Kajian Penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada Petani Padi di Kabupaten Tapanuli Selatan

(1)

KAJIAN PENERAPAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU

(PHT) PADA PETANI PADI DI KABUPATEN

TAPANULI SELATAN

T E S I S

Oleh

MUAINAH HASIBUAN

057004016/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

KAJIAN PENERAPAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU

(PHT) PADA PETANI PADI DI KABUPATEN

TAPANULI SELATAN

T E S I S

Oleh

MUAINAH HASIBUAN

057004016/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

KAJIAN PENERAPAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU

(PHT) PADA PETANI PADI DI KABUPATEN

TAPANULI SELATAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains

Dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUAINAH HASIBUAN

057004016/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(4)

Judul Tesis : KAJIAN PENERAPAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT) PADA PETANI PADI

DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN Nama Mahasiswa : Muainah Hasibuan

Nomor Pokok : 057004016

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS) Ketua

(Prof. Dr. Suwardi Lubis, MA) (Drs. Chairuddin, MSc) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa.B. M.Sc)


(5)

Telah diuji pada

Tanggal : 18 Maret 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS Anggota : 1. Prof. Dr. Suwardi Lubis, MA

2.

Drs. Chairuddin, M.Sc 3. Ir. Lahmuddin Lubis, MP 4. Dr. Dwi Suryanto, MS


(6)

ABSTRAK

Pengendalian Hama Terpadu ádalah teknologi pengendalian hama yang pendekatannya komprehensif berdasarkan ekologi yang dalam keadaan lingkungan mengusahakan pengintegrasian berbagai taktik pengendalian yang kompatibel satu sama lain serta mempertahankan kesehatan lingkungan dan menguntungkan bagi pihak lain.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Penerapan Pengendalian Hama Terpadu pada petani padi di Tapanuli Selatan.

Penelitian ini dilaksanakan di 6 kecamatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Selatan, 3 kecamatan yang ikut Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) dan 3 Kecamatan yang tidak ikut SLPHT. Dengan teknik pengumpulan data ádalah kuisioner. Dengan skala likert lima rintangan. Data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan regresi linier berganda.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa variable ekologi, ekonomi, dan teknologi dalam sistem pengendalian hama terpadu pada petani yang ikut SLPHT diperoleh koefisien regresi pada ekologi sebesar 0,106; pada ekonomi sebesar 0,100 dan pada varioabel teknologi diperoleh sebesar 0,077; sehingga diperoleh koefisien korelasi (r) sebesar 0,225 dan koefisien determinasi (R2) sebesar 0, 474; dengan F hitung sebesar 7,63 dan F tabel sebesar 3,11 pada taraf α sebesar 5 %.

Pada variabel ekologi, ekonomi, dan teknologi dalam sistem pengendalian hama terpadu pada petani yang tidak ikut SLPHT diperoleh koefisien regresi pada ekologi sebesar - 0,046; pada ekonomi sebesar – 0,189 dan pada variabel teknologi diperoleh sebesar 0,294; sehingga diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,125 dan koefisien determinasi R2 sebesar 0,353. dengan F hitung sebesar 3,75 dan F tabel sebesar 3,11 pada tarap α sebesar 5 %.

Faktor ekologi, ekonomi, dan teknologi berpengaruh nyata terhadap penerapan PHT bagi petani yang ikut SLPHT dan bagi petani yang tidak ikut SLPHT.

.

Kata Kunci : Pengendalian Hama Terpadu (PHT), Sekolah Lapang Pengendalian


(7)

ABSTRACT

Integrated Pest Control (IPM) is the technology using comprehensive approach base on ecology within environment attempts the integration of various compatable controls and to maintain the environment health and profitted farmers.

The objectif of study is to know the implementation of IPM to rice farmer in South Tapanuli.

The research was performed in 6 regions in South Tapanuli subdistricts, 3 regions belong to Farmer Field School (FFS) and 3 regions don’t belong to the FFS, Data was collecved using questioner and analysed using druble linier regretion.

The result of analyse on ecologycal variable, economy and technology of the Pest Integrated Control system of the farmers belong to the Farmer Field School was with regretion coefisien of ecology 0.106, economy 0.100 and technology variable 0.077. Total correlation coefision (r) was 0.225 and ditermination coefision (R2) 0.474. Where F value and F Tabel 7.63 and 3.11 respectively.

The regretion coefisien -0.146, economy – 0.189 and technology variable 0,294. The correlation coeficien (r) was 0.125 and ditermination coeficient (R2) 0.353, where F value and F Table were 3.75 and 3.11 respectively.

Ecologycal, economyc, and technology factor have significantly influencd toward the application of the Integrated Pest Control (IPM) of the farmers belong to the Farmer Field School (FFS) and also the aplication of Integrated Pest Control of the farmers don’t belong to the Farmer Field School give clear influences on their ecology, economy and technology factors

Key Words : Integrated Pest Control (IPM), Farmer Field School (FFS), rice farmer, South Tapanuli.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul

“Kajian Penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Pada Petani Padi Di Kabupaten Tapanuli Selatan”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan bagi mahasiswa yang hendak menyelesaikan pendidikan untuk mencapai gelar Magister Sains pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak menerima bantuan dan dukungan sepenuhnya dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Bapak Bapak Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS sebagai Ketua, Bapak Prof. Dr. Suwardi Lubis, MA dan Bapak Drs. Chairuddin, MSc sebagai anggota pembimbing, yang penuh dengan kesabaran dan ketulusan memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis guna kesempurnaan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc selaku Direktur Program Pasca Sarjana USU dan Prof.Dr. Alvi Syahrin, SH.MS serta Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc selaku Ketua dan Sekretaris Program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan atas kesempatan dan fasilitas yang


(9)

diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister.

Terima kasih juga disampaikan kepada seluruh masyarakat petani yang ada di Kecamatan Batang Toru, Kecamatan Batang Angkola, Kecamatan Padang Sidimpuan Timur, Kecamatan Sayur Matinggi, Kecamatan Siais, Kecamatan Marancar. Teristimewa buat Ayahanda, Ibunda, Abang dan adek-adekku semua yang selalu memberikan semangat dan dorongan buat penulis. Terutama adekku Madihah Hasibuan yang telah banyak membantu penulis dan terima kasih atas segala doa, dukungan serta pengobanan yang telah diberikan kepada penulis selama ini. Untuk teman-teman di kost Sofyan 82 terima kasih atas bantuan dan partisipasinya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan – rekan program Magister PSL Angkatan ’05 sekolah Pasca sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sehingga dapat memperbaiki dan menyempurnakan tesis ini.

Medan, Februari 2008


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Muainah Hasibuan

Tempat/Tanggal Lahir : Padang Sidimpuan/18 September 1981 Ayah : Musaddad Hasibuan

Ibu : Abidah Rangkuty Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam

PENDIDIKAN

1. Tahun 1994 Lulus dari SD Impres Padang Sidimpuan.

2. Tahun 1997 Lulus dari Sekolah Menengah Pertama dari SMP Negeri 1 Padang Sidimpuan.

3. Tahun 2000 Lulus dari Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 3 Padang Sidimpuan.

4. Tahun 2000 diterima di Jurusan Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian USU Medan, dan lulus Sarjana tahun 2004.

5. Tahun 2005 Bulan agustus melanjutkan studi pada Sekolah Pasca Sarjana (SPs) USU program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN……… 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Hipotesis Penelitian ... 9

1.5. Kegunaan Penelitian ... 9

1.6. Kerangka Penelitian……….. 10

II. TINJAUAN PUSTAKA……… 11

2.1. Pengertian Pengendalian Hama Terpadu ... 11

2.2. Sistem Pengendalian Hama Terpadu ... 13

2.2.1. Tujuan Pelaksanaan PHT ... 15

2.2.2. Sasaran dan Strategi PHT ... 15

2.2.3. Prinsip PHT ... 17


(12)

2.3.1. Pengertian Pestisida ... 18

2.3.2. Kerusakan Lingkungan akibat Pemakaian Pestisida... . 20

2.4. Deskripsi Daerah Penelitian……….. 24

III. METODE PENELITIAN... 29

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 29

3.2. Populasi dan Sampel ... 29

3.2.1. Populasi Penelitian……… 29

3.2.2. Sampel Penelitian……… 30

3.3. Pengumpulan Data ... 31

3.3.1. Data Primer……… 31

3.3.2. Data Skunder……… 32

3.4. Operasional Variabel ... 32

3.5. Analisis Data ... 34

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 36

4.1. Karakteristik responden……… 36

4.2. Analisis regresi sederhana dari masing – masing peubah pada Penerapan Pengendalian Hama Terpadu bagi responden yang ikut SLPHT di Kabupaten Tapanuli Selatan... 50

4.3. Analisis regresi ganda dari peubah Bebas Pada penerapan Pengendalian Hama Terpadu bagi responden yang ikut SLPHT Di Kabupaten Tapanuli Selatan………. 55

4.4. Analisis regresi sederhana dari masing – masing peubah pada Penerapan Pengendalian Hama Terpadu bagi responden yang tidak Ikut SLPHT di Kabupaten Tapanuli Selatan... 57

4.5 Pengujian Hipotesis……… 64


(13)

4.5.1. Hasil Uji F pada Petani yang Melaksanakan PHT

dan yang tidak melaksanakan PHT…………... 64

4.6. Pembuktian Hipotesis……… 65

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 66

5.1. Kesimpulan……… 66

5.2. Saran... 66

DAFTAR PUSTAKA ... . 67


(14)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1. Daerah kecamatan penelitian beserta luas wilayahnya... 24

2. Luas lahan sawah, pekarangan, tegal, ladang pengembalaan ditiap kecamatan daerah penelitian... 25

3. Jumlah penduduk di tiap kecamatan daerah penelitian tahun 2006... 25

4. Luas Tanam, Panen dan produksi perkecamatan tahun 2006 Kabupaten Tapanuli Selatan... 28

5 Jenis OPT padi yang ada ditiap Kecamatan tahun 2006 Kabupaten Tapanuli Selatan... 28

6. Jumlah peserta program PHT yang ikut SLPHT... 30

7. Jumlah peserta yang tidak ikut SLPHT... 30

8. Jumlah sampel di tiap kecamatan yang ikut SLPHT... 31

9. Jumlah sampel di tiap kecamatan yang tidak ikut SLPHT... 31

10. Karakteristik responden yang mengikuti SLPHT dan tidak mengikuti SLPHT pada daerah penelitian... 38

11. Penerapan PHT pada tanaman padi di Tapanuli Selatan pada petani yang ikut SLPHT dilihat dari aspek ekologi... 40

12. Penerapan PHT pada tanaman padi di Tapanuli Selatan pada petani yang ikut SLPHT dilihat dari aspek ekonomi... 43

13. Penerapan PHT pada tanaman padi di Tapanuli Selatan pada petaniyang ikut SLPHT dilihat dari aspek teknologi... 44

14. Penerapan PHT pada tanaman padi di Tapanuli Selatan pada petani yang tidak ikut SLPHT dilihat dari aspek ekologi... 45


(15)

15. Penerapan PHT pada tanaman padi di Tapanuli Selatan

pada petani yang tidak ikut SLPHT dilihat dari aspek ekonomi... 48 16. Penerapan PHT pada tanaman padi di Tapanuli Selatan

pada petaniyang ikut SLPHT dilihat dari aspek teknologi... 49 17. Pengaruh masing – masing peubah pada petani yang ikut SLPHT... 51 18. Pengaruh peubah bebas (X1,X2,X3) terhadap peubah terikat

petani yang ikut SLPHT... 56 19. Pengaruh masing – masing peubah pada petani yang ikut SLPHT... 58 20 Pengaruh peubah bebas (X1,X2,X3) terhadap peubah terikat


(16)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1. Kerangka pemikiran kajian penerapan pengendalian hama terpadu

(PHT) oleh petani padi di Kabupaten Tapanuli Selatan………... 10

2. Grafik penerapan PHT ditinjau dari aspek ekologi... 52

3. Grafik penerapan PHT ditinjau dari aspek ekonomi... 53

4. Grafik penerapan PHT ditinjau dari aspek teknologi... 53

5. Grafik penerapan PHT ditinjau dari aspek ekologi pada petani yang tidak ikut SLPHT... 59

6. Grafik penerapan PHT ditinjau dari aspek ekonomi pada petani yang tidak ikut SLPHT... 60

7. Grafik penerapan PHT ditinjau dari aspek teknologi pada petani yang tidak ikut SLPHT... 60


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Karakteristik responden yang ikut PHT di Kecamatan Batang

Angkola... 71 2. Karakteristik responden yang ikut PHT di Kecamatan Batang

Toru... 72 3. Karakteristik responden yang ikut PHT di Kecamatan Padang

Sidimpuan Timur... 73 4. Karakteristik responden yang tidak ikut PHT di Kecamatan

Sayur matinggi... 74 5. Karakteristik responden yang tidak ikut PHT di Kecamatan

Marancar... 75 6. Karakteristik responden yang tidak ikut PHT di Kecamatan

Siais... 76 7. Data rekap kajian penerapan Pengendalian Hama Terpadu

pada petani padi di Tapanuli Selatan bagi petani yang ikut

SLPHT………...……… 77 8. Data rekap kajian penerapan Pengendalian Hama Terpadu

pada petani padi di Tapanuli Selatan bagi petani yang tidak ikut

SLPHT……….. 78 9. Kuisioner yang ikut PHT padi di Kabupaten Tapanuli

Selatan………... 79 10. Kuisioner yang tidak ikut PHT padi di Kabupaten Tapanuli

Selatan………... 86 11. Peta KabupatenTapanuli Selatan……….. 93 12. Peta Kecamatan Batang Angkola ... 94


(18)

13. Peta Kecamatan Batang Toru... 95

14. Peta Kecamatan Padang Sidimpuan Timur... 96

15. Peta Kecamatan Sayur matinggi... 97

16. Peta Kecamatan Marancar... 98


(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan ini merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Padi adalah salah satu makanan yang mengandung gizi yang cukup bagi tubuh manusia, sebab di dalamnya terkandung bahan – bahan yang mudah diubah menjadi energi. Zat yang dikandung oleh beras antara lain adalah karbohitrat, protein, lemak, serat kasar, abu dan vitamin. Disamping itu beras mengandung unsur – unsur mineral antara lain : kalsium, magnesium, sodium dan fosfor (Anonimus, 1990).

Tanaman padi merupakan sumber pangan utama yang sangat penting guna pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Sampai saat ini padi termasuk salah satu komoditas yang mendapat prioritas pengembangan dari tahun ke tahun. Kebutuhan pangan terutama beras bagi bangsa Indonesia semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk telah mendorong pemerintah untuk melaksanakan program peningkatan produksi padi.

Bagi negara agraris seperti Indonesia, peran sektor pertanian sangat penting dalam mendukung perekonomian nasional, terutama sebagai penyedia bahan pangan, sandang dan papan bagi segenap penduduk, serta penghasil komoditas ekspor non migas untuk menarik devisa. Lebih dari itu, mata pencaharian sebahagian besar rakyat Indonesia bergantung pada sektor pertanian. Namun ironis sekali, penghargaan


(20)

masyarakat umum terhadap pertanian relatif rendah dibandingkan sektor lain seperti industri, pertambangan dan perdagangan. Hal ini menyebabkan penghargaan terhadap lahan pertanian pun terlalu rendah tidak proporsional dengan tingkat manfaatnya (Adimihardja, 2006)

Peningkatan intensitas pertanaman padi secara terus menerus akan menyebabkan perubahan ekologi dan terciptanya ekosistem pertanian monokultur. Hal ini merupakan faktor pendorong munculnya serangga – serangga tertentu yang dapat merusak tanaman. Untung (1993) menyebutkan agroekosistem pada sistem persawahan memiliki keragaman biotik dan genetik yang rendah dan bahkan cenderung semakin tidak beragam. Dalam keadaan demikian ekosistem pertanian padi sawah sangat mudah terjadi peningkatan populasi hama. Mahfudin (1995) menyatakan, pada kondisi demikian serangga hama akan meningkat populasinya apabila penggunaan pestisida tidak sesuai anjuran.

Persoalan pertambahan jumlah penduduk yang meningkat mengakibatkan bertambahnya jumlah permintaan bahan pangan. Konsep pengendalian hama terpadu sebagai gerakan pendekatan teknologi produksi pertanian berwawasan lingkungan muncul karena kegagalan cara pengendalian hama konvensional yang pada intinya mencoba menyederhanakan masalah perlindungan tanaman yaitu dengan menggunakan bahan kimiawi. Pengendalian kimiawi menimbulkan masalah baru resistensi hama, resurjensi, terbunuhnya musuh alami, terbunuhnya jasad bukan sasaran dan pencemaran (Metcalf dan Luckman, 1982).


(21)

Berbagai masalah timbul akibat penggunaan pestisida yang semakin tidak terkendali. Secara ekonomi dan teknologi pengendalian sudah tidak efisien dan cenderung merugikan sehingga mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan Inpres No. 3/ 1986 tentang pelarangan penggunaan 53 jenis insektisida untuk pengendalian hama, kemudian menjadi tonggak sejarah bagi penerapan Pengendalian Hama Terpadu untuk tanaman padi (Untung, 1993).

Pada awal tahun 1990-an, pengendalian hama dengan penggunaan pestisida dianggap cara yang paling aman dan baik. Namun anggapan tersebut berkurang dengan adanya laporan penelitian dan kasus – kasus yang terjadi akibat penggunaan DDT yang berlebihan. Beberapa jurnal penelitian entomologi dan ahli lingkungan melaporkan bahwa DDT dan sejenisnya dapat menimbulkan resistensi hama, ledakan hama, timbulnya hama sekunder, kontaminasi lingkungan, terdapatnya efek residu pada hasil pertanian dan peternakan serta mengganggu kesehatan manusia (Kusnaedi, 2001).

Tidak dapat dipungkiri bahwa pestisida merupakan komponen penting dalam mendukung keberhasilan peningkatan produksi pertanian, terutama pangan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa pestisida juga menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Untuk itu sejak lebih 20 tahun yang lalu, pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk menerapkan konsep pengendalian hama terpadu (PHT) dalam sistem produksi pertanian, terutama tanaman pangan (Setyanto dkk, 2006)


(22)

Apabila penggunaan pestisida harus dikurangi maka masalah yang kemudian muncul dan dihadapi petani sedunia adalah bagaimana cara penggunaan pestisida agar dapat dikurangi, tetapi kehilangan atau kerugian hasil akibat serangan hama dapat dihindari. Konsep PHT merupakan alternatif yang tepat untuk menjawab dilema tersebut karena PHT bertujuan untuk membatasi penggunaan pestisida sedikit mungkin, tetapi sasaran kualitas dan kuantitas produksi masih dapat dicapai. Secara global prinsip PHT sangat didorong oleh semakin meningkatnya kesadaran manusia terhadap kualitas lingkungan hidup dan pengembangan konsep pembangunan yang terlanjutkan. Usaha PHT merupakan salah satu bentuk usaha manusia untuk lebih mengefisienkan penggunaan sumberdaya alami dalam memenuhi kebutuhan manusia yang terus berkembang lebih luas.

Penerapan PHT sebagai dasar kebijaksanaan perlindungan tanaman dari serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) ditegaskan melalui Inpres No. 3 tahun 1986, kemudian diperkuat dengan Undang – Undang No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1995 Tentang perlindungan Tanaman. Dengan dikeluarkannya kebijaksanaan pemerintah bahwa pengendalian OPT dilakukan dengan menerapkan PHT, diperlukan suatu masa transisi untuk memasyarakatkan pemahaman PHT melalui pendidikan, penyuluhan, penyiapan sarana teknologi serta penyiapan sistem pelayanan yang diperlukan untuk penerapan PHT, sehingga tumbuh kesadaran untuk menerapkan PHT (Untung, 1993).


(23)

Program PHT di Indonesia dinyatakan sebagai kebijakan nasional pada tahun 1986 dan dalam pelaksanaannya telah memberikan efek yang sangat besar terhadap produksi pertanian nasional. Usaha untuk memperkenalkan PHT sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1979, setelah Indonesia mendapatkan pengalaman buruk dari serangan hama wereng coklat pada tahun 1975 – 1977. Usaha untuk pengendalian terhadap hama wereng ini, di Indonesia diikuti melalui pendekatan teknologi yang sangat sukses dan kemudian lebih sering disebut sebagai revolusi hijau (Roling, 1998 dalam Utama, 2003).

Konsep PHT muncul dan berkembang sebagai korelasi terhadap kebijakan pengendalian hama secara konvensional yang menekankan penggunaan pestisida. Penggunaan pestisida dalam rangka penerapan PHT secara konvensional menimbulkan dampak negatif yang merugikan baik ekonomi, kesehatan, maupun lingkungan sebagai akibat pestisida yang tidak tepat dan penggunaan yang berlebihan (Anonimus, 2004).

Dalam hal pengendalian di lapangan para petani sudah terbiasa memakai pestisida. Padahal penggunaan pestisida sering membawa kerugian yang besar baik secara langsung dan tidak langsung yakni berpengaruh tidak baik terhadap organisme yang bukan sasaran juga dapat menimbulkan resistensi bagi Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan Jasad Pengganggu Tanaman (JPT). Ditinjau dari segi ekonomi, penggunaan pestisida memerlukan biaya yang cukup besar. Meskipun begitu penggunaan pestisida termasuk taktik penting dalam konsep PHT. Penggunaan


(24)

pestisida dulu, kini dan yang akan datang tetap masih merupakan hal pokok yang terpenting dalam manajemen pengendalian OPT dan JPT dengan syarat pemakaian dosis yang tepat sesuai anjuran (Wardojo dkk, 1978).

Disamping segala keberhasilan pestisida, manusia semakin merasakan dampak negatif pestisida yang semakin memprihatinkan dan juga rasa tanggung jawab terhadap kelangsungan mahluk hidup di biosfer ini. Hal ini dibuktikan bahwa semakin banyaknya korban pestisida baik binatang ternak maupun manusia sendiri. Residu pestisida dalam makanan dan lingkungan semakin menakutkan manusia karena dari bukti penelitian ada indikasi bahwa pestisida tertentu dapat mendorong terbentuknya jaringan kanker. Disamping untuk meningkatkan kualitas pangan hal ini mendorong manusia untuk melihat kembali prinsip dasar yang berwawasan lingkungan (Untung, 1993).

Untuk mengatasi kekurangan pangan di masa mendatang perlu adanya terobosan peningkatan produksi padi. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa produktivitas padi masih dapat ditingkatkan melalui implementasi program PHT. Contohnya penerapan PHT di Karawang pada tahun 1995 hasil padi petani masih meningkat hingga 37% dengan penanaman varietas tidak tahan wereng dan meningkat 46,3% untuk varietas tahan wereng (Effendi, 2006).

Penerapan PHT di bidang pertanian diharapkan dapat merubah pola bercocok tanam yang lama yang kurang efisien dan efektif sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani itu sendiri. Pada prakteknya


(25)

pelaksanaan PHT tidak terlepas pula dari faktor – faktor yang dapat mempengaruhinya antara lain : lama pendidikan, luas usaha tani, tanggungan keluarga, pengalaman bertani dan umur petani (Mubyarto, 1986).

Indonesia dinilai berhasil dalam menerapkan dan mensosialisasikan PHT melalui proyek nasional PHT. Negara Indonesia juga termasuk pelopor dalam pelaksanaan PHT sebab telah lama mempunyai undang – undang yang menyebutkan secara eksplisit bahwa sistem PHT merupakan satu – satunya sistem untuk pengendalian PHT di tingkat petani, khususnya tentang pengelolaan penyakit tumbuhan. Kehilangan hasil akibat serangan penyakit pada tanaman padi rata – rata mencapai 15,1% dari potensi hasilnya dan kerugian di seluruh dunia mencapai 33 milyar USD selama 1988 – 1990 (Abadi,2006).

Kehilangan hasil akibat penyakit tumbuhan rata – rata mencapai 12,22% pada berbagai tanaman penting di dunia, karena permasalahan hama dan penyakit pada tumbuhan yang tetap tinggi setelah kebijakan subsidi pestisida dan kehadiran pencemaran lingkungan meningkat karena penggunaan pestisida. Pemerintah kemudian mengambil keputusan untuk menetapkan konsep PHT dengan Inpres No. 3 tahun 1986 kemudian dikeluarkan UU No. 12 Tahun 1992 tentang Budidaya tanaman yang menyebutkan bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem PHT. Program PHT nasional di Indonesia dinilai berhasil oleh lembaga Internasional seperti FAO, bahkan Indonesia kemudian dijadikan contoh pelaksanaan PHT bagi negara sedang berkembang di Asia dan Afrika. Keberhasilan pelaksanaan PHT pada


(26)

tanaman terlihat nyata pada dua hal yaitu menurunnya penggunaan pestisida dan meningkatnya rata – rata hasil panen (Abadi, 2006).

Di daerah penelitian pada tahun 1990/1991 – 1997/1998 sudah ada PHT tapi setelah tahun 1999/2000 ke atas tidak ada lagi PHT yang dibiayai atau didukung oleh pendanaan dari bagian proyek PHT. Sekarang PHT harus dijalankan sendiri setelah para petani mendapat pelajaran melalui SLPHT namun ada juga petani yang tidak ikut SLPHT, sehingga penulis ingin melakukan penelitian dengan judul Kajian Penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Pada Petani Padi Di Kabupaten Tapanuli Selatan. Untuk melihat bagaimana penerapan PHT setelah berakhirnya program PHT.

1.2. Perumusan masalah

Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah :

Bagaimanakah pendapat petani padi yang ikut SLPHT dan yang tidak ikut SLPHT mengenai aspek ekologi, aspek ekonomi dan aspek teknologi dalam PHT di Kabupaten Tapanuli Selatan dan bagaimana penerapan PHT pada petani padi di Kabupaten Tapanuli Selatan.


(27)

1.3. Tujuan penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui bagaimana PHT setelah adanya program SLPHT terhadap petani ditinjau dari aspek ekologi, aspek ekonomi dan aspek teknologi dalam PHT di Kabupaten Tapanuli Selatan.

1.4. Hipotesis Penelitian

Terdapat perbedaan penerapan PHT oleh petani padi yang ikut SLPHT dan yang tidak SLPHT di Kabupaten Tapanuli Selatan.

1.5. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai :

1. Penggunaan PHT agar memasyarakat di kalangan petani khususnya petani padi.

2. Untuk mengurangi penggunaan pestisida sehingga lingkungan aman dari pemakaian pestisida.


(28)

1.6. Kerangka Penelitian

UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 12 TAHUN 1992 TENTANG SISTEM BUDIDAYA

TANAMAN

Penerapan PHT

Petani SLPHT Petani Non SLPHT

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Kajian Penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Pada Petani Padi Di Kabupaten Tapanuli Selatan

Pendapat Petani Tentang

Aspek Ekologi Aspek Ekonomi Aspek Teknologi


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Pengendalian Hama Terpadu

Smith (1983) dalam Untung (1993) mendefinisikan PHT sebagai pengendalian hama yang menggunakan semua teknik dan metode yang sesuai dalam cara – cara yang seharmonis mungkin dalam mempertahankan populasi hama di bawah tingkat yang menyebabkan kerusakan ekonomi di dalam lingkungan dari dinamika populasi spesies hama yang bersangkutan. Pengendalian hama terpadu tidak hanya terbatas sebagai teknologi pengendalian hama yang berusaha memadukan berbagai teknik pengendalian termasuk pengendalian secara kimiawi yang merupakan alternatif terakhir, tetapi mempunyai makna yang lebih mendasar lagi. PHT adalah suatu konsep ekologi, falsafah, cara berpikir, cara pendekatan berdasar pada konsep, ekonomi dan budaya dengan menitikberatkan pada potensi alami seperti musuh alami, cuaca serta menempatkan manusia sebagai pengambil keputusan dalam pengelolaan usaha taninya.

Pengendalian Hama Terpadu adalah teknologi pengendalian hama yang didasarkan prinsip ekologis dengan menggunakan berbagai taktik pengendalian yang kompatibel antara satu sama lain sehingga populasi hama dapat dipertahankan di bawah jumlah yang secara ekonomik tidak merugikan serta mempertahankan kesehatan lingkungan dan menguntungkan bagi pihak petani (Oka, 1994).


(30)

Pengendalian Hama Terpadu merupakan dasar kebijakan pemerintah dalam melaksanakan kegiatan perlindungan tanaman. Penerapan PHT sebagai dasar kebijaksanaan perlindungan tanaman dari serangan OPT ditegaskan melalui Inpres No. 3 tahun 1986. Landasan hukum dan dasar pelaksanaan kegiatan perlindungan tanaman tersebut adalah dalam Undang – Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, dan juga Keputusan Menteri Pertanian tertuang dalam No. 887/kpts/OT/1997 tentang pedoman Pengendalian OPT.

Smith and Allen (1954); Stern et al; (1959) menyatakan bahwa PHT adalah suatu pendekatan yang menggunakan prinsip – prinsip ekologi terapan di dalam memadukan pengendalian secara hayati dan pengendalian secara kimiawi dalam menekan hama (Apple dan Smith, 1976). Pengendalian secara kimiawi hanya digunakan bila benar – benar diperlukan dan dengan cara yang sangat hati – hati sehingga sekecil mungkin gangguannya terhadap pengendalian hayati yang sudah ada.

Van den Bosh (1967) menyatakan bahwa kombinasi pengendalian hayati dan kimiawi saja tidak cukup. Oleh karena itu semua cara dan teknik pengendalian harus dipadukan ke dalam satu kesatuan untuk mencapai suatu haasil panen yang menguntungkan dan gangguan yang seminimal mungkin terhadap lingkungan.

Batasan/ defenisi pengendalian hama terpadu yang umum digunakan adalah sebagai berikut :


(31)

a. PHT adalah suatu sistem pengelolaan populasi hama yang memanfaatkan semua teknik pengendalian yang sesuai dengan tujuan untuk mengurangi populasi hama dan mempertahankannya pada suatu aras yang berada dibawah aras populasi hama yang dapat mengakibatkan kerusakan ekonomi (Smith dan Reynolds, 1966 dalam Untung, 2001; Apple dan Smith, 1976)

b. Batasan PHT secara bebas adalah suatu sistem pengendalian hama yang mengintegrasikan dua atau lebih cara pengendalian dalam suatu paket yang memenuhi persyaratan :

1. Secara teknik dapat diterapkan 2. Secara ekonomis menguntungkan

3. Secara sosial layak atau tidak bertentangan

4. Secara ekologis tidak atau sedikit mungkin mencemari lingkungan dan 5. Tidak mengganggu atau membahayakan serangga berguna atau fauna

berguna lainnya (Sastrosiswojo, 1990).

2.2. Sistem Pengendalian Hama Terpadu

Kebijakan Pemerintah mengenai penerapan PHT sebagai dasar kebijaksanaan perlindungan tanaman dari serangan OPT ditegaskan melalui Inpres No. 3 tahun 1986 diperkuat dengan disyahkannya UU. No. 12 Tahun 1992 Tentang Budidaya Tanaman yang menyatakan bahwa :


(32)

1. Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan system Pengendalian Hama Terpadu (PHT).

2. Pelaksanaan perlindungan tanaman dengan system PHT menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah

Kemudian dilengkapi dengan PP. No. 6 Tahun 1995 mengenai Perlindungan Tanaman. Dengan demikian keberhasilan dalam pengembangan penerapan PHT sangat tergantung kepada pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan kemauan petani untuk menerapkan PHT serta pengetahuan, keterampilan dan dedikasi petugas seperti Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dan Pengamat Hama Penyakit (PHP) (Rasahan dkk, 1999).

Penerapan PHT di lapangan adalah mendukung praktek pertanian yang lebih baik. Dalam jangka panjang pemasyarakatan PHT adalah ditujukan untuk menciptakan sistem pertanian yang berkelanjutan dengan sasaran pencapaian produksi yang tinggi, produk berkualitas, perlindungan dan peningkatan kemampuan tanah, air dan sumberdaya lainnya, pembangunan perekonomian desa agar makmur dan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi keluarga petani dan komunitas pertanian pada umumnya. Hal ini akan terlaksana pada beberapa dekade mendatang, karena pertanian berkelanjutan sampai saat ini belum memiliki model atau alternatif dalam hubungannnya dengan pertanian yang ekonomis yang dapat dirujuk. Pengembangan PHT dalam pertanian berkelanjutan didasari oleh resistensi hama terhadap insektisida sebagai dampak dari penerapan pertanian modern yang terbukti


(33)

telah menurunkan kualitas sumberdaya alam. Di lain pihak, pengembangan pertanian berkelanjutan juga di dasarai munculnya pertanian organik (Effendi, 2006).

2.2.1. Tujuan Pelaksanaan PHT

Adapun tujuan umum pelaksanaan PHT di Indonesia adalah

1. Memantapkan hasil dalam tahap yang telah dicapai oleh teknologi pertanian maju.

2. Mempertahankan kelestarian lingkungan. 3. Melindungi kesehatan produsen dan konsumen. 4. Meningkatkan efisiensi pemasukan dalam produksi.

5. Meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan petani (Oka, 1994).

Pengendalian Hama Terpadu tidak hanya memperhatikan sasaran jangka pendek, melainkan juga sasaran jangka panjang. Selain untuk tindakan pengendalian dan penekanan populasi organisme hama, PHT juga mempertimbangkan peranannya yang lebih luas dan hakiki sebagai bagian dari produksi tanaman dan pengelolaan lingkungan pertanian (Untung, 1993).

2.2.2. Sasaran dan Strategis PHT

Sasaran yang ingin dicapai oleh PHT adalah

1. Produktivitas pertanian terjamin pada taraf yang tinggi.


(34)

3. Keuntungan ekonomi yang diterima oleh petani maksimal.

4. Kandungan bahan berbahaya dalam produk – produk tidak melampaui baku mutu.

5. Fungsi – fungsi lingkungan dapat dipelihara.

6. Ketahanan sosial budaya yang kuat dimiliki petani dalam menjalankan usaha tani (Wasiati dan Soekirno, 1998).

Strategi yang diterapkan dalam melaksanakan PHT adalah memadukan semua teknik pengendalian OPT dan melaksanakannya dengan taktik yang memenuhi azas ekologi serta ekonomi. Semboyan PHT oleh petani dan bukan untuk petani dan petani menjadi ahli PHT dimaksudkan agar petani dapat menolong dirinya sendiridalam menghadapi masalah produksi, terutama hama yang menyerang tanamannya baik secara berkelompok maupun sendiri dengan cara ya efektif dengan lingkungan (Anonimus, 2004).

Dalam kaitan dengan PHT petani dihadapkan dengan pilihan baik atau buruk hasil yang diperoleh jika mengikuti PHT atau tidak. Pada PHT teknik perlakuan yang digunakan dalam pengendalian hama dengan melakukan tindakan pemantauan, pengambilan keputusan dan pengambilan tindakan sedangkan pada non PHT perlakukan dalam pengendalian hama yaitu dengan pemberantasan hama dengan penyemprotan pestisida pada tanaman secara berjadwal artinya pada waktu tertentu dan pada waktu pertumbuhan tanaman tertentu. Selain itu pada non PHT kebanyakan


(35)

pestisida yang digunakan bersifat racun dan membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan sekitarnya (Oka, 1994).

2.2.3. Prinsip PHT

Ada 4 prinsip dasar penerapan PHT adalah sebagai berikut : 1. Budidaya tanaman sehat

Dengan menggunakan paket teknologi produksi dan praktek agronomis untuk mewujudkan tanaman sehat.

2. Pelestarian dan pendayagunaan musuh alami

Melalui pengelolaan dan pelestarian faktor biotik dan abiotik agar mampu berperan secara maksimal dalam pengendalian populasi dan penekanan tingkat serangan OPT

3. Pengamatan mingguan secara teratur

Pengamatan hasil interaksi faktor biotik dan abiotik dan menimbulkan serangan OPT. Merupakan kegiatan penting yang mendasari pengambilan keputusan pengendalian.

4. Petani berkemampuan dan melaksanakan dan ahli PHT

Agar petani memiliki kemampuan dan kemauan untuk menetapkan tindakan pengendalian sesuai prinsip PHT dan berdasarkan hasil pengamatan melalui latihan dan pemberdayaan petani (Anonimus, 2004).


(36)

Pelaksanaan prinsip PHT antara lain mencakup sejauh mana petani mau melaksanakan pengamatan hama/penyakit tanaman secara teratur, bagaimana tata cara melakukan pengamatan hama/penyakit dan bagaimana tanggapan petani atas hasil usaha pengamatan yang telah dilakukan, pengambilan keputusan dalam kegiatan pengendalian hama/penyakit dan bagaimana kinerja petani dalam menyebarluaskan pengetahuan dan keterampilannya tentang PHT ke petani lainnnya (Darwis, 2006)

Konsep PHT merupakan koreksi terhadap kesalahan dalam pengendalian hama dan penyakit. Penggunaan pestisida memang telah memberikan kontribusi besar bagi peningkatan produksi tanaman, tetapi juga berdampak negatif terhadap lingkungan, seperti munculnya resistensi dan resurjensi beberapa jenis hama. Dalam bercocok tanam padi PHT tidak bisa diimplimentasikan sebagai suatu kegiatan yang mandiri, tetapi merupakan bagian dari sistem produksi. Tujuan utama dari usaha tani padi adalah mendapatkan hasil yang tinggi dengan keuntungan yang tinggi pula dalam proses produksi yang ramah lingkungan. Oleh karena itu PHT perlu diintegrasikan dan menjadi bagian penting dari budidaya padi yang baik (Hidayati, 2005)

2.3. Pestisida

2.3.1 Pengertian Pestisida

Pestisida adalah bahan kimia yang digunakan untuk mengendalikan perkembangan/ pertumbuhan dari hama, penyakit dan gulma. Pestisida secara umum


(37)

digolongkan kepada jenis organisme yang akan dikendalikan populasinya. Insektisida, herbisida, fungisida dan nematisida digunakan untuk mengendalikan hama, gulma, jamur tanaman yang patogen dan nematoda. Jenis pestisida yang lain digunakan untuk mengendalikan tikus dan siput (Alexander, 1977).

Dalam bidang pertanian pestisida merupakan sarana untuk membunuh jasad pengganggu tanaman. Dalam konsep PHT, pestisida berperan sebagai salah satu komponen pengendalian, yang harus sejalan dengan komponen pengendalian hayati, efisien untuk mengendalikan hama tertentu, mudah terurai dan aman bagi lingkungan sekitarnya. Penerapan usaha intensifikasi pertanian yang menerapkan berbagai teknologi seperti penggunaan pupuk, varietas unggul, perbaikan pengairan, pola tanam serta usaha pembukaan lahan baru akan membawa perubahan pada ekosistem yang seringkali diikuti dengan timbulnya masalah serangan jasad pengganggu. Cara lain untuk mengatasi jasad pengganggu selain menggunakan pestisida kadang – kadang memerlukan waktu, biaya dan tenaga yang besar dan hanya dapat dilakukan pada kondisi tertentu. Sampai saat ini hanya pestisida yang mampu melawan jasad pengganggu dan berperan besar dalam menyelamatkan kehilangan hasil (Sudarmo, 1991).

Penggunaan pestisida telah dianggap sebagai metode yang paling efektif dalam pengendalian hama dan penyakit. Oleh karena itu sejak dipergunakannya secara luas pestisida organik sintetik, maka pada masyarakat timbul pandangan atau pendapat bahwa tanpa pestisida tidak mungkin diperoleh produksi pertanian yang


(38)

tinggi atau dengan kata lain pestisida merupakan jaminan atau asuransi bagi tercapainya sasaran produksi (Wudyanto, 1997).

Pestisida merupakan bahan pencemar paling potensial dalam budidaya tanaman. Oleh karena itu perannya perlu diganti dengan teknologi lain yang berwawasan lingkungan. Pemakaian bibit unggul, pemakaian organik dan pestisida memang mampu memberikan hasil yang tinggi. Swasembada beras yang dicapai di Indonesia pada tahun 1984 tidak terlepas dari ketiga hal tersebut. Namun tanpa disadari praktek ini telah menimbulkan masalah dalam usaha pertanian itu sendiri maupun terhadap lingkungan (Hendarsih dan Widiarta, 2005).

2.3.2. Kerusakan Lingkungan Akibat Pemakaian Pestisida

Pestisida yang paling banyak menyebabkan kerusakan lingkungan dan mengancam kesehatan manusia adalah pestisida sintetik yaitu organoklorin. Tingkat kerusakan yang disebabkan senyawa organoklorin lebih tinggi dibandingkan senyawa lain karena senyawa ini tidak peka terhadap sinar matahari dan tidak mudah terurai (Said, 1994).

Dampak negatip penggunaan pestisida antara lain adalah :

1. Meningkatnya resistensi dan resurjensi organisma pengganggu tumbuhan (OPT)

2. Terganggunya keseimbangan biodiversitas termasuk musuh alami (predator) dan organisme penting lainnnya.


(39)

3. Terganggunya kesehatan manusia dan hewan. 4. Tercemarnya produk tanaman, air , tanah dan udara.

Meskipun pengendalian hama terpadu dengan menggunakan pestisida telah memberikan hasil yang nyata dalam menekan serangan hama dan penyakit tanaman dampak yang ditimbulkan sangat berbahaya. Oleh karena itu penggunaan pestisida perlu dikurangi atau dirasionalisasi baik melalui penerapan PHT secara tegas maupun pengembangan system pertanian organik yang lebih mengutamakan penggunaan musuh alami dan pestisida hayati

Pencemaran lingkungan terutama lingkungan pertanian disebabkan oleh penggunaan bahan – bahan kimia pertanian. Telah dapat dibuktikan secara nyata bahwa bahan – bahan kimia pertanian dalam hal ini pestisida, meningkatkan produksi pertanian dan membuat pertanian lebih efisien dan ekonomi. Pencemaran oleh pestisida tidak saja pada lingkungan pertanian tapi juga dapat membahayakan kehidupan manusia dan hewan dimana residu pestisida terakumulasi pada produk – produk pertanian dan pada perairan.

Sifat – sifat pestisida yang akan digunakan dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman harus sesuai dengan prinsip – prinsip PHT yaitu

1. Efektif menurunkan populasi hama sasaran yang sedang meningkat di atas ambang ekonomi.


(40)

3. Tidak menurunkan fungsi populasi musuh alami sebagai pengendali hama alami.

4. Pestisida yang sesuai sasaran sesuai dengan prinsip PHT.

Dalam kaitan penggunaan pestisida yang ideal, Miller (1993) memberikan kriteria sebagai berikut :

1. Membunuh hama yang menjadi target.

2. Tidak memiliki pengaruh terhadap kesehatan, baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap organisme yang tidak menjadi target.

3. Dapat terurai menjadi zat kimia yang tidak berbahaya dalam waktu singkat. 4. Mencegah perkembangan resistensi genetik pada organisme target.

5. Menghemat uang dibandingkan dengan tanpa melakukan usaha untuk mengendalikan spesies hama.

Salah satu faktor yang memicu letusan hama di ekosistem pertanian adalah penggunaan pestisida. Satu – satunya alternatif untuk mengurangi praktek penggunaan pestisida yang tidak bijaksana adalah dengan menerapkan PHT yang berorientasi pada kestabilan ekosistem dengan lebih mengutamakan berfungsinya proses pengendalian alami. PHT bukan hanya teknologi atau metode pengendalian hama tetapi merupakan suatu konsep, cara berpikir, cara pendekatan dari berbagai disiplin ilmu atau mengambil dari falsafah ilmu pengetahuan. Konsep PHT dikembangkan dalam bentuk strategi dan taktik penerapan di lapangan sesuai dengan ekosistem dan sistem masyarakat setempat. Taktik PHT dapat berubah sesuai dengan


(41)

keadaan waktu dan tempat, tetapi konsep dan prinsip PHT harus tetap atau konsisten (Untung, 1993).

Meskipun telah ditetapkan Undang – Undang yang membatasi penggunaan bahan kimia dalam pengendalian hama dan penyakit tumbuhan, namun dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya sesuai dengan sistem PHT, untuk mengurangi dampak negatif penggunaan pestisida dapat ditempuh beberapa cara antara lain hanya menggunakan pestisida yang lebih aman terhadap manusia dan lingkungan hidup dan penerapan budidaya residu minimum dan budidaya organik yaitu dengan cara pemanfaatan sistem pengendalian secara hayati (Setyanto, 2006).

Di seluruh dunia para petani dan keluarganya yang memakai pestisida atau tinggal dekat dengan orang lain yang memakai pestisida, maka para keluarga dan tetangga yang tinggal dekat mereka perlu diperhatikan. Ternak, ikan dan burung juga harus diperhatikan masyarakat dengan air atau makanan yang terkontaminasi pestisida harus diperhatikan. Perusahaan – perusahaan pembuat pestisida pengguna yang aman atau mengiklankan ramah lingkungan (Yayasan Duta Awan, 2007).


(42)

4. Deskripsi Daerah Penelitian Kabupaten Tapanuli Selatan

Kabupaten Tapanuli Selatan adalah salah satu Kabupaten yang terdapat di Propinsi Sumatera Utara. Sebahagian penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Tapanuli Selatan terletak antara 0o10’ s/d 1o50’ Lintang Utara dan 98o50’ s/d 100o10’ Bujur Timur dengan Luas Wilayah 12 261,55 km2. Ketinggian berkisar antara 0 – 1.915 m di atas permukaan laut. Batas – batas daerah yaitu

Sebelah Utara : Kabupaten Tapanuli Utara dan tapanuli Tengah Sebelah Timur : Propinsi Riau dan Kabupaten Labuhan Batu Sebelah Selatan : Propinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Madina Sebelah Barat : Samudra Indonesia dan Kabupaten Madina

(Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikulturara Tapanuli Selatan, 2006). Daerah Kecamatan Penelitian beserta luas wilayahnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Daerah kecamatan penelitian beserta luas wilayahnya

No. Kecamatan Luas wilayah (Ha) 1. Batang angkola 540.05

2. Batang Toru 490.14 3. Padangsidimpuan Timur 461.46 4. Sayur Matinggi 517.60 5. Marancar 88.79 6. Siais 395.34


(43)

Daerah kecamatan beserta Luas lahan sawah, Pekarangan, Tegal Ladang Pengembalaan di tiap Kecamatan daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Luas lahan sawah, pekarangan, tegal, ladang pengembalaan di tiap kecamatan daerah penelitian

No Kecamatan Lahan Sawah

Pekarangan dan Bangunan

Tegal/ Kebun

Ladang Pengembalaan 1. Batang Angkola 2.689 20 330 58 162

2. Batang Toru 2.048 136 1.662 422 219 3. Padangsidimpuan Timur 2.076 174 1.158 1.620 460 4. Sayur Matinggi 1.992 24 595 67 74 5. Marancar 1.196 54 581 519 89 6. Siais 409 23 2.561 2.800 - Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan HortikulturaTapanuli Selatan, 2006

Jumlah penduduk di tiap Kecamatan daerah penelitian Tahun 2006 terdapat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah penduduk di tiap kecamatan daerah penelitian Tahun 2006 No. Kecamatan Jumlah Penduduk

1. Batang Angkola 30.269 2. Batang Toru 33.568 3. Padang Sidimpuan Timur 27.293 4. Sayur Matinggi 36. 134 5. Marancar 8.951 6. Siais 20.459 Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan, 2006


(44)

Kecamatan Batang Angkola

Daerah Batang Angkola terletak di ketinggian 235 m – 250 m dpl dengan jumlah penduduk terdiri dari 34.396 jiwa.

Kecamatan Batang Angkola berbatasan dengan

Sebelaha utara : Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Sebelah Selatan : Kecamatan Sayur Matinggi

Sebelah Barat :Kecamatan Siais dan Kecamatan Muara Batang Gadis Kabupaten Madina

Sebelah Timur : Kecamatan Sosopan

Kecamatan Sayurmatinggi

Sebelah Utara : Kecamatan Batang Angkola Sebelah Selatan : Kabupaten Madina

Sebelah Barat : Kecamatan Siais Sebelah Timur : Kecamatan Sosopan

Kecamatan Padang Sidimpuan Timur

Sebelah Utara : Kecamatan Batang Angkola dan Sayur Matinggi Sebelah Selatan : Kabupaten Madina

Sebelah Barat : Kecamatan Padang Sidimpuan Barat Sebelah Timur : Kotamadya Sidimpuan


(45)

Kecamatan Batang Toru

Sebelah Utara : Kecamatan Padang Sidimpuan Barat Sebelah Selatan : Kabupaten Tapanuli Utara

Sebelah Barat : Kecamatan Siais Sebelah Timur : Kecamatan Marancar

Kecamatan Siais

Kecamatan ini terletak pada 350 m s/d 700 m dari permukaan laut. Dengan luas daerah 45.944 ha.

Sebelah Utara : Kecamatan Padang Sidimpuan Barat Sebelah Selatan : Kecamatan Batang Angkola

Sebelah Barat : Kabupaten Madina, Muara Batang Gadis Sebelah Timur : Kecamatan Pemko Padang Sidimpuan

Kecamatan Marancar

Sebelah Utara : Kecamatan Sipirok Sebelah Selatan : Padang Sidimpuan Sebelah Barat : Kecamatan Batang Toru


(46)

Tabel 4. Luas tanam, panen dan produksi perkecamatan tahun 2006 di Kabupaten Tapanuli Selatan

No. Kecamatan Tanam (Ha) Panen Produktivitas (Ton/Ha) Produksi (Ton) 1. 2. 3. 4. 5. 6. Batang Angkola Batang Toru

Padang Sidimpuan Timur Sayur Matinggi Siais Marancar 5,598 4,420 6,738 3,625 8,97 2,510 5,198 5,071 7,678 3,133 972 2,387 59,75 62,00 56,00 58,62 50,12 53,19 31,058 31,440 42,997 18,366 4,872 12,696 Jumlah 31,861 33,187 56,61 142,023 Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan HortikulturaTapanuli Selatan, 2006

Tabel 5. Jenis OPT padi yang ada di tiap Kecamatan tahun 2006 Kabupaten Tapanuli Selatan

No. Kecamatan Jenis OPT padi 1. 2. 3. 4. 5. 6. Batang Angkola Batang Toru

Padang Sidimpuan Timur Sayur Matinggi

Siais Marancar

tikus, tungro, walang sangit, kepinding tanah, hama putih, kresek

tikus, walang sangit, kepinding tanah tikus, walang sangit, kepinding tanah tikus, walang sangit, kepinding tanah, blast walang sangit, blast

tikus, walang sangit, kepinding tanah Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan HortikulturaTapanuli Selatan, 2006


(47)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Tapanuli Selatan di 6 Kecamatan yang ada di Tapanuli Selatan, 3 Kecamatan yang telah mengikuti Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yaitu Kecamatan Batang Angkola, Kecamatan Batang Toru, Kecamatan Padangsidimpuan Timur dan 3 Kecamatan yang tidak mengikuti SLPHT yaitu Kecamatan Sayur Matinggi, Kecamatan Siais, Kecamatan Marancar.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2007 sampai dengan Oktober 2007. .

3.2. Populasi dan Sampel

3.2.1 Populasi Penelitian

Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah peserta program PHT yang telah mengikuti Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yang ada di Kecamatan Batang Angkola, Kecamatan Batang Toru dan Kecamatan Padangsidimpuan Timur dan peserta program PHT ini berasal dari adanya program Nasional yaitu pada tahun 1990, dan yang tidak mengikuti Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yang ada di Kecamatan Sayur Matinggi, Kecamatan Siais dan Kecamatan Marancar.


(48)

Tabel 6. Jumlah peserta program PHT yang ikut SLPHT

No. Kecamatan Jumlah Peserta SLPHT (Orang) 1. Batang Angkola 100

2. Batang Toru 75 3. Padang Sidimpuan Timur 100 Jumlah 275

Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultuta Tapanuli Selatan,2006

Tabel 7. Jumlah peserta yang tidak ikut SLPHT

No. Kecamatan Jumlah Peserta yang tidak ikut SLPHT (Orang) 1. Sayur Matinggi 100

2. Siais 75 3. Marancar 100 Jumlah 275

Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultuta Tapanuli Selatan, 2006

3.2.2. Sampel Penelitian

Penarikan sampel dari populasi adalah dengan melakukan pengambilan sampel dengan tujuan tertentu atau secara sengaja. Agar sampel yang diambil representif maka dalam pengambilan sampel peneliti mengadakan survei awal untuk mengetahui kondisi lokasi penelitian.

Pemilihan sampel sebagai responden diambil secara acak sebanyak 30% dari masing – masing jumlah populasi petani SLPHT sehingga diperoleh responden sebanyak 83 orang. Proporsi jumlah sampel yang dipilih didasarkan pada pendapat Arikunto (1983) bahwa pemilihan sampel antara 10 – 15% dan 20 – 30% dan jumlah populasi sudah memadai.


(49)

Untuk lebih jelasnya pemilihan sampel sebagai responden pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 8 dan Tabel 9.

Tabel 8. Jumlah sampel berdasarkan Kecamatan yang ikut SLPHT No. Kecamatan Jumlah Petani SLPHT

(Orang)

Jumlah Sampel (30%) 1.

2. 3.

Batang Angkola Batang Toru Padangsidimpuan Timur

100 75 100

30 23 30 Jumlah 275 83 Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Tapanuli Selatan, 2006

Tabel 9. Jumlah sampel berdasarkan Kecamatan yang tidak ikut SLPHT No. Kecamatan Jumlah Petani SLPHT

(Orang)

Jumlah Sampel (30%) 1.

2. 3.

Sayur Matinggi Siais

Marancar

100 75 100

30 23 30

Jumlah 275 83

Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Tapanuli Selatan, 2006

3.3. Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan pengumpulan data sebagai berikut :

3.3.1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari petani melalui wawancara dengan petani dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner). Data yang dibutuhkan tentang karakteristik petani meliputi, umur, pendidikan, luas lahan, pengalaman


(50)

bertani, kepemilikan lahan, pendapat petani terhadap aspek ekologi, aspek ekonomi, aspek teknologi dalam pengendalian hama terpadu (PHT).

Adapun wawancara yang dilakukan dibagi atas dua bagian yaitu wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur. Wawancara terstruktur, dalam hal ini sebelum wawancara terlebih dahulu dipersiapkan daftar pertanyaan sebagai panduan yang akan dijawab oleh responden pada lembar jawaban yang telah disediakan. Sedangkan wawancara tidak berstruktur, dalam hal ini tidak ditetapkan daftar pertanyaan sebagaimana termasuk dalam wawancara terstruktur. Caranya agak sederhana dan bebas serta tidak bersifat formal, sehingga tidak menimbulkan kekakuan wawancara.

3.3.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari penelitian dokumentasi yang berasal dari berbagai sumber yaitu Biro Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan Hortikultura Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kantor Kecamatan di setiap daerah sampel penelitian.

3.4. Operasional Peubah

1. Penerapan PHT

a. Aspek ekologi terdiri dari : Hama


(51)

Kultur Teknis Mekanis

Waktu Pemberian pupuk Sistem pengairan

Jumlah penggunaan pupuk Penggunaan varietas Penggunaan musuh alami

b. Aspek ekonomi terdiri dari : Pendapatan

Produksi

Biaya pengendalian Pertemuan kelompok tani Kunjungan PHP dan PPL c. Aspek teknologi terdiri dari :

Agens hayati Pestisida Biopestisida

Waktu penyemprotan pestisida Frekuensi penggunaan pestisida Dosis


(52)

2. Pendapat petani padi tentang PHT Pengetahuan tentang PHT

Pelaksanaan PHT

Manfaat PHT Data dalam kuisioner dibuat dengan skala likert (Sugiono, 2000) dengan

kriteria keadaan sebagai berikut : 1 = Sangat tidak setuju

2 = Tidak setuju 3 = Kurang setuju 4 = Setuju

5 = Sangat setuju

3.5. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Regresi Linier Berganda (Multiple Linier Regression)

Y = a + b1x1 + b2x2 + b3x3 + e

Dimana :

Y = Pendapat petani X1 = Aspek ekologi X2 = Aspek ekonomi X3 = Aspek teknologi


(53)

a = Konstanta

b1 = Koefisien regresi X1 b2 = Koefisien regresi X2 b3 = Koefisien regresi X3


(54)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Responden

Data penelitian diambil dengan cara kuesioner dari 166 responden, 83 responden yang mengikuti SLPHT dan 83 responden yang tidak mengikuti SLPHT yang berasal dari 6 kecamatan, 3 kecamatan yang mengikuti SLPHT dan 3 Kecamatan yang tidak mengikuti SLPHT. Karakteristik responden dapat dilihat pada Tabel 10. Diketahui bahwa responden petani yang ikut SLPHT keseluruhan yang berjenis kelamin laki-laki 25 responden (30,12%), perempuan 58 responden (69,88%) untuk petani yang tidak ikut SLPHT keseluruhan yang berjenis kelamin laki – laki 38 responden (45,78%) dan perempuan 45 responden (54,22%)

Usia responden petani yang ikut SLPHT yang paling banyak berumur 31 s.d. 40 tahun (37,35%) dan pada yang tidak ikut SLPHT yang paling banyak berumur 42 s.d. 50 tahun (45,78%) berarti dapat dilihat bahwa petani yang ikut SLPHT umurnya lebih muda dibanding yang tidak ikut SLPHT sehingga semangat belajarnya masih kuat.

Pendidikan responden bagi petani yang ikut SLPHT yaitu 34 responden SD (40,96%), 26 responden SLTP (31,33%), 20 responden SLTA (24,10%), 2 responden diploma (2,41 %) dan 1 responden S1 (1,20%), dan bagi yang tidak ikut SLPHT 39

responden yang berpendidikan SD (46,99%), 24 responden SLTP (28.92%), 17 responden SLTA (20,48%), 1 responden diploma (1,20%) dan 2 responden S1


(55)

(2,41%). Dari sini dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan yang paling banyak dimiliki baik SLPHT dan yang tidak SLPHT adalah SD berarti tergolong pendidikannya masih rendah sehingga perlu sekolah unuk lebih memahami tentang PHT. Pada yang ikut SLPHT dapat dilihat bahwa pendidikan yang paling banyak adalah SD ini disebabkan karena ada syarat – syarat tertentu supaya bisa ikut SLPHT yaitu punya lahan sendiri, sudah mempunyai pengalaman bertani, punya lahan dan bisa menyewakan lahannya ke petani lain dan yang bisa memenuhi syarat – syarat itu kebetulan yang masih berpendidikan SD. Selain itu karena pendidikannnya rewndah mereka ingin meningkatkan tarap hidup dan lebih mendalami tentang pertanian maka merekapun ikut SLPHT.

Luas lahan bagi petani yang ikut SLPHT adalah 56 responden (67,47%) dari petani hanya mempunyai luas lahan <0,5 ha dan bagi yang tidak ikut SLPHT 53 responden (63,86%) dengan luas lahan 0,5 ha berati didaerah penelitian petani memiliki luas lahan yang masih sedikit.

Pengalaman bertani bagi yang ikut SLPHT paling banyak 5 s.d 15 tahun dengan jumlah responden 31 responden (37,35%) dan bagi yang tidak ikut SLPHT 16 s.d 30 tahun dengan jumlah responden 32 responden (27,71%) hal ini dikarenakan petani yang tidak ikut SLPHT lebih percaya cara bertanam yang turun temurun dari nenek moyangnya.


(56)

Tabel 10. Karakteristrk responden mengikuti SLPHT dan tidak mengikuti SLPHT pada daerah penelitian

Jumlah Uraian

SLPHT Tidak SLPHT

Jenis Kelamain

- Laki-laki -Perempuan

Usia (thn)

- <20 - 21 s/d 30 - 31 s/d 40 - 42 s/d 50 - >50 Pendidikan SD SLTP SLTA Diploma S1

Luas lahan (ha)

<0,5 0,6 s/d 2 2,1 s/d 3 3,1 s/d 5

Pengalaman Bertani

<5 5 s/d 15 16 s/d 30 31 s/d 40 >40 Kepemilikan Lahan Milik Sendiri Sewa Bagi hasil 25 (30,12%) 58 (69,88%) 1 (1,20%) 9 (10,84%) 31 (37,35%) 27 (32,35%) 15 (18,07%) 34 (40,96%) 26 (31,33%) 20 (24,10%) 2 (2,41%) 1 (1,20%) 56 (967,47%) 24 (28,92%) 1 (1,20%) 2 (2,41%) 12 (14,46%) 31 (37,35%) 7 (27,71%) 7 (8,43%) 10 (12,05%) 38 (45,78%) 31 (37,35%) 14 (17,87%) 25 (30,12%) 58 (69,88%) 1 (1,20%) 9 (10,84%) 31 (37,35%) 27 (32,35%) 15 (18,07%) 34 (40,96%) 26 (31,33%) 20 (24,10%) 2 (2,41%) 1 (1,20%) 53 (63,86%) 29 (34,94%) 1 (1,20%) 0 (0,00%) 9 (10,84%) 23 (27,71%) 10 (38,55%) 12 (14,46%) 31 (8,43%) 56 (67,47%) 25 (30,12%) 2 (2,41%)


(57)

Pada Tabel 10 dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh bahwa jumlah laki - laki yang ikut SLPHT Berjumlah 25 responden (30,12%) dan yang perempuan berjumlah 58 responden (69,88%) dan yang ikut SLPHT jumlah laki – laki berjumlah 38 responden (45,78%) dan yang perempuan berjumlah 45 responden (54,22%), berarti yang paling banyak melakukan SLPHT adalah perempuan hal ini disebabkan karena yang aktif di lapangan adalah perempuan dan lebih mau belajar SLPHT sedangkan yang laki – laki banyak yang bekerja berkebun, PNS, berdagang dan biasanya laki – laki turun ke sawah pada saat panen atau pada saat menggarap sawah dengan menggunakan traktor.

Kepemilikan lahan bagi yang ikut SLPHT yaitu 38 responden (45,78%) yang memiliki lahan sendiri dan yang tidak ikut SLPHT diperoleh 56 responden (67,47%), sewa 31 responden (37,35%) bagi yang ikut SLPHT bagi hasil 14 responden (17,87%) dan bagi yang tidak ikut SLPHT sewa 25 responden (30,12%) bagi hasil 2 responden (2,41%). Hal ini dapat dilihat bahwa di daerah penelitian yang dilakukan di Kabupaten Tapanuli Selatan petani yang tidak ikut SLPHT lebih banyak memiliki lahan sendiri ini diakibatkan warisan turun temurun dari nenek moyangnya. Jadi setiap petani di Tapanuli Selatan hampir memiliki lahan sendiri untuk penanaman padi. Sementara untuk tanah yang disewakan bagi yang tidak ikut SLPHT diperoleh 25 responden lebih banyak dari yang ikut SLPHT sedangkan untuk yang bagi hasil untuk yang ikut SLPHT lebih banyak yang bagi hasil dibandingkan yang tidak ikut SLPHT.


(58)

Secara terinci pendapat responden yang ikut SLPHT di Tapanuli Selatan dilihat dari aspek ekologi dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Penerapan PHT pada tanaman padi di Tapanuli Selatan pada petani yang ikut SLPHT dilihat dari aspek ekologi

1 2 3 4 5 No. Peubah

Fr % Fr % Fr % Fr % Fr %

1. Apakah menurut bapak/ibu setelah melakukan PHT populasi hama pada tanaman padi meningkat

41 49,39 16 19,27 13 15,66 13 15,66 0 0

2. Apakah menurut bapak/ibu setelah melakukan PHT populasi penyakit pada tanaman padi meningkat

41 49,39 14 16,86 16 19,27 12 14,45 0 0

3. Apakah bapak/ibu setuju setelah PHT pengendalian yang sering dilakukan adalah kultur teknis

5 6,02 4 4,81 15 18,07 49 59,03 10 12,04

4 Apakah bapak/ibu setuju setelah PHT pengendalian yang sering dilakukan adalah Mekanik

6 7,22 13 15,66 22 26,50 37 44,57 5 6,02

5 Apakah bapak/ibu setuju setelah PHT pengendalian yang sering dilakukan adalah kultur teknis dan mekanik

1 1,20 8 9,63 18 21,68 51 61,44 5 6,02

6. Apakah bapak/ibu setuju setelah PHT pengendalian yang sering dilakukan adalah kultur teknis mekanik dan pestisida.

7 15,66 8 9,63 11 13,25 42 50,60 15 18,07

7. Apakah bapak/ibu setuju setelah PHT tidak melakukan pengendalian sama sekali

13 15,66 29 34,93 26 31,32 12 14,45 3 3,61

8. Menurut bapak/ibu bagaimana

pemberian pupuk yang dilakukan setelah adanya PHT

3 3,61 17 20,48 57 68,67 5 6,02 1 1,20

9. Menurut bapak/ibu bagaimana

pemberian pupuk Urea dilakukan setelah adanya PHT

2 2,40 19 22,89 53 68,85 8 9,63 1 1,20

10. Menurut bapak/ibu bagaimana pemberian pupuk SP36 yang dilakukan setelah adanya PHT

1 1,20 45 54,21 25 30,12 11 13,25 1 1,20

11. Menurut bapak/ibu bagaimana pemberian pupuk KCL yang dilakukan setelah adanya PHT


(59)

12. Menurut bapak/ibu bagaimana pemberian pupuk ZPT yang dilakukan setelah adanya PHT

19 22,89 44 53,01 15 18,07 5 6,02 0 0

13. Bagaimana menurut bapak/ibu

jumlah penggunaan pupuk yang dilakukan setelah adanya PHT

3 3,61 24 28,91 9 10,84 47 56,62 0 0

14. Apakah bapak/ibu sering melakukan sistem pengairan teknis pada tanaman padi setelah adanya PHT

2 2,40 21 25,30 52 62,65 6 7,22 2 2,40

15. Apakah bapak/ibu sering melakukan sistem pengairan Setengah teknis pada tanaman padi setelah adanya PHT

9 10,84 41 49,39 24 28,91 5 6,02 4 4,81

16. Apakah bapak/ibu sering melakukan sistem pengairan Tadah hujan pada tanaman padi setelah adanya PHT

56 67,46 17 20,48 8 9,63 1 1,20 1 1,20

17. Apakah bapak/ibu setuju

penggunaan varietas mempengaruhi produksi tanaman

2 2,40 8 9,63 4 4,81 52 62,65 17 20,48

18. Apakah menurut bapak/ibu

penggunaan pestisida berpengaruh terhadap kelestarian

musuh alami?

0 0 7 8,43 1 1,20 39 46,98 36 43,37

19. Apakah bapak/ibu sering melakukan pengamatan mingguan setelah adanya PHT

4 4,81 12 14,45 38 45,78 16 19,27 13 15,66

Pada Tabel 11 pendapat petani mengenai aspek ekologi bagi petani yang ikut SLPHT yang mana dapat dilihat bahwa setelah melakukan PHT populasi hama dan penyakit pada tanaman padi 41 responden (49,39%) menjawab tidak meningkat jadi setelah adanya PHT populasi menurun. Petani juga setuju pengendalian yang paling banyak mereka gunakan adalah kultur teknis dan mekanik dengan responden sebanyak 50 responden (60,24%) dan sebanyak 29 responden (34,93%) menjawab bahwa petani tidak setuju setelah PHT petani tidak melakukan pengendalian sama sekali karena para petani menggunakan perangkap misalnya perangkap tikus. Waktu


(60)

pemberian pupuk setelah adanya PHT lebih jarang dengan responden sebanyak 57 responden (68,67%) sehingga petani SLPHT telah diajarkan bagaimana penggunaan pupuk yang berimbang bagi tanaman padi. Sistem Pengairan yang paling banyak dipakai pada petani padi yang ikut SLPHT yaitu sistem pengairan teknis dimana respondenyang menjawab sebanyak 52 responden (62,65%), untuk pengairan setengah teknis sebanyak 24 responden (28,91%) dan untuk tadah hujan sebanyak 8 responden (9,63%). Penggunaan varietas mempengaruhi produksi tanaman dengan jumlah responden menjawab 52 responden (62,65%) menjawab setuju berpengaruh ke tanaman. Varietas yang biasa dipakai petani yaitu IR 64, Citarum. Penggunaan pestisida berpengaruh terhadap musuh alami 36 responden (47,37%) menjawab berpengaruh. Pengamatan mingguan yang dilakukan petani lebih sering dengan 38 responden (45,78%) karena petani lebih mengetahui manfaat dengan dilakukannya pengamatan mingguan sehingga kerusakan yang ditimbulkan tidak melebihi ambang ekonomi. Selain itu dengan melakukan pengamatan mingguan petani akan mengetahui berapa banyak serangga dan musuh alami yang berada di pertanaman padi sehingga petani akan mengetahui apakah serangan dari hama dan penyakit pada tanaman padi sudah melewati batas ambang ekonomi atau belum, dari sini petani akan mengetahui cara pengendalian yang terbaik yang harus dilakukan dalam mengendalikan serangan hama yang ada di pertanaman padi.


(61)

Tabel 12. Penerapan PHT pada tanaman padi di Tapanuli Selatan pada petani yang ikut SLPHT dilihat dari aspek ekonomi

1 2 3 4 5

No. Peubah

Fr % Fr % Fr % Fr % Fr %

20. Apakah bapak/ibu

setuju dengan adanya penerapan PHT dapat meningkatkan

pendapatan

5 6,02 2 2,40 0 0 56 67,46 20 24,09

21 Apakah bapak/ibu

setuju dengan adanya penerapan PHT dapat meningkatkan produksi pertanian.

0 0 1 1,20 4 4,81 51 61,44 27 32,53

22 Apakah bapak/ibu

setuju dengan adanya penerapan PHT dapat mengurangi biaya pengendalian.

0 0 6 7,22 1 1,20 49 59,03 27 32,53

23 Apakah dengan

seringnya diadakan pertemuan kelompok tani pengetahuan bapak/ibu lebih meningkat

2 2,40 1 1,20 0 0 49 59,03 31 37,34

24 Apakah dengan

seringnya PHP dan PPL memberikan penyuluhanlebih

memperoleh

pengetahuan tentang cara meningkatkan produksi padi

1 1,20 1 1,20 0 0 39 46,98 42 50,60

Pada Tabel 12 pendapat petani yang ikut SLPHT mengenai aspek ekonomi sebanyak 56 responden (67,42%) menjawab pendapatan petani lebih meningkat karena berkurang pemakaian pestisida sebanyak 49 responden (59,03%) dengan adanya penyuluhan petani lebih memperoleh pengetahuan tentang peningkatkan


(62)

produksi padi dengan cara memakai varietas yang berlabel dan tahan dari serangan hama.

Tabel 13. Penerapan PHT pada tanaman padi di Tapanuli Selatan pada petani yang ikut SLPHT dilihat dari aspek teknologi

1 2 3 4 5 No

.

Peubah

Fr % Fr % Fr % Fr % Fr %

25. Apakah bapak/ibu dalam

mengendalikan hama atau penyakit sering menggunakan agens hayati

41 49,39 17 20,48 21 25,30 3 3,61 1 1,20

26. Apakah bapak/ibu dalam

mengendalikan hama atau penyakit sering menggunakan pestisida

15 18,07 39 46,98 23 27,71 1 1,20 5 6,02

27. Apakah bapak/ibu dalam

mengendalikan hama atau penyakit sering menggunakan pestisida yang berasal dari tumbuhan (Biopestisida)

33 39,75 29 34,93 12 14,45 7 8,43 2 2,40

28. Apakah bapak/ibu setuju waktu penyemprotan pestisida yang bapak/ibu lakukan lebih sering setelah melakukan PHT

12 14,45 47 56,62 9 10,84 12 14,45 3 3,61

29. Menurut bapak/ibu bagaimana frekuensi penggunaan pestisida yang dilakukan setelah adanya PHT

33 39,75 44 53,01 0 0 4 4,81 2 2,40

30. Apakah Bapak/ibu setuju dengan penggunaa pestisida yang bermerek Decis

7 8,43 15 18,07 24 28,91 26 31,32 1

1

13,25

31. Apakah Bapak/ibu setuju setelah menggunakan PHT dosis pestisida yang digunakan sesuai dengan sasarannya

1 1,20 6 7,22 6 7,22 52 62,65 1

8

21,68

32. Apakah bapak/ibu mengetahui jenis – jenis pestisida pada tanaman padi

2 2,40 6 7,22 25 30,12 45 54,21 5 6,02

33. Apakah bapak/ibu mengetahui cara penggunaan pestisida yang baik untuk kesehatan manusia dan lingkungan


(63)

Pada Tabel 13 pendapat petani yang ikut SLPHT mengenai aspek ekologi yaitu walaupun petani telah mengikuti SLPHT tapi sebanyak 41 responden (49,39%) menjawab belum pernah menggunakan agens hayati ini dikarenakan tenaga PHP dan PPL yang ada di lapangan masih kurang memberikan pengetahuan tentang agens hayati begitu juga dengan biopestisida sehingga petani tidak menggunakannya. Penyemprotan pestisida lebih berkurang 47 responden (56,62%) menjawab tidak sering lagi melakukan penyemprotan pestisida pada tanaman padi yang petani miliki. Dosis yang digunakan juga sesuai anjuran. Petani ini juga telah mengetahui jenis – jenis pestisida 45 responden (54,00%) menjawab yang mengetahui tentang jenis – jenis pestisida dan 46 responden (55,42%) yang mengetahui cara penggunaan pestisida yang baik untuk kesehatan manusia dan lingkungan.

Tabel 14. Penerapan PHT pada tanaman padi di Tapanuli Selatan pada petani yang tidak ikut SLPHT dilihat dari aspek ekologi

1 2 3 4 5 No. Peubah

Fr % Fr % Fr % Fr % Fr %

1. Apakah menurut bapak/ibu populasi hama pada tanaman padi meningkat

12 14,45 45 54 10 12,04 16 19,27 0 0

2. Apakah menurut bapak/ibu populasi penyakit pada tanaman padi meningkat

13 15,66 47 56,62 11 13,25 12 14,45 0 0

3. Apakah bapak/ibu setuju pengendalian yang sering dilakukan adalah kultur teknis

3 3,61 21 25,30 33 39,75 26 31,32 0 0

4. Apakah bapak/ibu setuju pengendalian yang sering dilakukan adalah Mekanik

1 1,20 26 31,32 36 43,37 20 24,09 0 0

5. Apakah bapak/ibu setuju pengendalian yang sering dilakukan adalah kultur teknis dan mekanik


(64)

6. Apakah bapak/ibu setuju pengendalian yang sering dilakukan adalah kultur teknis dan mekanik dan pestisida

2 2,40 18 21,68 11 13,25 47 56,62 5 6,02

7. Apakah bapak/ibu setuju tidak

melakukan pengendalian sama sekali

21 25,30 49 59,03 7 8,43 4 4,81 2 2,40

8. Apakah bapak/ibu sering melakukan pemberian pupuk pada tanaman padi

0 0 2 2,40 63 75,90 17 20,48 1 1,20

9. Apakah bapak/ibu sering melakukan pemberian pupuk Urea pada tanaman padi

2 2,40 0 0 55 66,26 25 30,12 1 1,20

10. Apakah bapak/ibu sering

melakukan pemberian pupuk SP36 pada tanaman padi

14 16,86 15 18,07 53 63,85 1 1,20 0 0

11. Apakah bapak/ibu sering

melakukan pemberian pupuk KCL pada tanaman padi

9 10,84 13 15,66 59 71,08 2 2,40 0 0

12. Apakah bapak/ibu sering

melakukan pemberian pupuk ZPT pada tanaman padi

39 46,98 30 36,14 13 15,66 1 1,20 0 0

13. Apakah menurut bapak/ibu jumlah penggunaan pupuk yang diberikan meningkat

8 9,63 20 24,09 42 50,60 13 15,66 0 0

14. Apakah bapak/ibu sering

melakukan sistem pengairan teknis pada tanaman padi

62 74,16 16 19,27 4 4,81 1 1,20 0 0

15. Apakah bapak/ibu sering

melakukan sistem pengairan Setengah teknis pada tanaman padi

31 37,34 12 14,45 37 44,57 0 0 3 3,61

16. Apakah bapak/ibu sering

melakukan sistem pengairan Tadah hujan pada tanaman padi

62 74,69 16 19,27 4 4,81 1 1,20 0 0

17. Apakah bapak/ibu setuju

penggunaan varietas mempengaruhi produksi tanaman

1 1,20 5 6,02 0 0 68 81,92 9 10,84

18. Apakah menurut bapak/ibu

penggunaan pestisida berpengaruh terhadap kelestarian

musuh alami?

1 1,20 1 1,20 12 14,45 69 83,13 0 0

19. Apakah bapak/ibu sering

melakukan pengamatan mingguan


(65)

Pada Tabel 14 pendapat petani mengenai aspek ekologi bagi petani yang tidak ikut SLPHT yang mana dapat dilihat populasi hama dan penyakit pada tanaman padi 45 responden (54,00%) menjawab sedikit meningkat untuk hama dan 47 responden (56,62%) menjwab sedikit meningkat untuk penyakit. Petani juga setuju pengendalian yang paling banyak mereka gunakan adalah kultur teknis dengan

responden yang menjawab sebanyak 26 responden (31,32%) dan sebanyak 49 responden (59,03%) menjawab bahwa petani tidak setuju bahwa petani tidak

melakukan pengendalian sama sekali karena walaupun tidak ikut SLPHT tapi para petani juga menggunakan perangkap untuk menangkap tikus. Waktu pemberian pupuk lebih sering dilakukan yaitu sebanyak 63 responden (75,90%). Jumlah penggunaan pupuk tetap sebanyak 42 responden (50,60%). Sistem Pengairan yang paling banyak dipakai pada petani padi yang tidak ikut SLPHT yaitu sistem pengairan teknis dimana responden yang menjawab sebanyak 4 responden (4,81%), untuk pengairan setengah teknis sebanyak 37 responden (44,57%) dan untuk tadah hujan sebanyak 4 responden (4,81%). Penggunaan varietas mempengaruhi produksi tanaman dengan jumlah responden menjawab 68 responden (81,92%) menjawab setuju berpengaruh ke tanaman. Varietas yang biasa dipakai petani yaitu IR 64. Penggunaan pestisida berpengaruh terhadap musuh alami 69 responden (83,13%) menjawab berpengaruh. Pengamatan mingguan yang dilakukan petani lebih sering responden yang menjawab responden 20 responden (24,09%) jadi lebih sedikit dibanding yang ikut SLPHT. Petani melakukan pengamatan mingguan untuk


(66)

mengetahui berapa banyak intensitas serangan hama dan penyakit yang sudah terjadi pada tanaman padi sehingga petani dapat memutuskan pengendalian apa yang sesuai yang harus mereka lakukan.

Tabel 15. Penerapan PHT pada tanaman padi di Tapanuli Selatan pada petani yang tidak ikut SLPHT dilihat dari aspek ekonomi

1 2 3 4 5 No. Peubah

Fr % Fr % Fr % Fr % Fr %

20. Apakah bapak/ibu setuju pendapatan meningkat meskipun belum ada program PHT

3 3,61 30 36,14 0 0 49 59,03 1 1,20

21 Apakah bapak/ibu setuju produksi meningkat meskipun belum ada PHT

2 2,40 12 14,45 20 24,09 49 59,03 0 0

22 Apakah bapak/ibu setuju produksi meningkat meskipun belum ada PHT

2 2,40 0 0 1 1,20 78 93,97 2 2,40

23 Apakah dengan seringnya diadakan pertemuan kelompok tani pengetahuan lebih meningkat

3 3,61 0 0 1 1,20 75 90,36 4 4,81

24 Apakah dengan seringnya PHP dan PPL memberikan penyuluhan lebih memperoleh pengetahuan tentang cara meningkatkan produksi padi

2 2,40 0 0 2 2,40 65 78,31 14 16,86

Pada Tabel 15 pendapat petani yang tidak ikut SLPHT mengenai aspek ekonomi yaitu sebanyak 49 responden (59,03%) menjawab bahwa dengan adanya PHT ini pendapatan petani lebih meningkat jadi responden yang menjawab


(67)

meningkat lebih sedikit dibangdingkan dengan yang ikut SLPHT dan produksi tanaman meningkat dengan responden yang menjawab sebanyak 49 responden (59,03%) menjawab dapat mengurangi biaya pengendalian dan pengetahuan masyarakat juga dapat meningkat, dengan adanya penyuluhan pada pertanian petani lebih memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang cara meningkatkan produksi padi dan cara bercocok tanam yang benar dengan cara memakai varietas yang berlabel, ada juga petani yang masih menggunakan varietas yang tidak berlabel dengan 75 responden (90,36%) menjawab pertemuan kelompok dapat meningkatkan pengetahuan petani.

Tabel 16. Penerapan PHT pada tanaman padi di Tapanuli Selatan pada petani yang tidak ikut SLPHT dilihat dari aspek teknologi

1 2 3 4 5 No. Peubah

Fr % Fr % Fr % Fr % Fr %

25. Apakah bapak/ibu dalam

mengendalikan hama atau penyakit sering menggunakan agens hayati

67 80,72 15 18,07 0 0 1 1,20 0 0

26. Apakah bapak/ibu dalam

mengendalikan hama atau penyakit sering menggunakan pestisida

4 4,81 0 0 55 66,26 20 24,09 4 4,81

27. Apakah bapak/ibu dalam

mengendalikan hama atau penyakit sering menggunakan pestisida yang berasal dari tumbuhan (Biopestisida)

68 81,92 12 14,45 3 3,61 0 0 0 0

28. Apakah bapak/ibu setuju waktu penyemprotan pestisida yang dilakukan lebih sering sebelum ada program PHT

2 2,40 17 20,48 50 60,24 14 16,86 0 0

29. Apakah menurut bapak/ibu frekuensi penggunaan pestisida yang dilakukan lebih sering sebelum ada PHT


(68)

30. Apakah Bapak/ibu setuju dengan penggunaan pestisida yang bermerek Decis

1 1,20 4 4,81 29 34,93 47 56,62 2 2,40

31. Apakah Bapak/ibu setuju dosis pestisida yang digunakan sesuai dengan sasarannya

1 1,20 2 2,40 11 13,25 68 81,92 1 1,20

32. Apakah bapak/ibu mengetahui jenis – jenis pestisida pada tanaman padi

4 4,81 10 12,04 48 57,83 20 24,09 1 1,20

33. Apakah bapak/ibu mengetahui cara penggunaan pestisida yang baik untuk kesehatan manusia dan lingkungan

3 3,61 3 3,61 55 66,26 22 26,50 0 0

Pada Tabel 16 pendapat petani yang tidak ikut SLPHT mengenai aspek ekologi yaitu sebanyak 67 responden (80,72%) menjawab belum pernah menggunakan agens hayati ini jadi masih lebih banyak petani yang SLPHT yang mengunakan agens hayati yaitu sebesar 49 responden (59,03%) yang tidak pernah menggunakan agens hayati. Begitu juga dengan Biopestisida. 50 responden (60,24%) menjawab penyemprotan yang dilakukan lebih sering dari petani menjawab kurang setuju. Dosis yang digunakan juga sesuai sasaran. Petani menjawab sebanyak 68 responden (81,92%). Petani yang tidak ikut SLPHT ini menjawab bahwa mereka tidak mengetahu jenis pestisida yaitu sebanyak 48 responden (57,83%) dan 55 responden (66,26%) tidak mengetahui penggunaan pestisida yang baik untuk kesehatan manusia dan lingkungan.

4.2. Analisis Regresi Sederhana dari Masing masing Peubah pada Penerapan Pengendalian Hama Terpadu bagi Responden yang Ikut SLPHT di Kabupaten Tapanuli Selatan

Setelah data diolah secara statistik dapat diketahui bahwa pengaruh dari masing-masing peubah bebas yaitu pada aspek ekologi, pada aspek ekonomi dan pada aspek teknologi terhadap penerapan PHT pada petani yang ikut SLPHT. Analisis


(69)

Regresi Sederhana dari Masing masing Peubah pada Penerapan PHT bagi Responden yang ikut SLPHT di Kabupaten Tapanuli Selatan dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Pengaruh masing-masing peubah pada petani yang ikut SLPHT

Nama Peubah B Std. Error Thit T table

1. Aspek Ekologi (L) Konstanta

Ekologi

17,349 0,118

1,470 0,027

11,805 4,443

1,99 1,99 Koefisien Korelasi

Koefisien Determinasi (R2) F hit

F table

0,443 0,196 19,74 3,96 2. Aspek Ekonomi (E)

Konstanta Ekonomi

19,839 0,184

1,789 0,082

11,9092 2,241

1,99 1,99 Koefisien Korelasi

Koefisien Determinasi (R2) F hit

F table

0,242 0,058 5,022 3,96 3. Aspek Teknologi (T)

Konstanta Teknologi

21.871 0,079

1,607 0,065

13,606 1,223

1,99 1,99 Koefisien Korelasi

Koefisien Determinasi (R2) F hit

F table

0,135 0,018 1,50 3,96


(70)

Pada Tabel 17 dapat diketahui bahwa persamaan regresi sederhana dari peubah bebas aspek ekologi, aspek ekonomi dan aspek teknologi terhadap peubah diperoleh masing-masing persamaan regresi adalah Y = 17,349 + 0,118; Y = 19,839 + 0,184 dan Y = 21,871 + 0,079. Masing - masing persamaan regresi tersebut diketahui konstanta sebesar 17,349 X1; 19,839 X2 dan 21,871 X3 bila aspek ekologi,

ekonomi dan teknologi dianggap konstan maka besarnya penerapan PHT masing-masing sebesar 17,349 X1; 19,839 X2 dan 21,871 X3. Aspek ekologi, aspek ekonomi

dan aspek teknologi menunjukkan bahwa kenaikan 1 skor ekologi, ekonomi dan teknologi akan menyebabkan kenaikan masing-masing sebesar 0,118, 0,184 dan 0,079 skor penerapan PHT, pada masing-masing harga konstanta dari setiap peubah yang diamati. Grafik persamaan regresi antara masing-masing peubah dapat dilihat pada Gambar 2, 3 dan 4.

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Observed Cum Prob

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Expe

cted C

um

Prob

Normal P-P Plot of Ekologi


(71)

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Observed Cum Prob

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Ex

pecte

d Cum

Pr

ob

Normal P-P Plot of Ekonom

Gambar 3. Grafik Penerapan PHT Ditinjau Dari Aspek Ekonomi

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Observed Cum Prob

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Exp

ec

ted C

um

Prob

Normal P-P Plot of Tehnologi


(72)

Hasil T-hitung dan F-hit dari peubah bebas aspek ekologi dan aspek ekonomi lebih besar dari T-tabel dan F-tabel yaitu masing – masing T-hit sebesar 4,443 dan 2,241, sedangkan F-hit masing-masing sebesar 19,74 dan 5,02 dengan demikian aspek ekologi dan aspek ekonomi berpengaruh nyata terhadap motivasi penerapan PHT, sedangakan T-hit dan F-hit dari peubah bebas aspek teknologi (1,223 dan 1,497) lebih kecil dari T-tabel dan F-tabel (1,99 dan 3,96) dengan demikian aspek teknologi berpengaruh tidak nyata terhadap motivasi penerapan PHT.

Harga kofisien korelasi (rhitung) dari masing-masing peubah bebas aspek

ekologi, aspek ekonomi dan aspek teknologi adalah 0,443; 0,242 dan 0,135, harga korelasi tersebut menunjukkan bahwa aspek ekologi, aspek ekonomi dan aspek teknologi hanya sebesar 44,3%, 24.2% dan 13,5% mempengaruhi motivasi penerapan PHT dan bila dibandingkan dengan probabilitas rtabel(5%) = 0,213 menunjukkan

bahwa faktor ekologi dan ekonomi berpengaruh nyata, sedangkan faktor teknologi berpengaruh tidak nyata terhadap motivasi penerapan PHT.

Dengan adanya penerapan PHT ini sangan mengurangi penggunaan pestisida yang ada di lapangan sehingga lingkungan aman dari pestida. Oka, (1994) yang menyebutkan bahwa dengan sangat menurunnya jumlah formulasi pestisida yang dipergunakan berikut frekuensi aplikasinya setelah PHT dapat diantisipasi bahwa pencemaran lingkungan fisik dapat ditekan sekecil – kecilnya. Selain itu resiko kegagalan produksi dapat diperkecil.


(73)

Para petani yang telah mengikuti SLPHT dengan sukarela mau meneruskan pengetahuan dan keteampilannya tentang PHT kepada rekan – rekan mereka yang belum sempat menikmati pelatihan dalam SLPHT. Dengan demikian terjadi proses difusi teknologi PHT secara alamiah dari petani ke petani (Oka, 1994) sehingga tidak begitu jelas dibedakan karena telah adanya penyebaran pengetahuan bagi yang tidak ikut SLPHT

4.3. Analisis Regresi Ganda dari Peubah Bebas (X1,X2,X3) pada Penerapan Pengendalian Hama Terpadu bagi Responden yang Ikut SLPHT di Kabupaten Tapanuli Selatan

Setelah data yang diperoleh dilapangan diolah secara statistik dapat diketahui bahwa pengaruh dari masing-masing peubah bebas yaitu aspek ekologi (X1), aspek

ekonomi (X2) dan aspek teknologi (X3) terhadap Penerapan Pengendalian Hama

Terpadu (PHT) pada petani yang ikut SLPHT di Kabupaten Tapanuli Selatan. Pengaruh masing – masing peubah ini memberikan pengaruh yang nyata bagi penerapan pengendalian Hama Terpadu. Hasil Analisis Regresi Ganda dari Peubah Bebas (X1,X2,X3) pada Penerapan Pengendalian Hama Terpadu bagi Responden yang


(74)

Tabel 18. Pengaruh peubah bebas (X1,X2,X3) terhadap peubah terikat pada petani

yang ikut SLPHT

Nama Peubah B Std. Error Thit T table

Konstanta Ekologi (X1)

Ekonomi (X2)

Teknologi (X3)

13,974 0,106 0,100 0,077

2,457 0,028 0,080 0,059

5,69 3,78 1,25 1,31

1,99 1,99 1,99 1,99 Koefisien Korelasi

Koefisien Determinasi (R2)

F hit

F table

0,474 0,225 7,63 3.11

Data penelitian yang terdapat pada Tabel 18 dapat diketahui bahwa persamaan regresi adalah Y = 13,974 + 0,106X1 + 0,100X2 + 0,077X3 hal ini

menunjukkan bahwa bilamana aspek ekologi (X1), aspek ekonomi (X2) dan aspek

teknologi (X3) dianggap konstan maka penerapan PHT di Kabupaten Tapanuli

Selatan sebesar 13,974 dan setiap kenaikan 1 skor aspek ekologi, ekonomi dan teknologi masing-masing menyebabkan kenaikan nilai penerapan PHT sebesar 0,106 untuk aspek ekologi ; 0,100 aspek ekonomi dan 0,077 aspek teknologi.


(1)

Lampiran 12. Peta Kecamatan Batang Angkola

MUAINAH HASIBUAN : KAJIAN PENERAPAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT) PADA PETANI PADI DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN, 2008.


(2)

(3)

Lampiran 14. Peta Kecamatan Padang Sidimpuan Timur

MUAINAH HASIBUAN : KAJIAN PENERAPAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT) PADA PETANI PADI DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN, 2008.


(4)

(5)

Lampiran 16. Peta Kecamatan Marancar

MUAINAH HASIBUAN : KAJIAN PENERAPAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT) PADA PETANI PADI DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN, 2008.


(6)