El Nino Southern Oscillation
                                                                                dan  84  kejadian  CT  El  Nino.  Komposit  dari  kedua  tipe  El  Nino  tersebut  sangat berbeda baik dari posisi maupun besarnya anomali positif SPL Gambar 13. Pada
CT  El  Nino  anomali  positif  SPL  terpusat  di  sebelah  timur  ekuatorial  Samudera Pasifik  sebesar  2.5  K,  sedangkan  pada  WP  El  Nino  cenderung  terpusat  di
internasional  date  line  160°BT  sebesar 1.0  K  dan  menyebar  sampai  ke  sebelah timur dengan nilai yang lebih kecil.
Gambar 13 Komposit  anomali  SPL  °C  periode  CT  El  Nino  a  dan  WP  El
Nino b pada bulan NDJ selama periode 500 tahun, diadaptasi dari Kug et al. 2010.
Pada  penelitiannya  Kug  et  al.  2010  memperoleh  kesimpulan  yang  sama mengenai  keberadaan  dan  besarnya  nilai  anomali  SPL  dari  dua  tipe  CT  El  Nino
dan  WP  El  Nino  dengan  menggunakan  data luaran  model  GFDL  CM2.1  dengan penelitian  sebelumnya  yang  dilakukannya  Kug  et  al.,  2009.  Selain  itu  dengan
memperhitungkan  perbandingan  antara  adveksi  SPL  zonal  dan  adveksi  SPL vertikal, diperoleh kesimpulan bahwa CT El Nino memiliki proses discharge yang
kuat  sehingga  secara  dinamis  ketika  periode  CT  El  Nino  mulai  melemah  dapat mengontrol  mekanisme  umpan  balik  dari  fase  panas  ke  fase  dingin  untuk
terbentuknya  kejadian  La  Nina.  Sementara  itu,  WP  El  Nino  memiliki  proses discharge yang lemah karena pola distribusi anomali SPL yang menyebar merata
dengan  nilai  anomali  positif  yang  kecil  sehingga  tidak  memungkinkan  untuk terjadinya  periode  La  Nina  setelah  selesainya  periode  WP  El  Nino.  Kondisi  ini
diperkuat dengan hasil dari perhitungan adveksi SPL zonal dari WP El Nino yang cenderung  terjadi  secara  perlahan  karena  adanya  thermal  damping  process
terhambatnya transpor bahang melalui mekanisme adveksi di lautan. Kug et al. 2010 menyampaikan bahwa WP El Nino berperan besar dalam
menentukan  perubahan  kondisi  normal  SPL  di  Samudera  Pasifik  secara klimatologi  karena  pada  beberapa  dekade  terakhir  WP  El  Nino  sering  terjadi
sehingga  akan  meningkatkan  SPL  dalam  siklus  jangka  panjang.  Korelasi  antara indeks Nino4 dengan anomali SPL pada tipe WP El Nino selama 500 tahun cukup
kuat  sebesar  0.7  dimana  telah  diketahui  sebelumnya  bahwa  indeks  Nino4 memiliki  kecenderungan  peningkatan  suhu  dari  kondisi  normalnya  pada  siklus
dekadal dan antar  dekadal. Kug et al. 2010 menyampaikan bahwa terdapat dua kemungkinan yang terjadi dengan eratnya interelasi antara Nino4  dan tipe WP El
Nino  yaitu  pertama,  WP  El  Nino  mempengaruhi  variabilitas  siklus  dekadal  di tropikal Samudera Pasifik melalui mekanisme efek penyesuaian ketidak-teraturan
Nonlinier  rectification  effect  yang  sebelumnya  telah  diteliti  keberadaan  pola dekadal  ENSO  di  Samudera  Pasifik  Timmermann,  2003;  Rodgers  et  al.,  2004;
An  et  al.,  2005;  An,  2009.  Kemungkinan  kedua  adalah  peningkatan  suhu  di Samudera  Pasifik  dalam  jangka  panjang  menyebabkan  tipe  WP  El  Nino  lebih
sering  terjadi  pada  beberapa  dekade  terakhir  karena  peranan  adveksi  SPL  zonal sangat besar dalam proses pembentukan WP El Nino.
Harrison  dan  Chiodi  2009  dengan  menggunakan  data  Optimum Interpolation  Sea  Surface  Temperature  NOAA  OISST-NOAA  telah
mengidentifikasikan  terdapat  tiga  tipe  pola  sebaran  anomali  SPL  jika  dikaitkan dengan  kejadian  angin  baratan  Westerly  Wind  EventWWE  yang  berasosiasi
dengan  EL  Nino  pada  lokasi  yang  berbeda  di  sepanjang  ekuatorial  Samudera Pasifik.  Lokasi  kejadian  WWE  tersebut  terdapat  pada  tiga  petak  yaitu  petak
pertama  pada  130°BT-155°BT,  kedua  pada  155°BT-180°BT  dan  ketiga  pada 180°BT-150°BB  dan  masing-masing  petak  berada  pada  5°LS-5°LU.  Kriteria
komposit  yang  digunakan  adalah  selisih  dari  anomali  SPL  hari  ke  60  dan  ke  20 dimana  pada  tahun  yang  bersangkutan  nilai  indeks  Nino3  mendekati  normal
Nino3 ≤ 0.75°C dan terdapat kejadian WWE di masing-masing petak. Periode
data  yang  digunakan  dikelompokan  menjadi  dua  yaitu  pada  periode  1986-1998 dan 1999-2006 Gambar 14.
Gambar 14 Komposit  selisih  anomali  SPL  °C  antara  hari  ke  60  dengan  hari
ke  20  pada  saat  kejadian  angin  baratan  Westerly  Wind EventWWE dimana nilai indeks Nino3 mendekati normal Nino3
≤ 0.75°C pada tiap petak kotak hitam a tipe W baratwestern pada  130°BT-155°BT,  c  tipe  C  tengahcentral  pada  155°BT-
180°BT  dan  e  tipe  E  timureastern  pada  180°BT-150°BB, masing-masing pada 5°LS-5°LU periode tahun 1986-1998. b, d
dan f sama seperti a, c dan e pada periode tahun 1999-2006, diadaptasi dari Harrison dan Chiodi 2009.
Harrison  dan  Chiodi  2009  dari  hasil  penelitiannya  menyimpulkan  bahwa terdapat perbedaan pola sebaran anomali SPL saat terjadi El Nino pada beberapa
dekade  terakhir  dan  terdapat  tiga  tipe  anomali  SPL  yang  berasosiasi  dengan  El Nino yaitu tipe W, C dan E dimana angin baratan terjadi di sebelah  barat, tengah
dan timur ekuatorial Samudera Pasifik. Pada tipe W, C dan E antara periode tahun 1986-1998,  anomali  positif  SPL  dominan  terpusat  di  sebelah  timur  ekuatorial
Samudera  Pasifik,  sedangkan  antara  periode  1999-2006  cenderung  berada  di tengah  ekuatorial  Samudera  Pasifik.  Pola  anomali  SPL  yang  terjadi  sangat
berbeda,  sedangkan  keberadaan  WWE  sebagai  gaya  yang  menyebabkan perpindahan  kolam  air  hangat  tetap  ada  meskipun  Harrison  dan  Chiodi  2009
tidak  mengelompokan  WWE  berdasarkan  kekuatan  anginnya,  hanya  keberadaan kejadian  WWE  terhadap  arah  angin  dari  barat  ke  timur  di  sepanjang  ekuatorial
Samudera Pasifik. Harrison dan Chiodi 2009 menduga penyebab terjadinya pola anomali  SPL  antara  periode  1999-2006  adalah  menguatnya  angin  timuran  di
sebelah  timur  ekuatorial  Samudera  Pasifik  pada  beberapa  dekade  terakhir.  Pada tipe  W,  C  maupun  E,  baik  sebelum  tahun  1998  maupun  sesudah  tahun  1999,
periode  El  Nino  yang  terjadi  tidak  berkaitan  erat  dengan  aktifitas  MJO  yang memperkuat terjadinya WWE karena pada beberapa periode El Nino terdapat fase
MJO  aktif  dan  beberapa  periode  lainnya  juga  ditemukan  fase  MJO  yang  tidak aktif.  Pada  periode  sebelum  tahun  1998,  WWE  tipe  W,  C  atau  E  memiliki
kecenderungan  terjadinya  tipe  El  Nino  konvensional,  sedangkan  setelah  tahun 1999  terjadi  perubahan  karakteristik  El  Nino  antara  tipe  W,  C  dan  E  meskipun
anomali positif ketiga tipe tersebut berada di tengah ekuatorial Samudera Pasifik. Tipe  W  memiliki  anomali  positif  SPL  berada  di  sebelah  barat,  tipe  C  menyebar
dari  tengah  sampai  timur  dan  tipe  E  terpusat  di  tengah  ekuatorial  Samudera Pasifik.
Weng  et  al.  2009  dengan  menggunakan  data  HadISST  Rayner  et  al., 2003,  National  Centre  for  Environmental  PredictionNational  Center  for
Atmospheric  Research  NCEPNCAR  Kalnay  et  al.,  1996  dan  Global Precipitation  Climatology  Project  GPCP  versi  2  Adler  et  al.,  2003
memperlihatkan terjadinya perbedaan anomali iklim secara global antara El Nino konvensional  dan  El  Nino  Modoki  Ashok  et  al.,  2007  dengan  adanya  pola
sebaran  anomali  po sitif  dan  negatif  SPL  yang  berbentuk  “bumerang”  melintang
dari lintang sedang di BBU sampai BBS Gambar 15d, sedangkan pada El Nino konvensional  hanya  terjadi  pola
“bumerang”  pada  anomali  negatif  SPL  saja Gambar 15a. Pola spasial anomali SPL  yang berbeda akan mengakibatkan zona
konveksi  pada  saat  terjadi  El  Nino  dan  El  Nino  Modoki  akan  berbeda  pula. Pergeseran  ITCZ  dan  SPCZ  pada  saat  El  Nino  Modoki  berperan  penting  dalam
menentukan  zona  konveksi  yang  mengakibatkan  terjadinya  anomali  curah  hujan Gambar  15e,  sedangkan  ITCZ  hanya  berperan  pada  saat  terjadi  El  Nino
konvensional  Gambar  15b.  Anomali  kelembaban  spesifik,  kecepatan  potensial dan pola sirkulasi Walker pada lapisan troposfer memperlihatkan perbedaan yang
besar antara El Nino konvensional  Gambar 15c dengan dua kutub dipole dan El Nino Modoki dengan tiga kutub tripole pada parameter kelembaban spesifik
Gambar 15f. Zona konveksi pada El Nino konvensional berada di sebelah timur, sedangkan  pada  El  Nino  Modoki  terdapat  di  tengah  ekuatorial  Samudera  Pasifik
180°BT.  Pola  iklim  yang  berbeda  antara  El  Nino  konvensional  dan  El  Nino Modoki  akan  memberikan  pengaruh  yang  besar  terhadap  dampak  yang
ditimbulkannya secara regional maupun global.
Gambar 15 Korelasi  parsial  antara  Nino3  baris  atas  dan  EMI  baris  bawah
dengan  SPL  °C  kolom  kiri,  curah  hujan  mmhari  kolom tengah  dan  profil  melintang  ketinggian  dan  membujur  dari
kelembaban spesifik gkg pada 10°LS-10°LU kolom kanan. b dan  e  tumpang-tindih  dengan  vektor  angin  streamline  dan  c
dan  f  tumpang-tindih  dengan  kecepatan  potensial  dikalikan dengan -50 untuk mempermudah analisis kontur dengan interval 4
x 10
5
m
2
s
-1
dan vektor angin streamline, diadaptasi dari Weng et al. 2009.
Yu  et  al.  2010  mendefinisikan  variabilitas  SPL  yang  berada  di  sebelah timur  adalah  variabilitas  SPL  Tipe-1  dan  di  tengah  ekuatorial  Samudera  Pasifik
adalah  variabilitas  SPL  Tipe-2.  Variabilitas  SPL  Tipe-1  berkaitan  dengan komponen  variabilitas  antar  tahunan  SPL  yang  erat  kaitannya  dengan  El  Nino
konvensional  dan  variabilitas  SPL  Tipe-2  berkaitan  dengan  komponen  diluar variabilitas  SPL  Tipe-1.  Data  yang  digunakan  oleh  Yu  et  al.  2010  adalah  data
asimilasi  dari  German  Estimating  the  Circulation  and  Climate  of  the  Ocean project GECCO Kohl et al., 2006 dengan mendefinisikan dua buah petak yang
mewakili  varibilitas  SPL  di  sebelah  timur  dan  di  tengah  ekuatorial  Samudera Pasifik.  Petak  pertama  berada  di  sebelah  timur  ekuatorial  Samudera  Pasifik
5°LS-5°LU,  120°BB-80°BB  yang  mewakili  variabilitas  SPL  berkaitan  dengan variabilitas  antar  tahunan  El  Nino  konvensional  disebut  Tipe-1  dan  petak  kedua
berada  di  tengah  ekuatorial  Samudera  Pasifik  5°LS-5°LU,  180°BT-140°BB yang  mewakili  variabilitas  SPL  diluar  Tipe-1  dan  disebut  Tipe-2  Gambar  16.
Hasil korelasi linier sederhana dengan menggunakan beda waktu antara 12  bulan sebelumnya  sampai 12 bulan  sesudahnya dengan interval 6 bulan antara anomali
SPL  di  Samudera  Pasifik  dengan  petak  pertama  dan  kedua  memperlihatkan  pola evolusi anomali SPL untuk Tipe-1 Gambar 16a-e dan Tipe-2 Gambar 16f-j.
Variabilitas  Tipe-1  memiliki  anomali  positif  SPL  yang  menyebar  dari tengah sampai timur ekuatorial Samudera Pasifik yang berasosiasi dengan Osilasi
Selatan Southern Oscillation dan memiliki siklus utama antar tahunan antara 4-5 tahun  dan  siklus  lainnya  biennial  dua  tahunan  antara  2-2.5  tahunan  dengan
mekanisme proses fisis yang bekerja dominan dipengaruhi  variabilitas suhu pada kolom  laut  di  sepanjang  ekuatorial  Samudera  Pasifik.  Berbeda  halnya  dengan
Tipe-1,  pada  Tipe-2  dominan  memiliki  siklus  dua  tahunan  yang  berasosiasi dengan  interaksi  lokal  laut-atmosfer  sehingga  menghasilkan  pola  anomali  positif
SPL yang terpusat di tengah dan menyebar melalui mekanisme adveksi SPL zonal ke arah barat dan timur ekuatorial Samudera Pasifik. Pada variabilitas SPL Tipe-2
ini  memiliki  keterkaitan  yang  erat  dengan  anomali  SPL  di  daerah  subtropis  di BBU  dan  BBS,  terutama  pada  BBU  dimana  anomali  SPL  yang  terbentuk  di
perairan  sebelah  timur  laut  dan  dari  arah  tenggara  Samudera  Pasifik  di  BBS menyebar  ke  arah  tengah  ekuatorial  Samudera  Pasifik  sehingga  menimbulkan
anomali  surface  heat  flux  forcing  pembangkit  fluks  bahang  permukaan  dan berasosiasi dengan anomali angin permukaan laut Gambar 16f-j.
Yu  et  al.  2010  berpendapat  bahwa  pembentukan  variabilitas  SPL  Tipe-2 berkaitan  erat  dengan  gaya  pembangkit  tekanan  tinggi  di  subtropis  dimana  hasil
penelitian sebelumnya menyatakan bahwa variabilitas antar tahunan di ekuatorial Pasifik  berkaitan  erat  dengan  variabilitas  SPL  yang  berada  di  daerah  subtropis
Vimont et al., 2003; Anderson, 2003; Chang et al., 2007. Variabilitas SPL Tipe- 2  yang  disampaikan  oleh  Yu  et  al.  2010  pada  prinsipnya  adalah  merupakan
fenomena  yang  sama  dimana  terjadi  anomali  positif  SPL  di  tengah  ekuatorial Samudera  Pasifik  dengan  penamaan  yang  berbeda-beda  karena  belum  ada
kesepakatan terminologi yang sama. Larkin dan Harrizon 2005a menyebut Tipe- 2  ini  dengan  sebutan  El  Nino  Dateline,  Ashok  et  al.  2007  memberi  nama  El
Nino Modoki, Kao dan Yu 2009, Yeh et al. 2009, Yu dan Kim 2010, Lee dan McPhaden  2010  dan  Newman  et  al.  2011  menamakan  CP-ENSO  Central
Pacific-ENSO,  Kug  et  al.  2009  mendefinisikannya  dengan  nama  WP  El  Nino Warm  Pool  El  Nino,  Harrison  dan  Chiodi  2009  dan  Takahashi  et  al.  2011
memberi nama Tipe C Central dan Kim et al. 2011 menamakan dengan CPW Central Pacific Warming.
Gambar 16 Korelasi linier sederhana dengan beda waktu a-e dan f-j dari
-12 bulan sampai 12 bulan dengan interval 6 bulan  antara anomali SPL  °C  bulan
-1
°C
-1
dengan  rata-rata  anomali  SPL  pada  petak sebelah timur 5°LS-5°LU, 120°BB-80°BB untuk variabilitas SPL
Tipe-1 kolom kiri dan pada petak di tengah  ekuatorial Samudera Pasifik  5°LS-5°LU,  180°BT-140°BB  untuk  variabilitas  SPL
Tipe-2  kolom  kanan.  Garis  hitam  pada  h  menunjukkan  nilai variabilitas  lokal  SPL  maksimun  pada  12°LS  dan  18°LU,
diadaptasi dari Yu et al. 2010.
Yu  dan  Kim  2010  dari  hasil  penelitian berikutnya  menyampaikan  bahwa terdapat  tiga  grup  pola  evolusi  dari  CP  El  Nino  yaitu  grup-1  yang  disebut
prolonged-decaying  pattern  pola  CP  El  Nino  yang  berlangsung  lama,  grup-2 yang disebut abrupt-decaying pattern Pola CP El Nino yang berlangsung cepat
dan  terakhir  grup-3  yang  disebut  symmetric-decaying  pattern  pola  CP  El  Nino yang simetris. Data SPL yang digunakan untuk membagi kedalam tiga grup pola
evolusi CP El Nino berasal dari ERSST V3 dan HadISST antara tahun 1958-2007. Pada  periode  data  tersebut  diperoleh  12  fase  CP  El  Nino  Gambar  17,  kecuali
pada  periode  197980,  199293  dan  199394  Gambar  17d,  17h  dan  17i  karena pola sebaran anomali SPL CP El Nino  yang terjadi cenderung menyebar ke arah
subtropis yang dikenal dengan sebut pola horseshoe-like Kao dan Yu, 2009 dan tidak diikutsertakan pada analisis komposit.
Gambar 17 Rata-rata  anomali  SPL  pada  bulan  SONDJF  September  sampai
Februari tahun berikutnya pada tahun-tahun terjadinya fase CP El Nino.  d,  h  dan  i  tidak  diikutsertakan  kedalam  tiga  grup  yang
dikelompokan  karena  pola  SPL  yang  terjadi  cenderung  menyebar ke arah subtropis, diadaptasi dari Yu dan Kim 2010.
Grup-1  dari  CP  El  Nino  terjadi  pada  tahun  196869,  199091  dan  199192 Gambar  18a-c  dan  hasil  komposit  anomali  SPL  dengan  menggunakan  data
ERSST  V3  Gambar  18j  dan  HadISST  Gambar  18m  memperlihatkan  pola evolusi CP El Nino  yang  sama. Pada grup ini, anomali SPL di tengah ekuatorial
Samudera Pasifik berlangsung lama dan setelah mencapai puncaknya akan diikuti dengan fase El Nino konvensional dimana massa air hangat berkumpul di sebelah
timur  ekuatorial  Samudera  Pasifik.  Perubahan  dari  fase  CP  El  Nino  ke  El  Nino
konvensional  mengikuti  mekanisme  proses  recharge-discharge  oscillator  Jin, 1997  dimana  kedalaman  lapisan  termoklin  berperan  besar  dalam  proses
thermocline  feedback  sampai  berkumpulnya  massa  air  hangat  di  perairan  timur ekuatorial Samudera Pasifik Yu dan Kim, 2010.
Berbeda halnya dengan grup-1 CP El Nino, pada grup-2 setelah fase puncak CP  El  Nino  terjadi,  massa  air  hangat  di  tengah  ekuatorial  Samudera  Pasifik
dengan cepat mengalami penurunan SPL sampai mencapai anomali negatif SPL di sebelah  timur  ekuatorial  Samudera  Pasifik  yang  terjadi  pada  tahun  196364,
197778 dan 198788 Gambar 18d-f. Hasil komposit anomali SPL pada periode tahun-tahun CP El Nino grup-2 menunjukkan pola evolusi yang sama baik dengan
menggunakan  data  SPL  dari  ERSST  V3  Gambar  18k  maupun  data  SPL  dari HadISST Gambar 18n. Setelah fase puncak CP El Nino  grup-2 ini akan diikuti
oleh fase La Nina atau fase netralnormal. Yu dan Kim 2010 berpendapat bahwa mekanisme proses perubahan dari fase puncak CP El Nino pada grup-2 ini ke fase
La Nina atau netral sama halnya dengan CP El Nino pada grup-1.
Gambar 18 Pola evolusi anomali SPL dari grafik melintang terhadap waktu di
sepanjang  ekuatorial  Samudera  Pasifik  antara  5°LS-5°LU  pada tahun-tahun  terjadinya  CP  El  Nino  dari  grup-1  a-c,  grup-2  d-f
dan  grup-3  g-i  dari  bulan Juli  sampai Juni  tahun  berikutnya.  J, k dan l hasil komposit anomali SPL pada masing-masing grup-
1,  grup-2  dan  grup-3  dengan  menggunakan  data  SPL  dari  ERSST V3 dan m, n dan o dengan menggunakan data dari HadISST,
diadaptasi dari Yu dan Kim 2010.
Grup-3  CP  El  Nino  yaitu  pada  tahun  199495,  200203  dan  200405 Gambar  18g-i  dimulai  dari  kondisi  normal  SPL  di  sepanjang  ekuatorial
Samudera  Pasifik  kemudian  massa  air  mulai  menghangat  di  tengah  dan  diikuti dengan  menurunnya  SPL  di  sebelah  barat  ekuatorial  Samudera  Pasifik.  Ketika
mencapai  puncaknya,  CP  El  Nino  grup-3  ini  memiliki  anomali  positif  SPL  dari tengah  ekuatorial  sampai  ke  perairan  sebelah  timur  ekuatorial  Samudera  Pasifik.
Setelah  mencapai  puncaknya  massa  air  hangat  ini  akan  kembali  ke  posisi normalnya dimana massa air hangat berada di perairan timur ekuatorial Samudera
Pasifik.  Sejak  CP  El  Nino  grup-3  mulai  terbentuk  sampai  kembali  ke  kondisi normalnya,  pola  evolusi  anomali  SPL  di  sepanjang  ekuatorial  Samudera  Pasifik
terjadi  secara  simetris.  Hasil  komposit  anomali  SPL  dengan  menggunakan  data SPL  dari  ERSST  V3  Gambar  18l  dan  HadISST  Gambar  18o  juga
memperlihatkan pola evolusi yang sama.  Yu dan Kim 2010 berpendapat bahwa dinamika  proses  fisis  yang  berkerja  selama  proses  terjadinya  CP  El  Nino  grup-3
ini melibatkan umpan balik dari interaksi laut-atmosfer yang besar. Lee dan McPhaden 2010 memperkuat pendapat tentang keberadaan tipe El
Nino  dengan  anomali  positif  SPL  yang  berada  di  tengah  ekuatorial  Samudera Pasifik  dan  meningkatnya  intensitas  kejadian  CP  El  Nino  pada  kurun  waktu  3
dekade  terakhir.  Terjadinya  CP  El  Nino  bukan  disebabkan  oleh  berubahnya kondisi normal SPL background SPL di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik,
tetapi  CP  El  Nino  terjadi  secara  alamiah  dan  cenderung  perubahannya  karena adanya  variabilitas  alamiah  peralihan  dari  siklus  dekadal  ke  siklus multi  dekadal
McPhaden  dan  Zhang,  2002;  Lee  dan  McPhaden,  2008  atau  perubahan  yang terjadi  karena  faktor  antropogenik  dari  peningkatan  gas-gas  rumah  kaca  selaras
dengan periode pemanasan global Yeh et al., 2009. Kesimpulan tersebut diambil oleh Lee dan McPhaden 2010 setelah melakukan analisis dengan menggunakan
data observasi in-situ dan satelit SPL dari Reynolds’s Group for High Resolution
SST  GHRSST  Level  4  AVHRR  Optimal  Interpolation  OI  yang  telah diasimilasi antara tahun 1982 sampai Februari 2010  Reynolds et al., 2007.
Pola  CP  El  Nino  yang  terakhir  diamati  pada  tahun  200910  dari  data  citra satelit  AVHRR  hasil  komposit  pada  bulan  Desember  sampai  Januari  DJF
dengan  jelas  memperlihatkan  pola  CP  El  nino  dengan  anomali  positif  SPL  yang
terpusat  di  tengah  ekuatorial  Samudera  Pasifik  dan  berada  pada  area  di  Nino4 Gambar  19a.  Lee  dan  McPhaden  2010  dengan  menggunakan  data  GHRSST
Level  4  telah  menghitung  anomali  SPL  dari  data  rata-rata  harian  antara  tahun 1982-2010  kemudian  dihaluskan  dengan  rata-rata  bergerak  tiga  bulanan  dan
dirata-ratakan pada bulan DJF  pada tahun-tahun terjadinya El Nino dan  La  Nina pada tiap petak di Nino4 dan Nino3.
Gambar 19 Anomali  SPL  DJF  tahun  200910  pada  saat  terjadi  CP  El  Nino
dari  data  citra  satelit  AVHRR  a.  Garis  pada  petak  menunjukkan area  Nino4  dan  garis  pada  petak  putus-putus  menunjukkan  area
Nino3  a.  Anomali  SST  pada  Nino4  b  dan  Nino3  c  pada  saat terjadi  EP  El  Nino  merah,  CP  El  Nino  merah  jambu  dan  La
Nina biru dari data GHRSST Level 4 OI. Garis putus-putus merah dan  biru  menandakan  trend  perubahan  anomali  SPL  pada  saat  El
Nino dan La Nina b dan c, diadaptasi dari Lee dan McPhaden 2010.
Hasil  analisisnya  memperlihatkan  bahwa  terdapat  peningkatan  trend anomali SPL pada Nino4 Gambar 19b dan terjadi penurunan trend anomali SPL
pada  Nino3  Gambar  19c  yang  menunjukkan  bahwa  terjadi  peningkatan intensitas  anomali  SPL  di  tengah  ekuatorial  Samudera  Pasifik,  sedangkan  di
sebelah  timur  ekuatorial  Samudera  Pasifik  terjadi  penurunan  intensitas  anomali SPL. Oleh karena itu, Lee dan McPhaden 2010 berpendapat bahwa CP El Nino
terjadi bukan karena adanya perubahan pola normal SPL di sepanjang ekuatorial Samudera  Pasifik,  tetapi  kerena  seringnya  terjadi  anomali  positif  SPL  yang
terpusat  di  Nino4  dengan  nilai  anomali  positif  SPL  yang  semakin  bertambah besar.
Pendapat senada  diutarakan oleh Newman  et al. 2011 bahwa CP El Nino dan  EP  El  Nino  adalah  merupakan  fenomena  dari  variabilitas  alamiah  natural
yang  terjadi  secara  acak  random  selaras  dengan  meningkatnya  siklus  multi dekadal  variabilitas  SPL.  Pendapat  tersebut  disimpulkan  setelah  melakukan
analisis  kedalaman  lapisan  termoklin  dan  tekanan  angin  zonal  dengan menggunakan  data  SPL  HadISST  selama  42  tahun
dengan  metode  “Patterns- Based
”  Multivariate  Red  Noise  melalui  pendekatan  Linear  Inverse  Modeling LIM. Newman et al. 2011 berhasil memilahkan antara CP El Nino  dan EP El
Nino  baik  secara  spasial  maupun  temporal  dengan  mempertimbangkan  panjang data yang digunakan dengan biasgangguan noise yang mungkin dihasilkan dari
panjangnya  data  deret  waktu  yang  digunakan.  Gangguan  tersebut  meliputi  white noise yang sebenarnya merupakan bagian dari suatu fenomena didalam data deret
waktu  dan  red  noise  yang  memang  merupakan  gangguan  dari  data  deret  waktu dan  bukan  merupakan  bagian  dari  suatu  fenomena  ekstrim  di  dalam  data  deret
waktu,  tetapi  karena  kualitas  data  yang  berkaitan  dengan  proses  akuisisi  data, presisi  data  maupun  dalam  proses  pengolahan  data  seperti  reanalisis  maupun
asimilasi data. Setelah membuang red noise dari data yang digunakan, Newman et al. 2011 menyimpulkan bahwa CP El Nino dan EP El Nino baik secara spasial
maupun  temporal  merupakan  proses  dinamika  yang  alamiah.  Oleh  karena  itu, sering  terjadinya  CP  El  Nino  pada  beberapa  dekade  terakhir  bukan  disebabkan
oleh pola normal anomali SPL background SST di Samudera Pasifik yang telah berubah  tetapi  CP  EL  Nino  merupakan  bagian  dari  variabilitas  alamiah  di
Samudera Pasifik yang kemungkinan terjadi karena pengaruh faktor antropogenik maupun  pergeseran  siklus  dekadal  menuju  siklus  multi  dekadal  seiring  dengan
terjadinya pemanasan global.
Kesimpulan  dari  Newman  et  al.  2011  memperkuat  pendapat  dari  Yeh  et al.  2011  yang  menyatakan  bahwa  tidak  dapat  diabaikan  kemungkinan  semakin
seringnya  terjadi  CP  El  Nino  disebabkan  oleh  proses  variabilitas  di  Samudera Pasifik  yang  terjadi  secara  alamiah  dengan  bergesernya  siklus  dekadal  menjadi
siklus  multi  dekadal.  Pendapat  ini  disimpulkan  setelah  Yeh  et  al.  2011 melakukan  penelitian  CP  El  Nino  dan  EP  El  Nino  dengan  menggunakan  Kiel
Climate Model KCM yang merupakan model gabungan atmosfer-samudera-laut- es  Park  et  al.,  2010  selama  4200  tahun  data  luaran  model.  Model  ini  meliputi
model  ECHAM5  AGCM  Roeckner  et  al.,  2003  dan  model  NEMO  samudera- laut-es  GCM  Madec,  2008  dan  penggabungan  kedua  model  tersebut  dengan
OASIS3 Valcke, 2003.
Gambar 20 Hasil  luaran  model  baroklinik  kering  setelah  hari  ke-30  untuk
mengetahui pola pemanasanpendinginan atmosfer secara adiabatik Khari.  c  dan  d  pola  sebaran  pemanasan  atmosfer  pada
ketinggian  500  mb  pada  saat  terjadi  El  Nino  konvensional  dan  El Nino  Modoki  setelah  hari  ke  30  Khari.  a  dan  b  pembangkit
pemanasanpendinginan  atmosfer  secara  adiabatik  OLR  Wm
2
pada  saat  terjadi  El  Nino  konvensional  dan  El  Nino  Modoki.  e dan  f  sumber  pendinginan  atmosfer  secara  adiabatik  pada  saat
terjadi El Nino konvensional dan El Nino Modoki Khari. Tanda panah  memperlihatkan  pola  sirkulasi  angin  pada  ketinggian  500
mBar, diadaptasi dari Feng et al. 2010.
Feng et al. 2010 memperlihatkan perbedaan dampak yang disebabkan oleh El  Nino  konvensional  dan  El  Nino  Modoki  dengan  menggunakan  model
baroklinik  kering  dari  core  dynamic  model  GFDL  Atmospheric  Global  Climate Model  AGCM  Held  dan  Suarez,  1994  untuk  mengkaji  sumber
pemanasanpendinginan  atmosfer  secara  adiabatik.  Gaya  pembangkit  pemanasan
yang digunakan berasal dari hasil seleksi data dari regresi parsial antara anomali OLR dengan indeks Nino3 untuk El Nino konvensional Gambar 20a dan dengan
EMI  untuk  El  Nino  Modoki  Gambar  20b.  Luaran  dari  model  memperlihatkan dengan  jelas  terdapat  peningkatan  suhu  udara  di  atas  perairan  timur  ekuatorial
Samudera  Pasifik  dan  penurunan  suhu  udara  yang  terpusat  di  atas  perairan  Asia Tenggara  dan  sekitarnya  pada  model  El  Nino  konvensional  Gambar  20c,
sedangkan  pada  model  El  Nino  Modoki,  terdapat  penurunan  suhu  udara  di  atas perairan  Filipina  dan  Laut  Cina  Selatan di  bagian  barat  Samudera  Pasifik  dan  di
atas  perairan  sebelah  timur ekuatorial  Samudera  Pasifik  dan  di  tengah  ekuatorial Samudera  Pasifik  terdapat  peningkatan  suhu  udara  Gambar  20d.  Kondisi  ini
akan  mempengaruhi  perubahan  pola  iklim  baik  secara  regional  maupun  global antara periode El Nino konvensional maupun El Nino Modoki, karena berikaitan
dengan perubahan sirkulasi atmosfer yang mengiringi keduanya. Feng  et  al.  2010  dengan  menggunakan  skenario  model  kedua  menguji
kemungkinan sumber
pendinginan atmosfer
secara adiabatik
dengan menggunakan  pembangkit  pendinginan  di  atas  perairan  Asia  Tenggara  Gambar
20e  seperti  pada  waktu  awal  hasil  pemodelan  pada  El  Nino  konvensional Gambar 20c dan pada El Nino Modoki dengan pembangkit awal pada  Gambar
20f  seperti  pada  Gambar  20d.  Hasil  luaran  model  tersebut  memperlihatkan  pola pemanasanpendinginan  atmosfer  secara  adiabatik  hampir  sama  dengan  luaran
pada Gambar 20c untuk El Nino  konvensional dan Gambar 20d untuk El Nino Modoki setalah hari ke 30. Feng et al. 2010 menduga bahwa terjadinya El Nino
konvensional  dan  El  Nino  Modoki  berkaitan  erat  dengan  proses  interaksi  antara laut-atmosfer  di  atas  perairan  Asia  Tenggara  dan  mempengaruhi  pola  sirkulasi
atmosfer secara regional maupun global. Penelitian mengenai ENSO dan keterkaitannya dengan variabilitas dari hasil
interaksi laut-atmosfer di Samudera Pasifik masih terus dilakukan karena besarnya variabilitas  itu  sendiri  dan  banyaknya  proses  dinamika  yang  terlibat  dalam  skala
tahunan  sampai  multi  dekadal.  Pemicu  utama  terjadinya  ENSO  masih  menjadi bahan perdebatan diantara para peneliti sampai dengan saat ini. Berbagai hipotesa
pemicu  terjadinya  ENSO  dengan  argumen  yang  berbeda-beda,  selain  menambah pengetahuan  mengenai  prilaku  ENSO  itu  sendiri  dan  responnya  terhadap  laut-
atmosfer, juga mengakibatkan semakin sulit ditemukannya keterkaitan dan proses dinamika  pemicu  ENSO  karena  masing-masing  peneliti  dalam  mengkaji  ENSO
tergantung  cara  pandang  dan  latar  belakang  pengetahuan  dari  masing-masing peneliti  itu  sendiri.  Dinamika  ENSO  melibatkan  variabiltias  laut-atmosfer  di
Samudera  Pasifik  dan  di  sebelah  barat  melibatkan  interaksi  dengan  daratan dengan  keberadaan  ribuan  pulau  di  wilayah  Asia  Tenggara  dan  juga  berasosiasi
dengan  MJO  Pohl  dan  Matthews,  2007;  Tang  dan  Yu,  2008;  Roundy  et  al., 2010, TBO Wu dan Kirtman, 2004; Li et al., 2006; Meehl dan Arblaster, 2011,
Muson  Bracco  et  al.,  2007;  Li  et  al.,  2007;  Annamalai  et  al.,  2007;  Park  et  al., 2010;  Qian et al., 2010 dan DM Ashok et al., 2004; Shinoda et al., 2004; Hong
et  al.,  2008;  Luo  et  al.,  2010;  izumo  et  al.,  2010.  Dinamika  ENSO  memiliki kemungkinan  untuk  berinteraksi  dengan dinamika  PDO  Roy  et  al.,  2003;  Yoon
dan Yeh, 2010 di perairan subtropis di sebelah utara dan dinamika SPCZ Singh et al., 2011 di sebelah selatan Samudera Pasifik.
Pemicu terjadinya ENSO yang masih diyakini sampai dengan saat ini adalah gangguan angin baratan di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik yang terjadi
pada fase awal terbentuknya El Nino Keen, 1982; Latif et al., 1988; Harison dan Vecchi,  1997;  Verbickas,  1998;  Perigaud  dan  Cassou,  2000;  Lengaigne  et  al.,
2004; McPhaden, 2004. Penyebab kemunculan gangguan angin baratan sebelum terjadinya  El  Nino  masih  belum  diketahui  McPhaden,  2004.  Eisenman  et  al.
2005  membantah  bahwa  gangguan  angin  baratan  bukan  sebagai  pemicu  awal terjadinya  El  Nino,  tetapi  merupakan  hasil  interaksi  laut-atmosfer  yang
dimodulasi dari proses dinamika El Nino itu sendiri dan memperkuat proses awal El Nino sampai dengan terjadi El Nino kuat. Penelitian mengenai pemicu El Nino
selanjutnya  mulai  melihat  ketidakseimbanganasimetris  asymmetric  dari  pola spasial Chen et al., 2008; Cai et al., 2010; Wu et al., 2010, lamanya Okumura
dan Deser, 2010; Okumura et al., 2011 dan besarnya An dan Jin, 2004; Su et al., 2010 anomali laut-atmosfer antara fase El Nino dan La Nina. Ketidakseimbangan
antara  fase  El  Nino  dan  La  Nina  baik  pola  spasial,  lamanya  dan  kekuatannya diharapkan dapat menelusuri sumber dari pemicu terjadinya ENSO.
Chen et al. 2008 berpendapat bahwa terjadinya asimetris ENSO berkaitan erat  dengan  perbedaan  anomali  SPL  di  sebelah  timur  Samudera  Hindia  dan  di
sebelah  barat  Samudera  Pasifik  yang  berdampak  pada  sirkulasi  atmosfer  global dengan  memperlihatkan  pola  spasial  korelasi  positif  El  Nino  dan  negatif  La
Nina.  Cai  et  al.  2010  dengan  menggunakan  data  curah  hujan  berpendapat bahwa peningkatan curah hujan di Benua Australia berkaitan erat dengan fase La
Nina, sedangkan fase El Nino tidak berpengaruh besar terhadap penurunan curah hujan.  Setelah  tahun  1980,  fase  La  Nina  tidak  secara  signifikan  mempengaruhi
peningkatan curah hujan tetapi peningkatan curah hujan terjadi pada saat fase El Nino  Modoki  dengan  pola  spasial  yang  sama  sebelum  tahun  1980.  Wu  et  al.
2010  berpendapat  bahwa  fluks  bahang  melalui  evaporasi  latent  heat permukaan  berperan  besar  terhadap asimetris  ENSO  baik  secara  spasial  maupun
temporal,  sedangkan  anomali  curah  hujan  dan  angin  permukaan  cenderung simetris.  Oleh  karena  itu,  kemungkinan  besar  pemicu  awal  terjadinya  EL  Nino
berkaitan dengan keseimbangan bahang di laut dan atmosfer. Okumura  dan  Deser  2010  menyimpulkan  bahwa  terjadinya  asimetris
ENSO  berkaitan  dengan  daerah  konveksi  atmosfer  yang  kuat  atmospheric  deep convection antara Samudera Pasifik dan Hindia. Daerah konveksi atmosfer yang
terjadi di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia berperan dalam menentukan lamanya  fase  El  Nino.  Okumura  et  al.  2011  melanjutkan  penelitiannya  dan
mengusulkan  mekanisme  lamanya  fase  El  Nino  dan  La  Nina  berkaitan  dengan kekuatan  anomali  angin  di  atas  perairan  sebelah  barat  Samudera  Pasifik  dan  di
sebelah  timur  Samudera  Hindia  yang  dipicu  oleh  pemanasan  pendinginan lapisan troposfer di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia pada
saat terjadi El Nino La Nina akibat dari anomali daerah konveksi atmosfer. An dan  Jin  2004  menyimpulkan  bahwa  asimetris  ENSO  erat  kaitannya  dengan
ketidakteraturan  dinamika  pemanasan  nonlinier  dynamic  heating  pada  lapisan kedalaman  tercampur  antara  fase  El  Nino  dan  La  Nina  sehingga  mempengaruhi
pergerakan  massa  air  ke  arah  timur  barat  pada  saat  terjadi  El  Nino  La  Nina. Ketidakteraturan ini terjadi pula pada arus yang mempengaruhi dinamika adveksi
anomali  SPL  pada  permukaan  dan  kolom  atas  perairan.  Beda  fase  yang  sangat bervariasi  pada  setiap  periode  El  Nino  dan  La  Nina  dari  hasil  korelasi  antara
anomali SPL dan arus memperkuat adanya ketidakteraturan dinamika pemanasan di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik.
Su  et  al.  2010  memperkuat  pendapat  An  dan  Jin  2004  bahwa ketidakteraturan  kandungan  bahang  pada  kedalaman  lapisan  tercampur
mengakibatkan  terjadinya  asimetris  antara  fase  El  Nino  dan  La  Nina.  Adveksi suhu  zonal  dan  meridional  sangat  berperan  dalam  ketidakteraturan  dari  mulai
sebelah  barat  sampai  jauh  ke  arah  sebelah  timur  perairan  ekuatorial  Samudera Pasifik,  sedangkan  adveksi  vertikal  berperan  sebaliknya  untuk  menyetabilkan
kandungan  bahang  di  lapisan  tercampur.  Anomali  arus  zonal  dominan  terbentuk dari  arus  geostrofik,  sedangkan  arus  meridional  terutama  terbentuk  dari  arus
Ekman  yang  dibangkitkan  oleh  tekanan  angin  permukaan  laut.  Ketidakteraturan adveksi  zonal  dan  meridional  suhu  kolom  laut  berperan  dalam  memperkuat
memperlemah fase El Nino La Nina. Hasil dari beberapa penelitian terakhir mengenai pola spasial, lamanya dan
besarnya kondisi asimetris antara El Nino dan La Nina mulai melihat pentingnya peranan dinamika anomali kandungan bahang di laut dan atmosfer yang mengarah
kepada  pemicu  terjadinya  ENSO.  Beberapa  peneliti  sebelumnya  mengkaitkan keseimbangan  bahang  di  laut  dan  atmosfer  pada  saat  fase  transisi  yang  tertunda
dari  El  Nino  ke  normal  delayed  negative  feedback  antara  ENSO  dengan  DM Annamalai et al., 2005; Kug dan Kang, 2006; Ohba dan Ueda, 2007; Yoo et al.,
2010. Kemungkinan keterkaitan PDO dengan ENSO dari dinamika bahang laut- atmosfer  baik  dengan  menggunakan  data  observasi  Chang  et  al.,  2007  maupun
dengan  menggunakan  model  gabungan  laut-atmosfer  Alexander  et  al.,  2010 menjadi penting untuk dipertimbangkan.
                