Latar Belakang Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum 4. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, M.Kn

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada umumnya sebagian besar merupakan pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, baik dari bank, penanaman modal, penerbitan obligasi maupun cara lain yang diperbolehkan, telah menimbulkan banyak permasalahan penyelesaian utang piutang dalam masyarakat. 1 Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang tersebut, lahirlah suatu perikatan di antara para pihak, dengan adanya perikatan maka masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. 2 Salah satu kewajiban dari debitor adalah mengembalikan utangnya sebagai suatu prestasi yang harus dilakukan. Apabila kewajiban mengembalikan utang tersebut berjalan lancar sesuai dengan perjanjian tentu tidak merupakan masalah. Permasalahan akan timbul apabila debitor mengalami kesulitan untuk 1 Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009, hal. 69. 2 H. Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: PT. Alumni, 2006, hal. 1. Universitas Sumatera Utara mengembalikan utangnya tersebut, dengan kata lain debitor berhenti membayar utangnya. 3 Apabila seorang debitor si berhutang dalam kesulitan keuangan untuk membayar, tentu saja para kreditor akan berusaha menempuh berbagai cara untuk menyelamatkan piutangnya, baik dengan cara mengajukan gugatan perdata kepada debitor ke pengadilan dengan disertai sita jaminan atas harta si debitor atau menempuh cara lain yaitu kreditor mengajukan permohonan ke pengadilan agar si debitor dinyatakan pailit. Jika kreditor menempuh cara yang pertama yaitu melalui gugatan perdata, maka hanya kepentingan kreditor si penggugat saja yang dicukupi dengan harta si debitor yang disita dan kemudian dieksekusi pemenuhan piutang dari kreditor, kreditor lain yang tidak melakukan gugatan tidak dilindungi kepentingannya. 4 Dalam hal debitor mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua utang kreditor, maka para kreditor akan berlomba dengan segala cara, baik yang sesuai dengan prosedur hukum, untuk mendapatkan pelunasan tagihan terlebih dahulu. Kreditor yang datang belakangan sudah tidak dapat memperoleh pembayaran lagi karena harta debitor sudah habis diambil oleh kreditor yang lebih dahulu. Hal ini sangat tidak adil dan merugikan baik kreditor maupun debitor sendiri. Berdasarkan alasan tersebut, lahirlah lembaga 3 Ibid. 4 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2008, hal. 6. Universitas Sumatera Utara kepailitan yang mengatur tata cara yang adil mengenai pembayaran tagihan-tagihan para kreditor, dengan berpedoman pada KUH Perdata Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1149 maupun pada ketentuan dalam Undang-Undang Kepailitan selanjutnya disebut dengan UUK sendiri. 5 Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu melakukan pembayaran terhadap utang dari para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan financial distress dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran, sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitor pailit tersebut secara proporsional prorate parte sesuai dengan struktur kreditor. 6 Kepailitan menurut UUK adalah “Sita umum atas kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas”. 7 Secara sederhana, kepailitan dapat diartikan sebagai suatu penyitaan semua aset debitor yang dimasukkan ke dalam permohonan pailit. Debitor pailit tidak 5 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, hal. 68. 6 Ibid, hal. 1 7 Lihat Pasal 1 butir 1 Undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004. Universitas Sumatera Utara serta merta kehilangan kemampuannya untuk melakukan tindakan hukum, akan tetapi kehilangan untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan di dalam kepailitan terhitung sejak pernyataan kepailitan itu. Atas putusan pailit tersebut debitor memiliki hak untuk melakukan upaya hukum yang merupakan langkah atau usaha yang diperlukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk memperoleh keputusan yang adil berupa kasasi maupun peninjauan kembali. Namun sesuai dengan putusan hukum kepailitan yang memiliki daya Uit Voerbaar Bij Vooraad atau putusan serta merta, keputusan yang menyatakan debitor pailit harus tetap dilaksanakan terlebih dahulu meskipun putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dalam prakteknya putusan serta merta yang dijalankan terlebih dahulu sebelum putusan hakim tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, banyak menimbulkan permasalahan. Permasalahan tersebut terjadi ketika putusan yang telah dilaksanakan tersebut dilakukan upaya hukum oleh pihak yang dikalahkan atau pihak ketiga yang merasa dirugikan, dan kemudian putusan tersebut dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi atau Mahkamah Agung. Demikian akan terjadi kesulitan dalam pemulihan pada keadaan seperti sediakala restitutie in intergum sebelum dilakukannya eksekusi. 8 8 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan I, Yogyakarta: Liberty, 1988, hal. 2 Universitas Sumatera Utara Mengenai pengaturan putusan serta merta telah diatur di dalam Pasal 180 ayat 1 Herzeine Inlandsch Reglement selanjutnya disebut HIR, Pasal 191 ayat 1 Rechtsreglement voor de Buitengewesten selanjutnya disebut RBg dan Pasal 54-57 Rv yang bunyinya sebagai berikut: 9 Pasal 180 ayat 1 HIR : “Ketua pengadilan negeri dapat memerintahkan supaya keputusan itu dijalankan lebih dahulu walaupun ada perlawanan atau banding, jika ada akta otentik, suatu tulisan tangan yang menurut peraturan yang berlaku mempunyai kekuatan bukti, atau jika ada keputusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap sebelumnya yang menguntungkan penggugat dan ada hubungannya dengan gugatan yang bersangkutan, demikian juga jika ada tuntutan provisi onil yang dikabulkan, dan dalam persengketaan hak milik”. Pasal 191 ayat 1 RBg: “Ketua pengadilan negeri dapat memerintahkan supaya keputusan itu dijalankan lebih dahulu walaupun ada perlawanan atau banding, jika ada akta otentik atau tulisan tangan yang menurut peraturan yang berlaku mempunyai kekuatan bukti atau jika ada putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap sebelumnya yang menguntungkan penggugat dan ada hubungannya dengan gugatan yang bersangkutan dan juga jika ada tuntutan provisionil yang dikabulkan dan dalam persengeketaan hak mililk”. Pengaturan mengenai putusan serta merta juga diatur di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA Nomor 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta Uit Voerbaar Bij Vooraad dan Provisionil dan SEMA Nomor 4 Tahun 2001 tentang Permasalahan Putusan Serta Merta Uit Voerbaar Bij Vooraad dan Provisionil. 9 Ridwan Syahrani, Himpunan Peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: Alumni, 1991, hal.214. Universitas Sumatera Utara Mengenai putusan serta merta pada perkara kepailitan diatur di dalam UUK terdapat dalam Pasal 8 ayat 7 yaitu: “Putusan atas permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud pada ayat 6 yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum”. Pelaksanaan putusan serta merta ini disebabkan pembentuk undang-undang menginginkan agar putusan pernyataan pailit dapat secepatnya dilaksanakan. Menyikapi hal tersebut Pasal 16 ayat 2 UUK mengatur bahwa “dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya Kasasi atau Peninjauan Kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh Kurator sebelum atau pada tanggal Kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan, tetap sah dan mengikat Debitor”. 10 Meskipun undang-undang telah mengatur bahwa perbuatan pengurusan atau pemberesan Kurator tetap sah dan mengikat Debitor walau dilakukan upaya hukum, hal ini terlihat bahwa upaya hukum yang dilakukan oleh debitor tidak memiliki kepastian hukum serta debitor tidak dapat menyelamatkan harta pailit sehingga tidak dapat dihindari kemungkinan terjadinya kerugian bagi kelangsungan usaha Debitor setelah pembatalan putusan pernyataan pailit oleh Mahkamah Agung karena bisa saja 10 Disriani Latifah, Eksekusi Putusan Pailit, https:staff.blog.ui.ac.iddisriani.latifah20081030eksekusi-putusan-pailit diakses pada tanggal 24 Juli 2014, pukul 20.10 WIB. Universitas Sumatera Utara yang berhasil dijual oleh Kurator tersebut adalah aset yang diperlukan untuk kelangsungan usaha Debitor. 11 Menurut pendapat Sutan Remy Sjahdeini, sebaiknya: “Undang-undang menentukan bahwa yang boleh dilakukan Kurator terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit itu adalah tugas pengurusan dan pemberesan atas harta pailit kecuali melakukan penjualan harta tetap yang merupakan harta yang mutlak diperlukan bagi kegiatan usaha atau bisnis Debitor, yang tanpa dimilikinya lagi harta itu oleh Debitor maka tidak mungkin lagi bagi Debitor untuk dapat melanjutkan usaha atau bisnisnya seandainya putusan pernyataan pailit itu dibatalkan”. 12 Sehubungan dengan sif at keputusan hakim dalam, perkara kepailitan “dapat dilaksanakan terlebih dahulu” atau Uit Voerbaar Bij Vooraad, maka layak kiranya apabila para hakim yang memeriksa perkara kepailitan untuk bertindak hati-hati dalam memutus perkara permohonan pailit, dan bagi Kurator yang didampingi oleh hakim pengawas dapat langsung menjalankan fungsinya untuk melakukan pengurusan dan pemberesan pailit pada waktu yang tepat dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pemberlakuan putusan serta merta pada dasarnya sebagai alat untuk mempercepat likuidasi terhadap harta-harta debitor untuk digunakan sebagai pembayaran utang-utangnya. Putusan ini tetap akan dilaksanakan walaupun upaya hukum telah diajukan oleh debitor terhadap putusan tingkat pertama, apabila ternyata dalam tingkat kasasi debitor dinyatakan menang dan tidak pailit, maka akan 11 Ibid. 12 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, Jakarta: Pustaka Grafiti, 2002, hal. 175. Universitas Sumatera Utara menimbulkan kesulitan dalam memulihkan keadaan harta kekayaan debitor tersebut. 13 Berbagai fenomena kepailitan yang sering terjadi menjadikan persoalan kepailitan ini menjadi persoalan yang penting. Untuk meminimalisir terjadinya permasalahan yang ditimbulkan oleh pelaksanaan putusan serta merta, hendaknya majelis hakim yang memeriksa perkara kepailitan benar-benar memperhatikan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam peraturan-peraturan yang berlaku dalam mengabulkan putusan serta merta. Salah satu kasus kepailitan PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia TPI, kepailitan diajukan oleh PT. Crown Capital Global Limited CCGL. PT. Crown Capital Global Limited merupakan perusahaan asal Inggris. Persidangan perkara No. 52Pailit2009PN.Niaga.Jkt.Pst ini dilaksanakan pertama kali pada tanggal 20 Oktober 2009. Kasus bermula dari adanya utang antara TPI dengan CCGL sebesar US53 juta. Utang tersebut timbul dari perjanjian jual beli utang yang ditandatangani CCGL dengan Fillago limited. Fillago sendiri merupakan pemilik dari Subordinated Bones obligasi yang disubordinasi yang diterbitkan oleh TPI. Obligasi itu diterbitkan pada tanggal 24 Desember 1996 dan jatuh tempo pada tanggal 24 Desember 2006. Pada 27 Desember 2004, Fillago mengalihkan kepemilikan obligasi itu pada Crown Capital yang diperjanjikan dalam Debt Sale and Purchase. Ketika jatuh tempo pada 24 Desember 2006, TPI tidak juga melunasi utangnya. Dalam permohonannya, Crown 13 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Op. Cit, hal. 47. Universitas Sumatera Utara Capital menyebut Asian Venture Finance Limited selaku kreditur lain. TPI berutang pada Asian Venture sebesar US10,325 juta, belum termasuk denda dan bunga. 14 Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 14 Oktober 2009 menyatakan TPI pailit, yang berarti terbukti bahwa bukti utang yang diajukan oleh CCGL adalah benar adanya dan TPI dinyatakan pailit dengan segala akibatnya. Salah satunya adalah dilaksanakannya putusan serta merta oleh kurator yang telah ditunjuk oleh hakim dalam amar putusan. Namun, pihak TPI kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung karena merasa keberatan atas keputusan pailit pada Pengadilan Niaga. Pada tanggal 15 Desember 2009, hakim pun memutuskan menolak untuk mempailitkan TPI, yang berarti bahwa TPI tidak jadi pailit dan kedudukannya sebagai debitor kembali seperti semula, akan tetapi sulit untuk memulihkan pada keadaan semula. Permohonan pemohon yang ingin menguji Pasal 16 ayat 1, Pasal 16 ayat 2 dan Pasal 69 UUK terhadap Pasal 28D ayat 1 dan Pasal 28H ayat 4 UUD 1945, kedudukan hukum si pemohon dan kewenangan MK sesuai dengan UUD maka MK berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan permohonan pemohon. Maka dari itu, pihak TPI mengajukan Judicial Review terhadap UUK terhadap Pasal 16 ayat 1, Pasal 16 ayat 2, dan Pasal 69 tentang wewenang kurator yang begitu luas dalam hal pengurusan dan pemberesan harta pailit. 14 http:www.hukumonline.comberitabacahol22456tpi-dimohonkan-pailit , diakses pada tanggal 22 September 2014, pukul 21.53 WIB. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan menyusunnya dalam tesis yang berjudul: Pelindungan Hukum Terhadap Debitor Yang Telah Dijatuhi Putusan Serta Merta Dalam Kepailitan.

B. Perumusan Masalah