan, dan sanjungan dari para hadirin karena keilmuan, amal salih, kezuhudan, ibadah, jauh dari dunia dan hanya menyibukan diri dengan urusan
akhirat.
17
9
Sirajudin Abbas, 40 Masalah Agama, h. 222.
Banyak para ulama yang mengomentari atau berkata terhadap dirinya, di antaranya adalalah al-Hafizh Ibn Hajar yang mengatakan:
“Ibn Taimiyyah, menulis, mengajar, memberikan fatwa, dan beliau memperluas kajian ilmiahnya dalam disiplin berbagai ilmu, dan mengkaji
secara seksama mazhab-mazhab salaf dan juga khalaf”.
Berkata pula al-Hafizh al-Dzahabi: “Ibn Taimiyyah adalah seorang yang luar biasa ketika berbicara
tentang suatu masalah khilafiah, beliau adalah salah seorang yang mendapatkan hak untuk berijtihad, karena pada diri beliau telah terkumpul
syarat-syarat sebagai seorang mujtahid”.
10
Bagaimana perjuangan hidup Ibn Taimiyyah, tidak dipungkiri lagi. Beliau adalah seorang ‘ pejuang lapangan’ dengan segala perilaku yang meledak-ledak.
Ia seorang yang sangat teguh mempertahankan aqidahnya. Tetapi juga tidak dipungkiri bahwa beliau ini juga sering dianggap sebagai tokoh yang
controversial, banyak fatwa-nya yang keluar dari mazhab yang dianutnya yakni mazhad Hanbali, dan juga dikenal sebagai tokoh yang paling banyak mengkritik
sufisme tak heran kalau kebanyakan para sufi mengkritiknya bahkan ada yang menyesatkannya.
B. Karya-Karya Ibn Taimiyyah