Latar Belakang KEDUDUKAN PRESIDEN DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
2 Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara,
danatau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
3 Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit menyebutkan kekuasaan untuk membuat
perjanjian internasional dipegang oleh Presiden dan menekankan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk perjanjian internasional yang akan dibuat oleh Presiden. Pasal 11 ayat 1 UUD
1945 mengatur tentang perjanjian dengan negara lain dan diperlukannya persetujuan DPR, selanjutnya Pasal 11 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan terdapat jenis perjanjian internasional
lainnya yang harus memperoleh persetujuan DPR yaitu perjanjian internasional yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, danatau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang. Untuk
mengetahui makna frasa perjanjian internasional lainnya sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat 3 UUD 1945 maka diperlukan pengaturan lebih lanjut oleh suatu undang-undang.
Dewasa ini peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perjanjian internasional adalah UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Pasal 1 Huruf a UU Nomor
24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional sendiri mengartikan perjanjian internasional sebagai perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional
yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. UU Nomor 24 Tahun 2000 dengan demikian membatasi pengaturan hanya pada perjanjian
internasional yang diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik saja.
Lebih lanjut hubungan Presiden dan DPR dalam pembuatan suatu perjanjian internasional sebagai penerapan makna persetujuan DPR Pasal 11 UUD 1945 diatur dalam Pasal 9 ayat 1
dan 2 UU Nomor 24 Tahun 2000, menurut pasal tersebut perjanjian internasional hanya akan disahkan melalui undang-undang atau keputusan presiden apabila perjanjian internasional
tersebut mempersyaratkan pengesahan. Pasal 9 ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2000 karena itu memberi batasan kriteria bahwa hanya pada perjanjian internasional yang mensyaratkan adanya
pengesahan saja persetujuan DPR diharuskan.
Pengesahan melalui Undang-Undang sebagaimana yang dimaksud Pasal 9 ayat 2 UU Nomor 24 Tahun 2000 harus terlebih dahulu memenuhi kualifikasi yang disyaratkan dalam Pasal 10 UU
Nomor 24 Tahun 2000 dengan ketentuan kriteria materi perjanjian internasional sebagai berikut:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara; d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. pembentukan kaidah hukum baru; f. pinjaman danatau hibah luar negeri.
Diaturnya kriteria perjanjian internasional yang disahkan melalui undang-undang bermakna tidak seluruh perjanjian dengan negara lain harus memdapatkan persetujuan DPR demikian pula
perjanjian internasional lainnya sebagaimana yang dimaksud Pasal 11 ayat 2 UUD Tahun 1945 karena terlebih dahulu mempertimbangkan apakah perjanjian internasional tersebut berkaitan
dengan beban keuangan negara yang dapat menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat atau tidak.
Batasan untuk perjanjian internasional yang memperoleh persetujuan DPR dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 adalah perjanjian yang diatur dalam Hukum Internasional serta berdampak pada
timbulnya hak dan kewajiban pada bidang hukum publik, perjanjian internasional yang mensyaratkan pengesahan dan ketentuan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000. UUD Tahun 1945
di sisi lain hanya memberi pertimbangan konstitusional pada aspek materi perjanjian saja, persoalan akan muncul ketika meski terdapat pembuatan perjanjian dengan materi yang diatur
dalam ketentuan Pasal 11 ayat 2 UUD Tahun 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 serta melibatkan unsur asing namun perjanjian yang dibuat tersebut tidak menimbulkan hak dan
kewajiban di bidang hukum publik dan tidak mensyaratkan pengesahan maka perjanjian tersebut dengan demikian tidak memerlukan persetujuan DPR. Berikut merupakan contoh-
contoh dari pertentangan yang pernah terjadi dalam praktek pembuatan perjanjian internasional di Indonesia.
Pada tahun 2010 DPR melakukan penolakan terhadap permohonan pemerintah kepada DPR tahun 2010 untuk mengesahkan Agreement between the Government of the Republic of Indonesia
and Government of the Russian Federation on Militarry-Technical Cooperation 2003
2
yaitu dengan sikap menolak usulan Rancangan Undang-Undang Kerjasama Teknik Militer Rusia dan
Indonesia.
Perbedaan pandangan mengenai usulan Rancangan Undang-undang tersebut bermula dari sikap pemerintah yang menilai bahwa perjanjian tersebut masuk pada kategori Pasal 10 huruf a UU
Nomor 24 Tahun 2000 karena berkaitan dengan masalah pertahanan. DPR dalam hal ini Komisi I justeru menilai meskipun menyangkut pertahanan , perjanjian ini bersifat teknis karena memuat
2
Dikutip dari : Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik di Indonesia Rafika Aditama , Bandung, 2010, hal. 87
prihal kegiatan produksi, pembelian dan pemeliharaan alat-alat militer. Perbedaan pandangan antara Presiden dan DPR berujung pada kesepakatan bahwa pengesahan Perjanjian tentang Kerja
Sama Teknik Militer Rusia dan Indonesia cukup dengan menggunakan Keputusan Presiden sebagaimana ketentuan Pasal 11 UU Nomor 24 Tahun 2000
Contoh berikutnya dapat diamati pada pengajuan permohonan uji Materiil UU No. 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi oleh 8 anggota DPR RI, dan berujung pada dikeluarkannya
putusan Mahkamah Konstitusi MK No. 20PUU-V2007 tanggal 17 Desember 2007 tentang Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-undang
Dasar 1945.
Permasalahan yang menjadi pokok perkara dalam kasus ini adalah keberatan 8 anggota DPR terhadap Pasal 11 ayat 2 UU Nomor 22 Tahun 2001. Ketentuan tersebut berbunyi, Setiap
Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang mengisyaratkan bahwa, pemerintah tidak
perlu meminta pertimbangan atau persetujuan kepada DPR jika mengadakan Kontrak Kerja Sama KKS sektor Migas dengan kontraktor asing. DPR hanya akan menerima sebatas salinan
kesepakatan setelah pemerintah dan kontraktor menandatangani KKS.
Menurut pendapat pemerintah sesuai dengan Pasal 1 huruf a UU Nomor 24 Tahun 2000 maka Kontrak Kerja Sama KKS sektor Migas antara BP Migas dengan kontraktor asing bukan
merupakan perjanjian internasional. Berbeda dengan pendapat pemerintah, para pemohon uji
materi berpandangan bahwa ketentuan pasal 11 ayat 2 UU Nomor 22 Tahun 2001 tersebut dianggap bertentangan dengan pasal 11 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar 1945.
3
Pada uraian dan contoh yang telah dikemukakan di atas meski telah jelas diatur dalam Pasal 11 UUD 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, masih
terjadi perbedaan pendapat dan kerancuan mengenai jenis-jenis perjanjian internasional yang dibuat Presiden dengan keharusan memperoleh persetujuan DPR. Karenanya penulis tertarik
untuk melakukan kajian terkait “KEDUDUKAN PRESIDEN DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL”.