1
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tingginya permintaan masyarakat terhadap kebutuhan telekomunikasi khususnya yang murah menyebabkan pelaku usaha berlomba-lomba untuk
memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan animo masyarakat menggunakan layanan short message services sms. Dalam masyarakat
biasanya ada anggapan bahwa bisnis tidak mempunyai hubungan dengan etika dan moralitas. Berdasarkan pandangan yang keliru ini para pelaku
usaha akan menghalalkan berbagai cara untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya.
1
Salah satu bentuk perilaku bisnis yang hanya mementingkan keuntungan semata tanpa memperdulikan hak-hak masyarakat sebagai
konsumen adalah masalah penetapan harga price fixing short message services sms yang dilakukan oleh 6 operator telepon seluler di Indonesia.
Diberitakan bahwa para pelakunya antara lain PT. Excelcomindo Pratama,Tbk, PT. Telekomunikasi Selular, Tbk, PT. Telekomunikasi
Indonesia, Tbk, PT. Bakrie Telecom, Tbk, PT. Mobile-8 Telecom, Tbk, PT. Smart Telecom, Tbk yang telah merugikan masyarakat sebagai konsumen
dengan total jumlah kerugian mencapai Rp. 2.827.700.000.000 Putusan Perkara Nomor: 26KPPU-L2007.
1
www.yudicare.wordpress.com diunduh pada 9 Oktober 2014
Ke enam operator ini berdasarkan Putusan KPPU Nomor 26KPPU- L2007 dikenakan sanksi berupa denda sejumlah Rp 52 milyar kepada
Negara karena terbukti melakukan kegiatan kartel dalam bentuk perjanjian penetapan harga yang telah merugikan konsumen. Kartel merupakan
kegiatan persaingan usaha yang tidak sehat karena kartel adalah bentuk kerja sama dari produsen-produsen produk tertentu yang bertujuan untuk
mengawasi produksi, penjualan dan harga untuk melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu.
2
Melalui kegiatan kartel ini para anggota kartel dapat menetapkan harga atau syarat-syarat perdagangan
lainnya untuk mengekang suatu persaingan usaha sehingga hal ini dapat menguntungkan para anggota kartel yang bersangkutan. Berdasarkan
dengan praktek kartel ini di pasar telekomunikasi Indonesia maka sudah sangat jelas para konsumen yang telah dirugikan. Lalu bentuk kegiatan
kartel ini pun juga tidak dibenarkan berdasarkan “pasal 11 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Anti Monopoli yang berbunyi pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang
bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan pemasaran suatu barang dan jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.”
Dampak dari adanya kartel short message services sms adalah kerugian konsumen secara materiil dan immaterial. Dalam ketentuan umum
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 pasal 1 butir 2 dijelaskan bahwa
2
Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat,Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1999, h. 63
yang dimaksud dengan “konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri,
keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, konsumen adalah pihak yang paling dirugikan jika dunia bisnis dikuasai kartel, meskipun
sulit dibuktikan secara hukum tetapi kartel diyakini sudah terjadi dalam beberapa sector di Indonesia. Di satu sisi kartel memang sulit dibuktikan
namun disisi lain konsumen juga berada dalam posisi lemah dengan hubungan bisnis para pelaku usaha yang hanya mementingkan profit
semata.
3
Dalam hal terjadi pengalihan barang dari satu pihak ke pihak lain, maka secara garis besar pihak-pihak yang terlibat dapat dikelompokan
dalam dua kelompok : Pertama, kelompok penyedia barang atau penyelenggara jasa yang
pada umumnya pihak ini berlaku sebagai:
4
1. Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa
investor 2.
Penghasil atau pembuat barangjasa produsen 3.
Penyalur barang atau jasa
3
www.hukumonline.com diunduh pada 9 Oktober 2014
4
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Bagi Konsumen di Indonesia,Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2011, h. 33
Kedua, kelompok penerima barang atau jasa yang pada umumnya pihak ini berlaku sebagai :
1. Pemakai atau pengguna konsumen barang atau jasa dengan
tujuan memproduksi membuat barang atau jasa lain atau mendapatkan barang atau jasa itu untuk dijual kembali tujuan
komersial 2.
Pemakai atau pengguna konsumen barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah
tangganya untuk tujuan komersial Dalam kasus kartelisasi bisnis sms short message services di
Indonesia juga sudah sangat jelas bahwa hak-hak konsumen dilanggar sesuai dengan pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen yang intinya bahwa konsumen berhak mendapatkan perlakuan yang jujur dan tidak ada diksriminasi.
5
Apabila diperhatikan kondisi konsumen di Indonesia dewasa ini, maka terlihat bahwa
posisi konsumen masih sangat lemah dibandingkan dengan posisi produsen, sehingga perlu adanya pemberdayaan konsumen agar posisinya tidak selalu
pada pihak yang dirugikan. Pemberdayaan konsumen dapat dilakukan melalui penerapan hukum perlindungan konsumen yang memadai. Hukum
perlindungan konsumen ini menjadi relevan pada tiga tahap transaksi konsumen, yaitu ada prapembelian, disaat pembelian, dan purna pembelian.
5
Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, RajaGrafindoPersada, 2004, h. 38
Pemberdayaan konsumen ini harus diakui bukan pekerjaan yang mudah, namun harus tetap diusahakan agar kondisinya tidak semakin buruk bahkan
tetap diusahakan agar berimbang dengan posisi produsen yang selama ini jauh lebih unggul daripada konsumen. Mengingat kedua belah pihak saling
membutuhkan maka sebenarnya konsumen memiliki potensi untuk menempati posisi yang seimbang dengan produsen karena kemajuan usaha
produsen bergantung dengan konsumen pula.
6
Dalam setiap terbitnya suatu undang-undang yang dibuat, pembentuk undang-undang biasanya dikenal sejumlah asas atau prinsip
7
sebagai dasar terbitnya undang-undang tersebut. Asas hukum merupakan fondasi suatu
undang-undang dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Bila asas
dikesampingkan maka runtuhlah undang-undang itu dan segenap peraturan pelasaknaannya. Menurut Sajipto Rahardjo yang dikutip oleh Teuku
Muhammad Radhie, asas hukum bukan peraturan hukum namun tidak adanya hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada
didalamnya. Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen di Indonesia
bukanlah sebagai suatu system. Dari segi kerangka landasan hukum, sebenarnya tanpa Undang-Undang Perlindungan Konsumen norma-norma
perlindungan konsumen sudah ada hanya saja tersebar dalam berbagai
6
Ibid, h. 41
7
Wojowasito, KamusBahasa Indonesia dengan ejaan yang disempurnakan menurut pedoman Lembaga Bahasa Nasional, Bandung, Shinta Dharma, 1972, h. 17 dan 227
instrumen hukum-hukum pokok, tetapi tidak pada hukum-hukum sektoral.
8
Perlindungan konsumen sebelum adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebar di berbagai cabang hukum seperti hukum perdata, hukum
dagang, hukum pidana dan hukum yang tercampur aduk ke cabang hukum lainnya, sehingga jika ada masalah-masalah yang terkait dengan perlindungan
konsumen perlu dilakukan penafsiran yang hanya memiliki sampiran dari suatu peraturan. Sehingga sebelum berlakunya Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, perlindungan konsumen di Indonesia tidak dapat dipandang sebagai suatu system perlindungan konsumen.
Pokok-pokok pengaturan perlindungan konsumen menurut Purba yang dikutip oleh Yusuf Shofie adalah sebagai berikut.
9
: 1.
Kesederajatan antara konsumen dan pengusaha 2.
Konsumen mempunyai hak 3.
Pengusaha mempunyai kewajiban 4.
Pengaturan mengenai perlindungan konsumen menyumbang pada pembangunan nasional
5. Pengaturan tidak merupakan syarat
6. Perlindungan konsumen dalam iklim hubungan bisnis yang sehat
7. Keterbukaan dalam promosi produk
8. Pemerintah berperan aktif
9. Peran serta masyarakat
10. Implementasi asas kesadaran hukum
11. Perlindungan konsumen memerlukan penerobosan konsep-konsep hukum
tradisional 12.
Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap
8
Teuku Muhammad Radhie, Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijakan, Yogyakarta, Fakultas Hukum UII, 1997, h. 210-211
9
Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, Dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2002,h. 25-27
B. Rumusan dan Batasan Masalah