Latar Belakang Variability of Sea Surface Temperature and its Interelationships with The Monsoon, Dipole Mode (DM) and El Nino Southern Oscillation (ENSO) in the Southeast Asia and its Surrounding Waters

IV, African Monsoon Region V, South American Monsoon Region VI, Central American Monsoon Region VII dan North American Monsoon Region VIII. Perbedaan wilayah Muson ini adalah pembagian menurut Chang 2005 terdapat daerah Western North Pacific Monsoon sedangkan menurut Saha 2010 daerah ini tidak didefinisikan sebagai wilayah Muson regional. Sebaliknya, Saha 2010 memiliki daerah Central American Monsoon, sementara itu menurut Chang 2005 wilayah ini tidak didefinisikan sebagai daerah Muson regional. Berdasarkan pendapat dari Chang 2005 maupun Saha 2010 yang terpenting adalah keduanya telah mendifinisikan bahwa wilayah Indonesia telah disebutkan masuk kedalam daerah Muson regional yaitu Southeast Asia Monsoon Muson Asia Tenggara, sedangkan dari hasil penelitian sebelumnya sangat jarang wilayah Indonesia disebutkan dengan tegas sebagai salah satu bagian dari Muson regional. Wilayah Asia Tenggara mempunyai karakteristik yang unik, sangat berbeda dengan ciri wilayah Muson lainnya di dunia. Perbedaan tersebut meliputi pertama, berada tepat di ekuator sehingga sebagian wilayahnya berada di BBU dan sebagian lainnya berada di selatan, sehingga wilayah Asia Tenggara merupakan zona pembelokan arah angin tepat di ekuator akibat dari parameter Coriolis selama siklus tahunan Muson Chang, 2005. Kedua, wilayah Asia Tenggara berada pada jalur pergerakan meridional Intertropical Convergence Zone ITCZ dan di sebelah timur Indonesia merupakan pertemuan antara ITCZ dengan South Pacific Convergence Zone SPCZ membuat wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya menjadi daerah konvergen aktif Webster, 1987. Ketiga, wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya merupakan hasil dari resultan angin Muson dengan siklus tahunan dan Angin Pasat Tenggara dan Pasat Timur laut dari Samudera Pasifik yang berhembus sepanjang tahun Fein dan Stephens, 1987. Keempat, pada lapisan atas atmosfer wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya merupakan zona konveksi dari simpul pertemuan antara sirkulasi Walker arah zonal dan sirkulasi Hadley arah meridional Neelin, 2007. Kelima, menurut Chang 2005, wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya merupakan paparan benua meskipun tidak berbentuk daratan luas karena terdiri atas ribuan pulau yang dihubungkan oleh lautan dan selat serta pada sisi luarnya diapit oleh dua benua Asia-Australia dan dua Samudera Pasifik-Hindia mengakibatkan regim Muson di wilayah ini terjadi interaksi antara darat, laut, udara dan samudera yang sangat kompleks, tidak teratur random, ekstrim dan kadang kala bersifat chaos kacau. Keenam, kontur topografi di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya memiliki kekhasan tersendiri yang akan mempengaruhi pola sirkulasi angin lokal dan regional yang berfungsi sebagai penghalang dengan tekanan gesekan angin wind shear stress besar yang berpotensi terjadinya penaikan massa udara, gangguan keseimbangan bahang di atmosfer dan menimbulkan hujan orografis di balik penghalangnya Mori et al., 2004. Berdasarkan enam keunikan wilayah Asia Tenggara ini, sebagai responnya maka proses dinamika Muson memiliki sifat yang kompleks dan keunikan tersendiri dengan variabilitas laut-atmosfer yang tinggi. Variabilitas tinggi ini diiringi pula oleh proses interaksi antar berbagai fenomena, baik skala harian sampai dekadal maupun fenomena lokal sampai global. Fenomena laut-atmosfer yang paling berperan jika dikaitkan dengan keunikan wilayah perairan Asia Tenggara adalah DM dan ENSO. Interaksi antara Muson, DM dan ENSO sangat berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap dinamika dan variabilitas kondisi laut-atmofer di wilayah Asia Tenggara dan Sekitarnya. Dinamika dan variabilitas dari hasil interaksi ini bahkan memiliki dampak yang sangat besar baik secara regional maupun global.

2.2 Indian Ocean Dipole Mode

Fenomena DM pertama kali dikemukan secara bersamaan oleh Saji et al. 1999 dan Webster et al. 1999 adalah merupakan fenomena perpindahan kolam air hangat arah zonal di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia yang mirip dengan fenomena ENSO di Samudera Pasifik. Siklus yang dimiliki oleh DM hampir sama dengan siklus ENSO yaitu siklus antar tahunan sebesar 2-5 tahun Saji et al., 1999. Fenomena ini ditemukan dari hasil analisis EOF dan analisis komposit di Samudera Hindia dengan menggunakan data SPL selama 40 tahun. Hasil dari analisis EOF didapat mode dominan pertama sebesar 30 dan kedua sebesar 12 dari total keragamannya. Mode kedua inilah oleh Saji et at. 1999 dinamakan kejadian Dipole Mode Dipole Mode Event karena pada Mode kedua dominan ini terdapat perbedaan secara spasial dimana SPL di sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia tinggi, sedangkan di perairan timur Samudera Hindia tepatnya di sebelah selatan perairan barat Sumatera ditemukan SPL yang rendah. Pola ini sesuai dengan pola angin yang bergerak dari arah tenggara menuju barat laut di perairan timur Samudera Hindia, kemudian ketika sampai di ekuator angin tersebut berbelok ke arah barat. Angin tersebut mendorong massa air hangat ke arah barat ekuatorial Samudera Hindia sampai ke perairan sebelah timur benua Afrika. Pada kondisi normal kolam air hangat ini berada di sebelah timur Samudera Hindia, akibat adanya anomali angin timur mendorong massa air hangat ini ke arah barat seiring dengan peningkatan zona konveksi dengan membawa uap air di atasnya yang berpotensi terjadinya hujan selama bergeraknya massa air hangat tersebut Gambar 2. Gambar 2 Evolusi DM dari hasil analisis komposit SPL di Samudera Hindia Saji et al., 1999. a, b, c dan d berturut-turut komposit SPL °C pada bulan Mei-Juni, Juli-Augustus, September-Oktober dan November-Desember. Pola spasial dari hasil analisis EOF dengan menggunakan data SPL sangat jelas berbeda di perairan barat dan timur ekuatorial Samudera Hindia, sehingga Saji et al. 1999 dengan mudah mendefinisikan sebuah indeks dari selisih anomali SPL di perairan barat Samudera Hindia 50°BT-70°BT, 10°LS-10°LU dengan anomali SPL di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia 90°BT- 110°BT, 10°LS-ekuator. Indeks ini akan bernilai positif jika massa air hangat bergerak ke arah barat Samudera Hindia dan fase ini dinamakan fase positif dimana sedang berlangsung DM, sedangkan apabila indeks ini bernilai negatif jika massa air hangat terdorong ke arah tenggara Samudera Hindia dan fase ini dinamakan fase negatif DM. Indeks ini kemudian diberi nama Dipole Mode Index DMI. Gambar 3 Pola perambatan anomali a SPL °C pada 5°LU-5°LS, b angin zonal ms pada 5°LU-5°LS dan c TML cm pada 1°LU-1°LS dari bulan Januari 1997-Juli 1998 Webster et al., 1999. Pada media publikasi yang sama, Webster et al. 1999 mengemukakan bahwa terjadi anomali pada dinamika laut di Samudera Hindia yang mirip dengan ENSO di Samudera Pasifik. Kesimpulan ini didapat dari hasil penelitian dengan menggunakan data SPL, tinggi muka laut TML, curah hujan dan angin. Webster et al. 1999 memperlihatkan pergerakan rambatan SPL, TML dan angin zonal dari perairan timur Samudera Hindia sampai ke perairan barat Samudera Hindia Gambar 3. Pola rambatan SPL ini terlihat dengan jelas selaras dengan angin zonal dan TML yang menunjukkan bahwa dinamika di Samudera Hindia ini merupakan suatu fenomena tersendiri yang berinteraksi antara laut dan atmosfer. Ketika massa air hangat ini mencapai perairan di sebelah barat Samudera Hindia, terlihat pola SPL, OLR, angin zonal dan TML yang sama seperti yang ditemukan oleh Saji et al. 1999 sehingga memperkuat bahwa dinamika ini merupakan suatu fenomena tersendiri yang mirip dengan ENSO di Samudera Pasifik Gambar 4. Gambar 4 Pola sebaran horizontal a anomali SPL °C, b anomali OLR W m -2 , c anomali angin zonal ms dan d anomali TML cm pada bulan November 1997 Webster et al., 1999. Proses dinamika interaksi laut-atmosfer di Samudera Hindia dari fenomena ini menurut Webster et al. 1999 dimulai dengan adanya anomali angin di atas perairan sebelah tenggara Samudera Hindia yang mendorong massa air hangat ke perairan sebelah barat Samudera Hindia sehingga mengakibatkan terjadi anomali upwelling di perairan barat Sumatera dan downwelling di perairan timur Afrika. Sirkulasi Walker terjadi anomali dimana pada lapisan bawah angin bergerak ke arah barat dan pada lapisan atas atmosfer angin bergerak ke arah timur. Proses ini diikuti pula dengan meningkatkan zona konveksi yang memicu terjadinya penguapan dari massa air hangat yang dapat meningkatkan curah hujan di perairan sebelah barat Samudera Hindia. Sementara itu di perairan pantai barat Sumatera, terjadi zona divergen dengan udara kering di atasnya akibat dari bergeraknya massa air hangat ke arah barat Samudera Hindia. Webster et al. 1999 menyampaikan bahwa anomali angin timur ini terus mendorong massa air hangat sehingga kedalaman lapisan termoklin mendalam di perairan sebelah barat Samudera Hindia dan mendangkal di pantai barat Sumatera. Pola angin ini mengakibatkan terjadinya formasi Ekman di tengah Samudera Hindia yang bergerak menuju ekuator diikuti dengan terjadinya downwelling Gelombang Rossby. Seiring dengan aktifitas Muson panas, massa air hangat ini kembali ke arah timur ekuatorial Samudera Hindia oleh dorongan transpor Ekman yang dibangkitkan oleh angin di sepanjang pesisir timur benua Afrika. Ketika massa air hangat ini sampai di perairan sebelah timur Samudera Hindia, terjadi downwelling Gelombang Kelvin dan diikuti dengan perubahan sirkulasi Walker, peningkatan SPL dan kedalaman lapisan termoklin, downwelling di sepanjang pantai barat Sumatera dan peningkatan zona konveksi, penguapan dan curah hujan. Secara skematis proses dinamika laut-atmosfer di Samudera Hindia ini dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Proses dinamika laut-atmosfer di Samudera Hindia pada tahun 1997, diadaptasi dari Webster et al. 1999. a sampai d berturut- turut adalah peralihan antar musim. Keterangan secara rinci terdapat di dalam tulisan. Fenomena di Samudera Hindia yang dikemukan secara bersamaan oleh Saji et al. 1999 dan Webster et al. 1999 oleh peneliti lain selanjutnya disebut Dipole Mode DM, sesuai dengan penamaan yang diberikan oleh Saji et al. 1999. Fenomena ini kemudian mulai dikaji lebih lanjut oleh peneliti lainnya berkaitan dengan mekanisme proses dinamika DM, dampak DM terhadap cuaca dan iklim, pemicu terjadinya DM, variabilitas siklus DM, peranan Tropical