Imunitas Terhadap Penyakit Infeksi
IMUNITAS TERHADAP PENYAKIT
INFEKSI
DISUSUN OLEH :
Dr. SRI AMELIA, M.Kes
NIP. 197409132003122001
DEPARTEMEN MIKROBIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
DAFTAR ISI
BAB I Pendahuluan ... 1
BAB II Tinjauan Pustaka Imunologi Infeksi A. Imunitas Terhadap Bakteri ... 3
B. Imunitas Terhadap Virus ... 8
C. Imunitas Terhadap Jamur ... 10
D. Imunitas Terhadap Parasit ... 11
Hipersensitivitas ... 15
Defisiensi Imun ... 20
Pengobatan Defisiensi Imun ... 31
Tekhnik Imunologik : Reaksi Antigen – Antibodi Invitro ... 32
BAB III Kesimpulan ... 35
(3)
BAB I PENDAHULUAN
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut dengan sistem imun dan reaksi yang dikoordinasi sel-sel dan molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respon imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup.
Mikroba dapat hidup ekstraseluler, melepas enzim dan menggunakan makanan yang banyak mengandung gizi yang diperlukannya. Mikroba lain menginfeksi sel inang dan berkembang biak intraseluler dengan menggunakan sumber energi sel inangnya. Baik mikroba ekstraseluler maupun intraseluler dapat menginfeksi subyek lain, menimbulkan penyakit dan kematian, tetapi banyak pula yang tidak berbahaya bahkan berguna untuk sel inang.
Pertahanan imun terdiri dari sistem imun alamiah atau nonspesifik (native/innate) dan didapat atau spesifik (acquired/adaptive). Mekanisme fisiologik imunitas nonspesifik berupa komponen normal tubuh yang selalu ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk ke tubuh dan dengan cepat menyingkirkan mikroba tersebut. Jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi, misalnya jumlah sel darah putih meningkat selama fase akut pada banyak macam penyakit. Disebut nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Sistem ini merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respon langsung.
Sistem imun nonspesifik terdiri atas pertahan fisik / mekanik yaitu kulit, selaput lendir, silia saluran nafas, batuk dan bersin. Selain pertahanan fisik juga terdapat pertahanan biokimia termasuk lisozim, sekresi sebaseus, asam lambung, laktoferin, asam neuraminik. Kemudian pertahanan humoral (komplemen,interferon dan CRP) serta pertahan seluler (fagositosis, sel NK, sel mast dan basofil).
Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam badan segera
(4)
dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitisasi sel-sel imun tersebut. Benda asing yang sama bila terpajan ulang akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan olehnya. Oleh karena itu sistem ini hanya dapat menyingkirkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem itu disebut spesifik. Sistem imun spesifik dibagi dua kelompok yaitu sistem imun humoral, sel B melepas antibodi untuk menyingkirkan mikroba ekstraseluler dan sistem imun seluler dimana sel T akan mengaktifkan mikroba atau mengaktifkan sel Tc (Tcytotoxic) untuk membunuh sel yang terinfeksi.
Pada tulisan ini penulis akan menjelaskan tentang imunitas terhadap infeksi, reaksi hipersensitivitas, defisiensi imun dan penanggulangannya, serta beberapa teknik imunologi yang memakai dasar reaksi antigen dan antibodi. Mudah-mudahan apa yang penulis berikan dapat menambah pengetahuan kita tentang konsep imunologi.
(5)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
IMUNOLOGI INFEKSI
A. IMUNITAS TERHADAP BAKTERI
Bakteri dari luar yang masuk ke dalam tubuh (ekstraseluler) akan diserang sistem imun nonspesifik berupa fagosit, komplemen (aktivasi jalur alternatif), protein fase akut (APP) atau antibodi spesifik yang sudah ada dalam darah akibat pajanan terdahulu dengan bakteri yang sama akan menetralisasi bakteri. Beberapa bakteri intraseluler (dalam monosit, makrofag) seperti mikobakteria, L.monositogenes, Salmonella tifi dan brusella dapat menghindari pengawasan sistem imun antibodi. Dalam hal ini tubuh akan mengaktifkan sistem imun seluler (CD4+, CD8+ dan sel NK).
Menurut sifat patologik dinding sel, mikroorganisme dapat dibagi menjadi gram -negatif, gram-positif, mikobakterium dan spirochaeta. Permukaan bakeri yang dilapisi kapsul yang mengandung protein dan polisakarida, dapat merangsang sistem imun humoral tubuh untuk membentuk antibodi. Di luar membran plasma, bakteri memiliki dinding sel yang terdiri dari peptidoglikan. Bagian ini merupakan sasaran lisozim. Pada bakteri gram-negatif dimana dinding selnya mengandung lapisan lipopolisakarida (LPS atau endotoksin), lapsan ini menjadi aktivator poten makrofag.
Antibodi yang dibentuk terhadap toksin dapat menetralisasi efek toksin tetanus dan difteri, sehingga dapat mencegah kerusakan jaringan. Mikroorganisme yang mengandung lipid pada membran permukaan seperti N.meningitidis gram-negatif, dapat dihancurkan immunoglobulin dengan aktivasi komplemen melalui jalur lisis. Pada akhir respon imun, semua bakteri dihancurkan fagosit.
Imunitas Terhadap Bakteri Ekstraseluler
Bakteri ekstraseluler dapat hidup diluar sel pejamu, misalnya dalam sirkulasi, jaringan ikat dan rongga-rongga jaringan seperti lumen saluran nafas dan saluran cerna. Bakteri ekstraseluler ini kebanyakan bersifat patogen. Penyakit yang ditimbulkan bakteri ini berupa inflamasi yag menimbulkan destruksi jaringan tempat infeksi dengan membentuk nanah / infeksi supuratif, seperti yang terjadi pada infeksi streptokokus.
(6)
Tabel 1. Contoh mikroba patogen
Mikroba Penyakit Mekanisme patogenesis
S.aureus Strep. pyogenes E.coli V.cholerae C.tetani N.meningitidis C.difteri
Infeksi kulit dan jaringan lunak, abses paru
Sistemik : sindrom syok toksik, keracunan makanan
Pneumonia, meningitis
ISK, gastroenteritis, syok septik
Diare
Tetanus
Meningitis
Difteri
Infeksi kulit, inflamasi akut yang diinduksi toksin; kematian sel ditimbulkan oleh toksin.
Sistemik : enterotoksin (superantigen) -diinduksi produksi sitokin oleh sel T yang menimbulkan nekrosis kulit, syok, diare
Inflamasi akut yang diinduksi oleh bahan dinding sel; pneumolisin seperti streptolisin O.
Toksin menunjukkan efek terhadap epitel saluran cerna dan menimbulkan peningkatan sekresi klorid dan air; endotoksin (LPS) merangsang sekresi sitokin oleh makrofag.
Toksin kolera merangsang sel epitel mensekresi klorida dan air
Toksin tetanus diikat diujung saraf motorik pada pertemuan saraf-otot dan menimbulkan kontraksi otot irreversibel
Inflamasi akut akibat endotoksin poten
Toksin difteri
1. Imunitas nonspesifik
Komponen utama imunitas nonspesifik terhadap bakteri ekstraseluler adalah komplemen, fagositosis dan respon inflamasi. Bakteri yang mengekspresikan manosa pada permukaannya, dapat mengikat lektin yang homolog dengan C1q, sehingga mengaktifkan komplemen jalur lektin, meningkatkan opsonisasi dan fagositosis. Disamping itu membran attack complex dapat menghancurkan membran bakteri. Produk
(7)
sampingan aktivasi komplemen berperan dalam mengerahkan dan mengaktifkan leukosit dalam inflamasi.
Gambar 1. Respon imun spesifik terhadap mikroba ekstraseluler dan toksinnya
Fagosit juga mengikat bakteri melalui berbagai reseptor permukaan lain seperti reseptor bangkai (scavenger), Toll-like receptor yang semuanya meningkatkan aktivasi leukosit dan fagositosis. Fagosit yang diaktifkan juga melepas sitokin yang menginduksi infiltrasi leukosit ke tempat infeksi (inflamasi). Sitokin juga menginduksi panas dan sintesis protein fase akut.
2. Imunitas spesifik
Antibodi merupakan komponen imun protektif utama terhadap bakteri ekstraseluler yang berfungsi untuk menyingkirkan mikroba dan menetralisasi toksinnya.
Komplikasi lambat respon imun humoral ini menimbulkan penyakit yang berkaitan dengan antibodi. Misalnya infeksi streptokokus di tenggorokan atau di kulit yang menimbulkan manifestasi klinis. Demam reuma merupakan sekuela infeksi faring oleh beberapa streptokokus hemolitik-β. Antibodi yang diproduksi terhadap protein dinding bakteri (M-protein) dapat bereaksi silang dengan protein sarkolema dan miosin
(8)
miokard yang dapat diendapkan di jantung dan akhirnya menimbulkan inflamasi (karditis). Glomerulonefritis pasca infeksi streptokokus merupakan sekuela infeksi streptokokus dikulit atau tenggorok oleh streptokokus-β tipe lain. Antibodi terhadap bakteri tersebut membentuk kompleks dengan antigen bakteri dan diendapkan di glomerulus ginjal menimbulkan nefritis.
Respon utama pejamu terhadap bakteri ekstraseluler adalah produksi sitokin oleh makrofag yang diaktifkan menimbulkan inflamasi dan syok septik. Toksin berupa superantigen mampu mengaktifkan banyak sel T sehingga menimbulkan produksi sitokin dalam jumlah besar.
Imunitas terhadap Bakteri Intraseluler
Ciri utama bakteri intraseluler adalah kemampuannya untuk hidup dan berkembang biak dalam fagosit. Mikroba tersebut mendapat tempat tersembunyi yang tidak dapat ditemukan oleh antibodi dalam sirkulasi, sehingga untuk eliminasinya memerlukan mekanisme imun seluler.
1. Imunitas nonspesifik
Efektor imunitas nonspesifik utama terhadap bakteri intraseluler adalah fagosit dan sel NK. Fagosit (mulanya monosit, kemudian makrofag) menelan dan mencoba menghancurkan mikroba tersebut, namun mikroba resisten terhadap efek degradasi fagosit. Bakteri intraseluler dapat mengaktifkan sel NK secara langsung atau melalui aktivasi makrofag yang memproduksi IL-12, sitokin poten yang mengaktifkan sel NK. Sel NK memproduksi IFN-γ yang kembali mengaktifkan makrofag dan meningkatkan daya membunuh bakteri yang dimakan. Jadi sel NK memberikan respon dini, dan terjadi interaksi antara sel NK dan makrofag.
2. Imunitas spesifik
Proteksi utama respon imun spesifik terhadap bakteri intraseluler berupa imunitas selular. Seperti telah diketahui sebelumnya, imunitas seluler terdiri dari dua tipe reaksi yaitu aktivasi makrofag oleh CD4+Th1 yang memproduksi IFN-γ (DTH) yang memacu pembunuhan mikroba dan lisis sel terinfeksi oleh CD8+ / CTL.
Makrofag yang diaktifkan sebagai respon terhadap mikroba intraseluler dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan berupa granuloma yang terjadi pada DTH terhadap
(9)
protein mikroba. CD4+ dan CD8+ bekerjasama dalam pertahanan terhadap mikroba. Bakteri intraseluler seperti Listeria monocytogenes dimakan makrofag dan dapat hidup dalam fagosom dan masuk dalam sitoplasma. CD4+ memberikan respon terhadap peptida antigen MHC kelas II asal bakteri intravesikular, memproduksi IFN-γ yang mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba dalam fagosom. CD8+ memberikan respon terhadap peptida MHC kelas I yang berasal dari antigen sitosol dan membunuh sel yang terinfeksi.
Berbagai mikroba intraseluler seperti M.tuberkulosis mengembangkan berbagai strategi untuk menghindari eliminasi oleh fagosit. Mikroorganisme yang resisten terhadap fagosit seperti M.tuberkulosis atau parasit obligat intraseluler seperti M.lepra dikucilkan makrofag dengan dibentuknya granuloma melalui bantuan sel Th1. Tuberkulosis masih merupakan ancaman di banyak negara karena timbulnya resistensi terhadap obat-obatan. Makrofag yang mengenal M.tuberkulosis melalui reseptor Toll-like mengikat lipoprotein mikobakteri melepas mediator inflamasi seperti IL-12 dan nitrat oksida. Peptida mikobakteri yang dipresentasikan makrofag memacu respon kuat Th1 yang melepas
IFN-γ yang selanjutnya merangsang makrofag membentuk granuloma selama infeksi primer.
Olehkarena mikobakteri sulit dihancurkan, makrofag mengucilkannya di dalam fagosom. Pajanan awal dengan M.tuberkulosis menimbulkan infeksi primer. Kebanyakan M.tuberkulosis ditemukan dalam granuloma. Makrofag matang membentuk sel raksasa dan sel epiteloid atas pengaruh IFN-γ. Granulomata mengucilkan mikroba dengan baik sehingga pusatnya menjadi hipoksik dan sel menjadi nekrotik yang menyerupai keju. Nekrosis dengan perkejuan ini merupakan ciri khas tuberkulosis.
Tabel 2. Mekanisme bakteri menghindari dari efektor imun
Mekanisme menghindari efektor imun Contoh Bakeri ekstraseluler
- Variasi antigenik
- Pencegahan aktivasi komplemen - Resistensi terhadap fagosit - Reactive Oxygen Intermediate Bakteri intraseluler
- Mencegah pembentukan fagosom - Reactive Oxygen Intermediate - Membran fagosom rusak, masuk ke
dalam sitoplasma
N.gonore, E.coli, S.typhii Banyak bakteri
Pneumokokus
Stafilokokus katalase positif M.tuberculosis, L.pneumofilia M.lepra
(10)
B. IMUNITAS TERHADAP VIRUS
Virus merupakan obligat intraseluler yang berkembang biak di dalam sel, sering menggunakan mesin sintesis asam nukleat dan protein pejamu. Dengan reseptor permukaan sel. Dengan reseptor permukaan sel, virus masuk ke dalam sel dan dapat menimbulkan kerusakan sel dan berbagai macam penyakit. Hal ini disebabkan karena replikasi virus yang mengganggu sintesis protein dan fungsi sel normal, efek sitopatik virus akibat sel terinfeksi dihancurkan dan mati.
Virus nonsitopatik dapat menimbulkan infeksi laten dan DNA virus menetap dalam sel pejamu dan memproduksi protein yang dapat atau tidak mengganggu fungsi sel. Sistem imun nonspesifik dan spesifik berperan sebagai efektor dalam usaha mencegah infeksi dan mengeliminasi sel yang terinfeksi.
1. Imunitas nonspesifik
Prinsipnya adalah mencegah infeksi. Efektor yang berperan adalah IFN tipe I dan sel NK yang membunuh sel terinfeksi. Infeksi banyak virus disertai produksi RNA yang merangsang sekresi IFN tipe I oleh sel yang terinfeksi, melalui ikatan dengan reseptor Toll-like. IFN tipe I mencegah replikasi virus dalam sel terinfeksi dan sel sekitarnya yang tidak terinfeksi dengan menginduksi milieu anti-viral.
Sel NK membunuh sel yang terinfeksi oleh berbagai jenis virus dan merupakan efektor imunitas penting terhadap infeksi dini virus, sebelum respon imun spesifik berkembang. Sel NK juga dapat mengenal sel terinfeksi yang tidak mengekspresikan MHC-I.
(11)
2. Imunitas spesifik 2.1. Imunitas humoral
Antibodi merupakan efektor dalam imunitas spesifik humoral terhadap infeksi virus. Antibodi diproduksi dan hanya efektif terhadap virus pada awal infeksi dimana virus masih terdapat di ekstraseluler sebelum masuk ke sel atau khusus untuk virus sitopatik, bila virus dilepas oleh sel terinfeksi yang dihancurkan. Antibodi dapat menetralisasi virus, mencegah virus menempel pada sel dan masuk ke dalam sel pejamu. Antibodi berikatan dengan envelope virus atau antigen kapsid.
Untuk virus yang masuk ke tubuh melalui mukosa saluran nafas dan saluran cerna, IgA disekresi untuk melawan virus tersebut. Imunisasi oral terhadap virus polio bekerja untuk menginduksi imunitas mukosa tersebut. Antibodi juga dapat berperan sebagai opsonin yang meningkatkan eliminasi partikel virus oleh fagosit. Aktivasi komplemen juga ikut berperan dalam meningkatkan fagositosis dan mungkin juga menghancurkan virus dengan envelop lipid langsung.
2.1. Imunitas seluler
Eliminasi virus yang menetap di sel dilakukan oleh sel CD8+/CTL. Fungsi fisiologik utama CTL adalah memantau infeksi virus. CD8+ mengenal antigen virus yang sudah dicerna di sitosol, biasanya disintesis endogen yang berhubungan dengan MHC-I dalam setiap sel yang bernukleus.
Untuk diferensiasi penuh, CD8+ memerlukan sitokin yang diproduksi sel helper CD4+ atau kostimulator yang diekspresikan pada sel terinfeksi. Bila sel terinfeksi adalah sel jaringan dan bukan APC, sel terinfeksi dapat dimakan oleh APC profesional seperi sel dendritik yang selanjutnya memproses antigen virus dan mempresentasikannya ke sel CD8+. Selanjutnya sel CD8+ berproliferasi secara masif selama infeksi virus dan kebanyakan sel yang berproliferasi adalah spesifik untuk beberapa peptida virus. Sel T yang diaktifkan berdiferensiasi menjadi CTL yang membunuh setiap sel bernukleus yang terinfeksi. Efek antivirus utama CTL adalah membunuh sel terinfeksi, mekanisme lain melalui aktivasi nuklease dalam sel terinfeksi yang menghancurkan genom virus dan sekresi IFN-γ yang memiliki aktivitas antivirus.
(12)
Mekanisme virus mengindari respon imun : 1. Virus mengubah antigen (mutasi)
Antigen merupakan sasaran antibodi atau sel T yang memiliki jumlah yang sangat besar terdiri dari strain yang berbeda genetiknya. Hal ini menyebabkan virus dapat menjadi resisten terhadap respon imun yang ditimbulkan oleh infeksi terdahulu, misalnya pandemi influenza. HIV-1 yang menjadi penyebab AIDS juga menunjukkan sejumlah variasi antigen.
2. Virus menghambat presentasi antigen protein sitosolik yang berhubungan dengan molekul MHC-I
Akibatnya sel yang terinfeksi tidak dapat dikenali oleh sel CD8+/CTL. Untuk keadaan seperti ini, sel NK dapat membunuh sel terinfeksi dengan virus teradaptasi tersebut, karena sel NK dapat diaktifkan tanpa bantuan molekul MHC-I.
3. Virus memproduksi yang mencegah imunitas nonspesifik dan spesifik
Virus pox menyandi molekul yang dapat mengikat beberapa sitokin seperti IFN-γ, TNF, IL-1, IL-18 dan kemokin dan molekul-molekul tersebut dapat dilepas oleh sel terinfeksi dan dapat berfungsi sebagai antagonis sitokin. Virus sitomegalo memproduksi molekul yang homolog dengan protein MHC-I dan dapat berfungsi kompetitif untuk mengikat dan mempresentasikan antigen peptida. Virus Epstein-Barr memproduksi protein homolog dengan sitokin IL-10 (supresif untuk makrofag) sehingga virus dapat mencegah fungsi makrofag.
4. Virus dapat menginfeksi, membunuh atau mengaktifkan sel imunokompeten 5. HIV dapat tetap hidup dengan menginfeksi dan mengeliminasi sel T CD4+ yang merupakan kunci regulator respon imun terhadap antigen protein.
C. IMUNITAS TERHADAP JAMUR
Respon imun terhadap jamur belum banyak diketahui, namun diduga melibatkan sel T dan makrofag. Infeksi jamur biasanya hanya mengenai bagian luar tubuh saja. Tetapi beberapa jamur dapat menimbulkan penyakit sistemik yang berbahaya, biasanya memasuki paru dalam bentuk spora. Kelainan yang terjadi sangat bergantung dari derajat dan jenis respon imun pejamu. Gangguan dapat berupa manifestasi di saluran nafas, reaksi hipersensitivitas berat sampai kematian. Penyakit jamur (mikosis) sering terjadi
(13)
namun kebanyakan hanya menimbulkan kesulitan pada pejamu yang immunokompromais. Neutrofil dan fagosit berperan dalam menyingkirkan infeksi jamur. Diduga mekanisme proteksi melalui mekanisme selluler, hal ini ditunjang dengan seringnya penderita HIV menderita infeksi jamur.
Infeksi jamur sering disebut opportunistik, dimana dapat menimbulkan penyakit berat pada orang-orang yang immunokompromais seperti penderita AIDS, orang yang mendapat terapi kanker dan penolakan transplantasi yang menekan sumsum tulang dan respon imun.
1. Imunitas nonspesifik
Efektor utamanya adalah makrofag dan neutrofil. Pasien dengan neutropenia sangat rentan terhadap infeksi jamur opprtunis. Neutrofil diduga melepas bahan fingisidal seperti Reactive Oxygen Intermediate dan enzim lisosom serta memakan jamur untuk dibunuh intraseluler. Kriptokokus neoformans dapat menghambat produksi sitokin TNF dan IL-12 oleh makrofag dan merangsang produksi IL-10 yang menghambat aktivitas makrofag.
2. Imunitas spesifik
Cellular Mediated Immunity (CMI) merupakan efektor imunitas spesifik utama pada infeksi jamur. CD4+ dan CD8+ bekerjasama untuk menyingkirkan Kriptokokus neoformans yang cenderung mengkolonisasi paru dan otak pada pejamu immunokompromais. Infeksi Kandida sering mulai pada permukaan mukosa dan CMI diduga dapat mencegah penyebarannya ke jaringan. Pada semua keadaan tersebut, respon Th1 adalah protektif sedangkan respon Th2 dapat merusak pejamu.
D. IMUNITAS TERHADAP PARASIT
Golongan parasit berupa protozoa (malaria, tripanosoma, toksoplasma, leishmania dan amuba), cacing, ektoparasit (kutu, tungau) menunjukkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas yang bermakna terutama di negara-negara sedang berkembang. Kebanyakan infeksi parasit bersifat kronis yang disebabkan oleh imunitas nonspesifik yang lemah dan kemampuan parasit untuk bertahan hidup terhadap imunitas spesifik. Saat ini banyak antibiotik dan antiparasit yang tidak efektif lagi untuk membunuh parasit, terutama untuk masyarakat di daerah endemis yang berulangkali terpajan.
(14)
Vaksin terhadap parasit juga belum berkembang, hal ini disebabkan vaksinasi sulit memberi proteksi terhadap protozoa karena memerlukan faktor humoral (IgG diduga berperan penting ) dan seluler. Pada malaria, antibodi diduga protektif mencegah merozoit memasuki sel darah merah. Imunitas terhadap jenis spesies yang satu tidak protektif terhadap spesies yang lain.
Tripanosoma terus menerus menguji sistem imun dengan memproduksi pirogen dan mantel antigen yang berubah-rubah / mutasi sehingga sulit dikenali dan dieliminasi sistem imun. Toksoplasma melepaskan diri dari efek sistem imun, dapat menutupi diri dengan laminin dan matriks protein ekstraseluler yang mencegah fagositosis dan kerusakan oksidatif. Respon seluler terhadap toksoplasma sangat efektif.
Leishmania mempunyai kemampuan menginfeksi makrofag dan memerlukan respon seluler untuk eradikasinya. IFN-γ yang diperoduksi sel Th1 diduga merupakan sitokin terpenting untuk membunuh parasit. Sel T, terutama Tc, dapat menghancurkan parasit intraseluler, misalnya Tripanosoma cruzi. Limfokin yang dilepas oleh sel T yang disensitisasi dapat mengaktifkan makrofag untuk lebih banyak mengekspresikan resseptor untuk Fc dan C3, berbagai enzim dan faktor lain yang dapat meningkatkan sitotoksisitas.
Tabel 3. Respon imun terhadap parasit yang menimbulkan penyakit
Parasit Penyakit Mekanisme imunitas
protektif utama Plasmodium Leishmania Tripanosoma Entamoeba histolitika Skistosoma Filaria Malaria Leishmaniasis (mukokutan, diseminata) Tripanosomiasis afrika Amebiasis Skistosomiasis Filariasis
Antibodi dan CD8+/CTL Th1 CD4+ mengaktifkan makrofag unuk membunuh parasit yang dimakan
Antibodi
Antibodi, fagositosis
ADCC atas peran eosinofil, makrofag
CMI; peran antibodi?
(15)
1. Imunitas nonspesifik
Protozoa dan cacing mengaktifkan imunitas nonspesifik melalui mekanisme yang berbeda, mikroba tersebut dapat tetap hidup dan berkembang biak dalam sel pejamu karena mereka dapat beradaptasi dan menjadi resisten terhadap sistem imun pejamu.
Respon imun nonspesifik terhadap protozoa adalah fagositosis, tetapi banyak parasit tersebut yang resisten terhadap efek bakterisidal makrofag, bahkan diantaranya dapat hidup dalam makrofag. Banyak cacing memiliki lapisan permukaan yang tebal sehingga resisten terhadap mekanisme sitosidal neutrofil dan makrofag. Beberapa cacing juga mengaktifkan komplemen jalur alternatif. Banyak parasit ternyata mengembangkan resistensi terhadap efek lisis komplemen.
2. Imunitas spesifik
Berbagai protozoa dan cacing berbeda dalam hal besar, struktur, sifat biokimiawi, siklus hidup dan patogenitasnya. Hal ini menimbulkan respon imun spesifik yang berbeda pula. Infeksi cacing biasanya terjadi kronik dan kematian pejamu akan merugikan parasit sendiri. Infeksi kronik menimbulkan rangsangan antigen yang persisten yang meningkatkan kadar immunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks imun.
Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2 yang menghasilkan IgE dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit. Produksi IgE dan eosinofilia sering ditemukan pada infeksi cacing.
Produksi IgE disebabkan sifat cacing yang merangsang subset Th2 sel CD4+, yang melepas IL-4 dan Il-5. IL-4 merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil. Eosinofil lebih efektif dibanding leukosit lain olehkarena eosinofil mengandung granul yang lebih toksik dibanding enzim proteolitik dan Reactive Oxygen Intermediate yang diproduksi neutrofil dan makrofag. Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang nonspesifik. Reaksi inflamasi yang ditimbulkan diduga dapat mencegah menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna.
Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis. Degranulasi sel mast/ basofil yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepas
(16)
protein kationik, MBP dan neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan melepas superoksida, oksida nitrit dan enzim yang membunuh cacing.
Pada filariasis limfatik, sumbatan oleh parasit di saluran limfe menimbulkan CMI kronis, fibrosis dan akhirnya limfedema berat. Investasi persisten parasit kronis sering disertai pembentukan kompleks antigen parasit dan antibodi spesifik yang dapat diendapkan di dinding pembuluh darah dan glomerulus ginjal sehingga menimbulkan vaskulitis dan nefritis. Penyakit kompleks imun dapat terjadi pada skistosoma dan malaria.
Pada beberapa kasus, infeksi cacing tidak dapat dihancurkan dengan sistem imun yang telah disebut diatas. Dalam hal ini badan berusaha mengucilkan parasit dengan membentuk kapsul yang terdiri atas sel-sel inflamasi. Reaksi tersebut merupakan respon seluler terhadap pelepasan antigen kronik setempat. Makrofag yang dikerahkan, melepas faktor fibrogenik dan merangsang pembentukan granuloma dan fibrotik. Semua ini akibat pengaruh sel Th1 dan defisiensi sel T akan mengganggu kemampuan tubuh untuk membentuk granuloma dan kapsul. Pembentukan granuloma terlihat jelas di sekitar telur cacing skistosoma di hati.
Mekanisme parasit menghindari sistem imun : 1. Pengaruh lokasi
Banyak parasit terlindung dari sistem imun oleh karena letaknya yang secara anatomis tidak terpajan dengan sistem imun, misalnya parasit intraseluler seperti T.cruzi, leishmania, plasmodium, T.spiralis, E.histolitika atau cacing yang hdup dalam lumen saluran cerna.
2. Parasit mengubah antigen
Tripanosoma afrika dapat mengubah antigen mantel permukaannya melalui proses variasi antigenik. Beberapa jenis malaria juga dapat melakukan hal ini. Ada dua bentuk variasi antigenik. Pertama adalah perubahan yang stage spesific dalam ekspresi antigen. Daam fase pematangan parasit memproduksi antigen yang berbeda dari fase infektif, misalnya fase sporozoit parasit malaria antigeik berbeda dari merozoit yang berperan pada infeksi kronis. Pada waktu respon imun berkembang terhadap infeksi sporozoit, parasit berdiferensiasi, mengekspresikan antigen baru sehingga antigen lama bukan lagi merupakan sasaran untuk eliminasi imun. Variasi antigenik yang terus
(17)
menerus diduga ditimbulkan oleh adanya variasi terprogram dalam ekspresi gen yang menyandi antigen permukaan utama. Parasit lain menutupi dirinya dengan antibodi sehingga sistem imun pejamu tidak megenalnya.
3. Supresi sistem imun pejamu
Parasit seperti larva T.spiralis, skistosoma dapat merusak sel limfoid atau jaringan secara langsung. Antigen yang dilepas parasit dalam jumlah besar mengurangi reflek respon imun pejamu. Anergi sel T ditemukan pada skistosomiasis berat yang mengenai hati dan limpa dan pada infestasi filaria. Mekanismenya belum jelas. Pada filariasis limfatik, infeksi kelenjar getah bening merusak arsitektur kelenjar dan mengakibatkan defisiensi imun. Defisiensi imun juga terjadi pada malaria dan tripanosomiasis afrika yang disebabkan karena produksi sitokin immunosupresif oleh makrofag dan sel T yang diaktifkan dan defek dalam aktivasi sel T.
4. Resistensi
Parasit menjadi resisten terhadap respon imun selama menginvasi pejamu. Larva skistosoma bergerak dari paru dan selama migrasi tersebut mengembangkan tegumen yang resisten terhadap kerusakan oleh komplemen dan CTL.
5. Hidup dalam sel pejamu
Protozoa menghindari respon imun dengan memilih hidup dalam sel pejamu atau dengan mengembangkan kista yang resisten terhadap efektor imun. Beberapa cacing hidup di lumen saluran cerna dan terlindung dari efektor CMI.
HIPERSENSITIVITAS
Hipersensitivitas atau ”alergi”, menunjukkan suatu keadaan dimana respon imun mengakibatkan reaksi yang berlebihan dan tidak sesuai yang merugikan inang. Reaksi itu secara khas terjadi pada orang tertentu setelah kontak kedua dengan antigen khusus (alergen). Kontak pertama merupakan peristiwa awal yang diperlukan dan menginduksi sensitisasi terhadap alergen itu.
Ada empat jenis reaksi hipersensitivitas utama yaitu Tipe I, II dan III adalah berperantara antibodi, sedang Tipe IV berperantara sel.
(18)
Tipe I : Hipersensitivitas Segera (Anafilaktik)
Hipersensitivitas jenis ini muncul sebagai reaksi jaringan yang terjadi dalam beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Kalau reaksi itu terjadi pada setiap anggota spesies, maka reaksi tersebut dinamakan anafilaksis. Kalau reaksi hanya terjadi pada anggota tertentu dari suatu spesies, keadaan ini disebut dengan atopi.
Mekanisme umum pada hipersensitivitas segera melibatkan langkah-langkah berikut. Antigen menginduksi pembentukan antibodi IgE, yang mengikat erat bagian Fc-nya basofil dan sel mast. Beberapa minggu kemudian, kontak kedua dengan antigen yang sama mengakibatkan fiksasi antigen pada IgE yang terikat sel, pertautan silang molekul-molekul IgE dan pelepasan zat perantara secara farmakologik aktif dari sel dalam waktu beberapa menit.
Zat perantara pada hipersensitivitas anafilaktik ialah : a. Histamin
Histamin terdapat dalam keadaan telah terbentuk dalam trombosit dan dalam granula sel mast jaringan dan basofil. Pembebasan zat ini menyebabkan vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler, dan kontraksi otot polos. Obat antihistamin dapat menghambat tempat reseptor histamin dan relatif cukup efektif untuk rinitis alergika, tetapi tidak untuk asma.
b. Prostaglandin dan Tromboksan
Kedua zat ini berhubungan dengan leukotrien, dan diturunkan dari asam arakidonat lewat jalur siklooksigenase. Prostaglandin menyebabkan bronkokonstriksi dan dilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler. Tromboksan menggumpalkan trombosit. Zat perantara tersebut menjadi aktif hanya selama beberapa menit setelah dilepaskan, zat-zat itu dinonaktifkan dengan enzim dan disintesis lagi dengan kecepatan lambat.
Terapi dan Pencegahan Reaksi Anaflaksis
Tujuan terapi adalah melawan daya kerja zat perantara dengan mempertahankan saluran nafas, ventilasi dan fungsi jantung. Obat-obat yang dapat diberikan antara lain epinefrin, antihistamin, kortikosteroid, atau natrium kromolin. Natrium kromolin mencegah pelepasan zat perantara dari granula sel mast. Pencegahan dilakukan dengan
(19)
mengenali alergen dengan tes uji kulit, kemudian menghindari kontak dengan alergen tersebut.
Atopi
Penyakit hipersensitivitas atopi menunjukkan predisposisi keluarga yang kuat dan berhubungan dengan kadar IgE yang tinggi. Predisposisi terhadap atopi jelas bersifat genetik, tetapi gejalanya diinduksi oleh alergen khusus, misalnya alergen lingkungan (alergi pernafasan terhadap tepung sari, rumput atau debu rumah) atau makanan (alergi usus terhadap kerang atau kacang-kacangan. Manifestasi klinis berupa demam, asma, eksema, dan urtikaria. Banyak penderita memberi reaksi jenis segera terhadap uji kulit (suntikan, tempelan, goresan) dengan menggunakan antigen penyebab.
Tipe II : Hipersensitivitas Sitotoksik
Antibodi yang diarahkan pada antigen permukaan sel akan mengaktifkan komplemen (atau efektor lain) untuk merusak sel. Antibodi (IgG atau IgM) melekat pada antigen lewat daerah Fab dan bekerja sebagai suatu jembatan ke komplemen lewat daerah Fc. Akibatnya dapat terjadi lisis yang berperantara-komplemen, seperti yang terjadi pada anemia hemolitik, reaksi transfusi ABO, atau penyakit hemolitik Rh.
Penisilin, Fenasetin dan Kuinidin, dapat melekat pada protein permukaan di sel darah merah dan memicu pembentukan antibodi. Antibodi autoimun semacam itu (IgG) kemudian bergabung dengan permukaan sel, dan mengakibatkan hemolisis. Infeksi tertentu seperti Mycoplasma pneumoniae dapat menginduksi antibodi yang bereaksi silang dengan antigen sel darah merah, mengakibatkan anemia hemolitik. Pada demam reumatik, antibodi terhadap Streptokokus grup A bereaksi silang dengan jaringan jantung. Pada sindrom Good-pasture, antibodi terhadap membran dasar ginjal dan paru-paru mengakibatkan kerusakan berat terhadap selaput melalui aktivitas leukosit yang ditarik oleh komplemen.
Tipe III : Hipersensitivitas Komplek Imun
Bila antibodi bergabung dengan antigen khususnya, maka akan terbentuk kompleks imun. Biasanya kompleks imun dengan cepat dibuang oleh sistem
(20)
retikuloendotelial, tetapi kadang-kadang kompleks ini tetap bertahan dan diendapkan dalam jaringan, sehingga mengakibatkan beberapa penyakit. Pada infeksi bakteri atau virus, kompleks imun ini dapat diendapkan pada organ tubuh (misal ginjal) sehingga mengganggu fungsi organ tersebut. Pada penyakit autoimun, antigen ”self” dapat menimbulkan antibodi yang mengikat antigen organ dan diendapkan dalam organ sebagai kompleks, terutama dalam sendi (artritis), ginjal (nefritis), atau pembuluh darah (vaskulitis). Dimanapun diendapkan, komleks imun ini mengaktifkan sistem komplemen, dan sel polimorfonuklear ditarik ke tempat itu, dimana sel-sel ini menyebabkan radang dan cedera jaringan. Reaksi hipersensitivitas tipe III yang khas adalah reaksi penyakit serum.
Penyakit Serum
Setelah injeksi serum asing (atau obat tertentu), antigen perlahan-lahan dibersihkan dari sirkulasi, dan produksi antibodi dimulai. Adanya antigen dan antibodi secara serentak mengakibatkan pembentukan kompleks imun yang mungkin beredar atau diendapkan di berbagai tempat. Beberapa hari sampai 2 minggu setelah injeksi serum asing, menimbulkan gejala demam, urtikaria, artralgia, limfadenopati dan splenomegali. Gejala tersebut meningkat sementara antigen dibuang lewat sistem imun, dan gejala mereda bila semua antigen telah dibuang. Meskipun gejala baru tampak setelah beberapa hari, penyakit serum digolongkan sebagai reaksi segera, karena gejala-gejalanya muncul dengan cepat setelah terbentuk kompleks imun.
Penyakit Kompleks Imun
Contoh penyakit yang berhubungan dengan kompleks imun adalah glomerulonefritis akut pasca streptokokus. Gejala timbul beberapa minggu setelah
terinfeksi streptokokus β-hemolitik grup A, terutama pada kulit. Kadar komplemen secara khas rendah, menimbulkan dugaan reaksi antigen antibodi. Tumpukan kental dari immunoglobulin dan C3 yang terlihat di sepanjang selaput dasar glomerulus yang diwarnai oleh imunofluoresensi, memberi kesan kompleks antigen-antibodi, namun antigen streptokokus jarang terlihat. Kemungkinan kompleks imun tersebut disaring oleh glomerulus, lalu memfiksasi komplemen , menarik polimorf, dan memulai proses peradangan.
(21)
Tipe IV : Hipersensitivitas Berperantara Sel (Lambat)
Hipersensitivitas berperantara sel merupakan fungsi limfosit T, bukan fungsi antibodi. Dikatakan respon lambat artinya respon dimulai beberapa jam (atau hari) setelah kontak dengan antigen dan sering berlangsung selama beberapa hari. Respon ini terutama terdiri dari infiltrasi sel berinti satu dan indurasi jaringan seperti yang terlihat pada uji kulit tuberkulin.
Hipersensitivitas Kontak
Hipersensitivitas berperantara sel ini terjadi setelah sensitisasi dengan zat kimia sederhana (nikel, formaldehida), bahan dari tumbuhan, pemakaian obat topikal (sulfonamida, neomisin), bahan-bahan kosmetik, sabun dan lain sebagainya. Molekul-molekul kecil tersebut memasuki kulit dan kemudian bertindak sebagai hapten melekat pada protein tubuh untuk bertindak sebagai antigen lengkap. Hipersensitivitas berperantara sel pun diinduksi, terutama dalam kulit. Bila kulit kontak lagi dengan zat penyebab, orang yang telah peka itu akan mengalami eritema, gatal-gatal, vesikasi, eksema atau nekrosis kulit dalam 12-48 jam. Pada sensitivitas kontak, sel yang membawa antigen mungkin berupa sel langerhans dalam epidermis.
Hipersensitivitas Tipe-Tuberkulin
Hipersensitivitas lambat terhadap antigen mikroorganisme yang terdapat dalam banyak penyakit menular dan telah digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis. Contoh khasnya adalah reaksi tuberkulin. Bila sejumlah kecil tuberkulin disuntikkan ke dalam epidermis pasien yang sebelumnya pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis, hanya sedikit reaksi segera yang muncul, indurasi dan kemerahan mencapai puncaknya pada 48-72 jam. Uji kulit positif menunjukkan bahwa orang tersebut pernah terinfeksi oleh penyebab, tetapi ini tidak berarti bahwa penyakitnya masih ada. Namun bila uji kulit negatif berubah menjadi positif menunjukkan infeksi baru dan mungkin sekarang masih aktif.
Respon uji kulit yang positif dapat membantu diagnosis dan memberi sokongan untuk kemoprofilaksis atau kemoterapi. Contoh uji kulit yang lain adalah uji lepromin positif menunjukkan lepra tuberkuloid (dengan imunitas berperantara sel yang aktif), sedang uji lepromin negatif menunjukkan lepra lepromatosa (dengan imunitas berperantara sel yang terganggu). Pada infeksi jamur sistemik (misalnya
(22)
koksidioidomikosis, histoplasmosis, blastomikosis) uji kulit jenis lambat yang positif terhadap antigen khusus membantu menentukan kontak terhadap organismenya.
DEFISIENSI IMUN
Pertama kali ditemukan oleh Bruton tahun 1953 dimana beliau menemukan hipogamaglobulinemia pada anak usia 8 tahun yang memiliki riwayat sepsis dan artritis lutut sejak usia 4 tahun disertai dengan otitis media, sepsis pneumokokus dan pneumonia.Analisa elektroforesis protein serum tidak menunjukkan fraksi globulin gama. Anak tersebut tidak menunjukkan respon imun terhadap imunisasi dengan tifoid dan difteri. Defisiensi itu merupakan salah satu jenis defisiensi jaringan limfoid yang dapat terjadi pada pria dan wanita.
Kita harus mencurigai adanya defisiensi imun bila ditemukan tanda-tanda adanya peningkatan kerentanan terhadap infeksi rekuren, kronis, oportunistik, dan respon buruk terhadap antibiotika. Manifestasi lain munculnya hepatosplenomegali atau diare. Defisiensi imun dapat primer dengan dasar genetik yang relatif jarang dan sekunder yang lebih sering terjadi dan ditimbulkan oleh berbagai faktor sesudah lahir.
Awitan gejala klinis penyakit defisiensi kongenital biasanya jarang di bawah usia 3-4 bulan, karena ada efek proteksi antibodi maternal. Organ tubuh yang sering terkena adalah saluran nafas yang diserang bakteri piogenik atau jamur. Gejala lain yang dapat terjadi pada defisiensi imun adalah ruam kulit, diare, pertumbuhan terganggu, hati dan limpa membesar, abses rekuren atau osteomielitis. Dapat terjadi penurunan resistensi terhadap virus, bila terjadi defisiensi seluler.
DEFISIENSI IMUN NONSPESIFIK A. Defisiensi komplemen
Defisiensi fungsi komplemen berhubungan dengan peningkatan insiden infeksi dan penyakit autoimun Lupus Eritematosus Sistemik (LES). Komponen komplemen diperlukan tubuh untuk membunuh kuman, opsonisasi, kemotaksis, pencegahan penyakit automun dan eliminasi kompleks antigen antibodi. Kebanyakan defisiensi komplemen adalah herediter.
(23)
1. Defisiensi Komplemen Kongenital
Defisiensi ini mengakibatkan infeksi berulang dan penyakit kompleks imun seperti lupus eritematosus sistemik dan glomerulonefritis.
a. Defisiensi inhibitor esterase C1 (C1 INH deficiency)
Defisiensi inhibitor esterase C1 berhubungan dengan angioedem herediter, penyakit yang ditandai dengan edem lokal sementara tetapi sering terjadi. Defek tersebut mengakibatkan aktivitas C1 yang tidak dapat dikontrol dan menimbulkan produksi kinin yang meningkatkan permeabilitas kapiler. Kulit, saluran cerna dan nafas dapat terkena dan edem laring yang fatal dapat terjadi.
b. Defisiensi komplemen C2 dan C4
Defisiensi ini menimbulkan penyakit serupa LES, yang disebabkan kegagalan eliminasi kompleks imun yang komplemen dependen.
c. Defisiensi komplemen C3
Defisiensi komplemen C3 dapat menimbulkan beratnya rekurensi infeksi, terutama yang berhubungan dengan infeksi mikroba piogenik misal streptokokus dan stafilokokus. Tidak adanya C3 berarti fragmen kemotaktik C5 tidak diproduksi. Hal ini disebabkan adanya mutasi pada C3 cDNA.
d. Defisiensi komplemen C5
Defisiensi C5 menimbulkan kerentanan terhadap infeksi bakteri yang berhubungan dengan gangguan kemotaksis.
e. Defisiensi C6,C7 dan C8
Defisiensi C6,C7 dan C8 menimbulkan kerentanan terhadap septikemia meningokokus dan gonokokus oleh karena lisis melalui jalur komplemen merupakan mekanisme kontrol utama dalam imunitas Neisseria.
2. Defisiensi komplemen fisiologik
Defisiensi komplemen fisiologik hanya ditemukan pada neonatus yang disebabkan karena kadar C3, C5 dan faktor B yang masih rendah.
3. Defisiensi komplemen didapat
Defisiensi komplemen didapat disebabkan oleh depresi sintesis, misalnya pada sirosis hati dan malnutrisi protein. Pada anemia sel sabit ditemukan gangguan aktivasi komplemen sehingga meningkatkan resiko infeksi salmonella dan pneumokokus.
(24)
a. Defisiensi Clq,r,s
Defisiensi ini dilaporkan bersamaan dengan penyakit autoimun, terutama penderita LES. Penderita ini sangat rentan terhadap infeksi bakteri.
b. Defisiensi C2 dan C4
Defisiensi C2 merupakan defisiensi yang paling sering terjadi. Defisiensi C2 dan C4 dijumpai pada penderita LES.
c. Defisiensi C3
Penderita dengan defisiensi C3 menunjukkan infeksi bakteri rekuren. Pada beberapa penderita disertai dengan glomerulonefritis kronik.
d. Defisiensi C5-C8
Penderita dengan defisiensi C5-C8 menunjukkan kerentanan yang meningkat terhadap infeksi terutama Neisseria.
e. Defisiensi C9
Defisiensi C9 sangat jarang terjadi. Penderita dengan defisiensi ini tidak menunjukkan tanda infeksi rekuren, mungkin karena lisis masih dapat terjadi atas pengaruh C8 tanpa C9.
B. Defisiensi Interferon (IFN) dan Lisozim
Defisiensi IFN kongenital menimbulkan infeksi mononukleosis yang fatal.Sedang defisiensi IFN dan Lisozim didapat biasanya ditemukan pada penderita malnutrisi protein/kalori.
C. Defisiensi Sel NK
Defisiensi sel NK kongenital dilaporkan pada penderita osteoporosis (defek osteoklas dan monosit). Kadar IgG, IgA dan kekerapan autoantibodi biasanya meningkat. Defisiensi sel NK didapat biasanya terjadi akibat immunosupresi atau radiasi.
D. Defisiensi Sistem Fagosit
Fagosit dapat menghancurkan mikroorganisme dengan atau tanpa bantuan komplemen. Defisiensi fagosit sering disertai infeksi berulang. Kerentanan terhadap infeksi piogenik berhubungan langsung dengan jumlah neutrofil yang menurun dan
(25)
resiko infeksi meningkat bila jumlah sel tersebut turun sampai di bawah 500/mm3. Meskipun defek terutama mengenai fagosit, tetapi defisiensi disini ditekankan pada sel PMN.
a. Chronic Granulomatous Disease (CGD)
Penyakit ini mempunyai ciri-ciri : infeksi rekuren berbagai mikroba, baik gram negatif (Eschericia, Serratia, Klebsiella) maupun gram positif (Stafilokokus). CGD merupakan penyakit sex-linked resesif yang terjadi pada usia 2 tahun pertama. Pada CGD ditemukan defek neutrofil, ketidakmampuan membentuk peroksid hydrogen atau metabolit oksigen toksik lainnya.
b. Defisiensi Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD)
Merupakan penyakit immunodefisiensi yang x-linked dengan gambaran klinis seperti CGD. Penyakit ini diduga akibat defisiensi generasi Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate Dehydrogenase (NADPH). Gejalanya mulai terlihat pada usia di bawah 2 tahun berupa kerentanan yang tinggi tehadap kuman yang mempunyai virulensi rendah seperti S.epidermidis, Serratia marcescens dan Aspergillus. Kelainan klinis yag ditemukan ialah lmfadenopati, hepatosplenomegali dan kelenjar getah bening yang terus mengeluarkan cairan. Infeksi akut dan kronik terjadi di kelenjar getah bening, kulit, saluran cerna, hati dan tulang. Dalam keadaan normal, fagositosis akan mengaktifkan oksidase NADPH yang diperlukan untuk pembentukan peroksidase yang dibutuhkan untuk membunuh kuman intraselular.
c. Sindrom Chediak-Higashi
Sindrom Chediak-Higashi sangat jarang ditemukan, ditandai dengan infeksi rekuren, piogenik, terutama streptokokus dan stapilokokus. Prognosis buruk kebanyakan pasien meninggal pada usia anak. Neutrofil mengandung lisosom besar abnormal yang dapat bersatu dengan fagosom tetapi terganggu dalam kemampuannya melepas isinya sehingga proses menelan dan menghancurkan mikroba terlambat. Pada sindrom ini aktivitas sel NK dan enzim lisosom menurun.
d. Sindrom Job
Sindrom Job berupa pilek berulang, abses stafilokokus, eksim kronis dan otitis media. Kemampuan neutrofil untuk menelan makanan tidak menunjukkan kelainan, tetapi kemotaksis terganggu.
(26)
e. Sindrom leukosit malas (lazy leucocyte)
Sindrom leukosit malas berupa kerentanan terhadap infeksi mikroba yang berat. Terjadi neutropenia, dan respon kemotaksis dan inflamassi terganggu.
DEFISIENSI IMUN SPESIFIK 1. Defisiensi imun primer sel B
Defisiensi sel B berupa gangguan perkembangan sel B. Berbagai akibat dapat ditemukan mulai dari tidak adanya semua Ig atau satu kelas atau subkelas Ig. Penderita dengan defisiensi semua jenis IgG akan lebih mudah menjadi sakit dibanding dengan hanya menderita defisiensi kelas Ig tertentu saja. Istilah untuk defisiensi ini adalah hipo-gamaglobulinemia.
a. X-linked hypogammaglobulinemia
Bruton pada tahun 1952 menggambarkan penyakit yang disebutnya agammaglobulinemia. Hanya terjadi pada bayi laki-laki. Penyakit biasanya nampak pada usia 5-6 bulan sewaktu IgG asal ibu mulai menghilang. Pada usia tersebut anak mulai menderita infeksi berulang. Penyakit ini jarang terjadi (1:100.000). Pemeriksaan imunologik menunjukkan tidak adanya Ig dari semua kelas Ig. Darah, sumsum tulang, limpa dan kelenjar getah bening tidak mengandung sel B. Kerusakan utama adalah oleh karena pre-sel B yang ada dalam kadar normal tidak dapat berkembang menjadi sel B yang matang.
Bayi dengan defisiensi sel B menderita otitis media, rekuren, bronchitis, septikemi, pneumoni, arthritis, meningitis dan dermatitis. Kuman penyebab biasanya H.influenza dan S.pneumonia. Seringkali dijumpai sindrom malabsorbsi oleh karena G.lamblia yang bermanifestasi di saluran cerna. Antibiotika biasanya tidak menolong. Pemberian IgG yang periodik memberikan hasil yang efektif untuk 20-30 tahun. Prognosis buruk dan biasanya diakhiri dengan penyakit paru kronik.
b. Common Variable Hypogammaglobulinemia
Penyakit mirip dengan hipogamaglobulinemia Bruton. Penyakit ini berhubungan dengan insiden autoimun yang tinggi. Meskipun jumlah sel B dengan Ig normal, kemampuan memproduksi atau melepas Ig mengalami gangguan. Kadar Ig serum menurun seiring dengan memberatnya penyakit.
(27)
c. Defisiensi Immunoglobulin yang selektif (disgamaglobulinemia)
Defisiensi Ig yang selektif adalah penurunan kadar satu atau lebih Ig, tetapi kadar Ig yang lain normal atau meningkat. Misalnya defisiensi IgA selektif, defisiensi ini merupakan defisiensi imun yang sering dijumpai. Ditemukan pada 1 dari 700 orang dalam masyarakat. Pada kasus ini, tidak adanya proteksi dari sIgA pada permukaan mukosa sehingga menunjukkan infeksi sino-pulmoner dan infeksi gastrointestinal yang rekuren. Ditemukan pula kasus defisiensi IgM selektif dan defisiensi IgG selektif. Namun defisiensi tersebut jarang terjadi.
2. Defisiensi imun primer sel T
Penderita dengan defisiensi sel T kongenital sangat rentan terhadap infeksi virus, jamur dan protozoa. Olehkarena sel T juga berpengaruh terhadap sel B, maka defisiensi sel T disertai pula gangguan produksi Ig yang nampak dari tidak adanya respon terhadap vaksinasi dan seringnya terjadi infeksi.
a. Aplasi timus kongenital (Sindrom DiGeorge)
Sindrom ini disebabkan defisiensi sel T akibat penderita sedikit memiliki sel T dalam darah, kelenjar getah bening dan limpa. Diduga disebabkan karena adanya defek pada perkembangan embrio dari lengkung farings ke-3 dan ke-4, yang terjadi sekitar 12 minggu setelah gestasi.
b. Kandidiasis Mukokutan Kronik
Penyakit ini ditandai dengan adanya infeksi jamur biasa yang nonpatogenik seperti Kandida albikans pada kulit dan selaput lendir yang disertai dengan gangguan fungsi sel T yang selektif. Penderita mempunyai imunitas yang normal terhadap mikroba lain selain kandida dan imunitas humoralnya normal. Jumlah limfosit normal, tetapi sel T menunjukkan kemampuan yang kurang untuk memproduksi MIF dalam respon terhadap antigen kandida, meskipun respon terhadap antigen lain normal. Reaksi kulit lambat/DTH terhadap kandida juga negatif.
c. Ataksia Telangiektasi (AT)
Merupakan penyakit autosomal resesif mengenai saraf, endokrin dan sistem vaskuler. Ciri klinisnya berupa gerakan otot yang tidak terkoordinasi (staggering gait) dan dilatasi pembuluh darah kecil (telangiektasi) yang jelas dapat dilihat di sklera mata, limfopenia dan penurunan IgA, IgE dan kadang-kadang IgG.
(28)
Penyakit timbul pertama pada anak di bawah usia 2 tahun dan berhubungan dengan infeksi sino-pulmoner berulang. Pada pasien yang lebih tua dapat timbul karsinoma.
DEFISIENSI IMUN SPESIFIK FISIOLOGIK 1. Kehamilan
Defisiensi imun seluler dapat ditemukan pada kehamilan. Wanita hamil memproduksi Ig yang meningkat atas pengaruh oestrogen. IgG diangkut melewati plasenta oleh reseptor Fc pada akhir hamil 10 minggu.
2. Usia tahun pertama
Sistem imun pada satu tahun pertama sampai 5 tahun masih belum matang. Meskipun neonatus menunjukkan jumlah sel T yang tinggi, semuanya berupa sel naif dan tidak memberi respon adekuat terhadap antigen. Antibodi janin disintesis pada awal minggu ke 20 tetapi kadar IgG dewasa baru dicapai pada usia 5 tahun. Pada usia beberapa bulan, bayi tergantung dari IgG ibu.
3. Usia lanjut
Golongan usia lanjut lebih sering menderita infeksi dibanding anak muda. Akibat involusi timus, jumlah sel T naif dan kualitas respon sel T makin berkurang . Jumlah sel T memori meningkat tetapi semakin sulit untuk berkembang. Defisiensi seluler sering disertai dengan meningkatnya kejadian kanker, kepekaan terhadap infeksi misalnya tuberkulosis, gangguan penyembuhan infeksi dan fenomena autoimun. Penyakit autoimun yang sering timbul pada usia lanjut disebabkan oleh penurunan aktivitas sel T. Pada usia 60 tahun, jaringan timus hampir seluruhnya diganti oleh lemak dan edukasi sel T dalam timus hampir hilang. Jadi pejamu tergantung pada persediaan sel T yang diproduksi sebelumnya pada usia lebih muda. Pada usia lanjut, imunitas humoral juga menurun, akibat menurunnya kemampuan sel T untuk menginduksi pematangan sel B dalam sumsum tulang yang mengurangi kemajemukan sel B, namun sel B yang sudah tua menunjukkan respon terhadap mikroba seumur hidup.
(29)
DEFISIENSI IMUN DIDAPAT SEKUNDER
Imunodefisiensi sekunder atau didapat merupakan defisiensi sekunder yang tersering ditemukan. Defisiensi ini melibatkan fungsi fagosit dan limfosit yang terjadi akibat infeksi HIV, malnutrisi, terapi sitotoksik dan lain sebagainya. Defisiensi imun sekunder dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi oportunistik.
1. Malnutrisi
Malnutrisi dan defisiensi zat besi dapat menimbulkan depresi sistem imun terutama pada imunitas seluler. Anak dengan malnutrisi protein/kalori menunjukkan atrofi timus dan jaringan limfoid sekunder, depresi respon sel T terhadap mitogen dan sel alogeneik, pengurangan sekresi limfokin, gangguan respon terhadap uji kulit hipersensitivitas tipe lambat dan antigen lingkungan. Kerentanan yang meninggi terhadap infeksi sering membaik setelah diberikan diit yang cukup. Defisiensi seng (Zn) dan magnesium menurunkan imunitas seluler, terutama sekresi sitokin Th1. Defisiensi ini sering terjadi pasca operasi.
2. Infeksi
Infeksi dapat menimbulkan defisiensi imun. Malaria dan Rubella kongenital dapat menimbulkan defisiensi antibodi. Campak diketahui menimbulkan defek imunitas selular yang menimbulkan reaktivasi tuberkulosis. Campak dan infeksi virus lain dapat menginfeksi tubuh menginduksi supresi Delayed Type Hypersensitivity (DTH) sementara. Jumlah sel T dan respon limfosit terhadap antigen dan mitogen menurun. Infeksi virus juga menimbulkan efek yang tidak diinginkan terhadap makrofag.
3. Obat, trauma, tindakan kateterisasi dan bedah
Obat sering menimbulkan defisiensi imun sekunder. Penggunaan steroid dan obat sitotoksik menimbulkan imunosupresif. Pemberian obat, kateterisasi dan tindakan pembedahan dapat menimbulkan imunokompromais. Contoh obat yang bersifat imunosupresi antara lain sitotoksik, gentamisin, amikain, dan tobramisin. Obat-obat ini mengganggu kemotaksis neutrofil. Tetrasiklin dapat menekan imunitas selular. Kloramfenikol dapat menekan respon antibodi, sedang rifampisin dapat menekan imunitas humoral dan selular. Jumlah neutrofil akan menurun akibat pemakaian obat kemoterapi, analgesik, antihistamin, antitiroid, antikonvulsi, penenang dan antibiotika.
(30)
Pasien dengan trauma kurang mampu menghadapi patogen, mungkin akibat pelepasan faktor dan menekan respon imun.
4. Penyinaran
Penyinaran dosis tinggi akan menekan seluruh jaringan limfoid, sedangkan dengan dosis rendah dapat menekan aktivitas sel Ts secara selektif.
5. Penyakit berat
Defisiensi imun bisa didapat akibat menderita berbagai penyakit yang menyerang kelenjar limfoid seperti penyakit Hodgkin, mieloma multiple, leukemia dan limfosarkoma. Uremia dapat menekan sistem imun. Gagal ginjal dan diabetes dapat menimbulkan defek fagosit sekunder.
6. Kehilangan imunoglobulin/leukosit
Defisiensi imunoglobulin dapat terjadi akibat tubuh kehilangan protein yang berlebihan misalnya pada penyakit ginjal dan diare. Pada sindrom nefrotik ditemukan kehilangan protein dan penurunan IgG, IgA yang berarti dengan IgM normal.
7. Stress
Stres akut dan kronis menunjukkan berbagai efek terhadap sistem imun. Sistem imun berintegrasi dengan stres. Stres menghambat kerja sistem imun. Rangsangan stres akut seperti bising, anxietas akut akan meningkatkan jumlah sel T dalam sirkulasi. Hal ini disebabkan oleh saraf simpatis yang melepas katekolamin (misalnya epinefrin).Serat saraf yang melepas katekolamin menginervasi kelenjar getah bening. Kadar tinggi katekolamine juga dilepas ke dalam sirkulasi oleh medula kelenjar adrenal. Sel T mengekspresikan reseptor untuk epinefrin dan rangsangan terhadap reseptor tersebut mempengaruhi sel T untuk menurunkan ekspresi molekul integrin sehingga sel T dicegah menempel pada endotel dan bermigrasi ke jaringan. Akibatnya sel T menumpuk di dalam darah.
Stres yang berlangsung lebih dari beberapa jam, akan mempengaruhi sistem imun. CD4+ terendah di pagi hari. Sekresi steroid ditingkatkan sebagai respon terhadap berbagai stres fisiologik seperti latihan jasmani yang berat dan lama atau emosi.
(31)
8. AIDS (Acquired Immune Syndrome)
AIDS disebabkan oleh virus yang disebut HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang terdiri dari HIV-1 dan HIV-2. AIDS terbanyak disebabkan HIV-1 hanya beberapa kasus yang disebabkan HIV-2. HIV adalah virus retro yang menginfeksi sistem imun terutama CD4+ dan menimbulkan destruksi sel tersebut. Partikel HIV terdiri dari dua untaian RNA dalam inti protein yang dilindungi envelope lipis asal sel pejamu. Transmisi virus terjadi melalui cairan tubuh yang terinfeksi seperti hubungan seksual, kontak homoseksual, penggunaan jarum yang terkontaminasi, transfusi darah atau produk darah seperti hemofilia.
Patogenesis
Siklus hidup HIV adalah infeksi sel, produksi DNA virus dan integrasi ke dalam genom, ekspresi gen virus, produksi partikel virus. Virus menginfeksi sel dengan menggunakan glikoprotein envelope yang disebut gp120 (120KD glikoprotein) yang terutama mengikat sel CD4+ dan reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5) dari sel manusia. Oleh karena itu virus hanya dapat menginfeksi dengan efisien sel CD4+ dan kemokin. Makrofag dan sel dendritik juga dapat diinfeksi oleh HIV.
Setelah berikatan dengan reseptor sel, membran virus bersatu dengan membran sel pejamu dan virus masuk sitoplasma. Disini envelope virus dilepas oleh protease virus dan RNA menjadi bebas. Kopi DNA dari RNA virus disintesis oleh enzim transkriptase dan kopi DNA bersatu dengan DNA pejamu. DNA yang terintegrasi disebut provirus. Bila sel terinfeksi seperti CD4+, makrofag dan sel dendritik diaktifkan beberapa rangsang eksternal seperti mikroba yang dapat menimbulkan infeksi, sel akan memberikan respon terhadap transkripsi banyak gen yang sering menimbulkan produksi sitokin. Provirus juga dapat diaktifkan, sehingga diproduksi RNA dan protein virus.
Sekarang virus mampu membentuk struktur inti, migrasi ke membran sel, memperoleh envelope lipid dari sel pejamu, dilepas berupa partikel virus yang dapat menular dan siap menginfeksi sel lain. Integrasi provirus dapat tetap laten dalam sel terinfeksi untuk berbulan-bulan atau tahun, tersembunyi dari sistem imun pejamu, bahkan dari terapi antivirus.
(32)
Gambar 3. Patogenesis AIDS
Fase penyakit HIV berhubungan dengan penyebaran virus dari tempat awal infeksi ke jaringan limfoid ke seluruh tubuh. Respon imun pejamu sementara mengontrol infeksi akut, tetapi tidak mencegah terjadinya infeksi kronisdari sel dan jaringan limfoid. Sitokin yang diproduksi sebagai respon terhadap HIV dan mikroba lain dapat meningkatkan produksi HIV dan berkembang menjadi AIDS. Setelah infeksi dapat terjadi viremia akut singkat. Virus menginfeksi sel CD4+, makrofag dan sel dendritik dalam darah dan organ limfoid. Sel dendritik dapat menangkap virus ditempat virus masuk dan mengangkutnya ke organ limfoid perifer yang selanjutnya menginfeksi sel T.
Infeksi ini akan menyebabkan penurunan jumlah sel CD4+ yang disebabkan oleh efek sitopatik virus dan kematian sel. Jumlah sel T yang hilang selama progres AIDS jauh lebih besar dibanding jumlah sel yang terinfeksi, hal ini diduga akibat sel T yang
(33)
diinfeksi kronis diaktifkan dan rangsang kronis menimbulkan apoptosis. Sel dendritik yang terinfeksi juga akan mati.
Gambaran klinis
Pada awal infeksi timbul gejala viremia akut ringan. Gejala menghilang dalam beberapa hari dan penyakit memasuki masa laten klinis. Selama masa laten ini biasanya terjadi kehilangan sel CD4+ yang progresif dalam jaringan limfoid dan destruksi gambaran jaringan limfoid. Jumlah sel CD4+ dalam darah mulai menurun dibawah 200/mm3 (normal 1500 sel/mm3) dan penderita rentan terhadap infeksi dan disebut menderita AIDS.
Gambaran klinis dan manifestasi patologik AIDS disebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan beberapa jenis kanker. Penderita sering diinfeksi mikroba intraseluler seperti Citomegalovirus, Pnemocystic carinii, Mycobacteria atipik yang pada keadaan normal dapat ditanggulangi oleh sistem imun seluler. Penderita AIDS juga menunjukkan penurunan jumlah sel CD8+ meskipun virus tidak menginfeksi sel tersebut. Penderita AIDS juga rentan terhadap kanker dan limfoma sel B yang disebabkan virus Epstein Barr dan tumor pembuluh darah kecil (sarkoma kaposi) yang disebabkan virus herpes.
Penderita AIDS lanjut akan kehilangan berat badan akibat perubahan metabolisme dan kurangnya kalori yang masuk tubuh. Demensia dapat terjadi oleh infeksi mikroglia (makrofag dalam otak). Pada awal infeksi, antibodi dan respon CTL terhadap antigen virus dapat terjadi, tetapi respon itu tidak dapat mencegah progres penyakit. Antibodi terhadap gp120 dapat inefektif, karena virus cepat memutasi regio gp120 yang merupakan sasaran antibodi. CTL juga tidak efektif membunuh virus karena virus mencegah ekspresi MHC-I Oleh sel terinfeksi. Bila CTL berhasil menghancurkan sel terinfeksi, virus akan dilepas dan menginfeksi lebih banyak sel.
PENGOBATAN DEFISIENSI IMUN
Pengobatan pasien dengan penyakit defisiensi imun umumnya mempunyai dua tujuan yaitu :
1. Mengurangi kejadian dan dampak infeksi dengan : Menjauhi subyek dengan penyakit menular.
(34)
Memantau dengan baik pasien terhadap infeksi. Menggunakan antibiotika/antiviral yang benar. Imunisasi aktif atau pasif bila memungkinkan.
2. Memberikan komponen sistem imun yang defektif dengan transfer pasif atau transplantasi
Pemberian globulin gama kepada pasien dengan defisiensi Ig tertentu. Infus sitokin seperti IL-2, GM-CSF, M-CSF dan IFN-γ kepada subyek dengan penyakit tertentu.
Transfusi :
- Neutrofil kepada subyek dengan defisiensi fagosit.
- Polietilen glikol digabung dengan adenosin deaminase untuk SCID - Limfosit autologus yang sudah mengalami transfection dengan gen adenosin deaminase (ADA) pada Severe Combined Immunodefi – ciency.
Transplantasi : timus fetal atau stem cell dari sumsum tulang dalam memperbaiki kompetensi imun
Terapi gen somatik juga telah membrikan harapan dalam terapi penyakit genetik. Dimana dilakukan penyisipan gen normal ke populasi sel yang terkena penyakit dengan maksud untuk membentuk gen normal yang sebelumnya tidak ada atau defisiensi.
TEKHNIK IMUNOLOGIK : REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI INVITRO
Reaksi antigen dan antibodi bersifat sangat khusus. Suatu antigen hanya bereaksi dengan antibodi yang ditimbulkan oleh jenisnya sendiri atau oleh antigen yang berkaitan erat. Karena begitu khususnya, reaksi antara suatu antigen dan antibodi dapat digunakan untuk mengenali salah satu pihak dengan memakai pihak lain. Spesifitas ini dipakai sebagai dasar reaksi serologi. Reaksi silang yang mungkin terjadi diantara berbagai antigen yang berkaitan dapat membatasi spesifitas uji.
Radioimunoassay (RIA)
Metode ini digunakan untuk mengkuantitasikan antigen atau hapten yang dapat diberi label radioaktif. Ini didasarkan pada persaingan untuk antibodi khusus antara konsentrasi bahan yang berlabel (diketahui) dan yang tak berlabel (tak diketahui).
(35)
Kompleks yang terbentuk antara antigen dan antibodi kemudian dapat dipisahkan dan jumlah radiaktivitasnya diukur. Konsentrasi antigen atau hapten yang tidak diketahui ditentukan dengan membandingkan hasil-hasil yang diperoleh dengan hasil dari beberapa konsentrasi antigen standar. RIA adalah suatu metode yang sangat peka dan digunakan untuk mengukur kadar hormon atau obat dalam serum. Suatu RIA yang khusus, uji radioalergosorben (RAST), digunakan untuk mengukur jumlah antibodi IgE serum yang bereaksi dengan suatu alergen yang dikenal.
Imunoassay Enzim (EIA)
Metode ini mempunyai banyak variasi bergantung pada konjugasi enzim dengan antigen atau antibodi. Enzim dideteksi dengan mengukur aktivitas enzim dengan substratnya. Meskipun hampir sepeka RIA, metode ini tidak memerlukan perlengkapan khusus atau label radioaktif. Untuk mengukur antibodi, antigen yang dikenal diikat pada suatu fase padat (misalnya lempeng mikrodilusi plastik), dieramkan dengan serum uji yang telah diencerkan, dicuci dan dieramkan lagi dengan anti-imunoglobulin yang diberi label dengan suatu enzim (misalnya horseradish peroksidase). Aktivitas enzim, yang diukur dengan menambahkan substrat khusus dan melihat reaksi warna, merupakan fungsi langsung dari jumlah antibodi yang terikat.
Fluorescence Immuno Assay (FIA)
Dengan menggunakan mikroskop fluoresen dan antibodi yang dilabel dengan molekul fluoresen, potongan jaringan dapat diperiksa untuk sel yang mengekspresikan antigen spesifik. Tehnik langsung dan tidak langsung dapat mengevaluasi secara kualitatif dan kuantitatif berbagai sel yang berhubungan dengan molekul pada waktu yang sama.
Cara FIA langsung digunakan untuk menemukan antigen, immunoglobulin atau komplemen, yang melekat pada sel jaringan penderita. Cara tidak langsung lebih banyak digunakan untuk menemukan antibodi. Pada cara ini, serum penderita direaksikan dengan sel atau jaringan, kemudian ditambahkan anti antibodi yang bertanda fluoresen dan diperiksa di bawah mikroskop ultraviolet. Cara ini dapat segera memberi hasil, tetapi kadang-kadang terdapat fluoresen intrinsik yang berasal dari bahan yang diperiksa.
(36)
Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
ELISA digunakan untuk menemukan antibody. Dalam hal ini antigen mula-mula diikat benda padat kemudian ditambah antibodi yang akan dicari. Setelah itu ditambahkan lagi antigen yang bertanda enzim, seperti peroksidase dan fosfatase. Akhirnya ditambahkan substrat kromogenik yang bila bereaksi dengan enzim menimbulkan perubahan warna. Perubahan warna yang terjadi sesuai dengan jumlah enzim yang diikat dan sesuai pula dengan kadar antibodi yang dicari. Dibanding dengan RIA, pada uji ELISA digunakan reagens yang stabil. Tetapi kurang sensitif.
(37)
BAB III KESIMPULAN
Imunitas terhadap infeksi dapat dibagi atas imunitas terhadap bakteri baik ekstraselular dan intraselular, imunitas terhadap virus, imunitas terhadap jamur, dan imunitas terhadap parasit. Kesemua imunitas diatas berlangsung secara nonspesifik dan spesifik baik humoral maupun selular.
Reaksi hipersensitivitas adalah respon imun yang berlebihan dan tidak sesuai yang merugikan inang. Terdiri dari 4 Tipe yaitu Tipe I hipersensitivitas segera (anafilaksis), Tipe II hipersensitivitas sitotoksik, Tipe III hipersensitivitas kompleks imun, Tipe IV hipersensitivitas berperantara sel (lambat).
Defisiensi imun adalah terganggunya respon imun baik nonspesifik maupun spesifik yang mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi oportunistik, rekuren dan kronis serta peningkatan kerentanan terhadap terjadinya kanker.
Pengobatan pasien dengan penyakit defisiensi imun umumnya mempunyai dua tujuan yaitu mengurangi kejadian dan dampak infeksi dengan menjauhi subyek dari penyakit menular, memantau dengan baik pasien terhadap infeksi dan memberikan komponen sistem imun yang defektif dengan transfer pasif atau transplantasi
Tekhnik imunologi dengan melihat reaksi antigen antibodi merupakan dasar uji serologi, contohnya : RIA, EIA, FIA, ELISA
(38)
DAFTAR PUSTAKA
1. Baratawidjaja. Imunologi Dasar. Edisi 6. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004.
2. Brooks, Butel, Ornston. Medical Microbiology. Appleton & lange.
3. Parslow, Stites, Terr, Imboden. Medical Immunology. 10th edition. Mc-Graw Hill Companies. 2001.
(1)
diinfeksi kronis diaktifkan dan rangsang kronis menimbulkan apoptosis. Sel dendritik yang terinfeksi juga akan mati.
Gambaran klinis
Pada awal infeksi timbul gejala viremia akut ringan. Gejala menghilang dalam beberapa hari dan penyakit memasuki masa laten klinis. Selama masa laten ini biasanya terjadi kehilangan sel CD4+ yang progresif dalam jaringan limfoid dan destruksi gambaran jaringan limfoid. Jumlah sel CD4+ dalam darah mulai menurun dibawah 200/mm3 (normal 1500 sel/mm3) dan penderita rentan terhadap infeksi dan disebut menderita AIDS.
Gambaran klinis dan manifestasi patologik AIDS disebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan beberapa jenis kanker. Penderita sering diinfeksi mikroba intraseluler seperti Citomegalovirus, Pnemocystic carinii, Mycobacteria atipik yang pada keadaan normal dapat ditanggulangi oleh sistem imun seluler. Penderita AIDS juga menunjukkan penurunan jumlah sel CD8+ meskipun virus tidak menginfeksi sel tersebut. Penderita AIDS juga rentan terhadap kanker dan limfoma sel B yang disebabkan virus Epstein Barr dan tumor pembuluh darah kecil (sarkoma kaposi) yang disebabkan virus herpes.
Penderita AIDS lanjut akan kehilangan berat badan akibat perubahan metabolisme dan kurangnya kalori yang masuk tubuh. Demensia dapat terjadi oleh infeksi mikroglia (makrofag dalam otak). Pada awal infeksi, antibodi dan respon CTL terhadap antigen virus dapat terjadi, tetapi respon itu tidak dapat mencegah progres penyakit. Antibodi terhadap gp120 dapat inefektif, karena virus cepat memutasi regio gp120 yang merupakan sasaran antibodi. CTL juga tidak efektif membunuh virus karena virus mencegah ekspresi MHC-I Oleh sel terinfeksi. Bila CTL berhasil menghancurkan sel terinfeksi, virus akan dilepas dan menginfeksi lebih banyak sel.
PENGOBATAN DEFISIENSI IMUN
Pengobatan pasien dengan penyakit defisiensi imun umumnya mempunyai dua tujuan yaitu :
1. Mengurangi kejadian dan dampak infeksi dengan : Menjauhi subyek dengan penyakit menular.
(2)
Memantau dengan baik pasien terhadap infeksi. Menggunakan antibiotika/antiviral yang benar. Imunisasi aktif atau pasif bila memungkinkan.
2. Memberikan komponen sistem imun yang defektif dengan transfer pasif atau transplantasi
Pemberian globulin gama kepada pasien dengan defisiensi Ig tertentu. Infus sitokin seperti IL-2, GM-CSF, M-CSF dan IFN-γ kepada subyek dengan penyakit tertentu.
Transfusi :
- Neutrofil kepada subyek dengan defisiensi fagosit.
- Polietilen glikol digabung dengan adenosin deaminase untuk SCID - Limfosit autologus yang sudah mengalami transfection dengan gen adenosin deaminase (ADA) pada Severe Combined Immunodefi – ciency.
Transplantasi : timus fetal atau stem cell dari sumsum tulang dalam memperbaiki kompetensi imun
Terapi gen somatik juga telah membrikan harapan dalam terapi penyakit genetik. Dimana dilakukan penyisipan gen normal ke populasi sel yang terkena penyakit dengan maksud untuk membentuk gen normal yang sebelumnya tidak ada atau defisiensi.
TEKHNIK IMUNOLOGIK : REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI INVITRO
Reaksi antigen dan antibodi bersifat sangat khusus. Suatu antigen hanya bereaksi dengan antibodi yang ditimbulkan oleh jenisnya sendiri atau oleh antigen yang berkaitan erat. Karena begitu khususnya, reaksi antara suatu antigen dan antibodi dapat digunakan untuk mengenali salah satu pihak dengan memakai pihak lain. Spesifitas ini dipakai sebagai dasar reaksi serologi. Reaksi silang yang mungkin terjadi diantara berbagai antigen yang berkaitan dapat membatasi spesifitas uji.
Radioimunoassay (RIA)
(3)
Kompleks yang terbentuk antara antigen dan antibodi kemudian dapat dipisahkan dan jumlah radiaktivitasnya diukur. Konsentrasi antigen atau hapten yang tidak diketahui ditentukan dengan membandingkan hasil-hasil yang diperoleh dengan hasil dari beberapa konsentrasi antigen standar. RIA adalah suatu metode yang sangat peka dan digunakan untuk mengukur kadar hormon atau obat dalam serum. Suatu RIA yang khusus, uji radioalergosorben (RAST), digunakan untuk mengukur jumlah antibodi IgE serum yang bereaksi dengan suatu alergen yang dikenal.
Imunoassay Enzim (EIA)
Metode ini mempunyai banyak variasi bergantung pada konjugasi enzim dengan antigen atau antibodi. Enzim dideteksi dengan mengukur aktivitas enzim dengan substratnya. Meskipun hampir sepeka RIA, metode ini tidak memerlukan perlengkapan khusus atau label radioaktif. Untuk mengukur antibodi, antigen yang dikenal diikat pada suatu fase padat (misalnya lempeng mikrodilusi plastik), dieramkan dengan serum uji yang telah diencerkan, dicuci dan dieramkan lagi dengan anti-imunoglobulin yang diberi label dengan suatu enzim (misalnya horseradish peroksidase). Aktivitas enzim, yang diukur dengan menambahkan substrat khusus dan melihat reaksi warna, merupakan fungsi langsung dari jumlah antibodi yang terikat.
Fluorescence Immuno Assay (FIA)
Dengan menggunakan mikroskop fluoresen dan antibodi yang dilabel dengan molekul fluoresen, potongan jaringan dapat diperiksa untuk sel yang mengekspresikan antigen spesifik. Tehnik langsung dan tidak langsung dapat mengevaluasi secara kualitatif dan kuantitatif berbagai sel yang berhubungan dengan molekul pada waktu yang sama.
Cara FIA langsung digunakan untuk menemukan antigen, immunoglobulin atau komplemen, yang melekat pada sel jaringan penderita. Cara tidak langsung lebih banyak digunakan untuk menemukan antibodi. Pada cara ini, serum penderita direaksikan dengan sel atau jaringan, kemudian ditambahkan anti antibodi yang bertanda fluoresen dan diperiksa di bawah mikroskop ultraviolet. Cara ini dapat segera memberi hasil, tetapi kadang-kadang terdapat fluoresen intrinsik yang berasal dari bahan yang diperiksa.
(4)
Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
ELISA digunakan untuk menemukan antibody. Dalam hal ini antigen mula-mula diikat benda padat kemudian ditambah antibodi yang akan dicari. Setelah itu ditambahkan lagi antigen yang bertanda enzim, seperti peroksidase dan fosfatase. Akhirnya ditambahkan substrat kromogenik yang bila bereaksi dengan enzim menimbulkan perubahan warna. Perubahan warna yang terjadi sesuai dengan jumlah enzim yang diikat dan sesuai pula dengan kadar antibodi yang dicari. Dibanding dengan RIA, pada uji ELISA digunakan reagens yang stabil. Tetapi kurang sensitif.
(5)
BAB III KESIMPULAN
Imunitas terhadap infeksi dapat dibagi atas imunitas terhadap bakteri baik ekstraselular dan intraselular, imunitas terhadap virus, imunitas terhadap jamur, dan imunitas terhadap parasit. Kesemua imunitas diatas berlangsung secara nonspesifik dan spesifik baik humoral maupun selular.
Reaksi hipersensitivitas adalah respon imun yang berlebihan dan tidak sesuai yang merugikan inang. Terdiri dari 4 Tipe yaitu Tipe I hipersensitivitas segera (anafilaksis), Tipe II hipersensitivitas sitotoksik, Tipe III hipersensitivitas kompleks imun, Tipe IV hipersensitivitas berperantara sel (lambat).
Defisiensi imun adalah terganggunya respon imun baik nonspesifik maupun spesifik yang mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi oportunistik, rekuren dan kronis serta peningkatan kerentanan terhadap terjadinya kanker.
Pengobatan pasien dengan penyakit defisiensi imun umumnya mempunyai dua tujuan yaitu mengurangi kejadian dan dampak infeksi dengan menjauhi subyek dari penyakit menular, memantau dengan baik pasien terhadap infeksi dan memberikan komponen sistem imun yang defektif dengan transfer pasif atau transplantasi
Tekhnik imunologi dengan melihat reaksi antigen antibodi merupakan dasar uji serologi, contohnya : RIA, EIA, FIA, ELISA
(6)
DAFTAR PUSTAKA
1. Baratawidjaja. Imunologi Dasar. Edisi 6. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004.
2. Brooks, Butel, Ornston. Medical Microbiology. Appleton & lange.
3. Parslow, Stites, Terr, Imboden. Medical Immunology. 10th edition. Mc-Graw Hill Companies. 2001.