Perlindungan Hukum Terhadap Debitor Yang Telah Dijatuhi Putusan Serta Merta Dalam Kepailitan

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DEBITOR YANG TELAH DIJATUHI PUTUSAN SERTA MERTA DALAM KEPAILITAN

TESIS

OLEH :

ASTRI ESTER SILALAHI 127011005/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DEBITOR YANG TELAH DIJATUHI PUTUSAN SERTA MERTA DALAM KEPAILITAN

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ASTRI ESTER SILALAHI 127011005/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Telah Diuji Pada

Tanggal : 3 Februari 2015

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum 3. Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum


(4)

SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda-tangan dibawah ini :

Nama : ASTRI ESTER SILALAHI

Nim : 127011005

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

JudulTesis : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DEBITOR YANG TELAH DIJATUHI PUTUSAN SERTA MERTA DALAM KEPAILITAN

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan, 16 Februari 2015 Yang membuat pernyataan


(5)

ABSTRAK

Putusan serta merta yaitu putusan yang dapat dilaksanakan atau dieksekusi terlebih dahulu meskipun putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Pelaksanaan putusan serta merta harus berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya masalah baru akibat pelaksanaan putusan serta merta itu sendiri. Salah satu masalah yang terjadi akibat pelaksanaan putusan serta merta adalah sulit melakukan pemulihan kembali atas harta pailit yang telah dieksekusi apabila pailit dibatalkan Mahkamah Agung. Hal tersebut akan merugikan debitor dan mengganggu kelangsungan usaha debitor itu sendiri. Sebagai contoh kasus TPI dengan CCGL. Penelitian ini membahas beberapa permasalahan yaitu mengenai putusan serta merta dalam hukum kepailitan, perlindungan hukum terhadap debitor yang telah dijatuhi putusan serta merta dalam hukum kepailitan, dan pertimbangan Mahkamah Konstitusi terhadap putusan judicial review Nomor 144/PUU-VII/2009.

Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Penelitian ini menggunakan teknik penelitian kepustakaan yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

Hukum kepailitan Indonesia mengenal adanya putusan serta merta , hal ini dapat dilihat dalam UUK terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang putusan serta merta tersebut. Pelaksanaan putusan serta merta harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam HIR/RBg, SEMA No.3 Tahun 2000 dan SEMA No.4 Tahun 2001. Ketentuan dalam UU Kepailitan dan ketetapan dalam SEMA No.3 Tahun 2000 dan SEMA No.4 Tahun 2001 mengenai pemberian uang jaminan yang nilai sama dengan objek/barang yang dieksekusi oleh pemohon eksekusi kepada pengadilan, merupakan ketentuan yang menjamin perlindungan hukum kepada si debitor apabila dikemudian hari pernyataan pailit dibatalkan. Kasus CCGL dengan TPI yang mendapat putusan akhir pailit TPI dibatalkan, menjadikan TPI mengajukan judicial review sebagai bentuk ketidakpuasan TPI terhadap kewenangan kurator yang dianggap terlalu luas dan telah merugikan TPI. Permohonan provisi maupun permohonan pokok TPI ditolak oleh Hakim MK dengan pertimbangan bahwa MK tidak berwenang untuk melakukan pemberhentian kurator, MK hanya memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara yang bersifat abstrak bukan konkret seperti kasus TPI, dan MK berpendapat bahwa mengenai kewenangan kurator yang dianggap terlalu luas, memiliki batasan-batasan yang diatur oleh UU kepailitan itu sendiri.

Berdasarkan penelitian ini, diharapkan agar hakim dalam menjatuhkan putusan serta merta benar-benar teliti dan hati-hati. Hakim harus menerapkan persyaratan-persyaratan yang diberikan oleh HIR/RBg dan SEMA No.3 Tahun 2000 dan SEMA No.4 Tahun 2001. Kepada ketua MA juga harus bertindak tegas kepada hakim-hakim yang tidak mengindahkan SEMA No.3 Tahun 2000 dan SEMA No.4 Tahun 2001 terutama tentang uang jaminan. Selain itu diperlukan adanya pengaturan


(6)

lebih jelas dan tegas dalam hal batasan-batasan kewenangan kurator guna menghindari penyalahgunaan wewenang kurator dalam melakukan tugasnya, dan pengaturan mengenai pertanggungjawaban kurator juga harus diperjelas agar dapat berjalan secara efektif, baik setelah kelalaian kurator terjadi atau tindakan kurator yang berpotensi menimbulkan kerugian atas harta pailit.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara Medan. Dalam memenuhi tugas inilah penulis menyusun dan memilih judul : “Perlindungan Hukum Terhadap Debitor Yang Telah Dijatuhi Putusan Serta Merta Dalam Kepailitan”. Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan didalam penulisan tesis ini, untuk itu dengan hati terbuka menerima saran dan kritik dari semua pihak, agar dapat menjadi pedoman dimasa yang akan datang.

Dalam penulisan dan penyusunan tesis ini, penulis mendapat bimbingan dan pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tidak ternilai harganya secara khusus kepada Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH, Mhum selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN serta Ibu T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum., masing-masing selaku anggota komisi pembimbing yang banyak memberi masukan dan bimbingan kepada penulis selama dalam penulisan tesis ini dan kepada Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum., dan Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan kritikan, saran serta masukan dalam penulisan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada:


(8)

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K). selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung SH. M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Ibu T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga para karyawan Biro Administrasi pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.

Secara khusus penulis menghaturkan terimakasih yang tak terhingga kepada ayahanda P. Silalahi dan Ibunda R. Purba, yang telah melahirkan, membesarkan, mendidik ananda dengan penuh kasih sayang dan segala doa serta semangat yang telah diberikan kepada penulis selama ini. Tak lupa penulis ucapkan kepada kakak dan abang penulis, Roy Gokma Silalahi, Dinna Handayani Purba, Pranto Sunandar Pardede, Anita Carolina Silalahi serta Keponakan penulis Alvaro Nathan Xaverio yang banyak memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini;

Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada rekan-rekan seperjuangan, khususnya rekan-rekan Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Felix Christian Adriano, Dini Novrina, Dian Afriani Lubis, Dewi Astuti Nasution, Dea


(9)

Riszka, Fella Eldyah, Sheila Aristyani, Nindya Sari Usman, Rachel Sheila dan kawan-kawan satu angkatan lain yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang terus memberikan motivasi, semangat dan kerjasama dan diskusi, membantu dan memberikan pemikiran kritik dan saran dari awal masuk di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara sampai saat penulis selesai menyusun tesis ini.

Penulis berharap semoga bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah. Akhirnya, semoga tesis ini dapat berguna bagi diri penulis dan juga bagi semua pihak khususnya yang berkaitan dengan bidang Kenotariatan.

Medan, Februari 2015


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR ISTILAH... x

DAFTAR SINGKATAN... xiv

BAB I Pendahuluan ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian... 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 12

1. Kerangka Teori... 12

2. Konsepsi ... 19

G. Metode Penelitian... 21

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 22

2. Sumber Data ... 23

3. Tenik Pengumpulan Data... 24


(11)

BAB II PUTUSAN SERTA MERTA DALAM HUKUM KEPAILITAN.... 26

A. Tinjauan Umum Tentang Putusan Serta Merta …….…………...…. 26

B. Pelaksanaan Putusan Serta Merta ...….… 38

C. Putusan Serta Merta Dalam Hukum Kepailitan ... 43

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DEBITOR YANG TELAH DIJATUHI PUTUSAN SERTA MERTA DALAM HUKUM KEPAILITAN... 48

A. Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Pengurusan Harta Pailit ... 48

B. Akibat Pernyataan Pailit Bagi Debitor ...………….. 61

C. Perlindungan Hukum Terhadap Debitor Yang telah Dijatuhi Putusan Serta Merta Dalam Hukum Kepailitan ... 68

BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PUTUSAN JUDICIAL REVIEW NOMOR 144/PUU-VII/2009 ... 77

A. Posisi Kasus ...……….… 77

B. Analisa Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi Terhadap Judicial Review... 83

BAB V Kesimpulan Dan Saran ………..….. 99

A. Kesimpulan ………... 99

B. Saran…....………... 101 Daftar Pustaka


(12)

DAFTAR ISTILAH

Abuse of power : penyalahgunaan wewenang

Actio Pauliana : hak yang diberikan undang-undang kepada setiap kreditor untuk menuntut pembatalan segala tindakan debitor yang tidak diwajibkan asal dapat dibuktikan bahwa pada saat tindakan itu dilakukan dapat merugikan kreditor.

Asas ultra petitum : dilarang mengabulkan sesuatu yang tidak diajukan dalam gugatan

A quo : ketentuan yang sama

Borgtocht : jaminan berbentuk orang

Business operation : operasi bisnis

Complicated : sangat rumit

Conceptus : suatu kegiatan atau proses berpikir

Conflict of interest : pertentangan kepentingan

Conservatoir beslag : sita terhadap harta benda milik tergugat

Daluwarsa : Lampau waktu

Debt Sale and Purchase : jual beli utang

Doctrinal : penelitian hukum normatif

Dubius : penafsiran mendua

Eksepsional : pengecualian yang sangat terbatas berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang

Erga omnes : putusan berlaku umum dan mengikat untuk

semua kasus di seluruh Indonesia

Esensial : hal yang mendasar

Ethos : kredibilitas sumber atau pembicara di mata para

pendengar/pembaca


(13)

Fakultatif : hakim tidak wajib mengabulkan akan tetapi dapat mengabulkan

Financial distress : kesulitan kondisi keuangan Generalisasi : secara umum

Gugur : tidak mempunyai kekuatan lagi

Handscrift : surat tulisan tangan

Inkracht van gewijsde : berkekuatan hukum yang tetap Imperatif : bersifat memerintah

Implementasi : penerapan

Independen : netral, tidak memihak salah satu

Instruksi : perintah

In natura : dalam bentuk fisik

Judicial Review : pengujian undang-undang

Justitiabelen : pencari keadilan

Liability Based on Fault : Prinsip Tanggung Jawab Karena Kesalahan

Library research : penelitian kepustakaan

Likuidasi : pemberesan terhadap harta debitor

Limitation of Liability : Prinsip Bertanggung Jawab Terbatas

Logos : penciptaan daya tarik rasional bagi para

pendengar/pembaca

Non doctrinal : penelitian hukum empiris atau sosiologis

Omkering van bewijslast : pembuktian terbalik

Onrechtmatige daad : perbuatan melawan hukum

Pathos : penciptaan daya tarik emosional bagi para

pendengar/pembaca

Persona Standi In Yudicio : Hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan


(14)

Petitum : gugatan

Problem : permasalahan

Prorate Parte : secara proporsional

Restitutie In Intergum : pemulihan pada keadaan seperti sediakala

Restriksi : pembatasan

Res judicita : belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap

Simple majority : suara terbanyak

Specimen : contoh

Stakeholder : pemangku kepentingan

Stability of interest : untuk memberikan keseimbangan dan keadilan terhadap para pihak

Strict Liability : Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Subordinated Bones : obligasi yang disubordinasi

Sumir : singkat, ringkas

Supplier : penyalur

UitVoerbaar Bij Voorraad :putusan serta merta

Universal : umum

Verifikasi : pemeriksaan tentang kebenaran laporan

Verstek : penjatuhan putusan atas perkara yang

disengketakan, yang memberi wewenang kepada hakim menjatuhkan putusan tanpa hadirnya penggugat/tergugat

Verzet : upaya hukum perlawanan yang dapat digunakan

oleh tergugat terhadap putusan verstek

Wanprestasi : tidak terlaksananya prestasi atau kewajiban yang sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian.


(15)

DAFTAR SINGKATAN BHP : Balai Harta Peninggalan

CCGL : PT. Crown Capital Global Limited DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

HIR : Herzeine Inlandsch Reglement

Hlm. : Halaman

JKT.PST : Jakarta Pusat

Jo : Juncto

KUH PERDATA : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata MK : Mahkamah Konstitusi

No. : Nomor

PK : Peninjauan Kembali

PN : Pengadilan Niaga

PN. Niaga : Pengadilan Niaga PP : Peraturan Pemerintah

RBg : Rechtsreglement voor de Buitengewesten

RI : Republik Indonesia

Rv : Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering

SEMA : Surat Edaran Mahkamah Agung US$ : Mata uang dollar Amerika Serikat UUK : Undang-Undang Kepailitan UUD : Undang-Undang Dasar


(16)

ABSTRAK

Putusan serta merta yaitu putusan yang dapat dilaksanakan atau dieksekusi terlebih dahulu meskipun putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Pelaksanaan putusan serta merta harus berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya masalah baru akibat pelaksanaan putusan serta merta itu sendiri. Salah satu masalah yang terjadi akibat pelaksanaan putusan serta merta adalah sulit melakukan pemulihan kembali atas harta pailit yang telah dieksekusi apabila pailit dibatalkan Mahkamah Agung. Hal tersebut akan merugikan debitor dan mengganggu kelangsungan usaha debitor itu sendiri. Sebagai contoh kasus TPI dengan CCGL. Penelitian ini membahas beberapa permasalahan yaitu mengenai putusan serta merta dalam hukum kepailitan, perlindungan hukum terhadap debitor yang telah dijatuhi putusan serta merta dalam hukum kepailitan, dan pertimbangan Mahkamah Konstitusi terhadap putusan judicial review Nomor 144/PUU-VII/2009.

Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Penelitian ini menggunakan teknik penelitian kepustakaan yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

Hukum kepailitan Indonesia mengenal adanya putusan serta merta , hal ini dapat dilihat dalam UUK terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang putusan serta merta tersebut. Pelaksanaan putusan serta merta harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam HIR/RBg, SEMA No.3 Tahun 2000 dan SEMA No.4 Tahun 2001. Ketentuan dalam UU Kepailitan dan ketetapan dalam SEMA No.3 Tahun 2000 dan SEMA No.4 Tahun 2001 mengenai pemberian uang jaminan yang nilai sama dengan objek/barang yang dieksekusi oleh pemohon eksekusi kepada pengadilan, merupakan ketentuan yang menjamin perlindungan hukum kepada si debitor apabila dikemudian hari pernyataan pailit dibatalkan. Kasus CCGL dengan TPI yang mendapat putusan akhir pailit TPI dibatalkan, menjadikan TPI mengajukan judicial review sebagai bentuk ketidakpuasan TPI terhadap kewenangan kurator yang dianggap terlalu luas dan telah merugikan TPI. Permohonan provisi maupun permohonan pokok TPI ditolak oleh Hakim MK dengan pertimbangan bahwa MK tidak berwenang untuk melakukan pemberhentian kurator, MK hanya memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara yang bersifat abstrak bukan konkret seperti kasus TPI, dan MK berpendapat bahwa mengenai kewenangan kurator yang dianggap terlalu luas, memiliki batasan-batasan yang diatur oleh UU kepailitan itu sendiri.

Berdasarkan penelitian ini, diharapkan agar hakim dalam menjatuhkan putusan serta merta benar-benar teliti dan hati-hati. Hakim harus menerapkan persyaratan-persyaratan yang diberikan oleh HIR/RBg dan SEMA No.3 Tahun 2000 dan SEMA No.4 Tahun 2001. Kepada ketua MA juga harus bertindak tegas kepada hakim-hakim yang tidak mengindahkan SEMA No.3 Tahun 2000 dan SEMA No.4 Tahun 2001 terutama tentang uang jaminan. Selain itu diperlukan adanya pengaturan


(17)

lebih jelas dan tegas dalam hal batasan-batasan kewenangan kurator guna menghindari penyalahgunaan wewenang kurator dalam melakukan tugasnya, dan pengaturan mengenai pertanggungjawaban kurator juga harus diperjelas agar dapat berjalan secara efektif, baik setelah kelalaian kurator terjadi atau tindakan kurator yang berpotensi menimbulkan kerugian atas harta pailit.


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada umumnya sebagian besar merupakan pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, baik dari bank, penanaman modal, penerbitan obligasi maupun cara lain yang diperbolehkan, telah menimbulkan banyak permasalahan penyelesaian utang piutang dalam masyarakat.1 Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang tersebut, lahirlah suatu perikatan di antara para pihak, dengan adanya perikatan maka masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban.2

Salah satu kewajiban dari debitor adalah mengembalikan utangnya sebagai suatu prestasi yang harus dilakukan. Apabila kewajiban mengembalikan utang tersebut berjalan lancar sesuai dengan perjanjian tentu tidak merupakan masalah. Permasalahan akan timbul apabila debitor mengalami kesulitan untuk

1

Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009), hal. 69.

2

H. Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: PT. Alumni, 2006), hal. 1.


(19)

mengembalikan utangnya tersebut, dengan kata lain debitor berhenti membayar utangnya.3

Apabila seorang debitor (si berhutang) dalam kesulitan keuangan untuk membayar, tentu saja para kreditor akan berusaha menempuh berbagai cara untuk menyelamatkan piutangnya, baik dengan cara mengajukan gugatan perdata kepada debitor ke pengadilan dengan disertai sita jaminan atas harta si debitor atau menempuh cara lain yaitu kreditor mengajukan permohonan ke pengadilan agar si debitor dinyatakan pailit. Jika kreditor menempuh cara yang pertama yaitu melalui gugatan perdata, maka hanya kepentingan kreditor/ si penggugat saja yang dicukupi dengan harta si debitor yang disita dan kemudian dieksekusi pemenuhan piutang dari kreditor, kreditor lain yang tidak melakukan gugatan tidak dilindungi kepentingannya.4

Dalam hal debitor mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua utang kreditor, maka para kreditor akan berlomba dengan segala cara, baik yang sesuai dengan prosedur hukum, untuk mendapatkan pelunasan tagihan terlebih dahulu. Kreditor yang datang belakangan sudah tidak dapat memperoleh pembayaran lagi karena harta debitor sudah habis diambil oleh kreditor yang lebih dahulu. Hal ini sangat tidak adil dan merugikan baik kreditor maupun debitor sendiri. Berdasarkan alasan tersebut, lahirlah lembaga

3

Ibid.

4

Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2008), hal. 6.


(20)

kepailitan yang mengatur tata cara yang adil mengenai pembayaran tagihan-tagihan para kreditor, dengan berpedoman pada KUH Perdata Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1149 maupun pada ketentuan dalam Undang-Undang Kepailitan (selanjutnya disebut dengan UUK) sendiri.5

Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu melakukan pembayaran terhadap utang dari para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran, sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitor pailit tersebut secara proporsional (prorate parte)

sesuai dengan struktur kreditor.6

Kepailitan menurut UUK adalah “Sita umum atas kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas”.7

Secara sederhana, kepailitan dapat diartikan sebagai suatu penyitaan semua aset debitor yang dimasukkan ke dalam permohonan pailit. Debitor pailit tidak

5

M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 68.

6

Ibid, hal. 1 7


(21)

serta merta kehilangan kemampuannya untuk melakukan tindakan hukum, akan tetapi kehilangan untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan di dalam kepailitan terhitung sejak pernyataan kepailitan itu.

Atas putusan pailit tersebut debitor memiliki hak untuk melakukan upaya hukum yang merupakan langkah atau usaha yang diperlukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk memperoleh keputusan yang adil berupa kasasi maupun peninjauan kembali. Namun sesuai dengan putusan hukum kepailitan yang memiliki daya Uit Voerbaar Bij Vooraad atau putusan serta merta, keputusan yang menyatakan debitor pailit harus tetap dilaksanakan terlebih dahulu meskipun putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Dalam prakteknya putusan serta merta yang dijalankan terlebih dahulu sebelum putusan hakim tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, banyak menimbulkan permasalahan. Permasalahan tersebut terjadi ketika putusan yang telah dilaksanakan tersebut dilakukan upaya hukum oleh pihak yang dikalahkan atau pihak ketiga yang merasa dirugikan, dan kemudian putusan tersebut dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi atau Mahkamah Agung. Demikian akan terjadi kesulitan dalam pemulihan pada keadaan seperti sediakala (restitutie in intergum) sebelum dilakukannya eksekusi.8

8

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan I, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 2


(22)

Mengenai pengaturan putusan serta merta telah diatur di dalam Pasal 180 ayat 1

Herzeine Inlandsch Reglement selanjutnya disebut HIR, Pasal 191 ayat 1

Rechtsreglement voor de Buitengewesten selanjutnya disebut RBg dan Pasal 54-57 Rv yang bunyinya sebagai berikut: 9

Pasal 180 ayat 1 HIR :

“Ketua pengadilan negeri dapat memerintahkan supaya keputusan itu dijalankan lebih dahulu walaupun ada perlawanan atau banding, jika ada akta otentik, suatu tulisan tangan yang menurut peraturan yang berlaku mempunyai kekuatan bukti, atau jika ada keputusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap sebelumnya yang menguntungkan penggugat dan ada hubungannya dengan gugatan yang bersangkutan, demikian juga jika ada tuntutan provisionil yang dikabulkan, dan dalam persengketaan hak milik”.

Pasal 191 ayat 1 RBg:

“Ketua pengadilan negeri dapat memerintahkan supaya keputusan itu dijalankan lebih dahulu walaupun ada perlawanan atau banding, jika ada akta otentik atau tulisan tangan yang menurut peraturan yang berlaku mempunyai kekuatan bukti atau jika ada putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap sebelumnya yang menguntungkan penggugat dan ada hubungannya dengan gugatan yang bersangkutan dan juga jika ada tuntutan provisionil yang dikabulkan dan dalam persengeketaan hak mililk”.

Pengaturan mengenai putusan serta merta juga diatur di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uit Voerbaar Bij Vooraad) dan Provisionil dan SEMA Nomor 4 Tahun 2001 tentang Permasalahan Putusan Serta Merta (Uit Voerbaar Bij Vooraad) dan Provisionil.

9

Ridwan Syahrani, Himpunan Peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Alumni, 1991), hal.214.


(23)

Mengenai putusan serta merta pada perkara kepailitan diatur di dalam UUK terdapat dalam Pasal 8 ayat 7 yaitu:

“Putusan atas permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud pada ayat 6 yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum”.

Pelaksanaan putusan serta merta ini disebabkan pembentuk undang-undang menginginkan agar putusan pernyataan pailit dapat secepatnya dilaksanakan.

Menyikapi hal tersebut Pasal 16 ayat 2 UUK mengatur bahwa “dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya Kasasi atau Peninjauan Kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh Kurator sebelum atau pada tanggal Kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan, tetap sah dan

mengikat Debitor”.10

Meskipun undang-undang telah mengatur bahwa perbuatan pengurusan atau pemberesan Kurator tetap sah dan mengikat Debitor walau dilakukan upaya hukum, hal ini terlihat bahwa upaya hukum yang dilakukan oleh debitor tidak memiliki kepastian hukum serta debitor tidak dapat menyelamatkan harta pailit sehingga tidak dapat dihindari kemungkinan terjadinya kerugian bagi kelangsungan usaha Debitor setelah pembatalan putusan pernyataan pailit oleh Mahkamah Agung karena bisa saja

10

Disriani Latifah, Eksekusi Putusan Pailit,

(https://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/2008/10/30/eksekusi-putusan-pailit/ diakses pada tanggal 24 Juli 2014, pukul 20.10 WIB).


(24)

yang berhasil dijual oleh Kurator tersebut adalah aset yang diperlukan untuk kelangsungan usaha Debitor.11

Menurut pendapat Sutan Remy Sjahdeini, sebaiknya:

“Undang-undang menentukan bahwa yang boleh dilakukan Kurator terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit itu adalah tugas pengurusan dan pemberesan atas harta pailit kecuali melakukan penjualan harta tetap yang merupakan harta yang mutlak diperlukan bagi kegiatan usaha atau bisnis Debitor, yang tanpa dimilikinya lagi harta itu oleh Debitor maka tidak mungkin lagi bagi Debitor untuk dapat melanjutkan usaha atau bisnisnya seandainya putusan pernyataan pailit itu dibatalkan”.12

Sehubungan dengan sifat keputusan hakim dalam, perkara kepailitan “dapat dilaksanakan terlebih dahulu” atau Uit Voerbaar Bij Vooraad, maka layak kiranya apabila para hakim yang memeriksa perkara kepailitan untuk bertindak hati-hati dalam memutus perkara permohonan pailit, dan bagi Kurator yang didampingi oleh hakim pengawas dapat langsung menjalankan fungsinya untuk melakukan pengurusan dan pemberesan pailit pada waktu yang tepat dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Pemberlakuan putusan serta merta pada dasarnya sebagai alat untuk mempercepat likuidasi terhadap harta-harta debitor untuk digunakan sebagai pembayaran utang-utangnya. Putusan ini tetap akan dilaksanakan walaupun upaya hukum telah diajukan oleh debitor terhadap putusan tingkat pertama, apabila ternyata dalam tingkat kasasi debitor dinyatakan menang dan tidak pailit, maka akan

11

Ibid.

12

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, (Jakarta: Pustaka Grafiti, 2002), hal. 175.


(25)

menimbulkan kesulitan dalam memulihkan keadaan harta kekayaan debitor tersebut.13

Berbagai fenomena kepailitan yang sering terjadi menjadikan persoalan kepailitan ini menjadi persoalan yang penting. Untuk meminimalisir terjadinya permasalahan yang ditimbulkan oleh pelaksanaan putusan serta merta, hendaknya majelis hakim yang memeriksa perkara kepailitan benar-benar memperhatikan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam peraturan-peraturan yang berlaku dalam mengabulkan putusan serta merta. Salah satu kasus kepailitan PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), kepailitan diajukan oleh PT. Crown Capital Global Limited (CCGL). PT. Crown Capital Global Limited merupakan perusahaan asal Inggris. Persidangan perkara No. 52/Pailit/2009/PN.Niaga.Jkt.Pst ini dilaksanakan pertama kali pada tanggal 20 Oktober 2009.

Kasus bermula dari adanya utang antara TPI dengan CCGL sebesar US$53 juta. Utang tersebut timbul dari perjanjian jual beli utang yang ditandatangani CCGL dengan Fillago limited. Fillago sendiri merupakan pemilik dari Subordinated Bones

(obligasi yang disubordinasi) yang diterbitkan oleh TPI. Obligasi itu diterbitkan pada tanggal 24 Desember 1996 dan jatuh tempo pada tanggal 24 Desember 2006. Pada 27 Desember 2004, Fillago mengalihkan kepemilikan obligasi itu pada Crown Capital yang diperjanjikan dalam Debt Sale and Purchase. Ketika jatuh tempo pada 24 Desember 2006, TPI tidak juga melunasi utangnya. Dalam permohonannya, Crown

13

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Op. Cit, hal. 47.


(26)

Capital menyebut Asian Venture Finance Limited selaku kreditur lain. TPI berutang pada Asian Venture sebesar US$10,325 juta, belum termasuk denda dan bunga.14

Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 14 Oktober 2009 menyatakan TPI pailit, yang berarti terbukti bahwa bukti utang yang diajukan oleh CCGL adalah benar adanya dan TPI dinyatakan pailit dengan segala akibatnya. Salah satunya adalah dilaksanakannya putusan serta merta oleh kurator yang telah ditunjuk oleh hakim dalam amar putusan. Namun, pihak TPI kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung karena merasa keberatan atas keputusan pailit pada Pengadilan Niaga.

Pada tanggal 15 Desember 2009, hakim pun memutuskan menolak untuk mempailitkan TPI, yang berarti bahwa TPI tidak jadi pailit dan kedudukannya sebagai debitor kembali seperti semula, akan tetapi sulit untuk memulihkan pada keadaan semula. Permohonan pemohon yang ingin menguji Pasal 16 ayat 1, Pasal 16 ayat 2 dan Pasal 69 UUK terhadap Pasal 28D ayat 1 dan Pasal 28H ayat 4 UUD 1945, kedudukan hukum si pemohon dan kewenangan MK sesuai dengan UUD maka MK berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan permohonan pemohon. Maka dari itu, pihak TPI mengajukan Judicial Review terhadap UUK terhadap Pasal 16 ayat 1, Pasal 16 ayat 2, dan Pasal 69 tentang wewenang kurator yang begitu luas dalam hal pengurusan dan pemberesan harta pailit.

14

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol22456/tpi-dimohonkan-pailit , diakses pada tanggal 22 September 2014, pukul 21.53 WIB.


(27)

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan menyusunnya dalam tesis yang berjudul: Pelindungan Hukum Terhadap Debitor Yang Telah Dijatuhi Putusan Serta Merta Dalam Kepailitan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, adapun yang menjadi pokok permasalahan yang ingin diteliti dalam tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana putusan serta merta dalam hukum kepailitan?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap debitor yang telah dijatuhi putusan serta merta dalam hukum kepailitan?

3. Bagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi terhadap putusan judicial review Nomor 144/PUU-VII/2009?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari latar belakang dan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui putusan serta merta dalam hukum kepailitan

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap debitor yang telah dijatuhi putusan serta merta dalam hukum kepailitan.

3. Untuk mengetahui pertimbangan Mahkamah Konstitusi terhadap putusan


(28)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, masing-masing sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoritis yang berupa sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum khususnya yang berkaitan dengan hukum kepailitan dan pembahasan terhadap masalah ini akan memberikan pemahaman dan pandangan yang baru mengenai kasus-kasus kepailitan yang sering terjadi.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan khasanah pengetahuan dibidang hukum khususnya hukum kepailitan tentang pelaksanaan dan perlindungan hukum terhadap debitor yang dijatuhi putusan serta merta dalam kepailitan.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul ”Perlindungan Hukum Terhadap Debitor Yang Telah Dijatuhi Putusan Serta Merta Dalam Kepailitan” belum pernah dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang sama. Dari hasil pemeriksaan diperoleh judul penelitian yang mengkaji tentang putusan serta merta yaitu:


(29)

1. Saudara Mangara Marpaung (NIM 117005063). Mahasiswa Magister Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Kekuatan Mengikat SEMA No 3 Tahun 2000 Tentang Putusan Serta Merta (Uit Voerbaar Bij Vooraad) Dan Provisionil Sebagai Hukum Acara Perdata Di Indonesia, dengan permasalahan yang diteliti adalah :

a) Bagaimana pelaksanaan putusan serta merta oleh Pengadilan Negeri dengan keluarnya SEMA No 3 Tahun 2000?

b) Bagaimana kekuatan mengikat SEMA No 3 Tahun 2000 tentang putusan serta merta dan provisionil dalam prespektif hukum acara perdata di Indonesia?

2. Saudara Belinda (NIM 077011009). Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan”, dengan permasalahan yang diteliti adalah:

a) Bagaimana ketentuan hukum pelaksanaan kepailitan kreditur terhadap debitur?

b) Bagaimana kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan dalam keputusan kepailitan?

c) Bagaimana akibat hukum kepailitan debitur terhadap kreditur pemegang hak tanggungan dalam eksekusi hak tanggungan?

Permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam penelitian-penelitian tersebut berbeda dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan


(30)

demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain seperti asas dan standar, oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting oleh hukum.15

Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis.16 Teori bisa dipergunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Tugas teori hukum ialah memberikan suatu analisis tentang pengertian hukum dan tentang pengertian-pengertian lain yang dalam hubungan ini relevan, kemudian menjelaskan hubungan antara hukum dan logika dan selanjutnya memberikan suatu filsafat ilmu dan suatu ajaran metode untuk praktek hukum.17 Oleh karena itu, kegunaan teori hukum dalam penelitian adalah sebagai pisau analisa pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.18

Teori yang dipergunakan untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum dan perlindungan hukum digunakan sebagai teori

15

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 397. 16

M. Solly Lubis, Filsafat dan Ilmu Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80. 17

B. Arief Sidarta, Meuwissen, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 31.

18

Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 16.


(31)

pendukung. Kepastian asal katanya pasti yang artinya tentu; sudah tetap; boleh tidak; sesuatu hal yang sudah tentu.19 Dengan adanya hukum yang baik diharapkan tercipta ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat. Aturan tersebut berlaku untuk semua pihak, sebagaimana yang dikemukakan oleh Budiono Kusumohanidjojo:

“Dalam keadaan tanpa patokan sukar bagi kita untuk membayangkan bahwa kehidupan masyarakat bisa berlangsung tertib, damai, dan adil. Fungsi dari kepastian hukum adalah tidak lain untuk memberikan patokan bagi prilaku seperti itu. Konsekuensinya adalah hukum itu harus memiliki suatu kredibilitas dan kredibilitas itu hanya bisa dimiliki bila penyelenggaraan hukum mampu memperlihatkan suatu alur konsistensi. Penyelenggaraan hukum yang tidak konsisten tidak akan membuat masyarakat mau mengandalkannya sebagai perangkat kaedah yang mengatur kehidupan bersama.20

Pendapat lainnya mengenai kepastian hukum dapat ditemukan dalam buku M. Yahya Harahap, yang menyatakan bahwa kepastian hukum dibutuhkan dalam masyarakat demi terciptanya ketertiban dan keadilan. “Ketidakpastian hukum akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat dan setiap anggota masyarakat akan saling berbuat sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri”.21

Sudikno Mertokusumo mengartikan “kepastian hukum, merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu”.22

19

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), hal. 847.

20

Budiono Kusumohanidjojo, Ketertiban Yang Adil Problem Filsafat Hukum, (Jakarta: Grasindo, 2006), hal. 150-151.

21

M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 76.

22

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 145.


(32)

Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) perngertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa saja yang boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.23

Sebagai negara hukum, Indonesia harus membuktikan dirinya telah menerapkan secara nyata dari prinsip-prinsip negara hukum, yaitu kepastian hukum, menjamin/melindungi hak asasi penduduk, dan peradilan bebas karena manusia mempunyai kepentingan yaitu tuntutan perorangan/kompleks yang diharapkan dapat dipenuhi sesuai yang diharapkan.24

Keinginan dari masyarakat dan para pencari keadilan (justitiabelen) menuntut agar penyelesaian perkara melalui pengadilan berjalan sesuai dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Seiring dengan pesatnya laju pembangunan dewasa ini dengan perkembangan dinamika kehidupan masyarakat yang semakin kompleks, maka tuntutan penyelesaian perkara melalui proses berperkara yang cepat, sederhana dan biaya ringan tersebut sangatlah dibutuhkan. Tujuan dari kedua belah pihak yang berperkara di Pengadilan Negeri adalah untuk mendapatkan kekuatan

23

Petter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranda Media Group, 2008), hal. 158.

24


(33)

hukum yang tetap (inkracht van gewijsde), yaitu putusan yang tidak mungkin dilawan dengan upaya hukum verzet, banding, kasasi.25

Tujuan lainnnya ialah untuk menyelesaikan perkara akibat telah terjadinya perbenturan kepentingan keperdataan antara individu. Namun praktik akhir-akhir ini yang terjadi dengan diajukannya permohonan eksekusi oleh pihak yang menang dalam perkara itu, yang biasanya memerlukan waktu yang cukup lama dan bertahun-tahun. Hal ini sangat merugikan bagi para pencari keadilan, ditambah lagi dengan masalah biaya-biaya perkara yang harus dikeluarkan selama proses perkara itu berlangsung, serta belum lagi beban psikologis yang dialami oleh pihak-pihak yang berperkara itu.

Suatu putusan untuk memperoleh kekuatan hukum yang tetap diakui memang sering harus menunggu waktu yang lama kadang-kadang sampai bertahun-tahun. Maka dari itu, ada sebuah ketentuan yang merupakan penyimpangan dalam hal ini, yaitu terdapat dalam Pasal 180 Ayat 1 HIR/Pasal 191 Ayat 1 RBg serta pasal 8 Ayat 7 UUK mengenai putusan yang pelaksanaannya dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun ada banding dan kasasi. Dengan kata lain putusan itu dapat dilaksanakan meskipun putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Apabila terhadap putusan pailit tersebut dimintakan upaya hukum, maka masalah hukum yang terjadi biasanya muncul apabila upaya hukum tersebut yang diajukan oleh debitor dikabulkan oleh tingkat yang lebih tinggi/ Mahkamah Agung.

25

Ridwan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 127.


(34)

Dimana putusan tersebut dinyatakan debitor tidak pailit, yang menjadi permasalahan sulitnya untuk memulihkan hak debitor pailit. Akan tetapi Mahkamah Agung mengeluarkan instruksi dan beberapa Surat Edaran yang ditujukan kepada hakim Pengadilan Negeri agar dalam menjatuhkan putusan serta merta perlu dipertimbangkan dengan matang guna menghindari hal-hal yang mungkin akan menimbulkan permasalahan baru.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2000 Tentang putusan serta merta (Uit Voerbaar Bij Vooraad) dan putusan provisionil serta SEMA Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Permasalahan putusan serta merta dan provisionil. SEMA tersebut diterbitkan oleh Mahkamah Agung guna mengatur kembali penggunaan putusan serta merta (Uit Voerbaar Bij Vooraad) dan putusan provisionil yang dijatuhkan majelis hakim dalam menyelesaikan perkara di pengadilan. Dengan dikeluarkannya SEMA tersebut agar tidak menimbulkan kerugian bagi pihak debitor. Teori pendukung yaitu teori perlindungan hukum. Perlindungan hukum merupakan konsep universal dari negara hukum. Perlindungan hukum diberikan apabila terjadi pelanggaran maupun tindakan yang bertentangan dengan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, baik perbuatan penguasa yang melanggar undang-undang maupun masyarakat yang harus diperhatikannya. Pengertian dalam kata perlindungan hukum terdapat suatu usaha untuk memberikan hak-hak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang harus dilakukan.26

26

Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), hal. 1.


(35)

Perlindungan hukum terhadap rakyat terdapat 2 (dua) macam perlindungan hukum yaitu:27

1. Perlindungan Hukum Preventif, yaitu kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapatkan bentuk yang definitive. Perlindungan hukum preventif mencegah terjadinya sengketa.

2. Perlindungan Hukum Represif, bertujuan menyelesaikan sengketa perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi pemerintah yang didasarkan kebebasan bertindak karena dengannya adanya perlindungan hukum preventif, pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Dengan pengertian demikian, penanganan perlindungan hukum bagi rakyat oleh peradilan umum di Indonesia termasuk perlindungan hukum represif.

Sesuai dengan fungsi hukum sebagai perlindungan kepentingan manusia, tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan sehingga fungsi hukum kepailitan pun tidak lagi sekedar melindungi kepentingan kreditor, tetapi juga melindungi kepentingan debitor dan berbagai pihak yang terkait.

Asas perlindungan hukum merupakan manifestasi kehendak masyarakat bahwa peraturan hukum (norma hukum) seharusnya memberikan perlindungan bagi kepentingan individu-individu dan masyarakat. Peraturan kepailitan atau UUK harus

27


(36)

menunjukkan kehendak untuk melindungi kepentigan debitor, kreditor dan pihak-pihak yang terkait dengan suatu kepailitan.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 didasarkan pada beberapa asas, yaitu sebagai berikut:28

1. Asas Keseimbangan

Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.

2. Asas Kelangsungan Usaha

Dalam Undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.

3. Asas Keadilan

Dalam kepailitan, asas keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang tidak memperdulikan kreditor lainnya.

28


(37)

4. Asas Integrasi

Asas integrasi dalam kepailitan mengandung pengertian bahwa sistem hukum formal dan hukum materialnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

2. Konsepsi

Konsepsi berasal dari bahasa Latin, conceptus yang memliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berpikir, daya berpikir khususnya penalaran dan pertimbangan.29 Konsepsi adalah suatu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.30 Pentingnya definisi operational adalah untuk menghindari perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.31

Bertitik tolak dari kerangka teori sebagaimana tersebut diatas, berikut disusun kerangka konsepsi yang dapat dijadikan sebagai definisi operational, yaitu antara lain: a. Perlindungan Hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis sebagai

29

Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hal. 122.

30

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia), hal. 34.

31

Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, (Medan: PPs-USU, 2002), hal. 35.


(38)

gambaran dari fungsi hukum yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaat dan kedamaian.32

b. Putusan Serta Merta adalah putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan atau dieksekusi terlebih dahulu meskipun putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde).33

c. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang.34

d. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.35

e. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjiannya atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.36

f. Debitor Pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan.37

g. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun dalam mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena

32

Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Badan Pembinaan Hukum Nasional, Pengkajian Hukum Tentang Perlindungan Hukum Bagi Upaya Menjamin Kerukunan Umat Beragama, www.bphn.go.id/data/documents/pkj-2011-11.pdf , (Jakarta, 2011), hal. 14, diakses tanggal 16 Desember 2014 pukul 20.16 WIB

33

Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 101. 34

Lihat Pasal 1 butir 1 Undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 35

Lihat Pasal 1 butir 2 Undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 36

Lihat Pasal 1 butir 3 Undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 37


(39)

perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.38

G. Metode Penelitian

Menurut Sunaryati Hartono, metode penelitian adalah cara atau jalan atau proses pemeriksaaan atau penyelidikan yang menggunakan penalaran dan teori-teori yang logis-analitis (logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan teori-teori suatu ilmu (atau beberapa cabang ilmu) tertentu, untuk menguji kebenaran (atau mengadakan verifikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa alamiah, peristiwa sosial atau peristiwa hukum tertentu.39 Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang teratur (sistematis) dalam melakukan sebuah penelitian.40

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.41

38

Lihat Pasal 1 butir 6 Undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 39

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumi, 1994), hal. 105.

40

Muhammad Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 57.

41

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 39.


(40)

Penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penelitian hukum normatif (doctrinal) yang condong bersifat kualitatif dan penelitian hukum empiris atau sosiologis (non doctrinal) yang condong bersifat kuantitatif.42 Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan yang timbul dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (yuridis normatif) atau disebut juga penelitian hukum yang digunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan pustaka dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, teori hukum, buku-buku, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas.43

Sifat penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan tentang Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Yang Dijatuhi Putusan Serta Merta Dalam Kepailitan.

2. Sumber data

42

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 2. 43

Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press, 2009), hal. 127.


(41)

Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang terdiri dari bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Data sekunder yang diteliti adalah sebagai berikut:

a) Bahan hukum primer, merupakan dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang44 yang terdiri dari:

1) RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten) / HIR (Herziene Indlandsch Reglemen)

2) Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004

3) SEMA N0.3 Tahun 2000, tentang Putusan Serta Merta (Uit Voerbaar Bij Vooraad) dan Provisionil

4) SEMA No. 4 Taun 2001, tentang permasalahan Putusan serta Merta (Uit Voerbaar Bij Vooraad) dan Provisionil

b) Bahan hukum sekunder, merupakan bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurna-jurnal hukum. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.45

44

Soedikno Mertokusumo, Op.cit, hal. 19. 45


(42)

c) Bahan hukum tertier, merupakan bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan lebih mendalam terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah.46

3. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulam data ialah teknik atau cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Metode atau teknik menunjuk suatu kata yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, tetapi hanya dapat dilihatkan penggunaannya melalui angket, pengamatan, ujian, dokumen dan lainnya.47

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library search) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini. Jadi penelitian ini dilakukan dengan batasan penggunaan studi dokumen atau bahan pustaka saja yaitu berupa data sekunder.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diproses dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai didapat suatu kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data yang bersifat kualitatif.

46

Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 13.

47


(43)

Analisis kualitatif dilakukan terhadap paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep dan bahan hukum yang merupakan modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada bahan hukum yang dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda satu dengan lainnya. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif, yakni penyimpulan yang dilakukan dimulai dari yang umum ke khusus.48

48

Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2005), hal. 16.


(44)

BAB II

PUTUSAN SERTA MERTA DALAM KEPAILITAN

A. Tinjauan Umum Tentang Putusan Serta Merta

Tujuan diadakannya suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim. Putusan hakim atau lazim disebut juga dengan istilah putusan pengadilan merupakan sesuatu yang dapat diinginkan atau dinanti-nantikan oleh pihak-pihak berperkara guna menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan sebaik-baiknya. Sebab dengan putusan hakim tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.49

Suatu putusan dapat dilaksanakan apabila putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde). Adapun yang dimaksud dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap itu adalah putusan hakim yang tidak diajukan upaya hukum apapun baik banding, kasasi maupun peninjauan kembali oleh pihak-pihak yang berperkara dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Konsekuensi putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah sebagai berikut:50

1. Siapa pun tidak ada yang berhak dan berkuasa untuk mengubahnya,

49

Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Cetakan I, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 124.

50


(45)

2. Yang dapat merubahnya, hanya terbatas pemberian grasi dalam perkara pidana, dan melalui peninjauan kembali dalam perkara perdata,

3. Oleh karena itu, setiap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib dan mesti dilaksanakan baik secara sukarela atau dengan paksa melalui eksekusi, dan pelaksanaan atas pemenuhan putusan itu tanpa menghiraukan apakah putusan itu kejam atau tidak menyenangkan.

Adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde) terhadap suatu perkara maka tujuan dari pencari keadilan telah terpenuhi. Hal ini karena melalui putusan pengadilan itu dapatlah diketahui hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang berperkara, namun hal itu bukan berarti tujuan akhir dari para pihak yang berperkara tersebut telah selesai terutama bagi pihak yang menang, hal ini disebabkan pihak yang menang tidak mengharapkan kemenangannya itu hanya di atas kertas belaka tetapi harus ada pelaksanaan dari putusan tersebut.51

Suatu putusan untuk memperoleh kekuatan hukum yang tetap diakui memang sering harus menunggu waktu yang lama kadang-kadang sampai bertahun-tahun. Namun ada sebuah ketentuan yang merupakan penyimpangan dalam hal ini, yaitu terdapat dalam Pasal 180 ayat 1 HIR/ Pasal 191 ayat 1 RBg yaitu ketentuan mengenai putusan yang pelaksanaannya dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun ada

51

M. Husni, Ilyas Ismail, dan Muzakkir Abubakar, Putusan Serta Merta dan Pelaksanaannya (Suatu penelitian Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Banda Aceh), (http://prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.2.11.2013/4.29.36.muhammad.husni.p df, diakses pada tanggal 16 Desember 2014 pukul 22.24 WIB), hal. 2.


(46)

banding dan kasasi dengan kata lain putusan itu dapat dilaksanakan meskipun putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, lembaga ini dikenal dengan Uit Voerbaar Bij Vooraad.

Hakim berwenang menjatuhkan putusan akhir yang mengandung amar, memerintahkan supaya putusan yang dijatuhkan tersebut, dijalankan atau dilaksanakan lebih dahulu:52

1. Meskipun putusan itu belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap (res judicita).

2. Bahkan meskipun terhadap putusan itu diajukan perlawanan atau banding. Berdasarkan ketentuan yang digariskan Pasal 180 ayat 1 HIR, Pasal 191 ayat 1 RBg serta Pasal 54 Rv, memberi wewenang kepada hakim menjatuhkan putusan yang berisi diktum: memerintahkan pelaksaanaan lebih dahulu putusan, meskipun belum memperoleh kekuatan tetap adalah bersifat eksepsional. Penerapan Pasal 180 HIR dimaksud, tidak bersifaf generalisasi, tetapi bersifat terbatas berdasarkan syarat-syarat yang sangat khusus. Karakter yang memperbolehkan eksekusi atas putusan yang berisi amar dapat dijalankan lebih dahulu sekalipun putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap, merupakan ciri eksepsional yakni pengecualian yang sangat terbatas berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang.53

52

M. Yahya Harahap, Op.cit, hal. 897. 53


(47)

Syarat-syarat dimaksud merupakan pembatasan (restriksi) kebolehan menjatuhkan putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu (Uit Voerbaar Bij Vooraad). Pelanggaran atas batas-batas yang digariskan syarat-syarat itu, mengakibatkan putusan mengandung pelanggaran hukum atau melampaui batas wewenang yang diberikan undang-undang kepada hakim, sehingga tindakan hakim itu dapat dikategori tidak profesional (unprofessional conduct).

Penerapan Pasal 180 ayat 1 HIR dan Pasal 191 ayat 1 RBg bersifat fakultatif bukan imperatif, hakim tidak wajib mengabulkan akan tetapi dapat mengabulkan. Kewenangan hakim menjatuhkan putusan serta merta merupakan diskrioner, oleh karena itu hakim harus berhati-hati dalam menjatuhkan putusan serta merta, sekalipun persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang secara formil telah terpenuhi, karena apabila putusan serta merta sudah dieksekusi barang sudah diserahkan kepada pemohon eksekusi kemudian ditingkat banding atau kasasi putusan Pengadilan Negeri dibatalkan dan gugatan ditolak akan timbul masalah untuk mengembalikan dalam keadaan semula obyek eksekusi.54

Dapat dilihat betapa besarnya risiko yang harus dihadapi pengadilan atas pengabulan putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu. Maka untuk memperkecil risiko yang dimaksud, Mahkamah Agung telah mengeluarkan berbagai Surat Edaran Mahkamah Agung (selanjutnya disebut SEMA) untuk dijadikan pedoman apabila

54

H. Suwardi, Penggunaan Lembaga Putusan Serta Merta (Uitveorbaar Bij Voorraad), (pt-bandung.go.id/uploads/8_paparan%20tuada%20perdata(1).pdf diakses tanggal 30 september 2014, pukul 20.55), hal. 2.


(48)

hakim hendak menjatuhkan putusan yang seperti itu. Secara kronologis telah dikeluarkan berturut-turut sebagai berikut:55

1. SEMA Nomor 13 Tahun 1964 Tentang Putusan Yang Dapat Dijalankan Lebih Dulu (Uit Voerbaar Bij Vooraad).

SEMA Nomor 13 Tahun 1964 diterbitkan oleh Mahkamah Agung tanggal 10 Juli 1964 yang di dalamnya memuat mengenai penggunaan lembaga putusan serta merta. Isi SEMA Nomor 13 Tahun 1964 adalah menyambung instruksi yang diberikan Mahkamah Agung tanggal 13 Februari 1950 No.348 K/5216/M kepada Pengadilan Negeri-Pengadilan Negeri agar jangan secara mudah memberi putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu (Uit Voerbaar Bij Vooraad), walaupun tergugat mengajukan banding atau melakukan perlawanan. Instruksi ini dihubungkan dengan nasehat dari Ketua Mahkamah Agung dalam beberapa pertemuan dengan para hakim, agar putusan serta merta sedapat mungkin jangan diberikan, apabila terlanjur diberikan jangan dilaksanakan. Oleh karena apabila terhadap putusan tersebut dimintakan banding, maka:

a) Apabila suatu perkara dimintakan banding, maka perkara itu menjadi mentah kembali,

b) Apabila putusan tersebut terlanjur dilaksanakan untuk kepentingan penggugat, dan kemudian penggugat dikalahkan oleh Pengadilan Tinggi, maka akan ditemui banyak kesulitan-kesulitan untuk mengembalikan dalam keadaan semula.

55


(49)

Mengingat kenyataannya bahwa Instruksi Mahkamah Agung dan nasehat Ketua Mahkamah Agung tanggal 13 Februari 1950 No.348 K/5216/M tersebut kurang diindahkan, terbukti masih banyak Pengadilan Negeri-Pengadilan Negeri yang memberikan putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu bahkan melaksanakan putusan-putusan tersebut walaupun terhadap putusan tersebut dimintakan banding. Maka dari itu, Mahkamah Agung sekali lagi menginstruksikan agar sedapat mungkin jangan memberikan putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu, atau apabila benar-benar dipandang perlu memberikan putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu, pelaksanaannya harus mendapat persetujuan lebih dahulu dari Mahkamah Agung.

2. SEMA Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Putusan Yang Dapat Dijalankan Lebih Dulu (Uit Voerbaar Bij Vooraad).

SEMA Nomor 5 Tahun 1969 diterbitkan oleh Mahkamah Agung tanggal 2 Juni 1969 yang isinya menegaskan kembali SEMA Nomor 13 Tahun 1964 terkait pelaksanaan putusan serta merta yang harus mendapat persetujuan lebih dulu dari Mahkamah Agung, yaitu:

a) Bahwa yang dimaksud dalam SEMA Nomor 13 Tahun 1964 adalah permintaan persetujuan untuk melaksanakan putusan serta merta (Uit Voerbaar Bij Vooraad).

b) Apabila terhadap putusan serta merta tersebut diajukan permohonan pemeriksaan tingkat banding, kemudian diajukan permintaan persetujuan untuk dilaksanakan. Mahkamah Agung menyerahkan kepada Pengadilan


(50)

Tinggi yang bersangkutan untuk memeriksa, mempertimbangkan dan memutus dapat atau tidaknya permintaan persetujuan pelaksanaan putusan serta merta tersebut dikabulkan.

3. SEMA Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Uit Voerbaar Bij Vooraad

SEMA Nomor 3 Tahun 1971 diterbitkan oleh Mahkamah Agung tanggal 17 Mei 1971 yang isinya merupakan lanjutan dari yang terdahulu, yang berisi keprihatinan atas sikap para hakim yang tidak mengindahkan syarat-syarat yang digariskan pasal 180 ayat 1 HIR, pasal 191 ayat 1 RBg dalam mengabulkan putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu, oleh karena itu SEMA ini mempertegas lagi syarat-syarat itu untuk ditaati.56

4. SEMA Nomor 6 Tahun 1975 Tentang Uit Voerbaar Bij Vooraad

SEMA Nomor 6 Tahun 1975 diterbitkan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 1 Desember 1975 yang isinya terdapat penggarisan yang lebih tegas, antara lain sebagai berikut:57

a) Kewenangan menjatuhkan putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu berdasar pasal 180 ayat 1 HIR, pasal 191 ayat 1 RBg adalah bersifat diskresioner, bukan imperatif sifatnya.

b) Oleh karena itu, para hakim tidak menjatuhkan putusan yang demikian meskipun memenuhi syarat-syarat yang digariskan pasal-pasal dimaksud. c) Dalam hal yang sangat eksepsional dapat dikabulkan dengan syarat:

56

M. Yahya Harahap, Op.cit, hal. 899. 57


(51)

1) Apabila ada conservatoir beslag yang harga barang yang disita tidak mencukupi menutup jumlah gugatan.

2) Meminta jaminan kepada pemohon eksekusi yang seimbang nilainya. d) Pada saat diucapkan, putusan sudah selesai.

e) Dalam tempo 2 minggu setelah diucapkan salinan putusan dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi untuk meminta persetujuan eksekusi.

5. SEMA Nomor 3 Tahun 1978 Tentang Uit Voerbaar Bij Vooraad

SEMA Nomor 3 Tahun 1978 diterbitkan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 1 April 1978 yang isinya mengingatkan kembali SEMA yang telah diterbitkan sebelumnya, tetapi sekaligus juga berisi penegasan dan penjelasan, yang terpenting diantaranya:58

a) Menegaskan kembali agar para hakim di seluruh Indonesia tidak menjatuhkan putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu (Uit Voerbaar Bij Vooraad), meskipun syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 180 ayat 1 HIR, pasal 191 ayat 1 RBg terpenuhi.

b) Hanya dalam hal-hal yang tidak dapat dihindarkan putusan yang demikian dapat dikabulkan secara eksepsional dengan mengingat syarat-syarat yang tercantum dalam SEMA Nomor 6 Tahun 1975, yang dikeluarkan pada tanggal 1 Desember 1975.

Dalam SEMA ini kembali diperingatkan, dalam rangka pengawasan terhadapa putusan uit voerbaar bij vooraad yang dijatuhkan hakim

58


(52)

Pengadilan Negeri maka dalam tempo 2 minggu setelah diucapkan, Pengadilan Negeri yang bersangkutan harus mengirimkan salinan putusannya kepada Pengadilan Tinggi dan tembusannya kepada Mahkamah Agung.

6. SEMA Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Putusan Serta Merta (Uit Voerbaar Bij Vooraad) Dan Provisionil

SEMA Nomor 3 Tahun 2000 diterbitkan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 21 Juli 2000 yang isinya sebagai pengawas jalannya penyelenggaraan peradilan sebagaimana menjadi wewenangnya untuk mengatur kembali tentang penggunaan lembaga putusan serta merta. Latar belakang diterbitkannya SEMA Nomor 3 Tahun 2000 adalah bahwa berdasarkan hasil pengamatan dan pengkajian oleh Mahkamah Agung tentang putusan serta merta (Uit Voerbaar Bij Vooraad) dan putusan provisionil yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama yang diatur dalam Pasal 180 ayat (1) Reglemen Indonesia yang di Perbaharui (HIR) dan Pasal 191 ayat (1) Reglemen Hukum Acara Untuk Luar Jawa - Madura (RBg) telah menemukan fakta-fakta yaitu:59

a) Putusan serta merta dikabulkan berdasarkan bukti-bukti yang keauntentikannya dibantah oleh pihak tergugat dengan bukti yang juga autentik.

b) Hakim tidak cukup mempertimbangkan atau tidak memberikan pertimbangan hukum yang jelas dalam hal mengabulkan petitum tentang putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu (serta merta) dan tuntutan provisionil.

59

Ikhtisar Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Putusan Serta Merta dan Provisionil.


(53)

c) Hampir terhadap setiap jenis perkara dijatuhkan putusan serta merta oleh hakim, sehingga menyimpang dari ketentuan Pasal 180 ayat 1 HIR dan Pasal 191 ayat 1 RBg.

d) Untuk melaksanakan putusan serta merta dan putusan provisionil, Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama meminta persetujuan ke Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi Agama tanpa disertai dokumen surat-surat pendukung.

e) Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi Agama tanpa meneliti secara cermat dan sungguh-sungguh faktor-faktor ethos, pathos, logos serta dampak sosialnya mengabulkan permohonan Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama untuk melaksanakan putusan serta merta yang dijatuhkan. f) Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama serta para hakim

mengabaikan sikap hati-hati dan tidak mengindahkan SEMA No.16 Tahun 1969, SEMA No.3 Tahun 1971, SEMA No.3 Tahun 1978 dan Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan serta Pasal 54 Rv. Sebelum menjatuhkan putusan serta merta dan mengajukan permohonan izin untuk melaksanakan putusan serta merta.

7. SEMA Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Permasalahan Putusan Serta Merta (Uit Voerbaar Bij Vooraad) dan Provisionil

SEMA Nomor 4 Tahun 2001 diterbitkan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 20 Agustus 2001 dan substansinya adalah menegaskan kembali penggunaan lembaga putusan dengan pelaksanaan putusan serta merta (uitvoerbaar bij vooraad) yang harus disertai dengan penetapan sebagaimana yang diatur dalam SEMA No.3 Tahun 2000 yaitu:

Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/obyek eksekusi, sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain, apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama.60

60

Butir7Surat Edara Mahkamah Agung No.3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta dan Provisionil


(54)

Terhitung sejak diterbitkannya SEMA No. 3 Tahun 2000, maka SEMA No.16 Tahun 1969, SEMA No.3 Tahun 1971, SEMA No.3 tahun 1978 serta SEMA yang terkait dinyatakan tidak berlaku lagi.

Kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung dalam Hukum Tata Negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut:61

1. Surat Edaran bukan Peraturan Per-Undang-Undangan, hal itu dikarenakan Surat Edaran Mahkamah Agung tidak memuat tentang norma tingkah laku (larangan, perintah, ijin dan pembebasan), kewenangan (berwenang dan tidak berwenang), dan penetapan.

2. Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak.

3. Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir Peraturan Menteri, apalagi Perpres atau PP tetapi semata-mata hanya untuk memperjelas makna dari peraturan yang ingin diberitahukan.

4. Surat Edaran mempunyai derajat lebih tinggi dari surat biasa, karena surat edaran memuat petunjuk atau penjelasan tentang hal-hal yang harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ada. Surat Edaran bersifat pemberitahuan, tidak ada sanksi karena bukan norma.

61

M. Solly Lubis, Pergeseran Garis Politik dan Per-Undang-Undangan Mengenai Pemerintah Daerah, (Bandung: Alumni, 1990), hal.8.


(55)

5. Surat Edaran merupakan suatu pejabat tertentu kepada bawahannya/orang di bawah binaannya.

6. Surat Edaran sering dibuat dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung, Surat Edaran tidak mempunyai kekuatan mengikat keluar karena pejabat yang menerbitkannya tidak memiliki dasar hukum menerbitkan Surat Edaran. 7. Pejabat Penerbit Surat Edaran tidak memerlukan dasar hukum karena Surat

Edaran merupakan suata peraturan kebijakan yang diterbitkan semata-mata berdasarkan kewenangan bebas namun perlu perhatikan beberapa faktor sebagai dasar pertimbangan penerbitannya:

a. Hanya diterbitkan karena keadaan mendesak.

b. Terdapat peraturan terkait yang tidak jelas yang butuh ditafsirkan. c. Substansi tidak bertentangan dengan peraturan Per-Undang-Undangan. d. Dapat dipertanggungjawabkan secara moril dengan prinsip-prinsip

pemerintahan yang baik.

8. Surat Edaran adalah suatu perintah atau penjelasan yang tidak berkekuatan hukum, tidak ada sanksi hukum bagi yang tidak mematuhinya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dalam Hukum Tata Negara Republik Indonesia adalah merupakan Surat Edaran yang berupa suatu perintah pejabat tertentu kapada bawahannya/orang di bawah binaannya artinya SEMA merupakan surat perintah Mahkamah Agung terhadap hakim peradilan umum, agama, tata usaha negara dan peradilan militer.


(1)

dibuat sejelas mungkin agar tindakan kurator yang lalai sehingga merugikan harta pailit atau tindakan kurator yang berpotensi mengakibatkan kerugian dapat diminta pertanggungjawabannya. Sehingga pasal yang mengatur tentang pertanggungjawaban kurator dapat juga menjadi dasar untuk mencegah terjadinya kerugian harta pailit.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Abdurrahman, Muslan, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, Malang: UMM Press, 2009.

Abdulkadir, Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.

Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Dewata, Mukti Fajar Nur dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Fuady, Munir, Hukum Pailit Dalam Teori Dan Praktek, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005.

Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Hartini, Rahayu, Hukum Kepailitan, Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2008.

, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009.

Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Alumi, 1994

Jono, Hukum Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Kamelo, Tan, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Medan: PPs-USU, 2002.


(3)

Kartono, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Jakarta: Pradnya Paramita, 1999.

Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.

Kusumohanidjojo, Budiono, Ketertiban Yang Adil Problem Filsafat Hukum, Jakarta: Grasindo, 2006.

Lubis, M. Solly, Filsafat dan Ilmu Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994.

, Pergeseran Garis Politik dan Per-Undang-Undangan Mengenai Pemerintah Daerah, Bandung: Alumni, 1990.

M. Hadjon, Phillipus, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987.

Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Pranda Media Group, 2008.

, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media, 2005.

Makarao, Taufik, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Cetakan I, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cetakan ke III, Jakarta: Kencana, 2005.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan I, Yogyakarta: Liberty, 1988.

, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1999.

Nainggolan, Bernard, Perlindungan Hukum Seimbang Debitor, Kreditor, Dan Pihak-Pihak Berkepentingan Dalam Kepailitan, Bandung: PT. Alumni, 2011.

Nating, Imran, Peranan Dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit, Jakarta: Raja Grafindo, 2004.

Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2006.


(4)

Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1996.

Sastrawidjaja, Man S., Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: PT. Alumni, 2006.

Riduan, Metode dan Teknik Menyusun Tesis, Bandung: Alfabeta, 2004.

Shubhan, M. Hadi, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Sidarta, B. Arief, dan euwissen, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum,Bandung: Refika Aditama, 2007.

Sinaga, Syamsudin M, Hukum Kepailitan Indonesia, Jakarta: PT. Tatanusa, 2012. Siregar, Tampil Anshari, Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Medan:

Pustaka Bangsa Press, 2005.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.

Supranto, J., Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Sutedi, Adrian, Hukum Kepailitan, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009.

Syahdeini, Sutan Remy, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, Jakarta: Pustaka Grafiti, 2002. , Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang

Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993.

Syahrani, Ridwan, Himpunan Peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: Alumni, 1991.

, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.


(5)

Wignyosumarto, Parwoto, “Peran dan Tugas Hakim Pengawas”, Kepailitan dan Transfer Aset Secara Melawan Hukum, Prosiding, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004.

Yani, Ahmad & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.

B. Peraturan Perundang-undangan

Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 144/PUU-VII/2009. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Buku II tentang Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Edisi 2007.

RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten) / HIR (Herziene Indlandsch Reglemen)

SEMA No. 3 Tahun 2000, tentang Putusan Serta Merta (Uit voerbaar bij Voorraad) dan Provisionil

SEMA No. 4 Tahun 2001, tentang permasalahan Putusan serta Merta (Uit Voerbaar bij Voorraad) dan Provisionil

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Permbayaran Utang.

C. Internet

Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Badan Pembinaan Hukum Nasional, Pengkajian Hukum Tentang Perlindungan Hukum Bagi Upaya Menjamin Kerukunan Umat Beragama, www.bphn.go.id/data/documents/pkj-2011-11.pdf, Jakarta, 2011 diakses tanggal 16 Desember 2014.

Kholik, Abdul, Masalah Dalam Praktek Putusan Serta Merta, (http://ak-partner.blogspot.com/2014/09/masalah-dalam-praktek-putusan-serta.html), diakses pada tanggal 1 Oktober 2014, pukul 22.30 WIB.


(6)

(https://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/2008/10/30/eksekusi-putusan-pailit/ diakses pada tanggal 24 Juli 2014, pukul 20.10 WIB).

Lestari, A.A. Nandhi dan Ni Gusti Ayu Diah Satyawati, Tinjauan Yuridis Pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Putusan Serta Merta (Uit Voerbaar Bij Vooraad) dan Provisionil Terhadap Putusan Pailit Yang Bersifat Serta Merta,

(http://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/download/7038/5289 diakses pada tanggal 9 Juni 2014, pukul 21.00 WIB).

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol22456/tpi-dimohonkan-pailit , diakses pada tanggal 22 September 2014, pukul 21.53 WIB.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b67f2b02c023/ahli-menilai-kewenangan-kurator-perlu-dibatasi- diakses 18 Desember 2014 pukul 20.21 WIB.

H. Suwardi, Penggunaan Lembaga Putusan Serta Merta (Uitveorbaar Bij

Voorraad), (pt-bandung.go.id/uploads/8_paparan%20tuada%20perdata(1).pdf diakses tanggal 30 september 2014, pukul 20.55 WIB.

M. Husni, Ilyas Ismail, dan Muzakkir Abubakar, Putusan Serta Merta dan Pelaksanaannya (Suatu penelitian Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Banda Aceh),

(http://prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.2.11.2013/4.29 .36.muhammad.husni.pdf, diakses pada tanggal 16 Desember 2014 pukul 22.24 WIB.

Suteja, Amar, Sengketa Bisnis Pada Kasus Dugaan Pailit PT. Citra Televisi Indonesia (TPI), http://amarsuteja.blogspot.com/2012/12/sengketa-bisnis-pada-kasus-dugaan.html, diakses pada tanggal 12 Januari 2015, pukul 20.15 WIB.