Imunitas nonspesifik Imunitas nonspesifik Imunitas nonspesifik Imunitas spesifik

miokard yang dapat diendapkan di jantung dan akhirnya menimbulkan inflamasi karditis. Glomerulonefritis pasca infeksi streptokokus merupakan sekuela infeksi streptokokus dikulit atau tenggorok oleh streptokokus- β tipe lain. Antibodi terhadap bakteri tersebut membentuk kompleks dengan antigen bakteri dan diendapkan di glomerulus ginjal menimbulkan nefritis. Respon utama pejamu terhadap bakteri ekstraseluler adalah produksi sitokin oleh makrofag yang diaktifkan menimbulkan inflamasi dan syok septik. Toksin berupa superantigen mampu mengaktifkan banyak sel T sehingga menimbulkan produksi sitokin dalam jumlah besar. Imunitas terhadap Bakteri Intraseluler Ciri utama bakteri intraseluler adalah kemampuannya untuk hidup dan berkembang biak dalam fagosit. Mikroba tersebut mendapat tempat tersembunyi yang tidak dapat ditemukan oleh antibodi dalam sirkulasi, sehingga untuk eliminasinya memerlukan mekanisme imun seluler.

1. Imunitas nonspesifik

Efektor imunitas nonspesifik utama terhadap bakteri intraseluler adalah fagosit dan sel NK. Fagosit mulanya monosit, kemudian makrofag menelan dan mencoba menghancurkan mikroba tersebut, namun mikroba resisten terhadap efek degradasi fagosit. Bakteri intraseluler dapat mengaktifkan sel NK secara langsung atau melalui aktivasi makrofag yang memproduksi IL-12, sitokin poten yang mengaktifkan sel NK. Sel NK memproduksi IFN- γ yang kembali mengaktifkan makrofag dan meningkatkan daya membunuh bakteri yang dimakan. Jadi sel NK memberikan respon dini, dan terjadi interaksi antara sel NK dan makrofag.

2. Imunitas spesifik

Proteksi utama respon imun spesifik terhadap bakteri intraseluler berupa imunitas selular. Seperti telah diketahui sebelumnya, imunitas seluler terdiri dari dua tipe reaksi yaitu aktivasi makrofag oleh CD4 + Th1 yang memproduksi IFN- γ DTH yang memacu pembunuhan mikroba dan lisis sel terinfeksi oleh CD8 + CTL. Makrofag yang diaktifkan sebagai respon terhadap mikroba intraseluler dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan berupa granuloma yang terjadi pada DTH terhadap Universitas Sumatera Utara protein mikroba. CD4 + dan CD8 + bekerjasama dalam pertahanan terhadap mikroba. Bakteri intraseluler seperti Listeria monocytogenes dimakan makrofag dan dapat hidup dalam fagosom dan masuk dalam sitoplasma. CD4 + memberikan respon terhadap peptida antigen MHC kelas II asal bakteri intravesikular, memproduksi IFN- γ yang mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba dalam fagosom. CD8 + memberikan respon terhadap peptida MHC kelas I yang berasal dari antigen sitosol dan membunuh sel yang terinfeksi. Berbagai mikroba intraseluler seperti M.tuberkulosis mengembangkan berbagai strategi untuk menghindari eliminasi oleh fagosit. Mikroorganisme yang resisten terhadap fagosit seperti M.tuberkulosis atau parasit obligat intraseluler seperti M.lepra dikucilkan makrofag dengan dibentuknya granuloma melalui bantuan sel Th1. Tuberkulosis masih merupakan ancaman di banyak negara karena timbulnya resistensi terhadap obat-obatan. Makrofag yang mengenal M.tuberkulosis melalui reseptor Toll-like mengikat lipoprotein mikobakteri melepas mediator inflamasi seperti IL-12 dan nitrat oksida. Peptida mikobakteri yang dipresentasikan makrofag memacu respon kuat Th1 yang melepas IFN- γ yang selanjutnya merangsang makrofag membentuk granuloma selama infeksi primer. Olehkarena mikobakteri sulit dihancurkan, makrofag mengucilkannya di dalam fagosom. Pajanan awal dengan M.tuberkulosis menimbulkan infeksi primer. Kebanyakan M.tuberkulosis ditemukan dalam granuloma. Makrofag matang membentuk sel raksasa dan sel epiteloid atas pengaruh IFN- γ. Granulomata mengucilkan mikroba dengan baik sehingga pusatnya menjadi hipoksik dan sel menjadi nekrotik yang menyerupai keju. Nekrosis dengan perkejuan ini merupakan ciri khas tuberkulosis. Tabel 2. Mekanisme bakteri menghindari dari efektor imun Mekanisme menghindari efektor imun Contoh Bakeri ekstraseluler - Variasi antigenik - Pencegahan aktivasi komplemen - Resistensi terhadap fagosit - Reactive Oxygen Intermediate Bakteri intraseluler - Mencegah pembentukan fagosom - Reactive Oxygen Intermediate - Membran fagosom rusak, masuk ke dalam sitoplasma N.gonore, E.coli, S.typhii Banyak bakteri Pneumokokus Stafilokokus katalase positif M.tuberculosis, L.pneumofilia M.lepra L.monositogenes hemolisin Universitas Sumatera Utara

B. IMUNITAS TERHADAP VIRUS

Virus merupakan obligat intraseluler yang berkembang biak di dalam sel, sering menggunakan mesin sintesis asam nukleat dan protein pejamu. Dengan reseptor permukaan sel. Dengan reseptor permukaan sel, virus masuk ke dalam sel dan dapat menimbulkan kerusakan sel dan berbagai macam penyakit. Hal ini disebabkan karena replikasi virus yang mengganggu sintesis protein dan fungsi sel normal, efek sitopatik virus akibat sel terinfeksi dihancurkan dan mati. Virus nonsitopatik dapat menimbulkan infeksi laten dan DNA virus menetap dalam sel pejamu dan memproduksi protein yang dapat atau tidak mengganggu fungsi sel. Sistem imun nonspesifik dan spesifik berperan sebagai efektor dalam usaha mencegah infeksi dan mengeliminasi sel yang terinfeksi.

1. Imunitas nonspesifik

Prinsipnya adalah mencegah infeksi. Efektor yang berperan adalah IFN tipe I dan sel NK yang membunuh sel terinfeksi. Infeksi banyak virus disertai produksi RNA yang merangsang sekresi IFN tipe I oleh sel yang terinfeksi, melalui ikatan dengan reseptor Toll-like. IFN tipe I mencegah replikasi virus dalam sel terinfeksi dan sel sekitarnya yang tidak terinfeksi dengan menginduksi milieu anti-viral. Sel NK membunuh sel yang terinfeksi oleh berbagai jenis virus dan merupakan efektor imunitas penting terhadap infeksi dini virus, sebelum respon imun spesifik berkembang. Sel NK juga dapat mengenal sel terinfeksi yang tidak mengekspresikan MHC-I. Gambar 2. Efektor nonspesifik terhadap virus Universitas Sumatera Utara 2. Imunitas spesifik 2.1. Imunitas humoral Antibodi merupakan efektor dalam imunitas spesifik humoral terhadap infeksi virus. Antibodi diproduksi dan hanya efektif terhadap virus pada awal infeksi dimana virus masih terdapat di ekstraseluler sebelum masuk ke sel atau khusus untuk virus sitopatik, bila virus dilepas oleh sel terinfeksi yang dihancurkan. Antibodi dapat menetralisasi virus, mencegah virus menempel pada sel dan masuk ke dalam sel pejamu. Antibodi berikatan dengan envelope virus atau antigen kapsid. Untuk virus yang masuk ke tubuh melalui mukosa saluran nafas dan saluran cerna, IgA disekresi untuk melawan virus tersebut. Imunisasi oral terhadap virus polio bekerja untuk menginduksi imunitas mukosa tersebut. Antibodi juga dapat berperan sebagai opsonin yang meningkatkan eliminasi partikel virus oleh fagosit. Aktivasi komplemen juga ikut berperan dalam meningkatkan fagositosis dan mungkin juga menghancurkan virus dengan envelop lipid langsung.

2.1. Imunitas seluler

Eliminasi virus yang menetap di sel dilakukan oleh sel CD8 + CTL. Fungsi fisiologik utama CTL adalah memantau infeksi virus. CD8 + mengenal antigen virus yang sudah dicerna di sitosol, biasanya disintesis endogen yang berhubungan dengan MHC-I dalam setiap sel yang bernukleus. Untuk diferensiasi penuh, CD8 + memerlukan sitokin yang diproduksi sel helper CD4+ atau kostimulator yang diekspresikan pada sel terinfeksi. Bila sel terinfeksi adalah sel jaringan dan bukan APC, sel terinfeksi dapat dimakan oleh APC profesional seperi sel dendritik yang selanjutnya memproses antigen virus dan mempresentasikannya ke sel CD8+. Selanjutnya sel CD8+ berproliferasi secara masif selama infeksi virus dan kebanyakan sel yang berproliferasi adalah spesifik untuk beberapa peptida virus. Sel T yang diaktifkan berdiferensiasi menjadi CTL yang membunuh setiap sel bernukleus yang terinfeksi. Efek antivirus utama CTL adalah membunuh sel terinfeksi, mekanisme lain melalui aktivasi nuklease dalam sel terinfeksi yang menghancurkan genom virus dan sekresi IFN- γ yang memiliki aktivitas antivirus. Universitas Sumatera Utara Mekanisme virus mengindari respon imun : 1. Virus mengubah antigen mutasi Antigen merupakan sasaran antibodi atau sel T yang memiliki jumlah yang sangat besar terdiri dari strain yang berbeda genetiknya. Hal ini menyebabkan virus dapat menjadi resisten terhadap respon imun yang ditimbulkan oleh infeksi terdahulu, misalnya pandemi influenza. HIV-1 yang menjadi penyebab AIDS juga menunjukkan sejumlah variasi antigen. 2. Virus menghambat presentasi antigen protein sitosolik yang berhubungan dengan molekul MHC-I Akibatnya sel yang terinfeksi tidak dapat dikenali oleh sel CD8+CTL. Untuk keadaan seperti ini, sel NK dapat membunuh sel terinfeksi dengan virus teradaptasi tersebut, karena sel NK dapat diaktifkan tanpa bantuan molekul MHC-I. 3. Virus memproduksi yang mencegah imunitas nonspesifik dan spesifik Virus pox menyandi molekul yang dapat mengikat beberapa sitokin seperti IFN- γ, TNF, IL-1, IL-18 dan kemokin dan molekul-molekul tersebut dapat dilepas oleh sel terinfeksi dan dapat berfungsi sebagai antagonis sitokin. Virus sitomegalo memproduksi molekul yang homolog dengan protein MHC-I dan dapat berfungsi kompetitif untuk mengikat dan mempresentasikan antigen peptida. Virus Epstein-Barr memproduksi protein homolog dengan sitokin IL-10 supresif untuk makrofag sehingga virus dapat mencegah fungsi makrofag. 4. Virus dapat menginfeksi, membunuh atau mengaktifkan sel imunokompeten 5. HIV dapat tetap hidup dengan menginfeksi dan mengeliminasi sel T CD4+ yang merupakan kunci regulator respon imun terhadap antigen protein.

C. IMUNITAS TERHADAP JAMUR

Respon imun terhadap jamur belum banyak diketahui, namun diduga melibatkan sel T dan makrofag. Infeksi jamur biasanya hanya mengenai bagian luar tubuh saja. Tetapi beberapa jamur dapat menimbulkan penyakit sistemik yang berbahaya, biasanya memasuki paru dalam bentuk spora. Kelainan yang terjadi sangat bergantung dari derajat dan jenis respon imun pejamu. Gangguan dapat berupa manifestasi di saluran nafas, reaksi hipersensitivitas berat sampai kematian. Penyakit jamur mikosis sering terjadi Universitas Sumatera Utara namun kebanyakan hanya menimbulkan kesulitan pada pejamu yang immunokompromais. Neutrofil dan fagosit berperan dalam menyingkirkan infeksi jamur. Diduga mekanisme proteksi melalui mekanisme selluler, hal ini ditunjang dengan seringnya penderita HIV menderita infeksi jamur. Infeksi jamur sering disebut opportunistik, dimana dapat menimbulkan penyakit berat pada orang-orang yang immunokompromais seperti penderita AIDS, orang yang mendapat terapi kanker dan penolakan transplantasi yang menekan sumsum tulang dan respon imun. 1. Imunitas nonspesifik Efektor utamanya adalah makrofag dan neutrofil. Pasien dengan neutropenia sangat rentan terhadap infeksi jamur opprtunis. Neutrofil diduga melepas bahan fingisidal seperti Reactive Oxygen Intermediate dan enzim lisosom serta memakan jamur untuk dibunuh intraseluler. Kriptokokus neoformans dapat menghambat produksi sitokin TNF dan IL-12 oleh makrofag dan merangsang produksi IL-10 yang menghambat aktivitas makrofag. 2. Imunitas spesifik Cellular Mediated Immunity CMI merupakan efektor imunitas spesifik utama pada infeksi jamur. CD4 + dan CD8 + bekerjasama untuk menyingkirkan Kriptokokus neoformans yang cenderung mengkolonisasi paru dan otak pada pejamu immunokompromais. Infeksi Kandida sering mulai pada permukaan mukosa dan CMI diduga dapat mencegah penyebarannya ke jaringan. Pada semua keadaan tersebut, respon Th1 adalah protektif sedangkan respon Th2 dapat merusak pejamu.

D. IMUNITAS TERHADAP PARASIT

Golongan parasit berupa protozoa malaria, tripanosoma, toksoplasma, leishmania dan amuba, cacing, ektoparasit kutu, tungau menunjukkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas yang bermakna terutama di negara-negara sedang berkembang. Kebanyakan infeksi parasit bersifat kronis yang disebabkan oleh imunitas nonspesifik yang lemah dan kemampuan parasit untuk bertahan hidup terhadap imunitas spesifik. Saat ini banyak antibiotik dan antiparasit yang tidak efektif lagi untuk membunuh parasit, terutama untuk masyarakat di daerah endemis yang berulangkali terpajan. Universitas Sumatera Utara Vaksin terhadap parasit juga belum berkembang, hal ini disebabkan vaksinasi sulit memberi proteksi terhadap protozoa karena memerlukan faktor humoral IgG diduga berperan penting dan seluler. Pada malaria, antibodi diduga protektif mencegah merozoit memasuki sel darah merah. Imunitas terhadap jenis spesies yang satu tidak protektif terhadap spesies yang lain. Tripanosoma terus menerus menguji sistem imun dengan memproduksi pirogen dan mantel antigen yang berubah-rubah mutasi sehingga sulit dikenali dan dieliminasi sistem imun. Toksoplasma melepaskan diri dari efek sistem imun, dapat menutupi diri dengan laminin dan matriks protein ekstraseluler yang mencegah fagositosis dan kerusakan oksidatif. Respon seluler terhadap toksoplasma sangat efektif. Leishmania mempunyai kemampuan menginfeksi makrofag dan memerlukan respon seluler untuk eradikasinya. IFN- γ yang diperoduksi sel Th1 diduga merupakan sitokin terpenting untuk membunuh parasit. Sel T, terutama Tc, dapat menghancurkan parasit intraseluler, misalnya Tripanosoma cruzi. Limfokin yang dilepas oleh sel T yang disensitisasi dapat mengaktifkan makrofag untuk lebih banyak mengekspresikan resseptor untuk Fc dan C3, berbagai enzim dan faktor lain yang dapat meningkatkan sitotoksisitas. Tabel 3. Respon imun terhadap parasit yang menimbulkan penyakit Parasit Penyakit Mekanisme imunitas protektif utama Plasmodium Leishmania Tripanosoma Entamoeba histolitika Skistosoma Filaria Malaria Leishmaniasis mukokutan, diseminata Tripanosomiasis afrika Amebiasis Skistosomiasis Filariasis Antibodi dan CD8 + CTL Th1 CD4 + mengaktifkan makrofag unuk membunuh parasit yang dimakan Antibodi Antibodi, fagositosis ADCC atas peran eosinofil, makrofag CMI; peran antibodi? Universitas Sumatera Utara

1. Imunitas nonspesifik

Protozoa dan cacing mengaktifkan imunitas nonspesifik melalui mekanisme yang berbeda, mikroba tersebut dapat tetap hidup dan berkembang biak dalam sel pejamu karena mereka dapat beradaptasi dan menjadi resisten terhadap sistem imun pejamu. Respon imun nonspesifik terhadap protozoa adalah fagositosis, tetapi banyak parasit tersebut yang resisten terhadap efek bakterisidal makrofag, bahkan diantaranya dapat hidup dalam makrofag. Banyak cacing memiliki lapisan permukaan yang tebal sehingga resisten terhadap mekanisme sitosidal neutrofil dan makrofag. Beberapa cacing juga mengaktifkan komplemen jalur alternatif. Banyak parasit ternyata mengembangkan resistensi terhadap efek lisis komplemen.

2. Imunitas spesifik

Berbagai protozoa dan cacing berbeda dalam hal besar, struktur, sifat biokimiawi, siklus hidup dan patogenitasnya. Hal ini menimbulkan respon imun spesifik yang berbeda pula. Infeksi cacing biasanya terjadi kronik dan kematian pejamu akan merugikan parasit sendiri. Infeksi kronik menimbulkan rangsangan antigen yang persisten yang meningkatkan kadar immunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks imun. Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2 yang menghasilkan IgE dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit. Produksi IgE dan eosinofilia sering ditemukan pada infeksi cacing. Produksi IgE disebabkan sifat cacing yang merangsang subset Th2 sel CD4 + , yang melepas IL-4 dan Il-5. IL-4 merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil. Eosinofil lebih efektif dibanding leukosit lain olehkarena eosinofil mengandung granul yang lebih toksik dibanding enzim proteolitik dan Reactive Oxygen Intermediate yang diproduksi neutrofil dan makrofag. Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang nonspesifik. Reaksi inflamasi yang ditimbulkan diduga dapat mencegah menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna. Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis. Degranulasi sel mast basofil yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgGIgA dan melepas Universitas Sumatera Utara protein kationik, MBP dan neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui IgAIgG dan melepas superoksida, oksida nitrit dan enzim yang membunuh cacing. Pada filariasis limfatik, sumbatan oleh parasit di saluran limfe menimbulkan CMI kronis, fibrosis dan akhirnya limfedema berat. Investasi persisten parasit kronis sering disertai pembentukan kompleks antigen parasit dan antibodi spesifik yang dapat diendapkan di dinding pembuluh darah dan glomerulus ginjal sehingga menimbulkan vaskulitis dan nefritis. Penyakit kompleks imun dapat terjadi pada skistosoma dan malaria. Pada beberapa kasus, infeksi cacing tidak dapat dihancurkan dengan sistem imun yang telah disebut diatas. Dalam hal ini badan berusaha mengucilkan parasit dengan membentuk kapsul yang terdiri atas sel-sel inflamasi. Reaksi tersebut merupakan respon seluler terhadap pelepasan antigen kronik setempat. Makrofag yang dikerahkan, melepas faktor fibrogenik dan merangsang pembentukan granuloma dan fibrotik. Semua ini akibat pengaruh sel Th1 dan defisiensi sel T akan mengganggu kemampuan tubuh untuk membentuk granuloma dan kapsul. Pembentukan granuloma terlihat jelas di sekitar telur cacing skistosoma di hati. Mekanisme parasit menghindari sistem imun : 1. Pengaruh lokasi Banyak parasit terlindung dari sistem imun oleh karena letaknya yang secara anatomis tidak terpajan dengan sistem imun, misalnya parasit intraseluler seperti T.cruzi, leishmania, plasmodium, T.spiralis, E.histolitika atau cacing yang hdup dalam lumen saluran cerna. 2. Parasit mengubah antigen Tripanosoma afrika dapat mengubah antigen mantel permukaannya melalui proses variasi antigenik. Beberapa jenis malaria juga dapat melakukan hal ini. Ada dua bentuk variasi antigenik. Pertama adalah perubahan yang stage spesific dalam ekspresi antigen. Daam fase pematangan parasit memproduksi antigen yang berbeda dari fase infektif, misalnya fase sporozoit parasit malaria antigeik berbeda dari merozoit yang berperan pada infeksi kronis. Pada waktu respon imun berkembang terhadap infeksi sporozoit, parasit berdiferensiasi, mengekspresikan antigen baru sehingga antigen lama bukan lagi merupakan sasaran untuk eliminasi imun. Variasi antigenik yang terus Universitas Sumatera Utara menerus diduga ditimbulkan oleh adanya variasi terprogram dalam ekspresi gen yang menyandi antigen permukaan utama. Parasit lain menutupi dirinya dengan antibodi sehingga sistem imun pejamu tidak megenalnya. 3. Supresi sistem imun pejamu Parasit seperti larva T.spiralis, skistosoma dapat merusak sel limfoid atau jaringan secara langsung. Antigen yang dilepas parasit dalam jumlah besar mengurangi reflek respon imun pejamu. Anergi sel T ditemukan pada skistosomiasis berat yang mengenai hati dan limpa dan pada infestasi filaria. Mekanismenya belum jelas. Pada filariasis limfatik, infeksi kelenjar getah bening merusak arsitektur kelenjar dan mengakibatkan defisiensi imun. Defisiensi imun juga terjadi pada malaria dan tripanosomiasis afrika yang disebabkan karena produksi sitokin immunosupresif oleh makrofag dan sel T yang diaktifkan dan defek dalam aktivasi sel T. 4. Resistensi Parasit menjadi resisten terhadap respon imun selama menginvasi pejamu. Larva skistosoma bergerak dari paru dan selama migrasi tersebut mengembangkan tegumen yang resisten terhadap kerusakan oleh komplemen dan CTL. 5. Hidup dalam sel pejamu Protozoa menghindari respon imun dengan memilih hidup dalam sel pejamu atau dengan mengembangkan kista yang resisten terhadap efektor imun. Beberapa cacing hidup di lumen saluran cerna dan terlindung dari efektor CMI. HIPERSENSITIVITAS Hipersensitivitas atau ”alergi”, menunjukkan suatu keadaan dimana respon imun mengakibatkan reaksi yang berlebihan dan tidak sesuai yang merugikan inang. Reaksi itu secara khas terjadi pada orang tertentu setelah kontak kedua dengan antigen khusus alergen. Kontak pertama merupakan peristiwa awal yang diperlukan dan menginduksi sensitisasi terhadap alergen itu. Ada empat jenis reaksi hipersensitivitas utama yaitu Tipe I, II dan III adalah berperantara antibodi, sedang Tipe IV berperantara sel. Universitas Sumatera Utara Tipe I : Hipersensitivitas Segera Anafilaktik Hipersensitivitas jenis ini muncul sebagai reaksi jaringan yang terjadi dalam beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Kalau reaksi itu terjadi pada setiap anggota spesies, maka reaksi tersebut dinamakan anafilaksis. Kalau reaksi hanya terjadi pada anggota tertentu dari suatu spesies, keadaan ini disebut dengan atopi. Mekanisme umum pada hipersensitivitas segera melibatkan langkah-langkah berikut. Antigen menginduksi pembentukan antibodi IgE, yang mengikat erat bagian Fc- nya basofil dan sel mast. Beberapa minggu kemudian, kontak kedua dengan antigen yang sama mengakibatkan fiksasi antigen pada IgE yang terikat sel, pertautan silang molekul- molekul IgE dan pelepasan zat perantara secara farmakologik aktif dari sel dalam waktu beberapa menit. Zat perantara pada hipersensitivitas anafilaktik ialah : a. Histamin Histamin terdapat dalam keadaan telah terbentuk dalam trombosit dan dalam granula sel mast jaringan dan basofil. Pembebasan zat ini menyebabkan vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler, dan kontraksi otot polos. Obat antihistamin dapat menghambat tempat reseptor histamin dan relatif cukup efektif untuk rinitis alergika, tetapi tidak untuk asma. b. Prostaglandin dan Tromboksan Kedua zat ini berhubungan dengan leukotrien, dan diturunkan dari asam arakidonat lewat jalur siklooksigenase. Prostaglandin menyebabkan bronkokonstriksi dan dilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler. Tromboksan menggumpalkan trombosit. Zat perantara tersebut menjadi aktif hanya selama beberapa menit setelah dilepaskan, zat- zat itu dinonaktifkan dengan enzim dan disintesis lagi dengan kecepatan lambat. Terapi dan Pencegahan Reaksi Anaflaksis Tujuan terapi adalah melawan daya kerja zat perantara dengan mempertahankan saluran nafas, ventilasi dan fungsi jantung. Obat-obat yang dapat diberikan antara lain epinefrin, antihistamin, kortikosteroid, atau natrium kromolin. Natrium kromolin mencegah pelepasan zat perantara dari granula sel mast. Pencegahan dilakukan dengan Universitas Sumatera Utara mengenali alergen dengan tes uji kulit, kemudian menghindari kontak dengan alergen tersebut. Atopi Penyakit hipersensitivitas atopi menunjukkan predisposisi keluarga yang kuat dan berhubungan dengan kadar IgE yang tinggi. Predisposisi terhadap atopi jelas bersifat genetik, tetapi gejalanya diinduksi oleh alergen khusus, misalnya alergen lingkungan alergi pernafasan terhadap tepung sari, rumput atau debu rumah atau makanan alergi usus terhadap kerang atau kacang-kacangan. Manifestasi klinis berupa demam, asma, eksema, dan urtikaria. Banyak penderita memberi reaksi jenis segera terhadap uji kulit suntikan, tempelan, goresan dengan menggunakan antigen penyebab. Tipe II : Hipersensitivitas Sitotoksik Antibodi yang diarahkan pada antigen permukaan sel akan mengaktifkan komplemen atau efektor lain untuk merusak sel. Antibodi IgG atau IgM melekat pada antigen lewat daerah Fab dan bekerja sebagai suatu jembatan ke komplemen lewat daerah Fc. Akibatnya dapat terjadi lisis yang berperantara-komplemen, seperti yang terjadi pada anemia hemolitik, reaksi transfusi ABO, atau penyakit hemolitik Rh. Penisilin, Fenasetin dan Kuinidin, dapat melekat pada protein permukaan di sel darah merah dan memicu pembentukan antibodi. Antibodi autoimun semacam itu IgG kemudian bergabung dengan permukaan sel, dan mengakibatkan hemolisis. Infeksi tertentu seperti Mycoplasma pneumoniae dapat menginduksi antibodi yang bereaksi silang dengan antigen sel darah merah, mengakibatkan anemia hemolitik. Pada demam reumatik, antibodi terhadap Streptokokus grup A bereaksi silang dengan jaringan jantung. Pada sindrom Good-pasture, antibodi terhadap membran dasar ginjal dan paru-paru mengakibatkan kerusakan berat terhadap selaput melalui aktivitas leukosit yang ditarik oleh komplemen. Tipe III : Hipersensitivitas Komplek Imun Bila antibodi bergabung dengan antigen khususnya, maka akan terbentuk kompleks imun. Biasanya kompleks imun dengan cepat dibuang oleh sistem Universitas Sumatera Utara retikuloendotelial, tetapi kadang-kadang kompleks ini tetap bertahan dan diendapkan dalam jaringan, sehingga mengakibatkan beberapa penyakit. Pada infeksi bakteri atau virus, kompleks imun ini dapat diendapkan pada organ tubuh misal ginjal sehingga mengganggu fungsi organ tersebut. Pada penyakit autoimun, antigen ”self” dapat menimbulkan antibodi yang mengikat antigen organ dan diendapkan dalam organ sebagai kompleks, terutama dalam sendi artritis, ginjal nefritis, atau pembuluh darah vaskulitis. Dimanapun diendapkan, komleks imun ini mengaktifkan sistem komplemen, dan sel polimorfonuklear ditarik ke tempat itu, dimana sel-sel ini menyebabkan radang dan cedera jaringan. Reaksi hipersensitivitas tipe III yang khas adalah reaksi penyakit serum. Penyakit Serum Setelah injeksi serum asing atau obat tertentu, antigen perlahan-lahan dibersihkan dari sirkulasi, dan produksi antibodi dimulai. Adanya antigen dan antibodi secara serentak mengakibatkan pembentukan kompleks imun yang mungkin beredar atau diendapkan di berbagai tempat. Beberapa hari sampai 2 minggu setelah injeksi serum asing, menimbulkan gejala demam, urtikaria, artralgia, limfadenopati dan splenomegali. Gejala tersebut meningkat sementara antigen dibuang lewat sistem imun, dan gejala mereda bila semua antigen telah dibuang. Meskipun gejala baru tampak setelah beberapa hari, penyakit serum digolongkan sebagai reaksi segera, karena gejala-gejalanya muncul dengan cepat setelah terbentuk kompleks imun. Penyakit Kompleks Imun Contoh penyakit yang berhubungan dengan kompleks imun adalah glomerulonefritis akut pasca streptokokus. Gejala timbul beberapa minggu setelah terinfeksi streptokokus β-hemolitik grup A, terutama pada kulit. Kadar komplemen secara khas rendah, menimbulkan dugaan reaksi antigen antibodi. Tumpukan kental dari immunoglobulin dan C3 yang terlihat di sepanjang selaput dasar glomerulus yang diwarnai oleh imunofluoresensi, memberi kesan kompleks antigen-antibodi, namun antigen streptokokus jarang terlihat. Kemungkinan kompleks imun tersebut disaring oleh glomerulus, lalu memfiksasi komplemen , menarik polimorf, dan memulai proses peradangan. Universitas Sumatera Utara Tipe IV : Hipersensitivitas Berperantara Sel Lambat Hipersensitivitas berperantara sel merupakan fungsi limfosit T, bukan fungsi antibodi. Dikatakan respon lambat artinya respon dimulai beberapa jam atau hari setelah kontak dengan antigen dan sering berlangsung selama beberapa hari. Respon ini terutama terdiri dari infiltrasi sel berinti satu dan indurasi jaringan seperti yang terlihat pada uji kulit tuberkulin. Hipersensitivitas Kontak Hipersensitivitas berperantara sel ini terjadi setelah sensitisasi dengan zat kimia sederhana nikel, formaldehida, bahan dari tumbuhan, pemakaian obat topikal sulfonamida, neomisin, bahan-bahan kosmetik, sabun dan lain sebagainya. Molekul- molekul kecil tersebut memasuki kulit dan kemudian bertindak sebagai hapten melekat pada protein tubuh untuk bertindak sebagai antigen lengkap. Hipersensitivitas berperantara sel pun diinduksi, terutama dalam kulit. Bila kulit kontak lagi dengan zat penyebab, orang yang telah peka itu akan mengalami eritema, gatal-gatal, vesikasi, eksema atau nekrosis kulit dalam 12-48 jam. Pada sensitivitas kontak, sel yang membawa antigen mungkin berupa sel langerhans dalam epidermis. Hipersensitivitas Tipe-Tuberkulin Hipersensitivitas lambat terhadap antigen mikroorganisme yang terdapat dalam banyak penyakit menular dan telah digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis. Contoh khasnya adalah reaksi tuberkulin. Bila sejumlah kecil tuberkulin disuntikkan ke dalam epidermis pasien yang sebelumnya pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis, hanya sedikit reaksi segera yang muncul, indurasi dan kemerahan mencapai puncaknya pada 48-72 jam. Uji kulit positif menunjukkan bahwa orang tersebut pernah terinfeksi oleh penyebab, tetapi ini tidak berarti bahwa penyakitnya masih ada. Namun bila uji kulit negatif berubah menjadi positif menunjukkan infeksi baru dan mungkin sekarang masih aktif. Respon uji kulit yang positif dapat membantu diagnosis dan memberi sokongan untuk kemoprofilaksis atau kemoterapi. Contoh uji kulit yang lain adalah uji lepromin positif menunjukkan lepra tuberkuloid dengan imunitas berperantara sel yang aktif, sedang uji lepromin negatif menunjukkan lepra lepromatosa dengan imunitas berperantara sel yang terganggu. Pada infeksi jamur sistemik misalnya Universitas Sumatera Utara koksidioidomikosis, histoplasmosis, blastomikosis uji kulit jenis lambat yang positif terhadap antigen khusus membantu menentukan kontak terhadap organismenya. DEFISIENSI IMUN Pertama kali ditemukan oleh Bruton tahun 1953 dimana beliau menemukan hipogamaglobulinemia pada anak usia 8 tahun yang memiliki riwayat sepsis dan artritis lutut sejak usia 4 tahun disertai dengan otitis media, sepsis pneumokokus dan pneumonia.Analisa elektroforesis protein serum tidak menunjukkan fraksi globulin gama. Anak tersebut tidak menunjukkan respon imun terhadap imunisasi dengan tifoid dan difteri. Defisiensi itu merupakan salah satu jenis defisiensi jaringan limfoid yang dapat terjadi pada pria dan wanita. Kita harus mencurigai adanya defisiensi imun bila ditemukan tanda-tanda adanya peningkatan kerentanan terhadap infeksi rekuren, kronis, oportunistik, dan respon buruk terhadap antibiotika. Manifestasi lain munculnya hepatosplenomegali atau diare. Defisiensi imun dapat primer dengan dasar genetik yang relatif jarang dan sekunder yang lebih sering terjadi dan ditimbulkan oleh berbagai faktor sesudah lahir. Awitan gejala klinis penyakit defisiensi kongenital biasanya jarang di bawah usia 3-4 bulan, karena ada efek proteksi antibodi maternal. Organ tubuh yang sering terkena adalah saluran nafas yang diserang bakteri piogenik atau jamur. Gejala lain yang dapat terjadi pada defisiensi imun adalah ruam kulit, diare, pertumbuhan terganggu, hati dan limpa membesar, abses rekuren atau osteomielitis. Dapat terjadi penurunan resistensi terhadap virus, bila terjadi defisiensi seluler. DEFISIENSI IMUN NONSPESIFIK A. Defisiensi komplemen Defisiensi fungsi komplemen berhubungan dengan peningkatan insiden infeksi dan penyakit autoimun Lupus Eritematosus Sistemik LES. Komponen komplemen diperlukan tubuh untuk membunuh kuman, opsonisasi, kemotaksis, pencegahan penyakit automun dan eliminasi kompleks antigen antibodi. Kebanyakan defisiensi komplemen adalah herediter. Universitas Sumatera Utara

1. Defisiensi Komplemen Kongenital