dukungannya baik moril maupun materil, serta tidak memandang sebelah mata pada pengguna NAPZA, sehingga dapat membantu mereka dalam
menimbulkan kembali harapan baru untuk menggapai masa depannya.
1.4 Sistimatika Penulisan
Agar dalam penyusunan penelitian lebih terarah dan sitematis, maka penulis membuat sistematika penulisan yang terdiri dari :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian serta sistimatika penulisan. BAB II :
KAJIAN PUSTAKA Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang teori yang
berkaitan dengan optimisme, mulai dari pengertian optimisme, perbedaan antara optimisme dan pesimisme, ciri-ciri orang optimis,
aspek-aspek optimisme, optimisme kesembuhan. Teori orientasi masa depan, mulai dari pengertian orientasi masa depan,
perkembangan orientasi masa depan, proses pembentukan orientasi masa depan, orientasi masa depan sebagai sistem, faktor-faktor yang
mempengaruhi orientasi masa depan. Pengertian NAPZA, pengguna NAPZA dan faktor yang mempengruhi penyalahgunaan NAPZA.
BAB III : METODELOGI PENELITIAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikan jenis penelitian, meliputi pendekatan dan metode penelitian, populasi, sampel dan teknik
pengambilan sampel, teknik pengumpulan data dan metode pengolahan data.
BAB IV : HASIL PENELITIAN
Meliputi gambaran umum subyek dan hasil pengumpulan data dari kuesioner.
BAB V : PENUTUP
Berisi kesimpulan, diskusi dan saran.
BAB 2
KAJIAN TEORI
2.1 Optimisme 2.1.1 Pengertian
Optimisme
Seligman dalam Ghufron dan Risnawati, 2010 menyatakan bahwa optimisme adalah suatu pandangan secara menyeluruh, melihat hal yang baik,
berfikir positif, dan mudah memberikan makna bagi diri. Menurut Carver Scheier dalam Synder Lopez, 2005 individu yang optimis merupakan individu yang
mengira akan terjadi hal-hal baik pada diri mereka dan individu yang pesimis adalah individu yang mengira akan terjadi hal-hal buruk pada diri mereka.
Sedangkan menurut Ubaedy 2007 Optimisme memiliki dua pengertian. Pertama, optimisme adalah doktrin hidup yang mengajarkan kita untuk meyakini
adanya kehidupan yang lebih baik. Kedua, optimisme berarti kecenderungan batin untuk merencanakan aksi untuk mencapai hasil yang lebih bagus atau meyakini
adanya kehidupan yang lebih baik dan keykinan itu kita jadikan sebagai bekal untuk meraih hasil yang lebih baik.
McGinnis 1995 menyatakan bahwa individu yang optimis adalah individu yang bertindak karena mereka yakin bahwa mereka mempunyai pengendalian yang
besar sekali atas masa depan mereka. Sedangkan menurut Segerestrom dalam Ghufron dan Risnawati, 2010 optimisme adalah cara berfikir positif dan realistis
dalam memandang suatu masalah. Penelitian yang dilakukan oleh Gill dalam Nevid, 2006, menunjukan
adanya hubungan antara optimisme dengan kesehatan yang lebih baik. Misalnya,
pasien yang mempunyai pikiran lebih pesimis selama masa sakitnya akan lebih menderita dan distress.
Berdasarkan beberapa pengertian mengenai optimisme, maka pengertian optimisme dalam penelitian ini adalah sikap individu yang mengharapkan akan
terjadi hal-hal baik dimasa yang mendatang.
2.1.2 Perbedaan antara Optimisme dan Pesimisme
Individu yang optimis dan individu yang pesimis memiliki perbedaan dalam beberapa cara yang berpengaruh besar dalam hidup mereka. Perbedaan mereka
terletak pada cara pendekatan dalam menghadapi masalah dan tantangan yang mereka alami, dan mereka berbeda dalam tata cara serta kesuksesan dalam
mengatasi permasalahan hidup. Individu yang optimis memiliki kecenderungan untuk menganggap bahwa seluruh masalah dapat terselesaikan, baik dengan satu
cara maupun cara lainnnya. Mereka juga memiliki keyakinan dan kegigihan dalam menghadapi suatu masalah. Di lain pihak, individu yang pesimis memiliki
kecenderungan untuk mengantisipasi kemungkinan bertambah buruknya masalah, dan mereka juga cenderung ragu-ragu dalam menghadapi masalah yang mereka
alami Carver Scheier, dalam Synder Lopez, 2005. Menurut Seligman dalam Goleman, 2000 mendefinisikan optimisme dalam
kerangka bagaimana orang memandang keberhasilan dan kegagalan mereka. Orang yang optimis menganggap kegagalan disebabkan oleh sesuatu hal yang dapat
diubah sehingga mereka dapat berhasil pada masa-masa mendatang, sementara
orang pesimis menerima kegagalan sebagai kesalahannya sendiri, menganggapnya berasal dari pembawaan yang telah mendarah daging yang tak dapat mereka ubah.
Seligman dalam Lestari dan Lestari, 2005 menyatakan bahwa yang dimaksud optimisme adalah keyakinan individu bahwa peristiwa buruk atau
kegagalan hanya bersifat sementara, tidak mempengaruhi semua aktivitas dan bukan mutlak disebabkan diri sendiri tetapi bisa situasi, nasib atau orang lain. Ketika
mengalami peristiwa yang menyenangkan individu yang optimis akan berkeyakinan bahwa peristiwa tersebut akan berlangsung lama, mempengaruhi semua aktivitas
yang lain dan disebabkan dirinya sendiri. Sebaliknya pesimisme adalah kecenderungan individu untuk berkeyakinan bahwa peristiwa buruk akan
berlangsung lama, mempengaruhi semua aktivitas dan disebabkan oleh diri sendiri. Ketika mengalami peristiwa menyenangkan individu yang pesimis akan
berkeyakinan bahwa peristiwa yang dialami hanya sementara, tidak mempengaruhi aktivitas yang lain dan disebabkan oleh situasi atau orang lain.
McClean dalam Lestari dan Lestari, 2005 berpendapat bahwa optimisme dan pesimisme mengandung tiga dimensi, yaitu:
1. Time Factor
, yaitu menerangkan hal yang berhitungan dengan waktu.
2. Space Factor
, yaitu menerangkan pengaruhnya terhadap situasi yang berbeda.
3. Cause Factor
, yaitu menerangkan siapa yang menjadi penyebab terhadap peristiwa yang dialami
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa individu yang optimis adalah individu yang mengharapkan akan terjadi hal-hal baik di masa yang
mendatang, sedangkan pesimis adalah sikap individu yang mengharapkan akan terjadi hal-hal yang buruk di masa yang akan datang.
2.1.3 Ciri-ciri Orang
Optimis
Para ahli telah menguraikan beberapa ciri dari orang optimis. Diantaranya menurut Ubaedy 2007 bahwa untuk menjadi orang optimis tidak secara otomatis
langsung membuat kita mendapatkan impian yang kita inginkan, tetapi untuk mendapatkan impian itu dibutuhkan batin yang optimis.
Sedangkan menurut McGinnis 1995 ciri-ciri orang optimis diantaranya meliputi: 1 Jarang merasa terkejut oleh kesulitan
2 Mampu mencari pemecahan masalah 3 Merasa yakin bahwa mampu mengendalikan atas masa depan
4 Memungkinkan terjadinya pembaharuan secara teratur 5 Menghentikan pemikiran yang negatif
6 Meningkatkan kekuatan apresiasi 7 Menggunakan imajinasi untuk melatih sukses
8 Selalu gembira meskipun sedang tidak merasa bahagia
9 Merasa yakin bahwa memiliki kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk di ukur
10 Suka bertukar berita baik Robinson dalam Ghufron dan Risnawati, 2010 menyatakan individu yang
memiliki sikap optimis jarang menderita depresi dan lebih mudah menggapai kesuksesan dalam hidup, memiliki kepercayaan, dapat berubah ke arah yang lebih
baik, adanya pemikiran dan kepercayaan mencapai sesuatu yang lebih dan selalu berjuang dengan kesadaran penuh.
McGinnis 1995 menambahkan bahwa kaum optimis tidak memendam ganjalan atau menyimpan ingatan tentang kesalahan di masa lalu, ini bukan karena
mereka mempunyai pandangan yang tinggi mengenai umat manusia, tetapi juga karena mereka punya cara berfikir yang berbeda tentang hakikat kesalahan. Mereka
melihat kesalahan sebagai papan loncatan untu belajar. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa orang optimis
yaitu orang yang merasa mampu mengatasi setiap masalah fisik maupun psikologis yang menimpanya berdasarkan pandangannya yang selalu positif terhadap suatu
masalah.
2.1.4 Aspek-aspek Optimisme
Seligman dalam Lestari dan Lestari, 2005 mengemukakan ada tiga macam gaya penjelasan ekplanatory style, yaitu permanence, pervasiveness dan
personalization .
a. Permanence Menerangkan hal-hal yang berhubungan dengan waktu yaitu temporer atau
permanen b. Pervasiveness
Menerangkan bagaimana pengaruh peristiwa yang dialami terhadap situasi yang berbeda dalam hidup, yaitu spesifik atau global
c. Personalization Internal dan eksternal, individu dalam menjelaskan siapa yang menjadi
penyebab suatu peristiwa, diri sendiri internal atau orang lain eksternal Seligman 2005 menambahkan bahwa Orang-orang yang membuat
penjelasan permanen dan universal untuk kejadian bagus, begitu pula penjelasan temporer
dan spesifik untuk kejadian buruk, dengan cepat pulih kembali dan dengan mudah kembali melangkah begitu mereka mendapatkan sebuah keberhasilan.
Orang-orang yang memberikan penjelasan temporer dan spesifik untuk keberhasilan, serta penjelasan permanen dan universal untuk kegagalan, cenderung
kolaps ketika terkena tekanan pada keduanya dalam waktu yang lama dan menyebar
ke berbagai situasi dan jarang aktif kembali. Orang optimis akan menerangkan situasi yang menyenangkan secara
internal diri sendiri yang menyebabkan terjadinya situasi yang menyenangkan. Sebaliknya orang optimis akan menerangkan situasi yang tak menyenangkan secara
eksternal orang lain atau lingkungan yang menyebabkan terjadinya situasi tak
menyenangkan. Orang pesimis cenderung menerangkan situasi yang menyenangkan karena orang lain atau situasi eksternal misalnya: “kemampuan
teman-teman saya yang menyebabkan tim saya menang”. Sebaliknya, orang pesimis cenderung menerangkan situasi yang tak menyenangkan karena dirinya sendiri
internal. Berdasarkan uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa orang yang optimis
akan memandang suatu kejadian positif sebagai suatu hal yang akan terus terjadi permanent meski dalam kondisi apapun universal, hal ini diakibatkan karena
mereka percaya bahwa kejadian positif itu muncul akibat faktor dari dalam dirinya internal. Sementara bila mereka berhadapan dengan kejadian negatif mereka akan
memandangnya sebagai suatu hal yang sementara dan spesifik hanya pada saat terntentu saja. Hal ini diakibatkan karena mereka percaya bahwa hal yang negatif
muncul diakibatkan faktor dari luar dirinya eksternal.
2.1.5 Cara untuk Meningkatkan Optimisme
Seligman dalam Lestari dan Lestari, 2005 menemukan cara untuk meningkatkan optimisme yaitu dengan menggunakan model ABCDE. Model ini
dikembangkan dari model ABC yang sebelumnya telah dikembangkan oleh Albert Ellis dan Aaron Beck. Adapun yang dimaksud dengan Model ABCDE adalah:
1. Adversity
A berupa peristiwa, dapat bersifat positif atau negatif, seperti liburan gagal, permusuhan dengan teman, kematian seseorang
yang dicintai dan sebagainya. 2.
Belief B yaitu kepercayaan dan interpretasi tentang suatu peristiwa.
3. Consequences
C yaitu bagaimana perasaan dan perilaku yang mengikuti peristiwa.
4. Disputation
D yaitu argument yang dibuat untuk membantah keyakinan yang telah dibuat sebelumnya.
5. Energization
E yaitu akibat emosi dan perilaku dari argument yang dibuat.
Dari uraian diatas disimpulkan bahwa cara pandang individu yang kurang optimis atau pesimis dapat diubah menjadi optimis melalui belajar serangkaian
keterampilan kognitif. Adapun salah satu cara yang dapat diajarkan adalah dengan menggunakan model ABCDE yang dikembangkan oleh Seligman.
2.1.6 Fungsi dan Manfaat Optimisme dalam Kesehatan
Fungsi dan manfaat optimis menurut Ubaedy 2007, dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Sebagai Energi Positif dorongan untuk menciptakan langkah dan hasil yang lebih bagus dibutuhkan harapan
yang baik, memiliki harapan baik akan memunculkan energi dorongan yang lebih baik pula.
b. Sebagai Perlawanan Tingkat perlawanan seseorang terhadap masalah atau hambatan yang
dihadapi terkait dengan tingkat ke optimisannya. Orang dengan optimisme kuat biasanya punya perlawanan yang kuat untuk menyelesaikan masalah. Sebaliknya,
orang dengan optimism rendah pesimis, biasanya punya tingkat perlawanan yang lebih lemah, cenderung lebih lemah menyerah pada realitas ketimbang
memperjuangkannya. c. Sebagai Sistem Pendukung
Optimisme juga berfungsi sebagai sistem pendukung. Kalau seseorang menginginkan keberhasilan, maka ia akan berhasil, punya kemauan untuk berhasil,
punya sikap yang dibutuhkan untuk berhasil, dan melakukan hal-hal yang dibutuhkan untuk keberhasilan itu maka logikanya ia akan berhasil.
Sedangkan manfaat itu sendiri, studi sejumlah pakar kesehatan mental menunjukan bahwa orang yang optimis jauh dari berbagai penyakit yang
disebabkan oleh kerusakan emosi, seperti stress, distress, depresi dan lain-lain Ubaedy, 2007. Selain itu optimisme juga dapat bermanfaat untuk membangkitkan
gairah hidup, untuk membangun masa depan yang lebih baik Tebba, 2006. Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa fungsi dan manfaat
optimisme dalam kesehatan sangat memiliki peran yang penting bagi setiap individu dalam meraih kesuksesan dan kebahagiaan dalam hidup. Dimana optimisme dalam
fungsinya dapat memberikan energi yang positif terhdap individu tersebut serta sistem pendukung untuk melawan rasa ketidakpercayaan diri terhadap frustasi,
depresi maupun ketika individu tersebut dalam menghadapi dan menyelesaikan masalahnya, dapat menjadikan individu tersebut memiliki kesehatan dalam
mentalnya sehingga dapat menjauhkan diri dari berbagai penyakit distress, depresi dan kondisi batin yang terpuruk serta kondisi yang dapat menghanyutkan individu
tersebut ke dalam realitas buruknya.
2.1.7 Faktor-faktor yang mempengaruhi Optimisme
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi optimisme menurut para ahli, yaitu : 1.
Pesimis, banyak orang yang menyatakan mereka ingin bisa lebih positif, tetapi berfikir mereka terkutuk dengan sifat pesimistik, dan untuk dapat
mengubah dirinya dari pesimis menjadi optimis dapat melalui rencana tindakan yang ditetapkan sendiri McGinnis, 1995
2. Pengalaman bergaul dengan orang lain, kemampuan untuk mengagumi dan
menikmati hal pada diri orang lain merupakan daya yang sangat kuat, sehingga dapat membantu mereka memperoleh optimisme Clark dalam
McGinnis, 1995 3.
Prasangka, prasangkaan hanyalah prasangkaan, bisa merupakan fakta, bisa pula tidak Seligman, 2005.
4. Explanatory style yang menjadi petunjuk seseorang cenderung optimis atau
pesimis dipengaruhi oleh genetika, orang tua, guru, media dan trauma Carver Scheier, dalam Synder Lopez, 2005.
berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi optimisme seseorang adalah mereka yang memiliki
kepercayaan diri yang rendah, lingkungan pergaulan yang tidak baik, selalu memiliki prasangka yang tidak baik untuk dirinya maupun dengan orang lain.
2.1.8 Optimisme Kesembuhan
Dari penjelasan tentang optimis diatas, maka dapat di ambil kesimpulan bahwa optimisme adalah suatu pola berfikir yang positif dalam melihat suatu
masalah dan dengan adanya keyakinan ini, akan menimbulkan harapan bahwa hasil yang baik, akan mudah datang dari pada hasil yang buruk.
Unsur yang dapat membantu menciptakan pemikiran yang harmonis adalah optimisme atau pandangan positif positive Thinking mampu membantu seseorang
agar dapat berfikir secara benar dan mempunyai kemampuan untuk bergerak ke arah kesempurnaan Sayyid, 1993.
Menurut Indrawan 1999 sembuh adalah pulih menjadi sehat kembali dari sakit. Oleh karena itu maka dapat di ambil kesimpulan bahwa optimisme
kesembuhan merupakan suatu harapan di dalam diri individu untuk sehat dari penyakitnya atau kembali ke kondisi normal.
2.2 Orientasi Masa Depan
2.2.1 Pengertian Orientasi Masa Depan
Orientasi masa depan menurut Sadarjoen 2008, adalah upaya antisipasi terhadap harapan masa depan yang menjanjikan. Sedangkan Menurut Agustian
2001, orientasi masa depan adalah bagaimana seseorang merumuskan dan menyusun visi kedepan dengan membagi orientasi jangka pendek, menengah dan
jangka panjang. Trommsdorf dalam Desmita, 2005 mengemukakan bahwa pengertian
orientasi masa depan merupakan fenomena kognitif motivasional yang kompleks,
yakni antisipasi dan evaluasi tentang diri di masa depan dalam interaksinya dengan lingkungan.
Sedangkan Nurmi dalam McCabe Bernett, 2000 mengemukakan bahwa orientasi masa depan merupakan gambaran mengenai masa depan yang terbentuk
dari sekumpulan skemata, atau sikap dan asumsi dari pengalaman masa lalu, yang berinteraksi dengan informasi dari lingkungan untuk membentuk harapan mengenai
masa depan, membentuk tujuan dan aspirasi serta memberikan makna pribadi pada kejadian di masa depan.
Sebagai suatu fenomena kognitif motivasional yang kompleks, orientasi masa depan berkaitan erat dengan skemata kognitif, yaitu suatu organisasi
perceptual dari pengalaman masa lalu beserta kaitannya dengan pengalaman masa
kini dan di masa yang akan datang Chaplin dalam Desmita, 2005. Skemata kognitif memberikan suatu gambaran bagi individu tentang hal-hal yang dapat
diantisipasi di masa yang akan datang, baik tentang dirinya sendiri maupun tentang lingkungannya, atau bagaimana individu mampu menghadapi perubahan konteks
dari berbagai aktivitas di masa depan Desmita, 2005. Selanjutnya Desmita 2005 menjelaskan bahwa skemata kognitif berisikan
perkembangan sepanjang rentang hidup yang diantisipasi, pengetahuan kontekstual, ketrampilan, konsep diri dan gaya atribusi. Dari skemata yang dihasilkan, individu
berusaha mengantisipasi peristiwa-peristiwa di masa depan dan memberikan makna pribadi terhadap semua peristiwa tersebut, serta membentuk harapan-harapan baru
yang hendak diwujudkan dalam kehidupan di masa yang akan datang.
Dari penjelasan diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa orientasi masa depan merupakan gambaran yang dimiliki individu tentang dirinya dalam konteks
masa depan. Gambaran ini terbentuk dari sekumpulan skemata, sikap atau asumsi dari pengalaman masa lalu, yang berinteraksi dengan informasi dari lingkungan
untuk membentuk harapan dan cita-cita baru demi menggapai masa depan yang lebih baik.
2.2.2 Perkembangan Orientasi Masa Depan
Orientasi masa depan merupakan proses yang kompleks dan bersifat terus menerus. Ada tiga aspek penting yang perlu diperhatikan Nurmi, 1991 :
1. Orientasi masa depan berkembang dalam konteks kultural dan institusional.
Ekspektansi normatif dan pengetahuan mengenai masa depan menjadi dasar untuk membentuk minat dan rencana masa depan, dan hubungan antara
atribusi kausal dan afek. 2.
Minat, rencana dan keyakinan yang berkaitan dengan masa depan dipelajari melalui interaksi sosial dengan orang lain.
3. Orientasi masa depan juga dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri individu
seperti kognitif dan perkembangan sosial.
Anticipated life span
development Normative
Life-events Motivational
Goals
Plans Attributions
emotional Planning
Evaluation
Gambar 2.1 Perkembangan Orientasi Masa Depan dan Proses yang Terdapat di
Dalamnya Nurmi,1991.
Menurut Nurmi 1991, orientasi masa depan berkembang akibat interaksi dengan lingkungan lihat gambar 2.1.
1. Peristiwa atau kejadian dalam hidup yang bersifat normatif, tugas
perkembangan dan jadwal pencapaian tugas perkembangan menjadi dasar pembentukan tujuan dan minat yang berorientasi masa depan.
2. Perubahan dalam kesempatan bertindak action opportunity dan model
penyelesaian tugas perkembangan berdasarkan usia menjadi dasar pembentukan rencana dan strategi berdasar pada masa depan.
3. Standar dan tenggang waktu dan solusi evaluasi dari tugas perkembangan
dinilai sukses menjadi dasar pembentukan tahap evaluasi dalam orientasi masa depan.
Lingkungan atau konteks sosial keluarga, sekolah dan lainnya ini berinteraksi dengan skemata yang ada dalam diri individu internal sebagai wujud
antisipasi terhadap perkembangan rentang kehidupan, perkembangan kontekstual dan konsep diri. Skemata yang terbentuk akan berinteraksi dengan ketiga tahapan
orientasi masa depan yaitu motivasi, perencanaan dan evaluasi yang kemudian membentuk gambaran mengenai masa depan.
2.2.3 Dimensi Orientasi Masa Depan
Menurut Nurmi 1991 dimensi orientasi masa depan yaitu, motivation motivasi, planning perencanaan dan evaluation evaluasi. Untuk membentuk
suatu orientasi masa depan, ketiga dimensi tersebut akan berinteraksi dengan skemata kognitif yang sebelumnya telah dijelaskan. Secara skematis, keterkaitan
antara skema kognitif dengan ketiga dimensi pembentukan orientasi masa depan tersebut, dapat di lihat pada gambar 2.1.
Adapun pengukuran orientasi masa depan Nurmi, 1989 yaitu: 1. Motivational Motivasi
Tahap motivasional merupakan dimensi awal dari hasil proses pembentukan orientasi masa depan. Tahap ini mencakup motif, minat dan tujuan yang berkaitan
dengan orientasi masa depan. Pada mulanya individu menetapkan tujuan berdasarkan perbandingan antara motif umum dan penilaian, serta pengetahuan
yang telah dimiliki tentang perkembangan sepanjang rentang hidup yang dapat di antisipasi. Ketika keadaan masa depan beserta faktor pendukungnya telah menjadi
sesuatu yang diharapkan dapat terwujud, maka pengetahuan yang menunjang terwujudnya harapan tersebut menjadi dasar penting bagi perkembangan motivasi
dalam orientasi masa depan Nurmi dalam Desmita, 2005. Minat, motif, pencapaian dan tujuan individu merupakan sistem
motivasional yang memiliki hierarki yang kompleks. Hierarki motivasi ini
dibedakan berdasarkan derajat generality dan abstractness dari tujuan yang dibuat Emmons; Lazarus dan Folkman dalam Nurmi, 1989. Dengan kata lain semakin
tinggi tingkatan tujuan maka semakin umum dan abstrak, begitu juga sebaliknya. Prinsip utama dari tingkatan kerja ini adalah tingkatan motif, nilai atau pencapaian
yang semakin tinggi membutuhkan tingkatan tujuan yang lebih rendah, yang bekerja melalui beberapa tujuan kecil. Dengan kata lain, untuk mencapai satu tujuan
besar diperlukan tujuan-tujuan kecil tujuan perantara. Sebelum mencapai tujuan besar individu terlebih dahulu harus mencapai tujuan perantara dan ini merupakan
strategi merealisasikan tujuan yang lebih besar. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Nurmi dalam Desmita
2005, bahwa perkembangan motivasi dari orientasi masa depan merupakan suatu proses yang kompleks, yang melibatkan beberapa subtahap, yaitu:
1 Pertama, munculnya pengetahuan baru yang relevan dengan motif umum
atau penilaian individu yang menimbulkan minat yang lebih spesifik 2
Kedua, individu mulai mengeksplorasi pengetahuannya yang berkaitan dengan minat baru tersebut
3 Ketiga, menentukan tujuan spesifik, kemudian memutuskan kesiapannya
untuk membuat komitmen yang berisikan tujuan tersebut. 2. Planning Perencanaan
Perencanaan merupakan dimensi kedua dari hasil proses pembentukan orientasi masa depan individu. yaitu bagaimana individu membuat prencanaan
tentang perwujudan minat dan tujuan mereka. Tahap perencanaan menekankan
bagaimana individu merencanakan realisasi dari tujuan dan minat mereka dalam konteks masa depan Nurmi, 1989.
Nurmi 1989 menjelaskan bahwa perencanaan dicirikan sebagai suatu proses yang terdiri dari tiga subtahap, yaitu :
1 Penentuan subtujuan. Individu akan membentuk suatu representasi dari
tujuan-tujuannya dan konteks masa depan di mana tujuan tersebut dapat terwujud. Kedua hal ini didasari oleh pengetahuan individu tentang konteks
dari aktifitas di masa depan, dan sekaligus menjadi dasar dari subtahap berikutnya.
2
Penyusunan rencana. Individu membuat rencana dan menetapkan strategi
untuk mencapai tujuan dalam konteks yang dipilih. Dalam menyusun suatu rencana, individu dituntut menemukan cara-cara yang dapat
mengarahkannya pada pencapaian tujuan dan menentukan cara mana yang paling efisien. Pengetahuan tentang konteks yang diharapkan dari suatu
aktivitas di masa depan menjadi dasar bagi perencanaan ini.
3 Melaksanakan rencana dan strategi yang telah disusun. Individu dituntut
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan rencana tersebut. Pengawasan dapat dilakukan dengan membandingkan tujuan yang telah ditetapkan
dengan konteks yang sesungguhnya di masa depan.
Untuk menilai sebuah perencanaan yang dibuat oleh individu, dapat dilihat dari tiga komponen yang tercakup di dalamnya, yaitu pengetahuan knowledge,
perencanaan Plans, dan realisasi realization Nurmi, 1989. Pengetahuan disini berkaitan dengan proses pembentukan subtujuan dalam proses perencanaan.
Perencanaan ini berkaitan dengan hal-hal yang telah ada dan akan dilakukan individu dalam usaha untuk merealisasikan tujuan.
3. Evaluation Evaluasi Evaluasi merupakan dimensi akhir dari hasil proses pembentukan orientasi
masa depan. Tahap evaluasi ini adalah derajat dimana minat dan tujuan diharapkan dapat terealisir. Nurmi 1989 memandang evaluasi sebagai proses yang melibatkan
pengamatan dan melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang ditampilkan, serta memberikan penguat bagi diri sendiri. Jadi, meskipun tujuan dan perencanaan
orientasi masa depan belum diwujudkan, tetapi pada tahap ini individu telah harus melakukan evaluasi terhadap kemungkinan-kemungkinan terwujudnya tujuan dan
rencana tersebut Desmita, 2005. Dalam mewujudkan tujuan dan rencana dari orientasi masa depan, proses
evaluasi melibatkan causal attributions; yang didasari oleh evaluasi kognitif individu mengenai kesempatan yang dimiliki dalam mengendalikan masa depannya,
dan affects; berkaitan dengan kondisi-kondisi yang muncul sewaktu-waktu dan tanpa disadari Nurmi, 1989. Menurut Weiner dalam Nurmi, 1989 atribusi
terhadap kegagalan dan kesuksesan dengan penyebab tertentu akan diikuti oleh emosi tertentu.
Model Weiner ini pada dasarnya digunakan untuk mengevaluasi hasil dari kejadian dimasa lalu. Namun pada kenyataannya model ini juga dapat dimanfatkan
untuk mengevaluasi tujuan dan rencana yang dibuat individu akan masa depannya Nurmi, 1989.
2.2.4 Orientasi Masa Depan Sebagai Sistem
Orientasi masa depan merupakan sebuah kesatuan yang terkait dalam satu sistem dimana tahapan-tahapan orientasi masa depan saling berkaitan. Bandura
dalam Nurmi, 1991 menjelaskan bahwa suatu pencapaian tujuan dalam membangun konsep diri yang positif dapat meningkatkan kepercayaan diri,
sehingga berhasil memunculkan sebuah gagasan yang dapat mempengaruhi pandangannya terhadap orientasi masa depan.
Bandura dalam Nurmi, 1991 selanjutnya menjelaskan dengan teorinya bahwa tujuan dan standar pribadi menjadi dasar bagi individu dalam mengevaluasi
kinerja mereka dalam pencapaian tujuan membangun konsep diri yang positif dan atribusi internal. Selain itu, efektivitas dari rencana yang dibuat mempengaruhi hasil
pencapaian rencana dan pada akhirnya akan mempengaruhi evaluasi diri. Dari uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa orientasi masa
depan sebagai sistem adalah bentuk dasar pemikiran manusia yang terkait dengan sebuah kesatuan tahapan-tahapan orientasi masa depan.
2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Orientasi Masa Depan
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi orientasi masa depan. Menurut Nurmi 1989 terdapat dua faktor yang mempengaruhi orientasi masa depan.
Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Faktor Internal Individu
Beberapa faktor ini adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu internal. Faktor-faktor tersebut adalah :
1 Konsep diri
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurmi 1989 menemukan bahwa konsep diri memberikan pengaruh terhadap orientasi masa depan. Individu dengan
konsep diri yang positif dan percaya dengan kemampuan mereka cenderung untuk lebih internal dalam pemikiran mereka mengenai masa depan dibandingkan
individu dengan konsep diri yang rendah. Konsep diri juga dapat mempengaruhi penetapan tujuan. Salah satu bentuk
dari konsep diri yang dapat mempengaruhi orientasi masa depan adalah diri ideal. Diri ideal terdiri atas konsep individu mengenai diri ideal mereka yang berhubungan
dengan lingkungannya dapat berfungsi sebagai motivator untuk dapat mencapai tujuan jangka panjang.
Bagian dari konsep diri yang cukup sering diteliti adalah self esteem. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa individu dengan self esteem
yang tinggi memiliki belief mengenai masa depannya yang lebih internal dan memiliki perencanaan yang lebih panjang dibandingkan individu dengan self esteem
yang rendah Nurmi, 1989. 2
Trait Kecemasan Penelitian yang dilakukan oleh Zelenski dan Larsen dalam Palupi, 2007
menunjukkan hubungan antara nilai skor trait neuroticism dengan skor judgement terhadap kejadian yang akan terjadi di masa depan. Berdasarkan penelitian, individu
yang memiliki trait neuroticism berkorelasi tinggi dengan trait kecemasan
cenderung untuk mempersepsikan bahwa akan terjadi kejadian yang buruk di masa yang akan datang.
2. Faktor Kontekstual
Berikut ini adalah faktor-faktor kontekstual yang dapat mempengaruhi orientasi masa depan :
1 Gender
Berdasarkan tinjauan literatur ditemukan adanya perbedaan gender yang signifikan antara domain-domain pada orientasi masa depan, tetapi pola perbedaan
yang muncul akan berubah seiring berjalannya waktu. Pada penelitian yang dilakukan oleh Nurmi 1991 ditemukan bahwa perempuan lebih berorientasi ke
arah masa depan keluarga sedangkan laki-laki lebih berorientasi ke arah masa depan karir. \
2 Status Sosial ekonomi
Kemiskinan dan status sosial ekonomi yang rendah berkaitan dengan perkembangan orientasi masa depan yang menyebabkannya menjadi terbatas
Nurmi dalam McCabe Barnet, 2000. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Nurmi 1991dalam McCabe Barnet, 2000 menunjukkan
bahwa individu yang memiliki latar belakang status sosial ekonomi yang tinggi cenderung untuk memiliki pemikiran mengenai masa depan karir yang lebih jauh
dibandingkan individu dengan latar belakang sosial ekonomi rendah. 3
Teman Sebaya
Dalam konteks ini, teman sebaya dapat mempengaruhi orientasi masa depan dengan cara yang bervariasi. Teman sebaya berarti teman sepermainan dengan
jenjang usia yang sama dan berada pada tingkat perkembangan yang sama, dimana teman sebaya dapat saling bertukar informasi pada pemikiran mengenai tugas
perkembangannya. Kelompok teman sebaya peer group juga memberikan individu kesempatan untuk membandingkan tingkah lakunya dengan temannya
yang lain Nurmi, 1991.
2.2.6 Orientasi Masa Depan Dalam Perspektif Islam
Masa depan merupakan yang tak luput dari pandangan Al-quran dan Hadist pun membicarakan banyak hal mengenai orientasi masa depan. Hal ini terdapat
dalam Q.S. Ad-Dhuha 93 :4 yang berbunyi :
Artinya : Sesungguhnya hari Kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang permulaan.
Maksudnya ialah bahwa akhir perjuangan nabi Muhammad SAW itu akan menjumpai kemenangan-kemenangan, sedang permulaannya penuh dengan
kesulitan-kesulitan. Ada pula sebagian ahli tafsir yang mengartikan akhir dengan kehidupan akhirat beserta segala kesenangannya dan ada pula dengan arti kehidupan
dunia. Ketika seseorang mengerjakan sesuatu hendaklah berorientasi pada akhir,
karena akhir itu adalah hasil dari proses kerja keras seseorang untuk mencapai
kesuksesan. Al-quran juga mengajarkan pada umat manusia untuk selalu merencanakan masa depan dengan membuat perencanaan dan mengevaluasi setiap
rencana tersebut, karena keteraturan itu selalu diajarkan dalam islam, hal ini terdapat dalam Q.S Al-Hasyar 59 : 18 yang berbunyi :
☺ ☺
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok
akhirat; dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat ini menjelaskan betapa pentingnya perencanaan untuk hari esok, dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan hari ini dengan melihat kesalahan dan
kekurangannya serta memperbaikinya. Umumnya kegagalan suatu usaha terletak pada tahap perencanaan awal, salah dalam menetapkan tujuan akan berakibat fatal
dalam hidup. Demikian juga dengan evaluasi, karena selalu menilai sebuah pekerjaan makan perbaikan akan terus diberlakukan maka hasil yang memuaskan
akan dapat terwujud.
2.3 NAPZA
Istilah napza, narkoba, narkotika dan obat terlarang merupakan istilah yang beredar di masyarakat baik melalui media maupun pembicaraan langsung. Semua
istilah ini mengacu kepada sekelompok zat yang nampaknya mempunyai satu resiko
yang oleh masyarakat disebut bahaya yakni kecanduan atau ketergantungan. Salah
satunya adalah NAPZA narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya yang merupakan bahan atau zat yang bila masuk ke dalam tubuh akan
mempengaruhi tubuh terutama susunan saraf pusat atau otak, sehingga menyebabkan gangguan fisik, psikis dan fungsi sosial BNN dan Departemen
Kesehatan RI, 2004. BNN dan Departemen Kesehatan RI, 2004 menjelaskan jenis-jenis
NAPZA yang sering disalahgunakan: 1.
Narkotika, merupakan zat yang berasal dari tanaman atau bukan tananaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
2. Psikotropika, merupakan zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis
bukan narkotika yang bersifat proaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku. 3.
Zat Adiktif Lainnya, bahan ini merupakan zat yang membuat pengaruh psikoaktif diluar narkotika dan psikotropika, yang diantaranya seperti:
1 Minuman beralkohol, adalah larutan yang mengandung atlialkohol,
yang berpengaruh terhadap sistem saraf pusat dan sering menjadi bagian dari budaya tertentu.
2 Tembakau, ialah zat yang sangat luas digunakan oleh masyarakat,
mengandung nikotin dan berbagai zat berbahaya akibat proses pembakarannya.
BNN dan Departemen Kesehatan RI, 2004 menjelaskan berdasarkan tingkat-tingkat pemakaian NAPZA terbagi menjadi 5, yaitu:
1. Pemakaian Coba-coba
Yaitu pemakaian NAPZA yang tujuannya ingin mencoba untuk memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian pemakai berhenti pada tahap ini,
dan sebagian lain berlanjut pada tahap yang lebih berat. 2.
Pemakaian Sosial atau Rekreasi Yaitu pemakaian NAPZA dengan tujuan bersenang-senang, pada saat
rekreasi atau santai. Sebagian bertahan pada tahap ini, yang lain meningkat pada tahap yang lebih berat.
3. Pemakaian Situasional
Yaitu pemakaian pada saat mengalami keadaan tertentu, seperti ketegangan, kesedihan, kekecewaan dan sebagainya, dengan maksud
menghilangkan perasaan-perasaan tersebut.
4. Penyalahgunaan
Yaitu suatu pola penggunaan yang bersifat patologik yang ditandai oleh intoksikasi sepanjang hari, tak mampu mengurangi atau
menghentikan, berusaha berulang kali mengendalikan, terus menggunakan walaupun sakit fisiknya cukup berat akibat zat tersebut.
Keadaan ini akan menimbulkan gangguan antara lain: perilaku agresif dan tidak wajar, hubungan dengan teman terganggu, sering bolos
sekolah atau kerja, melanggar hukum dan tak mampu berfungsi secara efektif.
5. Ketergantungan
Yaitu telah terjadi toleransi dan gejala putus zat, bila pemakaian zat dihentikan atau dikurangi dosisnya. Agar tidak berlanjut pada tingkat
yang lebih berat ketergantungan, maka sebaiknya tingkat-tingkat pemakaian tersebut memerlukan perhatian dan kewaspadaan keluarga
dan masyarakat. BNN dan Departemen Kesehatan RI 2004 menjelaskan terjadinya
penyalahgunaan NAPZA terjadi akibat interaksi 3 faktor berikut: 1.
Faktor NAPZA, semua jenis napza bekerja pada bagian otak yang menjadi pusat penghayatan kenikmatan, termasuk stimulasi seksual. Oleh karena itu
penggunaan NAPZA ingin diulangi lagi untuk mendapatkan kenikmatan yang diinginkan sesuai dengan khasiat farmakologiknya.
2. Faktor Individu, kebanyakan penyalahgunaan napza dimulai atau terdapat
pada masa remaja, sebab masa remaja yang sedang mengalami perubahan
biologik, psikologik maupun sosial yang pesat merupakan individu yang rentan untuk menyalahgunakan NAPZA.
3. Faktor Lingkungan, meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan, baik
pergaulan dilingkungan rumah, disekolah maupun di tempat-tempat umum. Dari uraian diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa NAPZA
merupakan jenis-jenis dari narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Sehingga ketika seseorang mengkonsumsinya, maka akan menimbulkan ketagihan
atau ketergantungan serta memiliki efek yang negatif terhadap fungsi otak serta organ tubuh. Dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
penyalahgunaan NAPZA, dapat terjadi akibat adanya tiga interaksi yang diantaranya, faktor NAPZA sebagai zat yang dapat memberikan penghayatan
kenikmatan sesaat pada otak, kemudian faktor individu dimana penggunaan NAPZA dijadikan sebagai suatu peralihan dari masalah yang dihadapinya atau suatu
percobaan akibat rasa ingin tahu yang lebih, dan yang terakhir adalah faktor lingkungan yang tidak kondusif sehingga memiliki pengaruh yang besar terhadap
terjadinya penyalahgunaan NAPZA.
2.4 Pengguna NAPZA