Pembahasan HASIL DAN PEMBAHASAN

9 relatif kecil serta sesuai dengan bukaan mulut larva atau benih ikan, nilai nutrisinya tinggi, mudah dibudidayakan, gerakannya dapat merangsang ikan untuk memangsanya, dapat berkembangbiak dengan cepat sehingga ketersediaanya dapat terjamin serta biaya pembudidayaannya relatif murah Priyambodo dan Tri wahyuningsih 2003. Artemia merupakan salah satu pakan alami yang sampai saat ini paling banyak digunakan dalam usaha budidaya ikan dan udang khususnya dalam pembenihan. Pakan campuran yang digunakan berbentuk cairan kental yang mengandung bakteri probiotik dan berbagai asam amino. Bakteri probiotik yang terkandung dalam pakan campuran merupakan bakteri Bacillus subtilis. Bakteri jenis ini merupakan salah satu bakteri genus Bacillus yang dapat digunakan sebagai probiotik karena bakteri ini tidak patogen, memiliki daya bunuh untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan dapat membantu dalam penyeimbangkan mikroba pada saluran pencernaan hewan-hewan air, termasuk udang Balcazar et al. 2006. Akan tetapi, jenis pakan campuran ini hanya dimakan sedikit oleh larva, yaitu ketika pakan campuran yang diberikan masih melayang di akuarium dan sisa pakan yang tidak termakan akan mengendap di dasar akuarium . Pemberian pakan alami yang cukup dapat mempengaruhi kelangsungan hidup larva. Menurut Maiska 1981, makanan pertama yang diberikan pada larva sebaiknya mengandung gizi yang cukup, menarik perhatian larva, mudah ditangkap, dan tentunya disukai oleh larva tersebut. Berdasarkan pernyataan tersebut, pakan yang diberikan harus sesuai dengan karakter larva. Pada kontrol, pakan yang diberikan adalah artemia 77.19 g. Perlakuan III menunjukkan nilai kelangsungan hidup terendah, yaitu 31.25±6.25. Kombinasi pemberian pakan pada perlakuan III adalah artemia 38.59 g dan dosis pakan campuran 40.5 mL. Pada perlakuan ini jumlah pakan artemia dikurangi sebesar 50 dari normal. Hasil ini menunjukkan bahwa pakan campuran dengan dosis 40.5 mL belum mampu menggantikan kebutuhan pakan larva. Uji proksimat menunjukkan bahwa kandungan protein artemia sebesar 40.49 dan pakan campuran memiliki kandungan protein sebesar 10.21 Tabel 1. Hasil uji dapat dilihat bahwa kebutuhan protein untuk larva berkurang. Sehingga mortalitas pada perlakuan III menjadi yang paling tinggi. Mortalitas akan lebih tinggi lagi apabila makanan disekitarnya kurang memadai Djajasewaka 1985. Selain itu pakan campuran tidak banyak dimakan oleh larva sehingga mengendap dan menyebabkan dasar akuarium menjadi kotor. Karakteristik larva, yaitu tidak bergerak aktif mencari makan melainkan bergerak aktif dengan mulut yang terbuka Hardjamulia et al. 1981 menjadi penyebab tidak dimakannya pakan campuran tersebut. Jadi, pakan campuran yang termakan hanya ketika masih melayang dalam akuarium. Berbeda dengan perlakuan selama 3 hari dimana pakan yang digunakan adalah artemia dan pakan campuran, sedangkan pada perlakuan lanjutan selama 18 hari terjadi pergantian pakan ke cacing. Kondisi pencernaan larva yang belum siap menjadi penyebab kematian larva saat pergantian pakan. Artemia mengandung enzim exogenous enzymes yang dapat membantu larva mencernanya Lauf dan Hofer 1984 dan cacing mungkin tidak. Enzim pencernaan larva ikan patin mungkin belum siap untuk mencerna cacing karena saluran pencernaan masih sangat sederhana dan produksi enzim yang sangat rendah, sehingga mengurangi kemampuan cerna dan akhirnya mempengaruhi 10 kualitas benih yang dihasilkan. Stroband dan Dabrowski 1979 dan Buddington 1985 menyatakan bahwa pada kondisi saluran pencernaan yang masih sangat sederhana, produksi enzim-enzim pencernaan pun sangat rendah. Rendahnya aktifitas enzim dan ketiadaan salah satu atau beberapa enzim pencernaan akan sangat mempengaruhi kemampuan cerna larva. Hasil dari pengamatan Gambar 3 dan uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan II mendapatkan hasil yang terbaik untuk perlakuan 18 hari Lampiran 5. Hasil ini juga dapat dilihat dari tidak jauh berbedanya tingkat kelangsungan hidup antara perawatan selama 3 hari dengan perawatan selama 18 hari dibandingan perlakuan yang lain. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh pemberian pakan campuran dengan dosis tertentu terhadap kelangsungan hidup larva menjadi benih. Fuller 1992 menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi respon inang terhadap probiotik antara lain: komposisi mikroflora intestinum inang, dosis yang digunakan, umur dan spesies atau strain hewan inang, kualitas probiotik dan cara preparasi probiotik. Faktor yang menjadi pembeda antara tiap perlakuan adalah faktor dosis pakan campuran probiotik yang digunakan. Rahmawati et al. 2009 juga menyatakan bahwa tingkat kelangsungan hidup berbanding terbalik dengan pemberian dosis probiotik. Pernyataan ini sesuai dengan hasil yang didapat pada perlakuan III dimana tingkat kelangsungan hidup benih adalah yang paling rendah. Tingkat kelangsungan hidup larva Patin Siam Pangasius hypopthalamus yang baik adalah diatas angka 70 Sunarma 2004. Sedangkan pada tiap perlakuan nilai kelangsungan hidup larva tidak ada yang mencapai nilai 70. Rendahnya nilai sintasan pada tiap perlakuan kemungkinan disebabkan oleh pergantian pakan dari artemia ke cacing. Perlakuan kombinasi pakan pada awal percobaan menjadi faktor penyebab rendahnya nilai kelangsungan hidup dimana pada ketiga perlakuan yang menggunakan pakan campuran nilai sintasan selama 3 hari di bawah 70. Pertumbuhan adalah perubahan bentuk dalam hal panjang, bobot maupun isi sesuai dengan perubahan waktu. Pertumbuhan panjang ikan sebanding dengan pertumbuhan bobot, sehingga bobot ikan dapat dianggap sebagai fungsi dari panjang ikan Effendie 1978. Untuk tumbuh secara optimal larva ikan harus memakan pakan bergizi. Djajasewaka 1985 mengatakan bahwa semua spesies ikan membutuhkan pakan yang terdiri dari protein dengan asam amino essensial, lemak esensial, karbohidrat, vitamin dan mineral. Rachmatun 2005 mengatakan bahwa makanan yang diberikan mengandung protein rendah, maka pertumbuhannya lambat. Hal ini sesuai dengan nilai panjang mutlak benih patin pada umur 3 hari, dimana semua perlakuan tidak berbeda nyata kecuali pada perlakuan III Lampiran 7. Meskipun jumlah pakan campuran ditingkatkan menjadi 40.5 mL kebutuhan gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan larva tidak mencukupi, karena jumlah pakan artemia dikurangi sebanyak 50. Berdasarkan penghitungan, biaya pakan artemia dan pakan campuran terendah adalah pada perlakuan III. Namun sintasan pada perlakuan III merupakan yang paling rendah. Nilai sintasan rata-rata hari ke-18 pada kontrol dan perlakuan II tidak berbeda nyata . Akan tetapi, biaya pada masing-masing perlakuan tersebut berbeda. Penggunaan pakan campuran pada perlakuan II dapat menekan biaya artemia, dimana artemia yang digunakan hanya sebanyak 75 dari kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa dari segi biaya produksi, kombinasi 11 penggunaan pakan artemia dan pakan campuran pada perlakuan II adalah yang paling efisien. Kualitas air merupakan faktor kimia fisika yang dapat memengaruhi media pemeliharaan dan secara tidak langsung mempengaruhi proses metabolisme ikan patin. Kualitas air yang meliputi parameter suhu, DO, pH, dan amonia masih berada pada kisaran normal selama masa pemeliharaan dan masih mendukung terjadinya pertumbuhan Lampiran 1. Pergantian air yang dilakukan setiap harinya menjadi faktor terjaganya kualitas air pada masa pemeliharaan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4. 1. Kesimpulan

Kombinasi perlakuan pakan artemia dengan pakan campuran berpengaruh terhadap kelangsungan hidup larva. Pakan campuran belum dapat menjadi pengganti pakan artemia sepenuhnya, namun dapat dijadikan sebagai komplemen dari pakan artemia. Kombinasi yang paling mendekati kontrol dilihat dari nilai sintasan dan biaya produksi adalah pada perlakuan II artemia 57.89 g dan pakan campuran 33.75 mL. Biaya produksi selama 3 hari pada perlakuan II juga diasumsikan yang paling rendah.

4.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari cara pemberian pakan campuran ke dalam wadah pemeliharaan, misalnya wadah pemeliharaan yang diberikan salinitas tertentu sehingga berat jenis air akan sama dengan berat jenis pakan campuran. DAFTAR PUSTAKA Balcazar JL, Blas ID, Zarzuela IR, Cunningham D, Vendrell D, Muzquiz JL. 2006. The Role of probiotics in aquaculture. Veterinary Microbiology. 144; 173-186. Bank Indonesia. 2010. Pola pembiayaan usaha kecil pembenihan ikan patin. Jakarta. Akses 20 Mei 2012. 12 Blaxter JHS. 1969. Development: eggs and larvae. Di dalam: Hoar WS, Randall DJ dan Bret JR eds. Fish physiology. Vol.3. Academic Press, Inc., San Diego. 177-252. Djajasewaka. 1985. Pakan ikan. Makanan Ikan. Yasaguna. Jakarta. Djarijah AS. 2003. Pakan ikan alami. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. [DJPB] Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. 2011. Produksi patin melonjak. http:www.djpb.kkp.go.id . Akses 20 Mei 2012. Effendie MI. 1978. Biologi perikanan. Bagian 11: Dinamika populasi ikan. Fakultas Perikanan, IPB, Bogor. Effendie MI. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112. Effendi I. 1995. Perkembangan enzim pencernaan larva ikan betutu Oxyleotris marmorata Blkr. yang dipelihara pada cahaya normal dan teduh. [Tesis]. Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 89. Fatoni M. 2008. Optimasi konsentrasi kaldu limbah kepala patin pada salinitas 3 gL terhadap perkembangan larva ikan patin Pangasius hypothalamus. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor. Fosberg JA, Summerfelt RC. 1992. Effects of temperature on the die ammonia excretion of fingerling walleye. Aquaculture, 102 : 115-126. Fuller R. 1992. History and development of probiotics. In: Fuller R ed.. Probiotics: the scientific basis. Chapman dan Hall, New York. Hardjamulia A, Djajadireja R, Atmawinata S, Idris B. 1981. Pembenihan ikan jambal siam Pangasius sutchi F. dengan suntikan ekstrak kelenjar hipofisa ikan mas Cyprinus carpio. Bull. Pen. Perikanan. 12. 183- 190. Hofer R, Uddin AN. 1985. Digestive processes during the development of roach, Rutilus rutilus L. J. Fish Biol., 26: 683-689. Kawai S, Ikeda S. 1973. Studies on digestive enzymes of fishes - III. Development of digestive enzymes of rainbow trout after hatching and the effect of dietary change on the activities of digestive enzymes in the juvenile stage. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish., 397: 819-823. Lauff M, Hofer R. 1984. Proteolytic enzymes in fish development and the importance of dietary enzymes. Aquaculture, 37: 335-346. Maiska OV. 1981. Rearing of the fry of the africa catfish, Clarias lazera c v using live and artificial feedstuffs. Bamidgeh, 33 4: 122-127.