Analisis Kasus Kartel SMS Terkait Undang-Undang Perlindungan

tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan oleh setiap pihak yang dirugikan walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara produsen dengan konsumen. Dengan demikian pihak ketiga pun dapat menuntut ganti kerugian. 5

B. Analisis Kasus Kartel SMS Terkait Undang-Undang Perlindungan

Konsumen Secara harfiah arti kata consumer adalah setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan dari penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen. 6 Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 hanya berjarak tiga puluh enam hari dengan lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Anti Monopoli, sekalipun demikian Undang-Undang Perlindungan Konsumen memiliki ketentuan yang menyatakan bahwa kesemua undang-undang yang ada dan berkaitan dengan perlindungan konsumen tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau yang telah diatur khusus dalam undang-undang. 7 5 Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen,Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2004, h.129. 6 John. Echols, Kamus Inggris-Indonesia,Jakarta, Gramedia Jakarta, 1986, h. 124. 7 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Diadit Media, 2002, h.29. Setiap orang pada waktu tertentu dan dalam posisi tunggal atau sendiri maupun berkelompok dengan orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang umum seperti ini pada beberapa sisi menunjukan adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang sama. Perlindungan terhadap konsumen dipandang terasa sangat penting, lebih-lebih untuk menyongsong era perdagangan bebas. Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas, dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara-cara yang seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara diupayakan, sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak yang salah satunya dampak dari kegiatan kartel ini. 8 Ke enam operator dalam kasus ini dalam menjalankan kegiatan kartel dan juga dalam perjanjian penetapan harga mempunyai dampak yang merugikan konsumen. Adapun dalam kegiatan kartel ini yang di langgar oleh para pelaku usaha ataupun produsen adalah terlanggarnya hak dari konsumen yang tercantum dalam pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan dalam putusan KPPU disertakan wajib membayar ganti rugi kepada konsumen seperti yang tertera dalam pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 8 Erman Rajaguguk, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Mandar Maju, 2000, h. 33- 34 Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan tentang Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999. Konsumen sebagai pengggerak dalam perekonomian kerap sekali berada dalam posisi yang lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha. Berdasarkan penjelasan umum atas Undang-Undang Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen dalam perdagangan adalah tingkat kesadaran konsumen masih sangat rendah yang selanjutnya diketahui terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Mengacu pada hal ini, Undang-Undang Perlindungan Konsumen diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen masyarakat untuk melakukan pemberdayaan konsumen, melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Sehingga diharapkan segala kepentingan konsumen secara integrative dan komprehensif dapat dilindungi. Asas yang terkandung dalam Perlindungan Konsumen terdapat 5 asas utama yaitu : 1. Asas Manfaat, mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas Keadilan, partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas Keseimbangan, memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun spriritual. 4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen, memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, pemanfaatan barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas Kepastian Hukum, baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Terkait dengan penegakan hukum perlindungan konsumen, khususnya dalam kasus kartelisasi bisnis sms yang dilakukan oleh enam operator seluler sekiranya belum berjalan sesuai harapan. Sejak tahun 2004-2008 kasus kartelisasi ini bisa berjalan dengan lancar sebelum diketahui oleh KPPU dan diputuskan bahwa keenam operator ini bersalah karena telah melakukan kegiatan usaha tidak sehat yang mengakibatkan konsumen mengalami kerugian mencapai 2 triliiun rupiah. Sehingga sampai saat ini diberitakan bahwa pelaku usaha yang melakukan tindak kartel bisnis sms belum membayar ganti rugi kepada konsumen yang dirugikan. Dalam pengaturan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 dijelaskan salah satu upaya untuk menyelenggarakan perlindungan konsumen sebagaimana yang dikehendaki oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah melalui pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen. Pembinaan perlindungan konsumen diselenggarakan oleh Pemerintah dalam upaya untuk menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilakukannya kewajiban masing-masing. Sedangkan pengawasan perlindungan konsumen dilakukan secara bersama oleh pemerintah, masyarakat dan LPKSM Lembaga Pengawas Konsumen dan Swadaya Masyarakat, mengingat banyak ragam dan jenis barang dan jasa yang beredar di pasar serta luasnya wilayah Indonesia. Pembinaan terhadap pelaku usaha dan pengawasan terhadap barang dan jasa yang beredar di pasar tidak semata-mata ditunjuk untuk melindungi kepentingan konsumen tetapi sekaligus bermanfaat bagi pelaku usaha dalam upaya meningkatkan daya saing barang dan jasa di pasar global. 9 Di samping itu, diharapkan pula tumbuhnya hubungan usaha yang sehat antara pelaku usaha dengan konsumen, yang pada gilirannya dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif. Semoga dengan bersinerginya peran lembaga KPPU dan BPSK yang masing-masing telah mempunyai pengaturannya dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Anti Monopoli 9 www.hukumonline.com diunduh pada 14 Maret 2015 saat ini, para pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha perdagangan bisa menaati peraturan-peraturan yang ada dalam sistem hukum di Indonesia agar tidak ada lagi pihak-pihak yang dirugikan terutama konsumen dalam kegiatan perdagangan. 72 C. Analisis Pasal Dalam Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 Terkait Masalah Kartel SMS Mengenai pasal-pasal yang telah dilanggar oleh keenam operator dalam kasus kartel sms, KPPU sebagai lembaga yang berwenang untuk mengawasi dan menentukan kegiatan persaingan usaha di Indonesia dalam putusannya No. 26KPPU-L2007 telah memutuskan dugaan pelanggaran pasal 5 dan pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilanggar dalam kasus kartel sms ini merupakan pasal yang membahas mengenai penetapan harga, yaitu berbunyi : 1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. 2. Ketentuan sebagaimana dalam ayat 1 tidak berlaku bagi suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan atau suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku. Pada pasal 5 ayat 1 menentukan larangan menyeluruh perjanjian harga, melarang kartel harga yang telah lama dikenal. Termasuk dalam pasal ini perjanjian penetapan harga price fixing atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar konsumen atau pelanggan, yang dilakukan sesama pelaku usaha untuk menghasilkan produk barang dan jasa yang sama dengan menetapkan harga yang harus dibayar oleh konsumen. 10 Paradigma yang digunakan dalam 10 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, h. 27. pasal ini adalah perjanjian antar produsen atau antar para pelaku usaha, produsen menetapkan harga yang harus dibayar oleh pembeli untuk barang dan jasa yang diperdagangkan di pasar bersangkutan yang sama dari segi factual dan geografis. Dilihat secara historis, perjanjian harga sebagai hambatan persaingan telah dikenal sejak jaman dahulu di bumi Eropa, termasuk pemahamannya mengenai pengaruh buruk perjanjian harga yang menimbulkan harga melambung tinggi dan harga tersebut bukan harga pasar. Larangan yang termuat dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 hanya berlaku untuk pelaku usaha. Pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya. Tentu saja pesaingnya tersebut harus merupakan pelaku usaha juga. Secara eksplisit pesaing hanya pihak yang melakukan kegiatan ekonomi, jadi bukan pihak pembeli atau konsumen karena pembeli hanya memenuhi kepentingannya sendiri. 11 Perjanjian penetapan harga price fixing merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang bertujuan untuk menghasilkan laba yang setinggi-tingginya. Dengan adanya penetapan harga yang dilakukan diantara para pelaku usaha, maka akan meniadakan persaingan dari segi harga bagi produk yang mereka jual atau pasarkan, yang kemudian dapat mengakibatkan surplus konsumen, sesuatu yang seharusnya dinikmati oleh 11 Knud Hensen, et.al, Undang-Undang No. 5Tahun 1999 : Undang-Undang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Law Concenring Probhition of monopolistic practices and unfair business competition, Jakarta:Katalis dan GTZ, h. 206. pembeli atau konsumen dipaksa beralih ke produsen atau penjual. Kekuatan untuk mengatur harga, pada dasarnya merupakan perwujudan dari kekuatan menguasai pasar dan menentukan harga yang boleh jadi tidak masuk akal. 12 Adapun pasal 11 sebagai pasal yang dilanggar dalam kasus kartel sms ini merupakan pasal mengenai kartel yang berbunyi : “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” Semua perjanjian seperti ini meniadakan kesempatan pihak lawan dalam pasar untuk memilih secara bebas diantara penawaran para anggota kartel. Memang dalam kegiatan kordinasi produksi serta pemasaran sering mempunyai manfaat pro persaingan, sehingga pada konteks kebijakan persaingan usaha sering terjadi ambivalen dan kegiatan koordinasi pemasaran yang murni selalu merupakan hambatan persaingan usaha yang serius. Pasal 11 mensyaratkan terdapatnya perjanjian antara para pelaku usaha yang saling bersaing. Dengan demikian penerapan ketentuan tergantung pada tiga kriteria, yaitu para pihak harus pelaku usaha, saling bersaing, dan membuat perjanjian. 13 Kartel biasanya terjadi dikarenakan persaingan yang cukup sengit di pasar. Untuk menghindari persaingan ini anggota kartel setuju menentukan harga dengan membuat perjanjian penetapan harga price fixing secara bersama, 12 Philip Arseda, Anti Trust Analysis Problems Text Cases, Litile Brown and Company, 1981, h. 315 13 Ibid, h. 206 mengatur produksi bahkan menentukan secara bersama-sama potongan harga, promosi dan syarat-syarat perjanjian lain. 14

D. Analisis Kasus Kartel SMS Terkait Undang-Undang Anti Monopoli