320
bahang yang akan terakumulasi dan siklus tahunan Muson akan mendominasi kembali. Oleh karena itu, nilai keragaman pada Mode ke-5 EOF sudah sangat
kecil sebesar 2.8 dari total keragaman, tetapi memberikan informasi yang penting yaitu proses kembalinya akumulasi sisa selisih bahang pada kondisi
normalnya. Selain itu, pada fase negatif MCAT Mode ke-5 EOF anomali Q
S
+Q
L
Gambar 98a memiliki pola yang hampir sama dengan penjumlahan fase positif dan negatif pada Mode ke-5 EOF Gambar 100e, sehingga memperkuat bahwa
setelah fase MCAT terjadi pola keseimbangan bahang di laut dan atmosfer mulai kembali ke kondisi normal dengan didominasi oleh siklus tahunan Muson. Hal ini
diperkuat kembali dengan munculnya siklus dua tahunan dengan periode sebesar 19.7 bulanan seperti pada fase AMAT Mode ke-1 EOF.
Pada penelitian ini belum dianalisis lebih jauh lagi proses evolusi DM dan ENSO dari masing-masing fase DMAT, TMAT dan MCAT. Analisis ini dapat
dilakukan dengan menggunakan korelasi sederhana dengan penyimpangan waktu, sehingga dapat diketahui pola pembentukan anomali SPL DM dan ENSO pada
tiap fase dari Mode ke-3 sampai ke-5, misalnya enam bulan sebelumnya sampai enam bulan setelahnya. Pola evolusi DM dan ENSO dapat pula dianalisis
menggunakan metode extended EOF atau complex EOF dengan penyimpangan waktu, sehingga masing-masing penyimpangan waktu yang digunakan telah
melalui proses dekomposisi spasial dan waktu. Pola evolusi DM dan ENSO sangat penting untuk diketahui sehingga dapat lebih dipahami bagaimana
interelasi antara satu fase dengan fase yang lain, mengapa muncul siklus antar tahunan dengan periode yang berbeda antara 42.6 bulanan dan 63.9 bulanan,
bagaimana urutan terjadinya DM dan ENSO apakah fase DMAT, TMAT atau MCAT yang lebih dahulu terjadi dan dapat diketahui fase mana yang paling
sensitif terhadap dinamika bahang di Asia Tenggara. Karakteristik Muson di Indonesia sangat jauh berbeda dengan wilayah
Muson di dunia. Wilayah Muson selain di Indonesia memiliki karakter seperti halnya yang didefinisikan sebagai wilayah Muson umumnya meliputi pembalikan
arah angin, fase kandungan uap air di udara dan curah hujan dengan siklus annual. Muson di Indonesia memiliki keunikan tersendiri dimana terdapat dua zona angin
yaitu di BBU dan di BBS. Pembalikan arah angin di BBS sebenarnya dominan
321
antara angin tenggara dan barat laut, sedangkan di BBU dominan antara angin barat daya dan timur laut. Selain itu, di antara selat-selat besar di perairan dalam
Indonesia tidak berlaku kondisi seperti di BBU dan BBS, sebagai contoh di Selat Makassar dan Selat Karimata dominan pembalikan arah angin antara angin utara
dan selatan, sedangkan di Laut Jawa dan perairan selatan Jawa dominan pembalikan arah angin antara barat dan timur. Oleh karena itu, terjadi pola fase
AMAT sehingga memicu terjadinya fase PBAT dan fase PBAT inilah yang berpengaruh besar terhadap dinamika bahang di perairan dalam Indonesia. Fase
PBAT berperan besar dalam pembentukan fase DMAT, TMAT dan MCAT. Fase DMAT, TMAT, dan MCAT berperan besar terhadap dinamika DM dan ENSO di
Samudera Hindia dan Pasifik. Dinamika bahang di laut dan atmosfer di Asia Tenggara dalam kaitannya
dengan dinamika kandungan uap air di atmosfer dan pola curah hujan di Indonesia juga sangat beragam. Tidak semua wilayah di Indonesia memiliki pola curah
hujan dengan siklus tahunan dan masuknya awal musim hujan dan awal musim kemarau di setiap wilayah di Indonesia jatuh pada bulan yang berbeda-beda. Di
wilayah utara Papua terutama di Biak, sepanjang bulan di setiap tahunnya selalu mengalami curah hujan dan wilayah di dekat ekuatorial memiliki dua puncak
musim dalam setahunnya. Masuknya awal musim hujan, dominan lebih dahulu terjadi di BBU kemudian diikuti dengan wilayah di BBS. Siklus Muson yang
paling kuat terasa berada di Pulau Jawa, Madura, Bali, NTB dan NTT. Kondisi ini dipengaruhi oleh dinamika bahang di Asia Tenggara dan juga hasil dari umpan
balik dinamika bahang dengan DM dan ENSO. Keunikan karakteristik Muson di Indonesia erat kaitannya dengan keunikan
wilayah Indonesia dimana terdapat ribuan pulau dengan profil topografi beragam yang dikelilingi oleh laut dan selat, sehingga pola Muson di Indonesia perlu
mempertimbangkan interaksi antara darat-laut-atmosfer meliputi dinamika sirkulasi arus dan atmosfer, angin darat dan laut, hujan orografis karena faktor
topografi dan karakter sifat fisis yang berbeda nyata antara darat, laut dan atmosfer dalam kemampuan untuk menyimpan bahang. Selain itu, pola Muson di
Indonesia akan dipengaruhi kembali oleh proses dinamika yang terjadi di
322
Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, dimana wilayah Indonesia menjadi zona transisi antara variabilitas laut-atmosfer yang terjadi di kedua samudera tersebut.
Terdapat dua pemicu terjadinya DM yaitu pertama, keseimbangan kandungan bahang di darat-laut-atmosfer di perairan Teluk Bengal dan di perairan
dalam Indonesia dan kedua, ketidaksetimbangan kandungan bahang di darat-laut- atmosfer yang terjadi hanya di perairan dalam Indonesia. Pemicu pertama terjadi
pada fase negatif DMAT periode transisi dari DM negatif ke DM positif dan fase negatif MCAT, sedangkan pemicu kedua terjadi pada fase positif TMAT. Fase
negatif DMAT melibatkan dinamika bahang di perairan ekuatorial sebelah barat Sumatera dan perairan dalam Indonesia, sedangkan fase negatif MCAT
melibatkan interaksi dinamika bahang di perairan Teluk Bengal, perairan ekuatorial sebelah barat Sumatera dan Pulse of Mascarene High Goddard dan
Graham, 1999; Feng et al., 2003 di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia yang berasosiasi dengan Osilasi Selatan di BBS Samudera Hindia Terray et al.,
2007. Sementara itu, pemicu DM pada fase negatif TMAT terjadi karena dinamika bahang di perairan dalam Indonesia yang berinteraksi dengan dinamika
bahang di perairan ekuatorial sebelah barat Sumatera. Francis et al. 2007 mengemukakan bahwa pemicu terjadinya DM karena
adanya siklon kecil di perairan Teluk Bengal yang mempengaruhi gradien tekanan arah meridional. Intensitas siklon yang sering terjadi di Teluk Bengal seiring
dengan terjadinya DM positif adalah bukan merupakan pemicu utama terjadinya DM positif. Siklon ini sering muncul pada saat DM positif karena adanya tekanan
rendah yang dipicu oleh penyimpanan bahang di perairan Teluk Bengal yang telah mengalami kondisi maksimum. Pendapat Francis et al. 2007 pemicu DM adalah
munculnya siklon, sedangkan dari hasil penelitian ini penyebabnya adalah karena pemicu pertama dari fase negatif MCAT yaitu adanya hasil interaksi
keseimbangan bahang di perairan Teluk Bengal dengan tekanan udara rendah dengan tekanan udara tinggi di sekitar ekuatorial perairan sebelah barat Sumatera
yang berasosiasi dengan Pulse of Mascarene High di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia. Tekanan udara tinggi di atas perairan ekuatorial barat Sumatera
terjadi karena adanya anomali SPL yang tinggi dengan tekanan udara rendah di perairan dalam Indonesia, sehingga membangkitkan sirkulasi atmosfer di atas
323
perairan ini dan mengakibatkan sel Sirkulasi Walker di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia berbalik arah. Oleh karena itu, Pulse of Mascarene
High yang menurut Terray et al. 2007 adalah penyebab terjadinya DM positif, sehingga menimbulkan anomali angin timuran di perairan tenggara Samudera
Hindia adalah bukan pemicu utama terjadinya DM positif, melainkan karena interaksi dinamika bahang di perairan Teluk Bengal, perairan ekuatorial sebelah
barat Sumatera dan perairan dalam Indonesia dengan Pulse of Mascarene High di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia pada fase MCAT.
Pemicu terjadinya ENSO di Samudera Pasifik adalah pergeseran fase pelepasan dan penyimpanan bahang pada fase PBAT dalam kaitannya dengan
akumulasi sisa selisih bahang di perairan dalam Indonesia dan interaksinya dengan perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Pergeseran fase ini
terjadi pada fase positif dan negatif Mode ke-2 EOF. Gangguan anomali angin baratan bukan merupakan awal mula pemicu terjadinya ENSO seperti pendapat
peneliti sebelumnya Keen, 1982; Latif et al., 1988; Harison dan Vecchi, 1997; Verbickas, 1998; Perigaud dan Cassou, 2000; Lengaigne et al., 2004; McPhaden,
2004, tetapi angin baratan ini timbul karena adanya anomali SPL di perairan dalam Indonesia yang disebabkan oleh akumulasi sisa selisih bahang hasil
interaksi darat-laut-atmosfer pada fase PBAT. Puncak pelepasan akumulasi sisa selisih bahang fase PBAT terjadi pada fase DMAT, TMAT dan MCAT. Interaksi
dinamika bahang di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, perairan dalam Indonesia dan perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik
melibatkan dinamika bahang di perairan Teluk Bengal kecuali fase TMAT. Pada fase TMAT sisa selisih bahang yang dihasilkan dari fase PBAT setelah puncak
TMAT terbentuk keseimbangan bahang di sekitar ekuatorial pada arah zonal saja, sehingga tidak terjadi proses di laut atau atmosfer yang melibatkan perairan Teluk
Bengal. Sementara itu, pada fase DMAT dan MCAT perairan Teluk Bengal terlibat
langsung dengan dinamika DM di Samudera Hindia dan merupakan fenomena yang berdiri sendiri meskipun didalam prosesnya terjadi bersamaan dengan
dinamika ENSO di Samudera Pasifik dimana perairan dalam Indonesia berperan sebagai regulatornya. Alexander et al. 2002 sebelumnya telah menyebutkan
324
bahwa dinamika atmosfer di atas perairan Indonesia sebagai Atmospheric Bridge dan puncak DM dapat terjadi tanpa diikuti dengan terjadinya ENSO. Begitu pula
yang disampaikan oleh Yang et al. 2010 bahwa Teluk Bengal dan perairan di selatan pantai barat Sumatera memiliki anomali tersendiri berkaitan dengan
interaksi antara Muson, DM dan ENSO, meskipun telah menghilangkan sinyal pengaruh dari ENSO didalam analisisnya. Zuluaga et al. 2010 kemudian
memperkuat pendapat Yang et al. 2010 bahwa Teluk Bengal memiliki anomali yang berbeda dibandingkan dengan Samudera Hindia umumnya dan berinteraksi
dengan dinamika yang terjadi di perairan ekuatorial Barat Sumatera dan perairan ekuatorial Samudera Hindia. Hong et al. 2008 sebelumnya juga berpendapat
bahwa antara DM dan ENSO merupakan dua fenomena dengan mekanisme proses yang berbeda satu dengan lainnya.
Peranan perairan dalam Indonesia sebagai kapasitor bahang di laut dan stabilisator bahang di atmosfer dan interaksinya dengan dinamika laut-atmosfer di
perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik menjadi sangat penting karena berkaitan dengan keunikan perairan Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau yang
dikelilingi oleh laut dan selat dan dinamika atmosfer skala lokal menghasilkan interaksi darat-laut-atmosfer yang memungkinkan Indonesia regulator bahang di
laut dan atmosfer dan mempengaruhi iklim global di Samudera Hindia dan Pasifik. Annamalai et al. 2010 sebelumnya telah menyarankan untuk melakukan
penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh angin lokal, kehilangan bahang dan penguapan di perairan Indonesia sebagai penyebab utama pemicu terjadinya
ENSO dan DM. Begitu pula dengan hasil penelitian dengan menggunakan pemodelan oleh Kitoh 2007 yang menyatakan bahwa topografi ketinggian
daratan dari ribuan pulau di Indonesia berperan besar dalam kuat-lemahnya Sirkulasi Walker di perairan Samudera Hindia dan Pasifik.
Dinamika bahang di laut dan atmosfer di perairan dalam Indonesia dan fungsinya sebagai kapasitor dan stabilisator bahang dimulai dengan adanya fase
AMAT yang memicu terjadinya fase PBAT dengan pergeseran fase Musonnya dan aktifnya siklus dua tahunan TBO dari akumulasi sisa selisih bahang secara
meridional sehingga terjadi kondisi asimetris Muson. Setelah terjadi beberapa kali siklus PBAT akan memicu terjadinya fase DMAT, TMAT dan MCAT karena
325
adanya akumulasi sisa selisih bahang pada fase PBAT. Tamura et al. 2011 sebelumnya juga berpendapat bahwa Muson memberikan sinyal yang kuat dengan
siklus dua tahunan dan diduga siklus tersebut adalah siklus dua tahunan TBO, sehingga TBO terjadi karena adanya pergeseran fase Muson di sekitar perairan
Asia Tenggara. Peranan siklus dekadal pada fase PBAT belum diketahui mekanismenya secara pasti. Kemungkinan besar berkaitan erat dengan siklus
PDO yang menyebabkan terjadinya phase locking pada awal aktifnya TBO. Minimnya sarana observasi dan survei di wilayah Asia Tenggara yang
berkelanjutan mengakibatkan dinamika interaksi bahang di darat, laut dan atmosfer di perairan dalam Indonesia tidak tereksplorasi dengan lengkap. Oleh
karena itu, banyak peneliti lebih terfokus untuk melakukan studi di Samudera Pasifik atau Samudera Hindia saja. Meskipun para peneliti sudah mulai mengkaji
interaksi dinamika laut-atmosfer antara Samudera Hindia dan Pasifik, tetapi biasanya pengaruh perairan dalam Indonesia dianggap terlalu kecil untuk
dipertimbangkan. Jika penelitian yang dilakukan menggunakan teknologi pemodelan, biasanya resolusi spasial model yang digunakan terlalu kasar sehingga
perairan Indonesia dianggap sebagai syarat batas tertutup. Begitu pula dengan jenis model yang digunakan pada umumnya adalah bukan model gabungan darat-
laut-atmosfer, tetapi hanya gabungan laut-atmosfer saja. Neale dan Slingo 2003 sebelumnya telah menyarankan bahwa dinamika iklim global sangat ditentukan
oleh dinamika laut-atmosfer yang terjadi di perairan Indonesia dan sekitarnya karena wilayah ini terdiri atas daratan dan lautan yang sangat kompleks. Oleh
karena itu, menurutnya pemanfaatan model laut-atmosfer diperlukan ketelitian dan ketepatan yang berkaitan dengan reparameterisasi dan resolusi model di
wilayah ini. Pada penelitian ini, data yang digunakan merupakan data asimilasi yang telah melibatkan pemodelan kesalahan dengan menggunakan koreksi dari
data in-situ. Model yang digunakan merupakan model gabungan darat-laut- atmosfer dan memiliki resolusi spasial di perairan ekuatorial sangat tinggi,
sehingga fungsi atmospheric bridge antara Samudera Pasifik dan Hindia di perairan Indonesia juga ikut dilibatkan. Pemicu DM dan ENSO sangat penting
untuk diketahui karena akan meningkatkan kemampuan melakukan prediksi, sehingga dampak yang terjadi pada skala yang luas dapat diantisipasi.
326
327
5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Perairan di Asia Tenggara dan sekitarnya terdapat proses interaksi yang kuat antara Muson, DM dan ENSO. Variabilitas suhu permukaan laut berperan besar
dalam mengatur dinamika bahang di laut dan atmosfer yang mempengaruhi variabilitas parameter laut-atmosfer lainnya meliputi suhu udara, tekanan udara,
angin, kelembapan udara, presipitasi, evaporasi, curah hujan, arus dan kedalaman lapisan tercampur. Lima keragaman terbesar pertama dinamika laut-atmosfer di
Asia Tenggara dari 50 keragaman SPL yang telah diidentifikasikan, berturut-turut diberi nama yaitu Asimetris Muson perairan Asia Tenggara AMAT sebesar
44.1 dari total keragaman, fase PenyimpananPelepasan Bahang perairan Asia Tenggara PBAT sebesar 22.7, Dipole Mode perairan Asia Tenggara DMAT
sebesar 12.5, Tripole Mode perairan Asia Tenggara TMAT sebesar 4.4 dan fase Mode Campuran perairan Asia Tenggara MCAT sebesar 2.8 dari total
keragaman. Pada fase AMAT terdapat siklus 12.2 bulanan Muson yang diduga
menghasilkan akumulasi sisa selisih bahang setelah melewati dua kali siklusnya. Akumulasi sisa selisih bahang ini berpotensi mengakibatkan terjadinya pergeseran
awal kedatangan Muson sebesar 3.1 bulan sebelumnya dan diduga memicu siklus 18.2 bulanan TBO yang berasosiasi dengan siklus dekadal dengan periode sebesar
10.7 tahunan pada fase PBAT. Setelah terjadi dua kali siklus TBO, teridentifikasi terdapat siklus antar tahunan dominan kedua terbesar dengan periode 42.6 bulanan
pada fase DMAT yang diiringi dengan periode transisi DM ke DM negatif positif 2.7 bulan sebelum puncak DMI negatif positif dan periode La Nina El
Nino konvensional 2.7 bulan setelah puncak SOI positif negatif. Diduga ketika siklus TBO terulang untuk yang ketiga kalinya, akan
mengakumulasi bahang kembali dan mencari keseimbangan yang baru sehingga menghasilkan siklus dominan terbesar dengan periode 63.9 bulanan pada fase
TMAT yang diikuti dengan periode transisi DM ke DM positif negatif 3.9 bulan sebelum puncak DMI positif negatif dan periode El Nino La Nina Tengah
Pasifik tipe tersebar 3.9 bulan setelah puncak SOI negatif positif. Keragaman
328
terbesar kelima terjadi pada fase MCAT dimana diduga setelah terjadi dua kali siklus TBO akan diikuti dengan terjadinya DM negatif positif bersamaan dengan
puncak DMI negatif positif dan La Nina El Nino Tengah Pasifik tipe terpusat bersamaan dengan puncak SOI positif negatif. Pada setiap fase selalu diikuti
dengan akumulasi sisa selisih bahang di perairan Asia Tenggara dan terjadi dinamika DM di Samudera Hindia dan ENSO di Samudera Pasifik. Oleh karena
itu, pada penelitian ini diusulkan bahwa dinamika bahang hasil interaksi darat- laut-atmosfer di Indonesia adalah sebagai pemicu awal terjadinya DM dan ENSO.
5.2 Saran
Proses evolusi DM dan ENSO dari awal terbentuknya sampai dengan puncaknya pada tiap fase DMAT, TMAT atau MCAT belum diketahui secara
terperinci. Oleh karena itu, pada penelitian berikutnya disarankan untuk mengkaji lebih mendalam pola evolusi DM dan ENSO pada setiap fase dengan
menggunakan pendekatan beberapa metode meliputi analisis korelasi dengan penyimpangan waktu, extended EOF atau complex EOF, sehingga dapat diketahui
pola perubahan antar waktu 12 bulan sebelum dan sesudah puncak DM dan ENSO.
Peranan siklus dekadal fase PBAT belum diketahui dengan pasti bagaimana keterlibatannya di dalam mekanisme proses interaksinya dengan Muson. Fungsi
siklus dekadal sebagai phase locking Muson perlu dikaji lebih mendalam pada penelitian berikutnya karena siklus dua tahunan TBO berperan penting dalam
memicu terjadinya fase DMAT, TMAT dan MCAT dimana didalamnya terdapat siklus antar tahunan DM dan ENSO. Indikasi adanya fase DMAT, TMAT dan
MCAT telah dapat diketahui dari pola spasial osilasi anomali SPL, tetapi setelah terjadi beberapa kali ulangan siklus TBO belum dapat diketahui fase mana yang
akan mengiringinya apakah fase DMAT, TMAT atau MCAT. Proses bagaimana sisa selisih bahang tersebut terakumulasi belum dapat dijelaskan pada penelitian
ini. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lanjutan dengan menggunakan data insitu, khusus untuk mengetahui dinamika bahang di perairan Asia Tenggara
secara intensif.
329
Uji sensitifitas dengan gaya pembangkit dari parameter laut-atmosfer pada setiap fase dari AMAT sampai MCAT melalui pemanfaatan teknologi pemodelan
gabungan darat-laut-atmosfer dengan resolusi spasial dan temporal yang tinggi dan parameterisasi yang tepat, perlu dilakukan pada penelitian berikutnya.
Tujuannya adalah untuk membuktikan apakah gaya pembangkit tersebut dapat memicu terjadinya DM dan ENSO dengan terbentuknya pola anomali SPL dan
variabilitas parameter laut-atmosfer lainnya di Samudera Hindia dan Pasifik seperti halnya pada fase AMAT sampai MCAT.
330
331
DAFTAR PUSTAKA
Adler RF et al. 2003. The version 2 global precipitation climatology project GPCP monthly precipitation analysis 1979-Present. J Hydrometeor
4:1147-1167. Alexander MA et al. 2002. The Atmospheric Bridge: The Influence of ENSO
Teleconnections on Air –Sea Interaction over the Global Oceans. J Climate
15:2205-2231. Alexander MA, Vimont DJ, Chang P, Scott JD. 2010. The Impact of Extratropical
Atmospheric Variability on ENSO: Testing the Seasonal Footprinting Mechanism Using Coupled Model Experiments. J Climate 23:2885-2901.
An SI. 2009. A review of interdecadal changes in the nonlinearity of the El Niño- Southern Oscillation. Theor Appl Climatol 97:29-40.
An SI, Ham YG, Kug JS, Jin FF, Kang IS. 2005: El Nino-La Nina asymmetry in the Coupled Model Intercomparison Project. J Climate 18:2617-2627.
An SI, Jin FF. 2004. Nonlinearity and Asymmetry of ENSO. J Climate 17:2399- 2412.
Anderson BT. 2003. Tropical Pacific sea-surface temperatures and preceding sea level pressure anomalies in the subtropical North Pacific. J Geophys Res
108:4732-4750. Annamalai H, Hamilton K, Sperber KR. 2007. The South Asian Summer
Monsoon and Its Relationship with ENSO in the IPCC AR4 Simulations. J Climate 20:1071-1092.
Annamalai H, Kida S, Hafner J. 2010. Potential Impact of the Tropical Indian Ocean
–Indonesian Seas on El Nino Characteristics. J Climate 23:3933- 3952.
Annamalai H, Xie SP, McCreary JP, Murtugudde R. 2005. Impact of Indian Ocean sea surface temperature on developing El Nino. J Climate 18:302-
319. Antonov JI, Locarnini RA, Boyer TP, Mishonov AV, Garcia HE. 2006. Salinity.
182 hlm. Volume ke-2. World Ocean Atlas 2005. NOAA Atlas NESDIS 62. Ashok K, Behera S, Rao AS, Weng HY, Yamagata T. 2007. El Nino Modoki and
its teleconnection. J Geophys Res 112:C11007-11034. Ashok K, Guan Z, Yamagata T. 2001. Impact of the Indian Ocean Dipole on the
relationship between the Indian monsoon rainfall and ENSO. J. Geophys Res Lett 28:4499-4502.
Ashok K, Guan Z, Saji NH, Yamagata T. 2004. Individual and Combined Influences of ENSO and the Indian Ocean Dipole on the Indian Summer
Monsoon. J Climate 17:3141-3155.
332
Barnston AG, Glantz M, He Y. 1999. Predictive skill of statistical and dynamical climate models in SST forecasts during the 1997
–98 El Nino and the 1998 La Nina onset. Bull Am Meteorol Soc 80:217-243.
Beckmann A, Doscher R. 1997. A method for improved representation of dense water spreading over topography in geopotential-coordinate models. J Phys
Oceanogr 27:581-591. Behera SK, Salvekar PS, Yamagata T. 2000. Simulation of interannual SST
variability in the tropical Indian Ocean. J Climate 13:3487-3499. Bendat JS, Piersol AG. 1971. Random Data: Analysis and measurement
procedures. 407 hlm. Wiley-Interscience Publication. John Wiley and Sons. New York.
Bjerknes J. 1969. Atmospheric teleconnections from the equatorial Pacific. Monthly Weather Rev 97:163-172.
Bracco A et al. 2007. A recipe for simulating the interannual variability of the Asian summer monsoon and its relationwith ENSO. J Climate Dyn 28:441-
460. Bracco A, Kucharski F, Molteni F, Hazeleger W, Severijns D. 2007. A recipe for
simulating the interannual variability of the Asian summer monsoon and its relation with ENSO. J Climate Dyn 28:441-460.
Bryan K, Lewis LJ. 1979. A water mass model of the world ocean. J Geophys Res 84:2503-2517.
Brierley CM, Fedorov A. 2011. Tidal mixing around Indonesia and the Maritime continent: implications for paleoclimate simulations. Geophys Res Lett. in
press. Cai W, Rensch PV, Cowan T, Sullivan A. 2010. Asymmetry in ENSO
Teleconnection with Regional Rainfall, Its Multidecadal Variability, and Impact. J Climate 23:4944-4955.
Campin JM, Goosse H. 1999. Parameterization of density-driven downsloping for a coarse-resolution ocean model in z-coordinate. Tellus 51A:412-430.
Carton JA, Chepurin G, Cao X, Giese B. 2000. A simple ocean data assimilation analysis of the global upper ocean 1950
–95. Part I: Methodology. J Phys Oceanogr 30:294-309.
Chang CP. 2005. The maritime continent monsoon. Di dalam: The global monsoon system: research and forecast. Chang CP, Wang B, Lau NCG,
editor. Report of the International Committee of the Third International Workshop on Monsoons IWM-III. TD No. 1266. WMO. Geneva. hlm 156-
178.
Chang P et al. 2007. Pacific meridional mode and El Niño-Southern Oscillation.
Geophys Res Lett 34: L16608-16613.
Chang YS, Rosati AJ, Zhang S, Harrison MJ. 2009. Objective analysis of monthly temperature and salinity for the world ocean in the 21st century:
333
Comparison with World Ocean Atlas and application to assimilation validation. J Geophys Res 114:C02014:02038.
Chen JM, Li T, Shih CF. 2008. Asymmetry of the El Niño-Spring Rainfall Relationship in Taiwan. J Meteorol Soc 86: 297-312.
Compo GP et al. 2011. The Twentieth Century Reanalysis Project. Quarterly J Roy Meteorol Soc 137:1-28.
Dayem KE, Noone DC, Molnar P. 2007. Tropical western Pacific warm pool and maritime continent precipitation rates and their contrasting relationships
with the Walker Circulation. J Geophys Res 112:D06101.1-06101.12. Delworth TL et al. 2006. GFDLs CM2 Global Coupled Climate Models. Part I:
Formulation and Simulation Characteristics. J Climate 19:643-674. Ding R, Ha KJ, Li J. 2010. Interdecadal shift in the relationship between the East
Asian summer monsoon and the tropical Indian Ocean. J Climate Dyn 34:1059-1071.
Douglas M, Maddox R A, Howard K, Reyes S. 1993. The Mexican monsoon. J Climate 6:1665-1677.
Drumond ARM, Ambrizzi T. 2006. Inter ENSO variability and its influence over the South American monsoon system. J Adv Geosciences 6:167-171.
[ECMWF] European Centre for Medium-RangeWeather Forecasts. 2010. ECMWF Wave Model. Atmospheric model identification numbers. Laporan
Teknis. http:www.ecmwf.intresearchifsdocsCY36r1index.html [30 Feb 2010].
Eisenman I, Yu L, Tziperman E. 2005. Westerly Wind Bursts: ENSO’s Tail
Rather than the Dog?. J Climate 10:5224-5238. Emery WJ, Thomson RE. 2001. Data analysis methods in physical oceanography.
654 hlm. Elsevier Science BV. Amsterdam. Fein J S, Stephens PL. 1987. Monsoons. 632 hlm. Wiley-Interscience Publication.
John Wiley and Sons. New York. Feng J, Wang L, Chen W, Fong SK, Leong KC. 2010. Different impacts of two
types of Pacific Ocean warming on Southeast Asian rainfall during boreal winter. J Geophys Res 115: D24122-24131.
Feng X, Huijun W, Jinhai H. 2003. Interannual variability of Mascarene high and Australian high and their influences on summer rainfall over East Asia.
Chinese Sci Bull 485:492-497. Fischer A, Terray P, Guilyardi E, Delecluse P. 2005. Two Independent Triggers
for the Indian Ocean DipoleZonal Mode in Coupled GCM. J Climate 18:3428-3449.
Francis PA, Gadgil S, Vinayachandran PN. 2007. Triggering of the positive Indian Ocean dipole events by severe cyclones over the Bay of Bengal.
Tellus 59A:461-475.
334
Gnanadesikan A et al. 2006. GFDLs CM2 Global Coupled Climate Models-Part 2: The Baseline Ocean Simulation. J Climate 19:675-697.
Goddard L, Graham NE. 1999. Importance of the Indian Ocean for simulating rainfall anomalies over eastern and southern Africa. J Geophys Res
104:19099-19.116. Gordon AL, Susanto RD. 2001. Banda Sea surface-layer divergence.Ocean
Dynamics. Ocean Dynamics 52:2-10. Gordon AL, Susanto RD, Vranes K. 2003. Cool Indonesian Throughflow is a
Consequence of Restricted Surface Layer Flow. Nature 425:824-828. Goswami BN. 1995. A multiscale interaction model for the origin of the
tropospheric QBO. J Climate 8:524-534. Guan Z, Yamagata T. 2003. The unusual summer of 1994 in East Asia: IOD
teleconnections. J. Geophys Res Lett 30:1544-1548. Greatbatch RJ, McDougall TJ. 2003. The non-Boussinesq temporal-residual
mean. J Phys Oceanogr 33:1231-1239. Griffies SM, Hallberg RW. 2000. Biharmonic friction with a Smagorinsky
viscosity for use in large-scale eddy-permitting ocean models. Monthly Weather Rev 128:2935-2946.
Griffies SM, Pacanowski R, Schmidt M, Balaji V. 2001. Tracer Conservation with an Explicit Free Surface Method for z-coordinate Ocean Models. Monthly
Weather Rev 129:1081-1098. Griffies SM, Harrison MJ, Pacanowski RC, Rosati A. 2004. A Technical Guide to
MOM4. 342 hlm. GFDL Ocean Group Technical Report 5. NOAAGeophysical Fluid Dynamics Laboratory.
Hallberg RW. 2000. Time integration of diapycnal diffusion and Richardson number dependent mixing in isopycnal coordinate ocean models. Monthly
Weather Rev 128:1402-1419. Harrison DE, Chiodi AM. 2009. Pre- and Post-199798 Westerly Wind Events
and Equatorial Pacific Cold Tongue Warming. J Climate 22:568-581. Harrison DE, Vecchi GA. 1997. Westerly wind events in the tropical Pacific,
1986 –95. J Climate 10:3131-3156.
Hastenrath S. 1994. Climate Dynamics of the Tropics: An Updated Edition of Climate and Circulation of the Tropics. 488 hlm. Kluwer Academic
Publishers. Norwell. Mass. Held I, Suarez M. 1994. A proposal for the intercomparison of the dynamical
cores of atmospheric general circulation models. Bull Am Meteorol Soc 7510:1825-1830.
Hong CC, Ku MM, Kanamitsu M. 2008. Temporal and spatial characteristics of positive and negative Inddian Ocean Dipole with and without ENSO. J
Geophys Res 113:D08107-08122.
335
Izumo T et al. 2010. Influence of the state of the Indian Ocean Dipole on the following year’s El Niño. Nature Geoscience 3:168-172.
Jin FF. 1997. An equatorial ocean recharge paradigm for ENSO. Part I: Conceptual model. J Atmos Sci 54:811-829.
Jochum M, Potemra J. 2008. Sensitivity of Tropical Rainfall to Banda Sea Diffusivity in the Community Climate System Model. J Climate 21:6445-
6454. Kajikawa Y, Wang B, Yang J. 2010. A multi-time scale Australian monsoon
index. Int J Climatol 30:1114-1120. Kalnay E et al. 1996. The NCEPNCAR 40-year reanalysis project. Bull Am
Meteor Soc 77:437-471. Kao HY, Yu JY. 2009. Contrasting Eastern-Pacific and Central-Pacific Types of
ENSO. J Climate 22:615-632. Kawamura R, Matsuura T, Iizuka S. 2003. Equatorially symmetric impact of El
Nino-Southern Oscillation on the South Asian summer monsoon system. J Meteorol Soc 81:1329-1352.
Keen RA. 1982. The role of cross-equatorial tropical cyclone pairs in the Southern Oscillation. Monthly Weather Rev 110:1405-1416.
Kida S, Richards KJ. 2009. Seasonal sea surface temperature variability in the Indonesian Seas. J Geophys Res 114:C06016-06033.
Kikuchi K, Wang B. 2008. Diurnal precipitation regimes in the tropics. J Climate 21:2680-2696.
Kim HM, Webster PJ, Curry JA. 2011. Modulation of North Pacific Tropical Cyclone Activity by Three Phases of ENSO. J Climate 24:1839-1849.
Kirtman BP, Min D. 2009. Multimodel Ensemble ENSO Prediction with CCSM and CFS. Monthly Weather Rev 137:2908-2930.
Kitoh A, Yukimoto S, Noda A. 1999. ENSO-Monsoon relationship in the MRI coupled GCM. J Meteorol Soc 776:1221-1245.
Koch LA, Lengaigne M, Terray P, Madec G, Masson S. 2010. Tidal mixing in the Indonesian Seas and its effect on the tropical climate system. Climate
Dynamics 34:891-904. Kohl A, Dommenget D, Ueyoshi K, Stammer D. 2006. The global ECCO 1952 to
2001 ocean synthesis. 44 hlm. Laporan Teknis ke-40. ECCO. Kruk MC, Knapp KR, Levinson DH. 2010. A technique for combining global
tropical cyclone best track data. J Atmos Oceanic Tech 27:680-692. Kug JS, Choi J, An SI, Jin FF, Wittenberg AT. 2010. Warm Pool and Cold
Tongue El Nino Events as Simulated by the GFDL 2.1 Coupled GCM. J Climate 23:1226-1239.
Kug JS, Kang IS. 2006. Interactive Feedback between ENSO and the Indian Ocean. J Climate 19:1784-1801.
336
Kug JS, Jin FF, An SI. 2009. Two Type of El Nino Events: Cold Tongue El Nino and Warm Pool El Nino. J Climate 22:1499-1515.
Kulkarni A, Sabade SS, Kripalani RH. 2007. Association between extreme monsoons and the dipole mode over the Indian subcontinent. J Meteorol
Atmos Phys 95:255-268. Kuroda Y. 2001. TRITON: Present status and future plan, Japan Marine Science
and Technology Center. Report. 31 hlm. JASMTEC. Yokosuka. Japan. Landsea CW, Knaff JA. 2000. How much skill was there in forecasting the very
strong 1997 –98 El Nino? Bull Am Meteorol Soc 81:2107–2120.
Large WG, Danabasoglu G, McWilliams JC, Gent PR, Bryan FO. 2001. Equatorial circulation of a global ocean climate model with anisotropic
horizontal viscosity. J Phys Oceanogr 31:518-536. Larkin NK, Harrison DE. 2005a. On the definition of El Niño and associated
seasonal average U.S. weather anomalies. Geophys Res Lett 32:L13705- 13709.
Larkin NK, Harrison DE. 2005b. Global seasonal temperature and precipitation anomalies during El Niño autumn and winter. Geophys Res Lett 32:L16705-
16709. Latif M, Biercamp J, Storch HV. 1988. The response of a coupled ocean
– atmosphere general circulation model to wind bursts. J Atmos Sci 45:964-
979. Lawrence D, Webster P. 2002. The boreal summer intraseasonal oscillation:
Relationship between northward and eastward movement of convection. J Atmos Sci 59:1593-1606.
Lee T, McPhaden MJ. 2010. Increasing intensity of El Niño in the central- equatorial Pacific. Geophys Res Lett 37:L14603-14608.
Lengaigne M et al. 2004. Triggering of El Niño by westerly wind events in a coupled general circulation model. J. Climate Dynamic. Vol. 23:601-620.
Li T, Liu P, Fu X, Wang B, Meehl GA. 2006. Spatiotemporal Structures and Mechanisms of the Tropospheric Biennial Oscillation in the Indo-Pacific
Warm Ocean Regions. J Climate 19:3070-3087. Li J, Wu Z. Jiang Z, He J. 2010. Can Global Warming Strengthen the East Asian
Summer Monsoon?. J Climate 23:6696-6705. Li Y, Lu R, Dong B. 2007. The ENSO
–Asian Monsoon Interaction in a Coupled Ocean
–Atmosphere GCM. J Climate 20:5164-5177. Locarnini RA, Mishonov AV, Antonov JI, Boyer TP, Garcia HE. 2006.
Temperature. World Ocean Atlas 2005 Vol 1. 182 hlm. NOAA Atlas NESDIS 61.
Loschnigg J, Meehl GA, Webster PJ, Arblaster JM, Compo GP. 2003. The Asian monsoon, the Tropospheric Biennial Oscillation, and the Indian Ocean zonal
mode in the NCAR GCM. J Climate 16:1617-1642.
337
Luo JJ et al. 2010. Interaction between El Nino and Extreme Indian Ocean Dipole. J Climate 23:726-742.
Madec G. 2008. NEMO ocean engine. 193 hlm. Inst Pierre Simon Laplace. Paris. Madec G, Delecluse P, Imbard M, Levy C. 1999. OPA 8.1 ocean general
circulation model reference manual. 91 hlm. Inst Pierre Simon Laplace. Paris.
Mantua NJ, Hare SR, Zhang Y, Wallace JM, Francis RC. 1997. A Pacific interdecadal climate oscillation with impacts on salmon production. Bull
Amer Meteorol Soc 78:1069-1079. Mason SJ,Jury MR. 1997. Climatic fluctuations in southern Africa: A reflection
on underlying processes, precursors and predictability. Prog Phys Geogr 21:23-50.
McBride JL, Davidson NE, Puri K, Tyrell GC. 1995. The flow during TOGA COARE as diagnosed by the BMRC tropical analysis and prediction
scheme. Monthly Weather Rev 123:717-736. McBride JL, Malcolm RH, Neville N. 2003. Relationships between the Maritime
Continent Heat Source and the El Niño-Southern Oscillation Phenomenon. J Climate 16:2905-2914.
McDougall TJ, Jackett DR, Wright DG, Feistel R. 2003. Accurate and computationally efficient algorithms for potential temperature and density of
seawater. J Atmos and Ocean Tech 20:730-741. McPhaden MJ. 2004. Evolution of the 200203 El Niño. Bull Am Meteorol Soc
85:677-695. McPhaden MJ, Busalacchi AJ, Cheney R, Donguy JR, Gage KS. 1998. The
tropical ocean global atmosphere observing system: A decade of progress. J Geophys Res 103:14169-14240.
McPhaden MJ, Zhang D. 2002. Slowdown of the meridional overturning circulation in the upper Pacific Ocean. Nature 415:603-608.
Meehl GA. 1993. A coupled air-sea biennial mechanism in the tropical Indian and Pacific regions: Role of the ocean. J Climate 6:31-41.
Meehl GA. 1997. The South Asian monsoon and the Tropospheric Biennial Oscillation. J Climate 10:1921-1943.
Meehl GA, Arblaster JM. 2011. Decadal Variability of Asian-Australian Monsoon-ENSO-TBO Relationships. J Climate 24:4925-4940.
Meinen CS, McPhaden MJ. 2001. Interannual Variability in Warm Water Volume Transports in the Equatorial Pacific during 1993-99. J Phys Oceanogr
31:1324-1345. Montégut CB et al. 2007. Simulated Seasonal and Interannual Variability of the
Mixed Layer Heat Budget in the NorthernIndian Ocean. J Climate 20:3249- 3268.
338
Mori S et al. 2004. Diurnal land-sea rainfall peak migration over Sumatera Island, Indonesian maritime continent, observed by TRMM satellite and intensive
rawinsonde soundings. Monthly Weather Rev 132:2021-2039. Neale R, Slingo J. 2003. The Maritime Continent and Its Role in the Global
Climate: A GCM Study. J Climate 16:834-849. Neelin JD et al. 1998. ENSO theory. J Geophys Res 103:14.261-14.290.
Neelin JD. 2007. Moist dynamics of tropical convection zones in monsoons, teleconnections and global warming. Di dalam: The global circulation of the
atmosphere. Schneider T, Sobel A, editor. Princeton University Press. Princeton. hlm 267-301.
Newman M, Shin SI, Alexander MA. 2011. Natural variation in ENSO flavors. Geophys Res Lett 38:L14705-14712.
[NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 2003. NOAA gets U.S.
consensus for
El NinoLa
Nina Index.
Berita. http:www.noaanews.noaa.govstoriess2095.htm [12 Mar 2008].
Ohba M, Ueda H. 2007. An Impact of SST anomalies in the Indian Ocean in acceleration of the El Nino to La Nina transition. J Meteor Soc 85:335-348.
Ogasawara N, Kitoh A, Yasunari T, Noda A. 1999. Tropospheric Biennial Oscillation of ENSO-monsoon system in the MRI coupled GCM. J
Meteorol Soc 77:1247-1270. Okumura YM, Deser C. 2010. Asymmetry in the Duration of El Niño and La
Niña. J Climate 23:5826-5843. Okumura YM, Ohba M, Deser C, Ueda H. 2011. A Proposed Mechanism for the
Asymmetric Duration of El Niño and La Niña. J Climate 24:3822-3829. Park HS, Chiang JCH, Lintner BR, Zhang GJ. 2010. The Delayed Effect of Major
El Nino Events on Indian Monsoon Rainfall. J Climate 23:932-946. Parker D E, Folland CK, Bevan AC, Ward MN, Jackson M, Maskell K. 1995.
Marine surface data for analysis of climatic fluctuations on interannual-to- century time scales. Di dalam: Natural Climate Variability on Decadal-to-
Century Time Scales. Martison DG, Bryan K, Ghil M, Hall MM, Karl TR, Sarachik ES, Sorooshian S, Talley LD, editor. National Research Council.
hlm 241-252.
Perigaud CM, Cassou C. 2000. Importance of oceanic decadal trends and westerly wind bursts for forecasting El Niño. Geophys Res Lett 27:389-392.
Philander SGH. 1990. El Niño, La Niña and the Southern Oscillation. 293 hlm. Academic Press. San Diego. California.
Picaut J et al. 2002. Mechanisms of the 1997-98 El Nino-La Nina as inferred from space-based observations. J Geophys Res 107:3037-3045.
Picaut J, Masia F, Penhoat YD. 1997. An advective-reflective conceptual model for the oscillatory nature of the ENSO. J Science. Vol. 277:663-666.