BAB III
PERANAN COMITE NA RA MARPODAH SIMALOENGOEN TERHADAP SIMALUNGUN
3.1. Dasar Organisasi
Idealisme
74
J. Wismar Saragih lahir di Sinondang, sebuah desa yang letaknya sekitar 3 kilometer dari Pematang Raya ibukota Kerajaan Raya, pada 1888
yang menjadi dasar perjuangan Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen merupakan pengembangan dari idealisme yang diusung oleh J. Wismar
Saragih secara pribadi. Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen merupakan media bagi J. Wismar Saragih untuk menyatakan idealisme yang diperjuangkannya ke
dalam bentuk gerakan sosial. Melalui organisasi inilah J. Wismar Saragih secara pasti menggalang kekuatan.
75
Ayah Djaoeloeng bernama Jalam Saragih Sumbayak, seorang yang digelari ”Tuhang Sarung ni Bodil” tukang pembuat senapan bekerja untuk penguasa Raya,
yaitu Tuan Raya Tuan Rondahaim Saragih berikut penggantinya Tuan Soemajan . J. Wismar
Saragih lahir dengan nama Djaoeloeng.
74
Pemakaian istilah “idealisme” disini berangkat dari kenyataan bahwa Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen adalah organisasi nirlaba dijalankan bukan untuk memperoleh labauntung.
75
Tahun ini hasil perhitungan J. Wismar Saragih sendiri. Untuk tanggal lahirnya, J. Wismar Saragih menyamakannya dengan tanggal pembaptisan dirinya, yaitu 11 September 1888. J. Wismar
Saragih, Memorial Peringatan Pendeta J. Wismar Saragih Marsinalsal, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977, hal. 55-56.
Universitas Sumatera Utara
Saragih. Ibunya bernama Rongganaim boru Purba Sigumonrong dari kampung Raya Dolog.
Djaoeloeng dibesarkan ketika Raya mengalami krisis keuangan. Rondahaim, raja Raya yang terkenal gigih melawan Belanda karena berkali-kali melakukan
ekspansi ke perbatasan Simalungun yang menjalin hubungan dengan Belanda, meninggal pada 1891.
76
Paska meninggalnya Rondahaim, terjadi pula perang saudara di Raya. Karena situasi yang tidak kondusif, keluarga Djaoeloeng pindah ke desa Simandemei
dan hidup berladang. Budak-budak yang sebelumnya merupakan ”harta” keluarga, banyak yang kabur.
Krisis keuangan muncul di Raya karena biaya perang yang besar. Krisis keuangan tersebut berdampak pada keluarga Djaoeloeng yang ayahnya
merupakan orang dekat Rondahaim.
Ketika Djaoeloeng beranjak remaja, ayahnya sudah meninggal, begitu juga dengan budak yang dimiliki keluarganya. Abangnya, Djaoedin, sudah bekerja sebagai
kerani di kantor pemerintahan kolonial di Pematang Raya. Semangat juang yang dimiliki ayah Djaoeloeng, Jalam Saragih Sumbayak, mengalir ke kedua puteranya,
Djaoeloeng dan Djaoedin.
76
Rondahaim memerintah Raya sebagai raja Goraha panglima perang. Pada 1887, Rondahaim menyerang Belanda di Hulu Padang dan Bandar Bejambu dan membakar bangsal-bangsal
tembakau. Pada 9 oktober 1887, pecah pertempuran di Si Onai yang menewaskan 22 pasukan Raya dan 2 pasukan Belanda beserta seorang komandan Belanda. Pada 12 oktober 1887, terjadi pertempuran
di Sibarou, satu orang Belanda tewas. Pada 21 oktober, meletus lagi pertempuran di Dolog Merawan. Pada 1888, Badjalinggei diserang Raya dan menangkap 21 kolaborator Belanda. Karena kegigihannya,
Rondahaim dijuluki oleh Tichelman sebagai “Napoleon der Bataks”. Juandaha Raya P. Dasuha, dkk., op.cit., hal. 60-61.
Universitas Sumatera Utara
Demi mencapai kemajuan, Djaoeloeng memutuskan untuk bersekolah di sekolah Kristen milik August Theis. Djaoeloeng melihat pendidikan Kristen sebagai
jawaban untuk kemajuan orang Simalungun. Kemudian Djaoeloeng dibaptis dengan nama Wismar dan melanjutkan pendidikan ke sekolah guru kweekschool
Narumonda pada 1911-1915. Setelah tamat, Wismar Saragih bekerja sebagai guru di sekolah-sekolah Kristen di Simalungun. Wismar Saragih juga aktif mengabarkan
injil. Wismar Saragih menyusun sebuah kamus Simalungun mulai 1916 dan
selesai pada 1918. Kamus ini akan menjadi kamus pertama yang berbahasa Simalungun. Namun, pemerintah kolonial Belanda menolak untuk menerbitkannya.
Kamus tersebut baru terbit pada 1936, oleh Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen dengan judul Partingkian ni Hata Simalungun.
77
Selama menjadi pengajar dan penginjil, keuangan Wismar Saragih serba kekurangan. Djaoedin yang selalu menjadi pendukung utama Wismar, memutuskan
untuk merekomendasikan Wismar menjadi Pangulu Balei
78
. Rekomendasi diterima, Wismar Saragih diangkat menjadi Pangulu Balei pada 1 agustus 1921.
79
77
Martin Lukito Sinaga, Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LKiS, 2004, hal. 27.
Wismar Saragih berhenti mengajar dan mendapat pekerjaan bergaji besar. Selama menjadi
Pangulu Balei, Wismar Saragih tetap aktif mengabarkan injil.
78
Pejabat pemerintah kolonial Belanda yang bekerja sebagai kepala urusan administrasi kerajaan. Setiap kerajaan Simalungun memiliki satu pangulu balei.
79
Padmono Sk, J.W. Saragih, Rasul Simalungun, Pematangsiantar: Yayasan Pdt. J. Wismar Saragih, 1998, hal. 93.
Universitas Sumatera Utara
Jabatannya berhasil memapankan perekonomian Wismar Saragih. Akan tetapi, idealisme Wismar Saragih membuatnya tidak puas dengan jabatan Pangulu
Balei sekalipun bergaji besar. Ia memutuskan berhenti sebagai Pangulu Balei per 1 November 1926. Wismar Saragih memilih untuk mengikuti sekolah pendeta di
Sipoholon, Toba, mulai Januari 1927. Sebagai tanda perpisahan, teman-temannya sesama Pangulu Balei memberi Wismar Saragih sebuah mesin tik.
80
Di Sipoholon, selagi mengikuti sekolah pendeta, Wismar Saragih selama setahun mengumpulkan data-data historis tentang penginjilan di Simalungun dan
menyusunnya menjadi sebuah buku sejarah berjudul Pesta Perak ni Koeria Raja. Wismar Saragih menggunakan mesin tik pemberian temannya.
Wismar Saragih dan intelektual Kristen Simalungun lainnya, sepakat untuk merayakan 25 tahun penginjilan di Simalungun dengan sebuah pesta bertajuk, ”Pesta
Pirak ni Koeria ni Halak Kristen i Raja”. Pesta diadakan pada 2 september 1928, tepat 25 tahun setelah kedatangan August Theis ke Pematang Raya. Pesta ini hendak
menarik simpati masyarakat untuk penginjilan yang mengutamakan hasimalungunon unsur budaya Simalungun. Di pesta ini Wismar Saragih menjual bukunya, Pesta
Perak ni Koeria Raja, sebanyak 500 eksamplar.
81
80
Ibid., hal. 112-113.
Buku habis tapi ongkos cetak pun tak kembali.
81
Buku ini menjadi buku pertama yang terbit dalam bahasa Simalungun. Buku dicetak oleh J. Wismar Saragih di percetakan zending Laguboti. Juandaha Raya P. Dasuha, dkk., op.cit., hal. 181-
182.
Universitas Sumatera Utara
Kesadaran menerbitkan buku dalam bahasa Simalungun adalah poin terpenting yang ditularkan Wismar Saragih dalam aksi penerbitan bukunya. Sebulan
kemudian, 13 Oktober 1928, 14 orang intelektual Kristen Simalungun berkumpul di kediaman Djaoedin Saragih, abang Wismar, untuk membicarakan kelanjutan aksi
Wismar Saragih. Dalam pertemuan ini, mereka yang hadir sepakat untuk membentuk organisasi penerbitan buku berbahasa Simalungun yang bersifat nirlaba. Organisasi
ini diberi nama Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen. Ketua Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen adalah Jason Saragih, lulusan sekolah guru di Depok pada
1914.
82
Dari keempatbelas tokoh yang mendirikan Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen, terdapat 1 siswa sekolah pendeta, 6 orang guru, 1 orang kerani, 1
orang pejabat pemerintah Pangulu Balei dan 1 orang bangsawan Parbapaan Raya Usang. Ragam komposisi dan status sosial pembentuk Comite Na Ra Marpodah
Simaloengoen menandakan bahwa organisasi ini dibentuk dengan kemufakatan yang bulat dari orang Simalungun yang memikirkan kemandirian sukunya.
Jabatan redaktur penerbitan dipegang oleh J. Wismar Saragih.
83
Secara resmi, ditetapkan 3 tujuan Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen: 1.
Mengasihi sesama manusia mangkaholongi hasoman jolma. 2.
Takut pada Tuhan mangkabiari Nabata. 3.
Menghormati rajapemerintah pasangapkon Raja.
82
T.B.A. Purba Tambak, Sejarah Simalungun, Pematangsiantar: Tanpa nama penerbit, 1982, hal. 138.
83
Budi Agustono, dkk., Sejarah Etnis Simalungun, Simalungun: Tanpa nama penerbit, 2012, hal. 300.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2. Daftar 12 tokoh kemandirian Simalungun, pendiri Comite Na Ra Marpodah
Simaloengoen. Dari 14 pendiri, hanya 12 yang namanya terdokumentasikan.
84
No Nama dan Marga
Pekerjaan Alamat
Jabatan
1. J. Wismar Saragih
Candidat Pandita Sipoholon
Redaktur 2.
Jason Saragih Goeroe Zending
Raja Tongah Voorzitter Ihoetan
3. Jacoboes Sinaga
Krani Tiga Raja Pamatang Raja
Secretaris Penningmeester
4. Djaoedin Saragih
Pangoeloebalei Raja Pamatang Raja
Commissaris 5.
Djotti Saragih Parbapaan
Raja Oesang Commissaris
6. Bendjamin Damanik
Sintoea Pamatang Raja
Commissaris 7.
Augustin Sinaga Goeroe Zending
Dalig Raja Commissaris
8. Djainoes Saragih
Goeroe Zending Raja Oesang
Commissaris 9.
Kenan Saragih Goeroe Zending
Djandi Maoeli Commissaris
10. Lamsana Saragih Goeroe Zending
Hoeta Bajoe Commissaris
11. Kilderik Saragih Goeroe Zending
Pamatang Raja Commissaris
12. Djonas Poerba Girsang Sondi Raja
Commissaris Dalam anggaran dasarnya dikatakan juga tujuan ”manramothon ampa patorsahon
hata Simaloengoen” memelihara dan memberdayakan bahasa Simalungun. Perjuangan Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen didasarkan pada ayat
Alkitab, yaitu 1 Petrus 2:7, yang berbunyi, ”Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah pada Allah, hormatilah raja” Anggaran Dasar
84
Sinalsal, No.90September1938, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
Statutent organisasi Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen disahkan oleh Assistent Resident G.W. Meindersma pada 5 februari 1929. Disepakati, tanggal lahir organisasi
adalah 2 september 1928. Dalam pendanaan, masing-masing anggota menyumbang modal awal 97
gulden. Dari pemerintah swapraja landschapskas Simaloengoen sebesar 300 gulden. Donasi rakyat, pengusaha, pegawai pemerintah dan raja-raja sebesar 400 gulden. P.
Voorhoeve seorang penyelidik bahasa taalambtenaar asal Belanda, juga memberi donasi 5 gulden per tahun. Filolog ini juga menjadi penasehat komite Begunstiger.
85
Bentuk perjuangan yang dilakukan oleh Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen adalah penerbitan buku-buku dalam bahasa Simalungun, hal yang
belum pernah ada sebelumnya. Buku yang diterbitkan berupa buku-buku agama, buku pelajaran, buku tentang kebudayaan Simalungun, juga buku-buku
pengembangan karakter. Komite juga menerbitkan majalah bulanan Sinalsal. Melalui karya-karya ini, ide-ide kemandirian Simalungun disebarkan.
Pada 1934, Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen sudah memiliki kantor sendiri di Pamatang Raya. Akan tetapi, buku-bukunya lebih sering diterbitkan di
Pematang Siantar. Percetakan yang sering menjadi mitra adalah percetakan zending di Laguboti.
85
Juandaha Raya P. Dasuha, op.cit., hal. 185-186.
Universitas Sumatera Utara
3.2. Peranan di Bidang Penginjilan