b. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum
c. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk
itu dan di tempat dimana akta itu dibuat. Menurut C. A. Kraan, akta otentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
55
a. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau
suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani
oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja. b.
Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang berwenang.
c. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang harus dipenuhi; ketentuan
tersebut mengatur tata cara pembuatannya sekurang-kurangnya memuat ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan,
nama dan kedudukan jabatan pejabat yang membuatnya c.q data dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut.
d. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan
pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan jabatannya. e.
Pernyataan atau fakta dari tindakan yang disebut oleh pejabat adalah hubungan hukum di dalam bidang hukum privat.
2. Akta di Bawah Tangan
Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat pembuat akta dengan kata lain akta di
55
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007, hal. 3-4.
Universitas Sumatera Utara
bawah tangan adalah akta yang dimasukkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum pembuat akta.
56
Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga menjadi akta di bawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk membuat akta itu jika terdapat
cacat dalam bentuk akta itu, sebagaimana disebut dalam Pasal 1869 KUH Perdata.
57
Mengenai akta di bawah tangan ini tidak diatur dalam HIR, tetapi di dalam Rbg ada diatur dalam Pasal 286 sampai dengan Pasal 305 dan dalam KUH Perdata
diatur dalam Pasal 1874 sampai dengan Pasal 1880, dan dalam Stbl. 1867 No. 29. Mengenai akta di bawah tangan yang memuat pengakuan utang secara sepihak
untuk membayar sejumlah uang atau memberikan menyerahkan sesuatu barang yang dapat ditetapkan atas suatu harga tertentu, harus seluruhnya ditulis dengan tangannya
sendiri oleh orang yang menandatangani orang yang berutang atau paling sedikit selainnya tanda tangan, harus ditulis sendiri oleh si penandatangan orang yang
berutang suatu persetujuan yang memuat jumlah atau besarnya barang yang terutang. Jika diindahkan, maka apabila perikatan dimungkiri, akta di bawah tangan itu
hanya dapat diterima sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan, demikian menurut Pasal 1878 KUH Perdata, yang bersamaan isinya dengan Pasal 1291 Rbg dan
Pasal 4 Stbl. 1867 No. 29. Apa yang dimaksud dengan permulaan bukti tertulis, dijelaskan dalam Pasal 1902 ayat 2 KUH Perdata, yang berbunyi: “yang dinamakan
permulaan pembuktian dengan tulisan ialah segala akta tertulis yang berasal dari orang terhadap siapa tuntutan dimajukan, atau dari orang yang diwakili olehnya, dan
yang memberikan persangkaan tentang benarnya peristiwa-peristiwa yang dimajukan oleh seseorang.’
56
Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op. cit, hal. 36.
57
Pasal 1869 KUH Perdata: “Suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya dalam pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diberlakukan
sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan.”
Universitas Sumatera Utara
Jadi surat yang berasal dari penggugat atau pihak ketiga tidaklah merupakan permulaan bukti tertulis. Untuk dapat menjadi bukti sempurna atau lengkap, maka
permulaan bukti tertulis itu harus dilengkapi dengan alat-alat bukti lain. Menurut G. H. S. Lumban Tobing, perbedaan terbesar antara akta otentik
dengan akta di bawah tangan adalah: a.
Akta otentik mempunyai tanggal yang pasti; b.
Grosse dari akta otentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan hakim sedang akta di bawah tangan tidak pernah mempunyai
kekuatan eksekutorial.
58
c. Kemungkinan akan hilangnya akta yang dibuat di bawah tangan lebih besar
dibandingkan dengan akta otentik.
59
Di samping itu masih ada lagi perbedaan-perbedaan antara akta otentik dan akta di bawah tangan, seperti:
60
a. Akta otentik harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat dan harus mengikuti
bentuk dan formalitas yang ditentukan dalam undang-undang, sedang akta di bawah tangan tidak demikian.
b. Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian lahir sesuai dengan asas “acta
publica probant seseipsa”, yang berarti bahwa satu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik, serta memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka akta
itu harus dianggap sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, sedang akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan lahir.
Bila diperhatikan Pasal 164 HIR, Pasal 283 RBg, dan Pasal 1865 KUH Perdata, maka jelas bahwa bukti tulisan ditempatkan paling atas dari seluruh alat-alat
58
Kekuatan eksekutorial adalah kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara.
59
G. H. S. Lumban Tobing, Op. cit, hal. 46-47.
60
Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.cit, hal. 37-38..
Universitas Sumatera Utara
bukti yang disebut dalam Pasal-Pasal undang-undang tersebut. Walaupun urutan penyebutan alat bukti dalam ketentuan undang-undang itu bukan imperative, namun
dapat dikatakan bahwa alat bukti tulisan akta memang merupakan alat bukti yang paling tepat dan penting, terlebih-lebih pada masyarakat modern saat ini.
Pada hakikatnya kekuatan pembuktian dari akta itu selalu dapat dibedakan atas tiga, yaitu:
61
1. Kekuatan pembuktian lahir
Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir dari akta itu, maksudnya bahwa suatu surat
yang kelihatannya seperti akta, harus diperlakukan sebagai akta, sampai dibuktikan sebaliknya.
62
2. Kekuatan pembuktian formil
Kekuatan pembuktian formal ini didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu. Dalam akta otentik,
pejabat pembuat akta menyatakan dalam tulisan itu bahwa ada yang dinyatakan dalam akta itu sebagaimana telah dicantumkan di dalamnya.
63
3. Kekuatan pembuktian materil
Kekuatan pembuktian materil ini menyangkut pembuktian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak
melakukan atau melaksanakan seperti apa yang diterangkan dalam akta itu.
64
61
Ibid, hal. 109
62
Ibid
63
Ibid, hal. 111.
64
Ibid, hal. 113.
Universitas Sumatera Utara
B. Pengertian Jual Beli Dalam suatu masyarakat, dimana sudah ada peredaran uang berupa mata uang
sebagai alat pembayaran yang sah, perjanjian jual beli merupakan suatu perjanjian yang paling lazim diadakan diantara para anggota masyarakat. Wujud dari perjanjian
jual beli ialah rangkaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak, yang saling berjanji, yaitu si penjual dan si pembeli. Perjanjian jual beli diatur dalam
Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUH Perdata. Pengertian jual beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata adalah:
“Suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga
yang telah dijanjikan.” Dari pengertian menurut Pasal 1457 KUH Perdata tersebut diatas, dapat
disimpulkan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik, dimana pihak penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak pembeli
berjanji untuk membayar sejumlah uang sebagai imbalan. Hak milik suatu barang yang semula dimiliki pihak penjual, akan berpindah
tangan kepada si pembeli apabila sudah ada penyerahan secara yuridis sesuai dengan ketentuan Pasal 1459 KUH Perdata. Perjanjian jual beli dianggap telah terjadi antara
kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun
harganya belum dibayar Pasal 1458 KUH Perdata. Barang dan harga inilah yang menjadi unsur pokok dari perjanjian jual beli. Menurut Pasal 1517 KUH Perdata, jika
pihak pembeli tidak membayar harga pembelian, maka itu merupakan suatu wanprestasi yang memberikan alasan kepada pihak penjual untuk menuntut ganti rugi
atau pembatalan perjanjian menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH
Universitas Sumatera Utara
Perdata. “Harga” tersebut harus berupa sejumlah uang. Jika dalam suatu perjanjian tidak menunjuk kepada dua hal tersebut barang dan uang, maka itu akan merubah
perjanjiannya menjadi tukar menukar, atau kalau harga itu berupa jasa, perjanjiannya akan menjadi suatu perjanjian kerja, dan begitulah seterusnya. Dalam pengertian jual
beli sudah termaktub pengertian bahwa disatu pihak ada barang dan dilain pihak ada uang.
Tentang macamnya uang, dapat diterangkan bahwa, meskipun jual beli itu terjadi di Indonesia, tidak diharuskan bahwa harga itu ditetapkan dalam mata uang
rupiah, namun diperbolehkan kepada para pihak untuk menetapkannya dalam mata
uang apa saja.
65
Mengenai sifat dari perjanjian jual beli, menurut para ahli hukum Belanda, perjanjian jual beli hanya mempunyai sifat obligator, atau bersifat mengikat
para pihak.
66
Jual beli yang bersifat obligator dalam Pasal 1459 KUH Perdata menerangkan bahwa hak milik atas barang yang dijual belum akan berpindah tangan kepada
pembeli selama belum diadakan penyerahan yuridis menurut Pasal 612, 613, dan 616 KUH Perdata. Dari sifat obligator tersebut dalam perjanjian jual beli, dapat dijabarkan
menjadi beberapa hal yang pada intinya juga termasuk dalam sifat obligator tersebut. Hal ini dapat dilihat dari obyeknya apa saja yang menjadi obyeknya, harga yang
telah disepakati kedua belah pihak dalam perjanjian jual beli, dan yang terakhir adalah
hak dan kewajiban para pihak.
C. Timbulnya Perjanjian Jual Beli
65
Achmad Ichsan, Dunia Usaha Indonesia, Jakarta: Pradya Paramita, 1986, hal. 21.
66
Wiyono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, Jakarta: Sumur Bandung, 1961, hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
Berpijak dari asas konsensualitas dalam perjanjian jual beli sejak tercapainya kata sepakat mengenai jual beli atas barang dan harga walaupun belum dilakukan
penyerahan barang ataupun pembayaran maka sejak saat itulah sudah lahir suatu perjanjian jual beli. Asas konsensualitas itu sendiri menurut Pasal 1458 KUH Perdata
mengatur sebagai berikut: Jual beli sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka
mencapai kata sepakat tentang barang dan harga meskipun barang belum diserahkan dan harga belum dibayar.
Kata Kosensualitas itu sendiri berasal dari bahasa Latin consensus yang artinya kesepakatan. Kata kesepakatan tersebut mengandung makna bahwa dari para
pihak yang bersangkutan telah tercapai suatu persesuaian kehendak. Artinya apa yang dikehendaki oleh para pihak telah tercapai suatu kesamaan, kemudian dari
persesuaian kehendak tersebut tercapai kata sepakat. Sebagai contoh pihak penjual sebagai pihal pertama ingin melepaskan hak milik atas suatu barang setelah
mendapatkan sejumlah uang sebagai imbalannya. Begitu pula dipihak kedua sebagai pihak pembeli yang menghendaki hak milik atas barang tersebut harus bersedia
memberikan sejumlah nominal uang tertentu kepada penjual sebagai pemegang hak milik sebelumnya.
Jual beli yang bersifat obligator dalam KUH Perdata Pasal 1359 bahwa hak milik atas barang yang dijual belum akan berpindah ke tangan pembeli selama belum
diadakan penyerahan menurut ketentuan Pasal 612 yang menyebutkan bahwa penyerahan atas benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata, Pasal 613
bahwa penyerahan piutang atas nama, dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik atau dibawah tangan. Sifat obligatoir dalam perjanjian jual beli menurut KUH Perdata
maksudnya bahwa perjanjian jual beli akan timbul hak dan kewajiban bertimbal balik
Universitas Sumatera Utara
pada para pihak, yaitu saat meletakkan kepada penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijual, selanjutnya memberikan kepadanya hak untuk
menuntut pembayaran atas harga yang telah menjadi kesepakatan. Sementara pihak pembeli berkewajiban untuk membayar harga sebagai imbalan haknya untuk
mendapatkan penyerahan hak milik atas barang yang dibeli, dengan kata lain hak milik akan berpindah dari pihak penjual kepada pembeli setelah diadakan penyerahan.
Apabila barang sudah diserahkan, namun belum terjadi pelunasan atas barang tersebut, maka transaksi jual beli belum dapat dikatakan berakhir, sebab sebuah
transaksi jual beli harus terdiri atas tiga unsur, yaitu terjadinya perjanjian, terjadinya penyerahan atau penunaian jasa, dan terjadinya pembayaran.
D. Subjek dan Objek Jual Beli 1. Subjek Perjanjian Jual Beli
Jual beli merupakan suatu perjanjian yang timbul disebabkan oleh adanya hubungan hukum mengenai harta kekayaan antara dua pihak atau lebih. Pendukung
perjanjian sekurang-kurangnya harus ada dua orang tertentu, masing-masing orang menduduki tempat yang berbeda. Satu orang menjadi pihak kreditur dan yang lain
menjadi pihak debitur. Kreditur dan debitur itulah yang menjadi subjek perjanjian. Kreditur mempunyai hak atas prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan
prestasi terhadap kreditur
67
. Dalam jual beli yang menjadi kreditur adalah pembeli dan yang menjadi debitur adalah penjual. Ini tidak benar karena hanya
menggambarkan sepihak saja, sedangkan jual beli adalah perjanjian timbal balik, baik penjual maupun pembeli sesuai dengan teori dan praktek hukum terdiri dari, yaitu:
68
a. Individu sebagai persoon atau manusia tertentu;
67
R. Setiawan, Loc. cit, hal. 5.
68
M. Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986, hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
1 Natuurlijke persoon atau manusia tertentu.
Subjek jual beli berupa orang atau manusia harus memenuhi syarat tertentu untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah. Seseorang
harus cakap untuk melakukan tindakan hukum, tidak lemah pikirannya, tidak berada dibawah pengampuan atau perwalian. Apabila anak belum
dewasa, orang tua aatau wali dari anak tersebut yang harus bertindak. 2
Rechts persoon atau badan hukum. Subjek jual beli yang merupakan badan hukum, dapat berupa kooperasi
dan yayasan. Kooperasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai satu subjek hukum
tersendiri. Sedangkan yayasan adalah suatu badan hukum dilahirkan oleh suatu pernyataan untuk suatu tujuan tertentu. Dalam pergaulan hukum,
yayasan bertindak pendukung hak dan kewajiban tersendiri.
b. Persoon yang dapat diganti.
Mengenai persoon kreditur yang dapat diganti, berarti kreditur yang menjadi subjek semula telah ditetapkan dalam perjanjian,sewaktu-waktu dapat diganti
kedudukannya dengan kreditur baru. Perjanjian yang dapat diganti ini dapat dijumpai dalam bentuk perjanjian “aan order” atau perjanjian atas perintah.
Demikian juga dalam perjanjian “aan tonder” atau perjanjian atas nama .
2. Objek Perjanjian Jual Beli