Penyakit timbul pertama pada anak di bawah usia 2 tahun dan berhubungan dengan infeksi sino-pulmoner berulang. Pada pasien yang lebih tua dapat timbul
karsinoma.
DEFISIENSI IMUN SPESIFIK FISIOLOGIK 1.
Kehamilan
Defisiensi imun seluler dapat ditemukan pada kehamilan. Wanita hamil memproduksi Ig yang meningkat atas pengaruh oestrogen. IgG diangkut melewati
plasenta oleh reseptor Fc pada akhir hamil 10 minggu. 2.
Usia tahun pertama
Sistem imun pada satu tahun pertama sampai 5 tahun masih belum matang. Meskipun neonatus menunjukkan jumlah sel T yang tinggi, semuanya berupa sel naif dan
tidak memberi respon adekuat terhadap antigen. Antibodi janin disintesis pada awal minggu ke 20 tetapi kadar IgG dewasa baru dicapai pada usia 5 tahun. Pada usia beberapa
bulan, bayi tergantung dari IgG ibu.
3. Usia lanjut
Golongan usia lanjut lebih sering menderita infeksi dibanding anak muda. Akibat involusi timus, jumlah sel T naif dan kualitas respon sel T makin berkurang . Jumlah sel
T memori meningkat tetapi semakin sulit untuk berkembang. Defisiensi seluler sering disertai dengan meningkatnya kejadian kanker, kepekaan terhadap infeksi misalnya
tuberkulosis, gangguan penyembuhan infeksi dan fenomena autoimun. Penyakit autoimun yang sering timbul pada usia lanjut disebabkan oleh penurunan aktivitas sel T.
Pada usia 60 tahun, jaringan timus hampir seluruhnya diganti oleh lemak dan edukasi sel T dalam timus hampir hilang. Jadi pejamu tergantung pada persediaan sel T yang
diproduksi sebelumnya pada usia lebih muda. Pada usia lanjut, imunitas humoral juga menurun, akibat menurunnya kemampuan sel T untuk menginduksi pematangan sel B
dalam sumsum tulang yang mengurangi kemajemukan sel B, namun sel B yang sudah tua menunjukkan respon terhadap mikroba seumur hidup.
Universitas Sumatera Utara
DEFISIENSI IMUN DIDAPAT SEKUNDER
Imunodefisiensi sekunder atau didapat merupakan defisiensi sekunder yang tersering ditemukan. Defisiensi ini melibatkan fungsi fagosit dan limfosit yang terjadi
akibat infeksi HIV, malnutrisi, terapi sitotoksik dan lain sebagainya. Defisiensi imun
sekunder dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi oportunistik. 1.
Malnutrisi
Malnutrisi dan defisiensi zat besi dapat menimbulkan depresi sistem imun terutama pada imunitas seluler. Anak dengan malnutrisi proteinkalori menunjukkan
atrofi timus dan jaringan limfoid sekunder, depresi respon sel T terhadap mitogen dan sel alogeneik, pengurangan sekresi limfokin, gangguan respon terhadap uji kulit
hipersensitivitas tipe lambat dan antigen lingkungan. Kerentanan yang meninggi terhadap infeksi sering membaik setelah diberikan diit yang cukup. Defisiensi seng Zn dan
magnesium menurunkan imunitas seluler, terutama sekresi sitokin Th1. Defisiensi ini
sering terjadi pasca operasi. 2.
Infeksi
Infeksi dapat menimbulkan defisiensi imun. Malaria dan Rubella kongenital dapat menimbulkan defisiensi antibodi. Campak diketahui menimbulkan defek imunitas selular
yang menimbulkan reaktivasi tuberkulosis. Campak dan infeksi virus lain dapat menginfeksi tubuh menginduksi supresi Delayed Type Hypersensitivity DTH
sementara. Jumlah sel T dan respon limfosit terhadap antigen dan mitogen menurun.
Infeksi virus juga menimbulkan efek yang tidak diinginkan terhadap makrofag. 3.
Obat, trauma, tindakan kateterisasi dan bedah
Obat sering menimbulkan defisiensi imun sekunder. Penggunaan steroid dan obat sitotoksik menimbulkan imunosupresif. Pemberian obat, kateterisasi dan tindakan
pembedahan dapat menimbulkan imunokompromais. Contoh obat yang bersifat imunosupresi antara lain sitotoksik, gentamisin, amikain, dan tobramisin. Obat-obat ini
mengganggu kemotaksis neutrofil. Tetrasiklin dapat menekan imunitas selular. Kloramfenikol dapat menekan respon antibodi, sedang rifampisin dapat menekan
imunitas humoral dan selular. Jumlah neutrofil akan menurun akibat pemakaian obat kemoterapi, analgesik, antihistamin, antitiroid, antikonvulsi, penenang dan antibiotika.
Universitas Sumatera Utara
Pasien dengan trauma kurang mampu menghadapi patogen, mungkin akibat
pelepasan faktor dan menekan respon imun. 4.
Penyinaran
Penyinaran dosis tinggi akan menekan seluruh jaringan limfoid, sedangkan
dengan dosis rendah dapat menekan aktivitas sel Ts secara selektif. 5.
Penyakit berat
Defisiensi imun bisa didapat akibat menderita berbagai penyakit yang menyerang kelenjar limfoid seperti penyakit Hodgkin, mieloma multiple, leukemia dan
limfosarkoma. Uremia dapat menekan sistem imun. Gagal ginjal dan diabetes dapat
menimbulkan defek fagosit sekunder. 6.
Kehilangan imunoglobulinleukosit
Defisiensi imunoglobulin dapat terjadi akibat tubuh kehilangan protein yang berlebihan misalnya pada penyakit ginjal dan diare. Pada sindrom nefrotik ditemukan
kehilangan protein dan penurunan IgG, IgA yang berarti dengan IgM normal. 7.
Stress
Stres akut dan kronis menunjukkan berbagai efek terhadap sistem imun. Sistem imun berintegrasi dengan stres. Stres menghambat kerja sistem imun. Rangsangan stres
akut seperti bising, anxietas akut akan meningkatkan jumlah sel T dalam sirkulasi. Hal ini disebabkan oleh saraf simpatis yang melepas katekolamin misalnya epinefrin.Serat
saraf yang melepas katekolamin menginervasi kelenjar getah bening. Kadar tinggi katekolamine juga dilepas ke dalam sirkulasi oleh medula kelenjar adrenal. Sel T
mengekspresikan reseptor untuk epinefrin dan rangsangan terhadap reseptor tersebut mempengaruhi sel T untuk menurunkan ekspresi molekul integrin sehingga sel T dicegah
menempel pada endotel dan bermigrasi ke jaringan. Akibatnya sel T menumpuk di dalam darah.
Stres yang berlangsung lebih dari beberapa jam, akan mempengaruhi sistem imun. CD4
+
terendah di pagi hari. Sekresi steroid ditingkatkan sebagai respon terhadap berbagai stres fisiologik seperti latihan jasmani yang berat dan lama atau emosi.
Universitas Sumatera Utara
8. AIDS Acquired Immune Syndrome