Saran Pengertian Umum Perjanjian

iii iii Membayar Harga elpiji dan Tabung isi Elpiji kepada PT.Pertamina, dan Harga elpiji yang dijual kepada konsumen ditetapkan oleh PT.Pertamina, dan harga jual tersebut dapat diubah sesuai keputusan PT.Pertamina. a. Agen harus membeli Elpiji dan tabung isi Elpiji secara langsung dari PT.Pertamina dengan pembayaran secara tunai ke rekening PT.Pertamina b. Agen tidak diperbolehkan mengadakan perubahan harga jual Elpiji yang telah ditetapkan PT.Rasita Mulia kepada konsumen c. Tanggung Jawab PT.Pertamina atas tabung, jumlah dan mutu Elpiji diserahkan kepada PT Rasita Mulia saat penyerahan diatas truk Agen di Supply Point. d. Setelah Elpiji diserahkan dari PT.Pertamina kepada Agen maka segala resiko kerugian dan sebagainya menjadi beban dan tanggung jawab Agen. e. Agen bertanggung jawab terhadap keutuhan Tabung Elpiji beserta peralatanperlengkapan yang diserahkan oleh PT.Pertamina f. Agen bertanggung jawab dalam pengusahaan dan pelayanan kepada konsumen dan menjaga kelancaran penyaluran Elpiji kepada konsumen serta wajib menjaga citra PT.Pertamina terhadap masyarakat dengan menjamin pelayanan yang memuaskan dan optimal bagi para konsumen g. Agen resmi elpiji bertanggung jawab dalam memamerkan serta memperdagangkanmenjual peralatan perlengkapan Tabung Elpiji beserta pemasangannya untuk konsumen dengan baik dan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh ketentuan yang berlaku, instansi yang berwenang persyaratan dari DEPNAKER dan instansi yang bersangkutan lainnya dan ketentuan PT.Pertamina

B. Saran

1. Menghimbau kepada pemerintah dalam penyusunan hukum nasional, khususnya hukum perdata kiranya dapat mengatur dan menentukan sejauh mana suatu peraturan itu mengatur. Terutama mempertegas serta memperbaharui Undang-undang no.8 tahun 1971 tentang perusahaan Pertambangan Minyak dan gas Bumi NegaraPERTAMINA yang diundangkan dalam lembaran Negara No.76 tahun 1971. Universitas Sumatera Utara iv iv 2. Menghimbau kepada pemerintah agar dalam penyusunan hukum perdata nasional yang akan datang tetap mempertahankan azas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab, yang mampu memelihara keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir batin yang serasi, selaras, dan seimbang. Universitas Sumatera Utara 25 BAB II RUANG LINGKUP PERJANJIAN PENGANGKUTAN

A. Pengertian Umum Perjanjian

Suatu perjanjian dikatakan persetujuan karena kedua belah pihak setuju untuk melakukan sesuatu hal. Persetujuan merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang seperti : jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, dan pengangkutan barang. Hubungan hukum yang terjadi karena perjanjian ataupun hukum disebut dengan perikatan. Kewajiban-kewajiban yang timbul dari adanya perikatan itu dapat dipaksakan secara hukum. Suatu perjanjian yang tidak mengikat ataupun tidak dapat dipaksakan adalah merupakan bukan perikatan, misalnya suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Prof. R. Wiryono Prodjodikoro, SH. Mengatakan bahwa perjanjian dan persetujuan adalah berbeda. Dalam hal ini beliau mengatakan : 14 Selanjutnya Prof. Wiryono Prodjodikoro menyimpulkan bahwa kata perjanjian lebih tepat digunakan untuk pengertian lebih luas dari istilah “Persetujuan dalam perundang-undangan Belanda dulu dinamakan overeenkomsten yaitu semua kata sepakat antara dua pihak atau lebih ada dua pihak. Dan dengan adanya perjanjian tersebut menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. 14 Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Penerbit Sumur, Bandung, 1981, hal. 11. Universitas Sumatera Utara 26 persetujuan. Persetujuan adalah suatu kata sepakat antara dua pihak atau leih mengenai harta benda kekayaan mereka yang bertujuan untuk mengikat kedua belah pihak. Sedangkan perjanjian sebagian besar bersumber pada suatu persetujuan antara kedua belah pihak ditambah dengan sebahagian yang bersumber pada suatu perbuatan yang tidak melanggar hukum dari salah satu pihak yaitu perbuatan tertentu yang bersifat sepihak. Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Jikalau dihubungkan dengan pasal 1233 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa perikatan lahir dari perjanjian atau dari undang-undang, maka dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian melahirkan satu atau beberapa perikatan. Buku Ketiga KUHPerdata terdiri dari bab satu mengatur tentang perikatan-perikatan umumnya. Bab II mengatur tentang perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian. Bab III mengatur tentang perikatan yang lahir dari undang-undang. Bab IV mengatur tentang hapusnya perikatan. Bab V sampai dengan bab XVIII mengatur tentang perjanjian khususnya atau perjanjian bernama. Tentang definisi perikatan hukum verbentenis obligatio tidak dijumpai dalam KUHPdt. Tidak satu pasal pun yang menguraikan apa sebenarnya yang dimaksud dengan perikatan itu. Namun definisi perikatan hukum dapat kita jumpai dari pendapat para ahli hukum.beberapa definisi perikatan hukum dari para ahli: Universitas Sumatera Utara 27 Menurut Prof. Soebekti, SH. : “Suatu perikatan adalah hubungan hukum antar dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak lain, dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”. Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debetur atau di berutang.” 15 Menurut Mariam Darus Badrulzaman dalam buku ketiga KUHPerdata tidak memberikan suatu rumusan perikatan. Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa : “Menurut ilmu pengetahuan hukum perdata, perikatan adalah hubungan yang terjadi di antara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas suatu prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu”. 16 Menurut Mashudi Moch Chidir Ali: “Definisi suatu perikatan adalah “Suatu hubungan hukum antara dua atau lebih pihak, dalam mana pihak satu mempunyai kewajiban memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak lain beri dan tuntut prestasi. Pihak yang mempunyai kewajiban itu dinamakan juga pihak berhutang atau debitur, sedangkan pihak yang mempunyai hak itu disebut juga pihak penagih atau kreditur pihak berpiutang. Definisi persetujuan : suatu persetujuan overeenkomst adalah suatu 15 Komariah, Op.Cit, hal. 139. 16 Mariam Darus, Op.Cit, hal. 88. Universitas Sumatera Utara 28 perbuatan berdasarkan kata sepakat antara dua atau lebih pihak untuk mengadakan akibat-akibat hukum yang diperkenankan”. 17 “Jadi sebetulnya, suatu persetujuan itu tidak lain daripada suatu perjanjian ofspraak yang mengakibatkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban jual beli; sewa-menyewa;persetujuan kerja dan lain-lain. Pengertian persetujuan tidak boleh digaduhkan dengan pengertian perikatan. Perhubungan antara kedua itu adalah sebagai sebab akibat : suatu persetujuan dapat melahirkan suatu perikatan. Persetujuan sedemikian disebut persetujuan obligator. 18 Menurut Subekti: “Hubungan antara perikatan dan perjanjian mengatakan suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perikatan 17 H. Mashudi Mohammad Chaidir Ali, Bab-bab Hukum Perikatan, Bandung Mandar Maju, 1995, hal. 4. 18 Mashudi Moch. Chidir Ali, Pengertian-Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata, CV Mandar Maju, 2001, hal. 16-20. Universitas Sumatera Utara 29 perjanjian dan persetujuan itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis. 19 M Yahya Harahap memberikan penjelasan mengenai perjanjian: “Perjanjian verbintenis mengandung pengertian : Suatu hubungan hukum kekayaanharta antara dua atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan kepada pihak lain untuk menunaikan prestasi”. 20 Dalam pengertian singkat di atas dijumpai beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian Verbintenis, antara lain: hubungan hukum rechtsbetrekking yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang person atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. M. Yahya Harahap menggunakan kata perjanjian untuk sebagai terjemahan dari kata Verbintenis. Penggunaan terjemahan kata verbintenis masih terdapat perbedaan pendapat, sebagaian dari para sarjana masih ada yang menterjemahkannya menjadi perutangan. Ada yang menterjemahkannya menjadi menjadi perjanjian, sedangkan overeenkomst diterjemahkannya menjadi persetujuan. Hilman Hadikusuma memberi penjelasan pengertian perikatan menurut hukum adat mengatakan: “Perikatan menurut hukum adat adalah hubungan hukum diantara 2 dua pihak yang terjadi karena adanya perbuatan atau kesepakatan dalam bentuk 19 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, 1980, hal. 122. 20 M. Yahya Harahap, Op.Cit. hal. 6. Universitas Sumatera Utara 30 persetujuan atau perjanjian karena adanya sesuatu kepentingan. Jadi adanya perikatan karena ada kesepakatan. Tetapi dalam hukum adat suatu perikatan dapat terjadi karena perbuatan sepihak atau karena kepakatan dua pihak. Karena adanya perbuata atau kesepakatan menyebabkan timbulnya “perhutangan” perorangan atau sekelompok orang”. 21 J. Satrio berpendapat untuk tidak mempersoalkan perbedaan pendapat penggunaan istilah tetapi akan menggunakan saja istilah yang sudah lazim dan banyak dipakai oleh para sarjana, sedangkan perjanjian atau persetujuan untuk overeenkomst. 22 Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa unsur-unsur perikatan ada 4 empat yaitu: 23 1. Hubungan Hukum Maksudnya yaitu hubungan-hubungan yang terjadi dalam lalu llintas masyarakat, hukum melekatkan “hak” pada satu pihak, dan melekatkan “kewajiban” pada pihak lainnya. Untuk menilai suatu hubungan hukum perikatan atau bukan, maka hukum mempinyai ukuran-ukuran kriteria tertentu. 2. Kekayaan 24 21 Hilman Hadikusuma, Hukum Perekonomian Adat Indonesia, PT. Citra aditya Bakti, 2001, hal. 65. Yang dimaksud dengan kriteria perikatan adalah ukuran-ukuran yang dipergunakan terhadap sesuatu hubungan hukum sehungga hubungan hukum 22 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yanng Lahir Dari Perjanjian buku I, PT Citra aditya Bakti, 1995, hal.1. 23 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal. 55. 24 ibid Universitas Sumatera Utara 31 itu dapat disebut disebutkan suatu perikatan. Apa yang dipergunakan sebagai kriteria itu tidak tetap, dahulu yang menjadi kriteria ialah apakah sesuatu hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang atau tidak. Apabila hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang maka hubungan hukum itu adalah perikatan. Kriteria itu semakin lama semakin sukar untuk dipertahankan, karena di dalam masyarakat terdapat juga hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang, namun kalau terhadapnya tidak diberikan akibat hukum, rasa keadilan tidak akan dipenuhi, dan bertentangan dengan salah satu tujuan daripada hukum yaitu mencapai keadilan. Oleh karena itu sekarang kriteria diatas tidak lagi dipertahankan. Sebagai kriteria, maka ditentukan bahwa sekalipun suatu hubungan hukum itu tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi kalau masyarakat atau jasa keadilan menghendaki agar suatu hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukum pun akan melekatkan akibat hukum pada hubungan tadi. 3. Pihak-pihak yaitu hubungan hukum yang terjadi antara dua orang atau lebih. Pihak yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau siberutang dan pihak yang wajib memenuhi prestasi, pihak yang pasif adalah debitur atau si berhutang. Mereka ini yang disebut dengan subyek perikatan. 4. Prestasi apabila dua orang mengadakan perjanjian ataupun apabila undang-undang dengan terjadinya suatu peristiwa menciptakan suatu perikatan, jelaslah bahwa maksud dari kedua orang tersebut maupun dari pembentuk undang-undang Universitas Sumatera Utara 32 untuk mengikat kedua orang itu memenuhi kewajiban untuk memenuhi sesuatu disebut dengan prestasi. Pendapat para sarjana diatas telah memberikan penjelasan bahwa perjanjian atau persetujuan menerbitkan perikatan. Perikatan adalah abstraknya sedangkan perjanjian adalah kongkritnya. ` B.Jenis-Jenis dan Syarat Sahnya perjanjian Jenis-jenis Perjanjian: 25 1. Perjanjian Sepihak Perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya: perjanjian hibah. Dalam hibah ini, kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan yaitu memberikan barang yang dihibahkan, sedangkan penerima hibah tidak mempunyai kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima barang yang dihibahkan, tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan. 2. Perjanjian Timbal Balik: Perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian. Jadi pihak yang berkewajiban melakukan suatu prestasi juga berhak menuntut suatu kontra prestasi. 26 25 Diakses dari Misalnya: perjanjian jual beli dan perjanjian sewa menyewa. http:shareshareilmu.wordpress.com20120205jenis-jenis-perjanjian-yang- lazim-dipergunakan-dalam-praktek , pada tanggal 20 Februari 2014 pukul 15.35 26 Komariah , Op.Cit, hal. 170. Universitas Sumatera Utara 33 3. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama: Perjanjian Bernama atau Khusus: Perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku ke tiga Bab V sampai dengan Bab XVIII. Misalnya: perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain. Perjanjian Tidak Bernama: Perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang. Misalnya: perjanjian leasing, perjanjian keagenan dan Agen, atau perjanjian kredit. 4. Perjanjian Obligatoir dan Perjanjian non obligatoir Perjanjian Obligatoir: Suatu perjanjian dimana mengharuskan atau mewajibkan seseorang membayar atau menyerahkan sesuatu. Perjanjian non obligatoir 27 5. Perjanjian Konsensuil dan Perjanjian Riil Perjanjian Konsensuil: Perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian. yaitu perjanjian yang tidak mengharuskan seseorang untuk membayarmenyerahkan sesuatu. Misalnya balik nama hak atas tanah. Perjanjian Riil: Perjanjian yang tidak hanya memerlukan kata sepakat, tetapi barangnya harus diserahkan. Misalnya: perjanjian penitipan barang Pasal 1741 KUHPerdata. 27 Ibid Universitas Sumatera Utara 34 6. Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian Atas Beban 28 Perjanjian Atas Beban: Perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Misalnya: A menyanggupi memberikan kepada B sejumlah uang, jika B menyerahlepaskan suatu barang tertentu kepada A atauMisalnya: A menjanjikan kepada B suatu jumlah tertentu, jika B menyerahkan sebuah benda tertentu pula kepada A Perjanjian Cuma-cuma: Perjanjian menurut hukum terjadi keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya: hibah schenking dan pinjam pakai Pasal 1666 dan 1740 KUHPerdata. 7. Perjanjian Formil: Perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi Undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau PPAT. Misalnya: jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta PPAT, perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris. 8. Perjanjian Campuran: 29 a Perjanjian Penanggungan: Perjanjian yang terdiri dari beberapa perjanjian didalamnya. 28 Ibid 29 Ibid Universitas Sumatera Utara 35 Suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang debitur manakala orang itu sendiri debitur tidak memenuhinya wanprestasi. b Perjanjian StandarKlausula Baku: Perjanjian yang mencantumkan klausul di dalam perjanjiannyadimana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum. c Perjanjian standarbaku dapat dibedakan dalam tiga jenis: 1. Perjanjian baku sepihak Perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat dalam hal ini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi kuat dibandingkan pihak debitur. Misalnya: pada perjanjian buruh kolektif. 2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah Perjanjian baku yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Misalnya: Dalam bidang agraria dapat formulir pengajuan akta hipotek. 3. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat Terdapat perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan, yang dalam Universitas Sumatera Utara 36 kepustakaan Belanda biasa disebut dengan “contract model”. Misal: Surat Kuasa, Akte Pendirian. d Perjanjian Garansi: Diperbolehkan untuk menanggung atau menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi terhadap siapa yang telah menanggung pihak ketiga itu atau yang telah berjanji, untuk menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu jika pihak ini menolak memenuhi perikatannya Syarat-syarat Sahnya Perjanjian Menurut pasal 1320 KUH Pdt, untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 empat syarat, yaitu: 30 1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal. Komariah, SH, M.si menjelaskan syarat-syarat sahnya perjanjian sebagai berikut: 31 30 R. Soebekti dan R. Tjitronudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cetakan XXV, PT. Pradnya Paramita, Jakarta 1992, hal. 201. Ad.1 Dengan Sepakat dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. A yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga 31 Komariah, Op.Cit, hal. 44. Universitas Sumatera Utara 37 dikehendaki oleh pihak yang lain. Kesepakatan kedua belah pihak dalam suatu perjanjian itu harus diberikan secara bebas. Ad.2 kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Dalam pasal 1330 KUH Pdt disebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu: a Orang-orang yang belum dewasa b Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan c Orang perempuan yang telah kawin dengan adanya UU No.1 Tahun 1974, ketentuan ini tidak berlaku lagi. Menurut pasal 330 KUH Pdt belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Komariah175 Ad.3 Suatu hal tertentu sebagai syarat ketiga sahnya perjanjian, menurut pasal 1320 KUHPerdata ialah suatu hal tertentu. Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau mengenai bendanya. Ad.4 suatu sebab yang halal. syarat keempat sahnya perjanjian menurut pasal 1320 KUHPer adalah adanya sebab causayang halal. Syarat no. 1 dan 2 yakni sepakat mereka yang mengikat dirinya dan kecakapan membuat suatu perjanjian disebut “syarat subyektif”, karena syarat tersebut merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh orangnya subyek huum dalam perjanjian. Syarat 3 dan 4 disebut syarat obyektif karena syarat tersebut merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian. Universitas Sumatera Utara 38

C. Pengertian Pengangkutan dan hukum pengangkutan