Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen: Peranannya Dalam Pelestarian Budaya Simalungun Dan Penyebaran Agama Kristen (1928-1942)
COMITE NA RA MARPODAH SIMALOENGOEN:
PERANANNYA DALAM PELESTARIAN BUDAYA
SIMALUNGUN DAN PENYEBARAN AGAMA KRISTEN
(1928-1942)
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O L E H
NAMA : ANDRI ERSADA TARIGAN
NIM
: 090706026
Pembimbing,
Dra. Peninna Simanjuntak, MS NIP. 196102261986012001
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
COMITE NA RA MARPODAH SIMALOENGOEN:
PERANANNYA DALAM PELESTARIAN BUDAYA
SIMALUNGUN DAN PENYEBARAN AGAMA KRISTEN
(1928-1942)
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O L E H
NAMA : ANDRI ERSADA TARIGAN
NIM
: 090706026
Pembimbing,
Dra. Peninna Simanjuntak, MS NIP 196102261986012001
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
Lembar Persetujuan Ujian Skripsi
COMITE NA RA MARPODAH SIMALOENGOEN:
PERANANNYA DALAM PELESTARIAN BUDAYA
SIMALUNGUN DAN PENYEBARAN AGAMA KRISTEN
(1928-1942)
Yang diajukan oleh: Nama : Andri Ersada Tarigan
NIM : 090706026
Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh:
Pembimbing,
Dra. Peninna Simanjuntak, MS Tanggal, 27 Desember 2013 NIP 196102261986012001
Ketua Departemen Sejarah
Drs. Edi Sumarno, M. Hum Tanggal, 27 Desember 2013 NIP 196409221989031001
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
(4)
Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi
COMITE NA RA MARPODAH SIMALOENGOEN: PERANANNYA DALAM PELESTARIAN BUDAYA SIMALUNGUN DAN PENYEBARAN
AGAMA KRISTEN (1928-1942) SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN O
L E H
NAMA : ANDRI ERSADA TARIGAN NIM : 090706026
Pembimbing,
Dra. Peninna Simanjuntak, MS NIP. 196102261986012001
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan,
untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya dalam bidang Ilmu Sejarah
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(5)
Lembar Persetujuan Ketua Jurusan
DISETUJUI OLEH :
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
DEPARTEMEN SEJARAH Ketua Departemen,
Drs. Edi Sumarno, M.Hum NIP. 196409221989031001
(6)
Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian PENGESAHAN
Diterima Oleh :
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan
Pada
Tanggal : 27 Desember 2013 Hari : Jumat
Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP. 195110131976031001
Panitia Ujian:
No Nama Tanda Tangan
1 Drs. Edi Sumarno M.Hum (……….) 2 Dra. Nurhabsyah M.Si (……….) 3 Dra. Peninna Simanjuntak M. S (……….) 4 Dra. Nina Karina M.SP (……….) 5 Dra. Ratna M.S (……….)
(7)
ABSTRAK
Masuknya pengaruh kolonialisme dan kristenisasi di Simalungun pada awal abad ke-20 membawa perubahan besar bagi kehidupan sosial masyarakat di wilayah Simalungun. Terjadi perubahan besar di berbagai sektor, mulai dari politik, sosial-ekonomi, religi, bahkan kebudayaan. Pdt. J. Wismar Saragih, orang Simalungun pertama yang meraih gelar pendeta dan memiliki pendidikan formal paling tinggi, menghadapi perubahan sosial yang ada dengan mendirikan organisasi penerbitan buku bernama Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen.
Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen muncul sebagai sebuah gerakan
sosio-kultural. Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen menjadi organisasi pertama yang menerbitkan buku-buku berbahasa Simalungun. Tokoh-tokohnya aktif memperjuangkan penggunaan bahasa Simalungun di institusi-institusi formal seperti di lembaga pemerintahan, gereja dan sekolah. Semangat utamanya adalah berjuang untuk kemandirian Simalungun.
Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen berhasil berperan di bidang
keagamaan dan kebudayaan. Melalui literaturnya, organisasi ini berhasil mengefektifkan upaya kristenisasi masyarakat Simalungun. Semenjak kehadiran
Comite Na Ra Marpodah Simalongoen, jumlah orang Simalungun yang memeluk
Kristen meningkat secara signifikan, terbentuk pula komunitas-komunitas Kristen Simalungun di berbagai daerah. Di bidang kebudayaan, Comite Na Ra Marpodah
Simaloengoen melalui literaturnya menyebarkan banyak gagasan kemandirian
(8)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang memberi kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan sebuah karya ilmiah dalam bidang Ilmu Sejarah ini.
Skripsi ini hadir sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana dari Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Akan tetapi, penulis berharap skripsi ini tidak hanya hadir sebagai syarat perolehan gelar semata, melainkan menjadi sebuah karya ilmiah yang benar-benar dapat digunakan dalam pengkajian sejarah kebudayaan lebih lanjut, terutama dalam lingkup pembelajaran sejarah lokal.
Dalam kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Syahron Lubis, M.A selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, beserta staf dan pegawainya.
2. Drs. Edi Sumarno, M.Hum dan Dra. Nurhabsyah, M.Si selaku ketua dan sekretaris Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
3. Drs. Indera, M.Hum (Alm), Drs. J. Fachruddin Daulay dan Dr. Budi Agustono, yang secara bergantian menjadi dosen pembimbing akademik penulis selama menjalani studi di Departemen Sejarah.
(9)
4. Dra. Peninna Simanjuntak, M.S selaku dosen pembimbing penulis dalam penulisan skripsi ini. Banyak masukan tentang penulisan karya ilmiah yang sangat berarti bagi penulis yang telah ibu berikan. Ditambah lagi, ada motivasi rasional dan semangat positif yang ibu sampaikan setiap kali penulis melakukan sesi bimbingan dengan ibu. Penulis berterimakasih karena mendapat metode bimbingan yang menurut penulis sungguh berpengaruh baik.
5. Seluruh staf pengajar dan pegawai di Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
6. Segenap keluarga dan kerabat penulis dari keluarga ayah (Tarigan) maupun keluarga ibu (Sianipar), unsur paling penting dalam hidup penulis.
7. KDAS (Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial). Di organisasi kecil ini penulis menemukan keluarga kedua, wadah untuk pelayanan rohani, pembelajaran tentang esensi hidup dan teman komunitas yang menyenangkan sekaligus mencerdaskan. Organisasi ini merupakan rumah belajar Ilmu Sosial terbaik yang pernah penulis temui, melalui KDAS pula penulis bisa berpartisipasi aktif dalam gerakan sosial membela kepentingan kaum miskin.
8. Teman-teman di Ilmu Sejarah yang kocak dan unik. Terimakasih atas canda dan tawa yang kita ciptakan setiap hari. Terkhusus buat teman-teman “senasib-sepenanggungan-sependeritaan” di stambuk 2009,
(10)
baik-buruk, suka-duka, romantika dan kekonyolan kita kerjakan bersama selama empat tahun lebih, itu semua sulit dilupakan loh.
9. Kelompok kecil CoG (bang Putera, Petra, Mora, Melisa, Dies), ayo terus semangat bersama meraih mimpi-mimpi kita.
10.Djomen Purba, Juandaha Raya Purba, Jan Wiserdo Saragih, Januarison Saragih dan orang-orang yang mendukung penyelesaian karya ilmiah ini, yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu per satu.
Sebagai akademisi yang pengalamannya masih sangat minim, penulis menyadari karya ilmiah ini masih mengandung banyak kekurangan. Namun, setiap karya ilmiah bukanlah karya yang sifatnya sempurna, melainkan sesuatu yang selalu terbuka untuk proses penyempurnaan. Semoga karya ini bermakna.
Medan, Desember 2013
Andri Ersada Tarigan NIM : 090706026
(11)
DAFTAR ISI
ABSTRAK………..i
KATA PENGANTAR………...ii
DAFTAR ISI………..v
DAFTAR TABEL………...vii
BAB I PENDAHULUAN………..1
1.1. Latar Belakang Masalah………1
1.2. Rumusan Masalah………..7
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian………..7
1.3.1. Tujuan Penelitian………..7
1.3.2. Manfaat Penelitian………8
1.4. Tinjauan Pustaka………...…8
1.5. Metode Penelitian………10
BAB II TERBENTUKNYA COMITE NA RA MARPODAH SIMALOENGOEN………11
2.1. Kedatangan Rheinische Mission Gesselschaft ke Sumatera…………11
2.2. Aneksasi dan Pasifikasi Belanda di Simalungun……….19
2.3. Kristenisasi di Simalungun 1903-1928………24
2.4. Terbentuknya Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen………..31
BAB III PERANAN COMITE NA RA MARPODAH SIMALOENGOEN TERHADAP SIMALUNGUN………..38
3.1. Dasar Organisasi………..38
3.2. Peranan di Bidang Penginjilan……….45
3.3. Peranan di Bidang Kebudayaan………...50
BAB IV PERUBAHAN RELIGI DAN BUDAYA DI SIMALUNGUN 1928-1942………59
4.1. Perubahan Sosial-politik Simalungun………..59
4.2. Pembaruan Religi di Simalungun………65
4.3. Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen Sebagai Sebuah Gerakan Sosio-kultural………72
BAB V PENUTUP………79
5.1. Kesimpulan………..79
5.2. Saran………82
DAFTAR PUSTAKA………...84
(12)
DAFTAR TABEL
Tabel 1. ………. 34
Tabel 2. ……… 43
Tabel 3. ……….….… 53
(13)
ABSTRAK
Masuknya pengaruh kolonialisme dan kristenisasi di Simalungun pada awal abad ke-20 membawa perubahan besar bagi kehidupan sosial masyarakat di wilayah Simalungun. Terjadi perubahan besar di berbagai sektor, mulai dari politik, sosial-ekonomi, religi, bahkan kebudayaan. Pdt. J. Wismar Saragih, orang Simalungun pertama yang meraih gelar pendeta dan memiliki pendidikan formal paling tinggi, menghadapi perubahan sosial yang ada dengan mendirikan organisasi penerbitan buku bernama Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen.
Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen muncul sebagai sebuah gerakan
sosio-kultural. Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen menjadi organisasi pertama yang menerbitkan buku-buku berbahasa Simalungun. Tokoh-tokohnya aktif memperjuangkan penggunaan bahasa Simalungun di institusi-institusi formal seperti di lembaga pemerintahan, gereja dan sekolah. Semangat utamanya adalah berjuang untuk kemandirian Simalungun.
Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen berhasil berperan di bidang
keagamaan dan kebudayaan. Melalui literaturnya, organisasi ini berhasil mengefektifkan upaya kristenisasi masyarakat Simalungun. Semenjak kehadiran
Comite Na Ra Marpodah Simalongoen, jumlah orang Simalungun yang memeluk
Kristen meningkat secara signifikan, terbentuk pula komunitas-komunitas Kristen Simalungun di berbagai daerah. Di bidang kebudayaan, Comite Na Ra Marpodah
Simaloengoen melalui literaturnya menyebarkan banyak gagasan kemandirian
(14)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pada masa kolonialisme Belanda di Nusantara, penyebaran agama Kristen merupakan hal penting bagi pemerintah Belanda. Agama Kristen mengajarkan perdamaian. Oleh karena itu, penyebaran agama Kristen dinilai dapat mengurangi perlawanan masyarakat Nusantara terhadap kolonialisme Belanda. Pada masa kolonialisme Belanda inilah penyebaran agama Kristen berlangsung pesat di Nusantara.
Dalam prosesnya, penyebaran agama Kristen sering menyebabkan terjadinya perbenturan budaya. Salah satu perbenturan budaya yang unik terjadi di wilayah Simalungun. Simalungun merupakan wilayah di Sumatera Timur yang terdiri atas 7 kerajaan yang menganut budaya Simalungun: Kerajaan Siantar, Tanah Jawa, Panei, Raya, Purba, Silimakuta, dan Dolog Silou.1
Pada pertengahan abad 19, banyak orang Simalungun yang sudah masuk agama Islam. Orang Simalungun pertama yang memeluk agama Islam adalah
Parbapaan
Saat ini (2013) wilayah tersebut meliputi kabupaten Simalungun dan kota Pematangsiantar, provinsi Sumatera Utara.
2
1
Juandaha Raya P. Dasuha, dkk., Tole! Den Timorlanden Das Evangelium!, Pematangsiantar: Kolportase GKPS, 2003, hal. 1.
Bandar Tongah bernama Tuan Sarini Damanik. Sesudah Tuan Sarini
2
(15)
Damanik masuk Islam, rakyatnya mengikutinya. Dengan demikian, wilayah Bandar yang dekat dengan wilayah Melayu seperti Batubara dan Asahan, dipenuhi oleh orang-orang Islam. Akan tetapi, sebagian besar masyarakat Simalungun masih menganut kepercayaan kepada suatu Dewata Tertinggi (Naibata Iatas), Dewata Dunia-tengah (Naibata Itongah) dan Dewata Dunia-bawah (Naibata Itoruh). Raja-raja Simalungun disebut sebagai Naibata na taridah (Dewata yang kelihatan).
Simalungun mulai dikenal oleh badan penyebaran injil Kristen dengan adanya laporan ekspedisi pejabat-pejabat kolonial Belanda. Salah-satunya adalah laporan ekspedisi dari Controleur Toba bernama Van Dick. Van Dick menyebutkan bahwa daerah Siantar, Tanah Djawa, dan Tandjung Kasau pada masa itu sudah dipengaruhi agama Islam. Laporan ini diketahui sangat mencemaskan pemerintahan kolonial Belanda karena semakin meluasnya penetrasi Islam atas Simalungun akan mempersulit ambisi kolonialisme di Simalungun. Kekuatan Islam identik dengan perlawanan terhadap kolonialisme. Di lain pihak, badan penyebaran injil Kristen juga takut kalau perembesan Islam yang makin kuat akan mempersulit upaya mereka untuk mengkristenkan daerah yang masih menganut agama suku.3
G.K. Simon, salah satu penginjil Jerman yang sebelumnya aktif di tanah Batak beserta beberapa penginjil Batak Toba melakukan peninjauan ke Simalungun. Hasilnya, G.K. Simon menemukan penduduk Simalungun di sebelah Timur sudah banyak menganut agama Islam, khususnya di Bandar. Islamisasi juga sudah meluas sampai ke Siantar. Raja Siantar Sang Naualuh Damanik sudah beragama Islam.
3
(16)
Berdasarkan laporan G.K. Simon dan laporan-laporan terdahulu, badan penyebaran injil Kristen bernama Rheinische Missions Gesselschaft (RMG) dalam sebuah rapat di Laguboti pada 21-25 Januari 1903, memutuskan untuk melakukan penginjilan di Simalungun. RMG datang ke Simalungun dan mengupayakan kristenisasi yang intensif di wilayah Simalungun. 4
Dalam kristenisasi tersebut, RMG dibantu oleh orang-orang Kristen dari suku Batak Toba. Dalam perkembangan kegiatan kristenisasi, terjadi dominasi suku Batak Toba yang membuat kristenisasi di Simalungun tidak berjalan efektif dan kalangan Kristen Simalungun merasa hasimalungunon5
Dominasi tersebut berupa pemakaian bahasa Batak Toba dalam hampir semua kegiatan RMG di Simalungun. RMG juga tidak pernah menghasilkan literatur etnografi menyangkut suku bangsa Simalungun selama 25 tahun RMG berkarya di Simalungun, berbeda dengan Batak Toba yang sudah banyak ditulis literaturnya. Buku dan adat Batak Toba beredar di sekolah-sekolah dan perkumpulan orang Kristen.
mereka diabaikan.
6
Pada tanggal 2 September 1928, diadakan sebuah pesta peringatan 25 tahun perkabaran injil di Simalungun bertajuk “Pesta Pirak ni Koeria ni Halak Kristen i Raja”. Pesta ini diadakan atas inisiatif kaum Kristen Simalungun untuk merayakan penginjilan sekaligus menggugah semangat penginjilan oleh orang Simalungun
Dominasi ini semakin kuat dengan adanya faktor dari luar seperti migrasi besar-besaran suku Batak Toba ke Simalungun.
4
Ibid., hal. 113. 5
Hasimalungunon berarti unsur budaya asli dalam diri masyarakat Simalungun. 6
(17)
sendiri. Orang-orang Simalungun datang berduyun-duyun ke pesta itu. J. Wismar Saragih, pendeta Simalungun pertama, dalam pesta tersebut menjual 500 eksamplar buku Pesta Pirak ni Koeria Raja, berisi sejarah penginjilan Simalungun, yang ditulis dalam bahasa Simalungun.
Tergugah oleh semangat jubileum, 14 orang tokoh Kristen Simalungun sepakat mengadakan diskusi pada 13 Oktober 1928. Diskusi tersebut mengenai cara-cara yang lebih baik untuk mengabarkan injil di Simalungun. Suara mayoritas dalam diskusi menyatakan bahwa bukan bahasa dan orang-orang Batak Toba yang harus dipakai dalam penginjilan Simalungun melainkan bahasa dan orang-orang Simalungun. 14 orang intelektual Kristen Simalungun tersebut memutuskan mendirikan sebuah organisasi bernama Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen7
Organisasi ini bermaksud melestarikan bahasa Simalungun dan mengefektifkan kristenisasi. Berangkat dari kegelisahan terhadap lambatnya penyebaran agama Kristen di Simalungun dan ketidaksepakatan terhadap dominasi suku Batak Toba, organisasi ini menjadi gerakan oposisi terhadap dominasi budaya Batak Toba khususnya dalam hal penyebaran agama Kristen.
.
Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen menerbitkan berbagai buku dalam
bahasa Simalungun, yakni: katekismus, buku nyanyian ibadah, buku bacaan siswa, buku renungan harian, petunjuk tulis-menulis dalam bahasa Simalungun, tata bahasa Simalungun, kamus Simalungun, buku etika kerja, buku etika kepemimpinan, dan
7
Kata comite dipakai sebagai penanda bahwa organisasi ini nirlaba. Sedangkan na ra marpodah mengandung arti rasa tanggung jawab.
(18)
literatur sejenis lainnya. Organisasi ini juga menerbitkan majalan bulanan bahasa Simalungun bernama Sinalsal.8
Untuk meningkatkan minat baca orang Simalungun, J. Wismar Saragih bersama organisasinya mendirikan taman baca Dos ni Riah dan perpustakaan
Parboekoenan ni Pan Djaporman di Pamatang Raya pada tahun 1937. Comite Na Ra
Marpodah Simaloengoen juga menggagas berdirinya Roemah Poesaka Simaloengoen
(Museum Simalungun) pada 1940 dan sanggar kesenian Parsora na Laingan pada 1937.
J. Wismar Saragih, salah-satu tokoh Comite Na Ra
Marpodah Simaloengoen, menerbitkan Alkitab berbahasa Simalungun dan menjadi
orang dalam negeri pertama yang menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa lokal.
9
Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen mengakhiri aktivitasnya pada saat
Jepang datang dan berkuasa. Pada tahun 1942, semua lembaga baik agama maupun pendidikan dihentikan kegiatannya dan hanya bisa berjalan jika mendapat instruksi dari pemerintahan Jepang.
Selama 25 tahun pertama injil disebarkan di Simalungun, jumlah orang Simalungun yang berhasil dibaptis adalah 900 orang (1903-1928). Setelah Comite Na
Ra Marpodah Simaloengoen berdiri, jumlah orang Simalungun yang dibaptis
8
Jubil Raplan Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2011, hal. 106.
9
(19)
berkembang pesat. Pada tahun 1940, jumlah orang Kristen Simalungun mencapai 5700 orang.10
Selain kemajuan yang diperoleh dalam kristenisasi orang Simalungun,
Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen dalam bidang kebudayaan menjadi
organisasi modern pertama yang berjuang untuk pelestarian kebudayaan Simalungun. Organisasi ini mampu meraih dukungan dari berbagai kalangan; pemerintah kolonial, akademisi, kerajaan dan kalangan lainnya.
Orang Simalungun sudah lama mengenal tulisan. Menurut para ahli, aksara Simalungun bahkan lebih tua dari aksara Toba dan mandailing.11
Dalam penulisan sejarah Simalungun, pengaruh besar itu sangat terlihat. Pada 1946, terjadi revolusi sosial di seluruh kerajaan-kerajaan Simalungun. Aset-aset kerajaan dibakar dan keluarga kerajaan banyak dibunuh. Banyak dokumen tertulis
Aksara Simalungun terukir dalam pustaha (kitab-kitab), berisi cerita rakyat maupun pengetahuan seperti obat-obatan atau perdukunan. Pustaha tersebut ada yang terbuat dari kulit kayu, kulit hewan, atau berupa ukiran-ukiran pada permukaan batang bambu. Tradisi menulis ini dimodernisasi oleh Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen sesuai tuntutan zaman. Modernisasi budaya menulis di Simalungun oleh Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen (1928-1942) ini, memiliki pengaruh besar ke masa sekarang.
10
El Imanson Sumbayak (Ed.), A Spiritual Desert Journey, Panitia Jubileum 95 Tahun GKPS Distrik IV, Jakarta: Tanpa nama penerbit, 1998, hal. 5.
11
“Uli Kozok seorang filolog mengatakan bahasa Simalungun ditinjau dari sejarahnya merupakan cabang dari rumpun selatan yang berpisah dari bahasa-bahasa Batak Selatan sebelum bahasa Batak Toba dan Mandailing terbentuk. Dari sini, nyatalah bahwa bahasa Simalungun lebih tua umurnya ketimbang bahasa Batak Toba dan Mandailing.” Juandaha Raya P. Dasuha, dkk., op.cit., hal. 16.
(20)
tentang Simalungun yang dimusnahkan. Akibatnya, di masa sekarang, cukup sulit mencari sumber sejarah yang menceritakan kehidupan bangsa Simalungun, terkhusus pada masa pra kolonial. Karena pemusnahan data sejarah kerajaan-kerajaan Simalungun terjadi pada revolusi sosial 1946, dalam penulisan sejarah Simalungun, dokumen sejarah yang ditulis Kristen Simalungun menjadi dokumen sejarah yang saat ini paling diandalkan.
Kehadiran Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen yang berdampak besar bagi Simalungun baik dari segi budaya maupun religi membuat penulis tertarik untuk menelitinya. Pengetahuan tentang Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen menurut penulis penting bagi intelektual pegiat budaya, khususnya budaya Simalungun, pada masa mendatang.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis mengkaji tiga permasalahan penting tentang
Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen:
1. Bagaimana terbentuknya Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen?
2. Apa peranan Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen dalam pelestarian budaya Simalungun dan penyebaran agama Kristen?
3. Bagaimana perubahan religi dan budaya yang terjadi di Simalungun atas prakarsa Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen pada kurun waktu 1928-1942?
(21)
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui dan menjelaskan terbentuknya Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen.
2. Mengetahui dan menjelaskan peranan Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen
terhadap pelestarian budaya Simalungun dan penyebaran agama Kristen. 3. Menjelaskan perubahan religi dan budaya di Simalungun atas prakarsa Comite
Na Ra Marpodah Simaloengoen pada kurun waktu 1928-1942.
1.3.2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah sebagai berikut:
1. Menambah pengetahuan sekaligus memotivasi peneliti dalam menghasilkan karya-karya historiografi serta memberikan referensi literatur yang berguna terhadap dunia akademis, terutama dalam studi ilmu sejarah guna membuka ruang penulisan sejarah yang berikutnya.
2. Menjadi referensi bagi pemerintah dalam memahami perubahan yang pernah terjadi di Simalungun untuk ke depannya dapat menjadi referensi pembangunan daerah.
3. Menambah wawasan masyarakat tentang perjuangan budaya dan pengembangan agama di masa lampau di daerah Simalungun.
(22)
1.4. Tinjauan Pustaka
Dalam memahami masalah penelitian ini, diperlukan beberapa referensi yang dapat dijadikan panduan dalam penulisan tentang Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen.
Juandaha Raya P. Dasuha beserta Martin Lukito Sinaga dalam Tole den
Timorlanden das Evangelium (2003), memaparkan tentang sejarah seratus tahun
perkabaran injil di Simalungun (2 September 1903-2003). Buku ini memuat gejolak sosial yang terjadi selama proses penginjilan di Simalungun.
T. B. A. Purba Tambak dalam Sejarah Simalungun (1982) membahas sejarah kerajaan-kerajaan Simalungun, yakni tujuh kerajaan besar yang ada di Simalungun. Buku ini penting karena memuat perihal religi dan adat-istiadat yang berkembang di Simalungun.
Jubil Raplan Hutauruk dalam Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam
Kristus (2011) membahas 150 tahun gereja HKBP. HKBP merupakan gereja suku
bagi masyarakat Batak Toba. Selama masa kolonialisme Belanda, gereja yang beraktivitas di Simalungun adalah gereja HKBP.
Martin Lukito Sinaga dalam Identitas Poskolonial Gereja Suku dalam
Masyarakat Sipil (2004) membahas tentang identitas baru masyarakat Simalungun
yang dinamakan identitas poskolonial. Objek kajian Martin Lukito Sinaga dalam buku ini adalah J. Wismar Saragih dan komunitas Kristen yang ada, termasuk Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen.
Djoko Marihandono dkk. dalam Sejarah Perjuangan Sang Naualuh
Damanik: Menentang Kolonialisme Belanda di Simalungun (2012) menceritakan
tentang aneksasi dan pasifikasi Belanda di Simalungun yang menjadi latar belakang masuknya agama Kristen di Simalungun.
(23)
1.5 Metode Penelitian
Untuk mendapatkan penulisan sejarah yang ilmiah haruslah melalui tahapan demi tahapan. Tahapan pertama adalah heuristik (pengumpulan data). Dalam tahapan ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan. Penulis melakukan penelitian ke Perpustakaan Daerah Sumatera Utara, Perpustakaan Daerah Pematangsiantar, Museum Simalungun dan Balitbang GKPS.
Tahapan kedua yang adalah kritik. Dalam tahapan ini diterapkan kritik intern dan ekstern. Tahapan ini penting untuk memastikan kesahihan data.
Tahapan ketiga adalah interpretasi. Dalam tahapan ini data yang diperoleh dianalisis sehingga melahirkan hasil analisis yang sifatnya lebih objektif dan ilmiah tentang objek yang diteliti, sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditetapkan.
Tahapan terakhir adalah historiografi, yakni penyusunan hasil interpretasi menjadi satu kisah atau kajian yang menarik yang tersusun secara kronologis. Tulisan ini bersifat deskriptif analitis, yaitu dengan menganalisis setiap data dan fakta yang ada untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kritis dan ilmiah.
(24)
BAB II
TERBENTUKNYA COMITE NA RA MARPODAH
SIMALOENGOEN
2.1. Kedatangan Rheinische Mission Gesselschaft ke Sumatera
Badan penyebaran agama Kristen yang paling berpengaruh di Sumatera Utara, terkhusus di wilayah Toba dan Simalungun adalah badan perkabaran injil Jerman yang bernama Rheinische Mission Gesselschaft (RMG). RMG menjadi perintis munculnya gereja dengan jemaat yang terbanyak di Asia Tenggara yakni Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)12
RMG mulai didirikan pada tahun 1828.
, yang bemula dari komunitas-komunitas penyebaran agama Kristen yang dibentuk RMG di tanah Batak pada masa penjajahan Belanda. RMG pula yang memperkenalkan agama Kristen kepada penduduk Simalungun, Dairi, Nias dan berbagai wilayah di sekitarnya.
13
RMG dipimpin oleh seorang presiden (Prases) yang bertugas menjalin hubungan dengan perusahaan-perusahaan penyumbang dana bagi operasional RMG, RMG berpusat di Barmen, Jerman. Daerah misi RMG terutama berada di wilayah Afrika (mulai 1829), Cina (mulai 1846), Kalimantan (1836-1859) dan Sumatera (mulai 1861).
12
Pdt. Bonar Napitupulu, ketika menjadi Ephorus (pemimpin tertinggi) HKBP menyebutkan bahwa terdapat 4,1 juta anggota HKBP (2011). Statistik keanggotaan LWF (Lhuteran World Federation) menyatakan jumlah anggota jemaat HKBP adalah 3,7 juta jiwa (2010). Jubil Raplan Hutauruk, op.cit., hal. 24.
13
RMG bergabung dengan Bethel Mission pada 1971, berganti nama menjadi VEM (Vereinigte Evangelische Mission/ Persatuan Penginjilan Evangelis) dan berganti lagi menjadi VEM (Vereinte Evangelische Mission/ Penginjilan Evangelis Bersatu) pada 1996. VEM masih eksis sampai sekarang (2013) dan menaungi berbagai gereja seperti HKBP, GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun), GBKP (Gereja Batak Karo Protestan), dsb.
(25)
dan seorang direktur (Inspektor) yang berlatar teologi dan bertanggung jawab atas misi kristenisasi. Para misionaris 14 dipimpin secara komando oleh direktur.15
Dalam kepemimpinan Fabri, para misionaris ketika belajar selama kurang lebih empat tahun di seminari
Pada masa pengutusan misionaris ke Sumatera Utara, yang menjabat sebagai direktur RMG pada saat itu adalah Friederich Fabri (masa jabatan dari 1857- 1884).
16
dipengaruhi oleh Heilgeschichtliche Theologie
(Teologi Sejarah Keselamatan) yang juga dikenal sebagai Teologi Kerajaan Allah (Reich-Gottes-Theologie). Teologi ini, dalam ajaran Fabri, sarat akan nasionalisme Jerman dan rasisme kulit putih.17 Fabri menulis sendiri buku tentang sejarah dunia yang memojokkan ras selain kulit putih, yang dikaitkan dengan tafsiran terhadap kitab suci agama Kristen.18
Disamping mengusung rasisme, Fabri juga adalah tokoh yang pro terhadap penjajahan. Fabri menjadi salah satu perintis paham penginjilan kolonial (koloniale missionsauffasung). Fabri juga dijuluki sebagai ”bapak gerakan kolonial” serta ”laba-laba dalam sarang jajahan”. Ketika menjabat sebagai direktur RMG, Fabri juga menjabat sebagai pendiri Persatuan Penjajahan dan Ekspor (1879), wakil ketua Persatuan Penjajahan Jerman (1883) dan anggota Serikat Penjajah Jerman. Fabri menulis sebuah buku berjudul Bedarf Deutschland der Kolonien? (Apakah Jerman
Membutuhkan Daerah Jajahan?)pada 1879.
14
Misionaris adalah orang yang diutus sebagai penyebar injil. 15
Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010, hal. 55.
16
Sebutan untuk sekolah teologi. 17
Ibid., hal. 56. 18
Hal ini (rasisme) merupakan hal wajar di Jerman pada masa itu. Tren yang akhirnya memuncak pada masa kepemimpinan Adolf Hitler dan partai NAZI.
(26)
Fabri berserta pengaruh rasisme dan kolonialismenya menjadi kepala komando bagi para misionaris yang terjun ke lapangan. Dalam pengaruh semangat rasisme dan kolonialisme inilah penyebaran agama Kristen dilakukan oleh RMG pada masa kepemimpinan Fabri. Termasuk dalam penginjilan di wilayah Toba.
Sebelum memasuki Toba, misionaris RMG sudah terlebih dahulu melakukan kristenisasi di Kalimantan. Pada masa itu, terjadi Perang Banjar, perang antara pihak kolonial Belanda dengan kerajaan setempat.
Pada 1859, ketika perang di Kalimantan meletus, 9 orang misionaris RMG terbunuh. Beberapa misionaris yang masih selamat diamankan ke pulau Jawa. Akibat peristiwa tersebut, Fabri selaku direktur RMG memutuskan untuk pergi ke Amsterdam, Belanda. Fabri hendak mencari kemungkinan adanya daerah misi yang baru bagi para misionarisnya.
Di kantor badan penerjemah Alkitab milik Belanda yang bernama
Nederlands Bijbelgenootschap (NBG),19 Fabri melihat Injil Yohanes20 yang ditulis dalam bahasa Toba, hasil terjemahan Van Der Tuuk,21
19
Nederlands Bijbelgenootschap hanya lembaga penerjemahan Alkitab. Nederlands Bijbelgenootschap bukan badan penginjilan, karena tidak menyediakan penginjil.
seorang Belanda. Van Der Tuuk adalah ahli bahasa NBG yang pernah tinggal di Toba. Fabri tertarik dengan kitab terjemahan tersebut sehingga langsung menemui Van Der Tuuk, yang saat itu berada di Amsterdam.
20
Bagian dari Alkitab umat Kristen. Termasuk dalam bagian Perjanjian Baru. 21
Orang Toba memanggil Van Der Tuuk dengan julukan “Pandortuk” yang artinya “Si Hidung Besar”. Van Der Tuuk diketahui sebagai orang Eropa pertama yang memandang keindahan Danau Toba. Lihat Paul Bodholt Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975, hal. 51-52. Van Der Tuuk sendiri adalah seorang ateis, yang dipekerjakan oleh NBG karena kecakapannya sebagai ahli bahasa. Lihat Uli Kozok, op.cit., hal. 28.
(27)
RMG kemudian menghubungi pastor Witteven, seorang tokoh dari
Zendingskerk Ermelo. Zendingskerk Ermelo adalah badan penginjilan yang sudah
terlebih dahulu memasuki tanah Batak, yaitu di daerah Angkola dan Sipirok mulai 1857. Kristenisasi di tanah Batak, tepatnya di Tapanuli Selatan tersebut, dipimpin oleh Van Asselt, beserta misionaris lainnya yaitu Dammerboer yang menetap di Hutarimbau (Angkola), Van Dalen di Pargarutan (Angkola) dan Betz di Bungabondar (Sipirok).22
Setelah beberapa kali perundingan, diputuskanlah bahwa misionaris
Zendingskerk Ermello yang sedang berada di Sumatera akan dipekerjakan untuk
RMG. Mereka akan dibantu oleh misionaris RMG yang sebelumnya berada di Kalimantan, yaitu Karl Klammer, Carl Wilhelm Heine dan Ernst Ludwig Denninger.
Ermello adalah nama sebuah wilayah pertanian di Belanda, tempat badan penginjilan Zendingskerk Ermello berasal.
23
Pada 7 Oktober 1861, empat dari misionaris-misionaris yang telah disatukan yakni Van Asselt, Betz, Heine dan Klammer (Deningger masih berada di Padang, sedangkan Dammerboer dan Dalen sudah mengundurkan diri
Perundingan di Belanda tersebut menjadi pintu masuk bagi RMG ke Sumatera.
24
), mengadakan rapat pertama mereka. Proyek kristenisasi baru tersebut mereka beri nama Batakmission.25
22
Paul Bodholt Pedersen, op.cit., hal. 52.
Bergerak di bawah komando direktur RMG, untuk kristenisasi tanah Batak.
23
Uli Kozok, op.cit., hal. 32.
24
Kedua misionaris Belanda ini tidak mau bekerja dibawah pimpinan orang Jerman. Mereka memilih bekerja sebagai guru dibawah pemerintahan Belanda. Paul Bodholt Pedersen, op.cit., hal. 53.
25
Gereja HKBP memperingati 7 Oktober 1861, hari terbentuknya Batakmission, sebagai hari kelahiran HKBP.
(28)
Mereka menentukan tempat pelayanan masing-masing sebagai berikut: Klammer yang disertai istrinya melayani di Sipirok, Betz di Bungabondar, sedangkan Van Asselt beserta Heine bertekad untuk merintis dan membuka misi baru di wilayah utara, yakni di Toba.26
Dalam kristenisasi di Tapanuli Selatan, tercatat hampir 700 orang sudah dikristenkan sampai tahun 1871. Jumlah yang tergolong pesat. Namun setelah itu, tak ada lagi kemajuan jumlah yang signifikan. Sebab, sebagian besar penduduk Tapanuli Selatan sudah memeluk agama Islam.27
Di bagian utara, di tanah Toba, Van Asselt dan Heine mulai mendirikan
setasi atau jemaat sending28 di Aek Sarulla, Pangaloan dan Sigompulon (1863). Mereka juga menjajaki daerah Silindung. Di sana mereka disambut baik oleh Raja Pontas Lumbantobing29. Tetapi, mereka belum berani membuka pos penginjilan di Silindung karena dianggap belum kondusif. Mereka mendapat kesan bahwa raja-raja desa di wilayah itu masih suka melakukan perang antar desa.30
Tanah Toba, sebelum mengalami modernisasi oleh para penginjil, masih merupakan wilayah yang bernama Toba Na Sae31. Wilayah tersebut berada di bawah kekuasaan politik-spiritual dari dinasti Sisingamangaraj 32
26
Jubil Raplan Hutauruk, op.cit., hal. 42.
, semacam teokrasi.
27
Uli Kozok, loc.cit. 28
Kelompok orang-orang yang dikristenkan.
29
Kemudian Raja Pontas Lumbantobing dibaptis dengan nama baptis Obaja.
30
Jubil Raplan Hutauruk, op.cit., hal. 43.
31
Nama ini dipopulerkan kembali oleh sastrawan Sitor Situmorang.
32
Secara umum, Sisingamangaraja disembah sebagai inkarnasi Tuhan dan mengakuinya sebagai pemimpin politik tertinggi seluruh Toba. Namun, ada beberapa bius khusus yang memaknai Sisingamangaraja secara berbeda.
(29)
Wilayah Toba Na Sae terbagi atas 4 distrik yaitu Samosir, Toba-Holbung, Silindung dan Humbang.
Di dalam Toba Na Sae terdapat sekitar 150 bius/desa. Setiap bius berdiri secara otonom, merupakan negara mini, terhubung satu sama lain secara federatif dibawah kekuasaan politik-spiritual Sisingamangaraja. Setiap bius berkembang dengan sistem persawahan dimana sawah-sawah yang ada dimiliki dan dikerjakan secara bersama-sama oleh penduduknya.33
Keadaan di tanah Toba berubah secara signifikan semenjak kedatangan misionaris RMG bernama Ludwig Ingwer Nommensen. Dewasa ini, Nomensen dikenal di kalangan HKBP sebagai orang yang sangat berjasa bagi kemajuan orang Batak Toba.34
Nommensen lahir pada 6 Februari 1834 di Nordstrand, perbatasan Jerman.
Ia diterima di seminari RMG di Barmen pada 1857-1861. Setelah tamat, pada Oktober 1861, ia pergi ke Belanda dan belajar bahasa Batak pada Van Der
Tuuk. Ia kemudian melanjutkan perjalanannya ke Sumatera pada Desember 1861. Pada 14 Mei 1862, Nommensen tiba di kota Padang.
Nommensen melakukan perjalanan pertamanya ke Toba pada 25 Oktober 1862. Disana ia disambut baik. Namun, pemerintah Belanda (keresidenan Sibolga)
33
Sitor Situmorang, Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX, Jakarta: Komunitas Bambu, 2009, hal. 16-20.
34
Pemaknaan terhadap ketokohan Nomensen seringkali dilakukan secara berlebihan. Jubil Raplan Hutauruk (pemimpin tertinggi/Ephorus HKBP periode 1998-2004) mengakui hal ini dengan menuliskan “… bukan Nommensen yang sesungguhnya yang ditampilkan tetapi Nommensen seperti yang terukir dalam pikiran dan kemauan sang sutradara.” Jubil Raplan Hutauruk, op.cit., hal. 43. Namun upaya menetralkan kembali (demistifikasi) pandangan terhadap Nommensen sudah dilakukan Uli Kozok dalam bukunya Utusan Damai di Kemelut Perang. Uli Kozok menggunakan surat-surat asli Nommensen dengan RMG sebagai sumbernya.
(30)
melarangnya untuk menetap di Toba. Daerah tersebut di luar batas daerah hukum Belanda, sebab belum dianeksasi (ditaklukkan).
Pada Mei 1864, Nommensen resmi tinggal di Silindung,35 dengan bantuan Raja Pontas Lumbantobing.36
Nommensen menjadi populer di berbagai kampung di seantero Toba karena pelayanan sosialnya, seperti: Pengobatan-pengobatan (khususnya cacar yang mewabah), pemerdekaan anak para budak, penebusan budak, peminjaman uang bunga rendah, dsb.
Nommensen mendirikan sebuah kampung bernama Huta Dame (Kampung Perdamaian). Di kampung tersebut Nommensen dan masyarakat yang bersimpati padanya mendirikan rumah-rumah, sekolah, gereja dan rumah sakit. Huta Dame dihuni oleh orang-orang yang berhasil dikristenkan, yang karena kekristenannya dikucilkan dari kampungnya sendiri. Nommensen, menurut aturan adat, menjadi raja kampung.
37
35
Ada ketakutan di kalangan RMG bahwa agama Islam akan lebih berkembang apabila menunggu aneksasi Belanda terhadap Toba. Sebab, pribumi yang menjadi pegawai administrasi Belanda biasanya orang Melayu berpendidikan, yang beragama Islam. Karenanya, kristenisasi harus dilakukan sebelum Belanda melakukan aneksasi.
Seiring dengan itu, kristenisasi terus berkembang. Kepopuleran Nommensen, Huta Dame dan kristenisasinya menjadi ancaman bagi kekuasaan politik-spiritual dinasti Sisingamangaraja. Sebab, ajaran Kristen bertentangan dengan ketentuan politik dan religi Sisingamangaraja.
36
Raja Pontas Lumbantobing menganggap matinya Sisingamangaraja X merupakan akhir dinasti Sisingamangaraja. Karena mengakui perlunya modernisasi, Raja Pontas Lumbantobing cenderung menentang Sisingamangaraja XII yang sedang berkuasa, Paul Bodholt Pedersen, op.cit.,
hal. 56.
37
(31)
Pada awal 1878, Nommensen berulang kali meminta agar pemerintah kolonial Belanda melakukan aneksasi terhadap tanah Toba.38 Pemerintah kolonial Belanda mengabulkannya, sehingga meletuslah perang Toba.39 Dalam perang ini, penginjil dan kolonial bekerjasama untuk memastikan bahwa orang Batak ”terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa.”40
Dalam kerjasamanya, pemerintah kolonial mengandalkan senjata, sedangkan para penginjil mengandalkan pengetahuan adat-istiadat dan bahasa. Para penginjil berperan sebagai penunjuk arah dan negosiator. Selama aneksasi, ada kampung yang dihancurkan, ada pula yang mencapai kesepakatan damai karena bernegosiasi dengan para penginjil. Aneksasi berakhir dengan tewasnya Sisingamangaraja XII dalam pertempuran di wilayah Dairi pada 1907.
Pada 1881, Nommensen diberi gelar Ephorus (overseer, pengawas) oleh RMG. Sebuah gelar tertinggi dalam manajemen RMG di daerah koloni.
Selama aneksasi, Toba mengalami transformasi. Dari kekuasaan politik-spiritual dinasti Sisingamangaraja, menjadi kekuasaan politik-politik-spiritual Belanda-Kristen. Penulis berpendapat, politik dan spiritual menjadi satu paket dalam diri masyarakat Toba pada masa itu, mengingat Toba sudah begitu lama menganut teokrasi Sisingamangaraja, sehingga sulit bagi masyarakat Toba untuk memisahkan keeratan hubungan dunia politik dengan dunia spiritual.
38
Sebelumnya Nommensen mampu berdiplomasi dengan Sisingamangaraja XI. Namun, Sisingamangaraja XI meninggal pada 1875. Penggantinya, Sisingamangaraja XII, sangat menentang pengaruh asing. Berbeda dengan ayahnya, ia turut melihat Kristen sebagai musuh yang harus diberantas. Djoko Marihandono, dkk., Sejarah Perlawanan Sang naualuh Damanik Menentang Kolonialisme Belanda di Simalungun, cetakan ke-2, Medan: Tanpa nama penerbit, 2012, hal. 107-108.
39
Penginjil berani meminta Toba dianeksasi oleh pemerintah kolonial Belanda setelah basis umat Kristen di Toba sudah mulai kokoh.
40
(32)
Sistem bius berganti dengan sistem administrasi modern. Banyak petinggi desa: Raja bius, dukun, tetua marga, beralih menjadi pemimpin jemaat Kristen ataupun menjadi kepala administrasi. Orang Toba dalam jumlah besar dan spontan memeluk agama Kristen. Banyak misionaris khawatir akan spontanitas ini, tetapi Nommensen, sang Ephorus, menyebut bahwa tugas mereka sekarang bukan memancing dengan kail, tetapi dengan jala. Artinya, tidak masalah kalau jumlah orang Toba yang masuk Kristen melonjak spontan.
Ketika Nommensen meninggal pada 23 Mei 1918, sudah terdapat lebih dari 180.000 orang yang dibaptis, 510 buah sekolah dengan 32.700 murid, 788 guru injil dan 2.200 penatua. Gereja-gereja yang dibangun, dipimpin oleh pendeta Batak yang telah ditahbiskan.41
2.2. Aneksasi dan Pasifikasi Belanda di Simalungun
Dengan perubahan yang begitu signifikan ini, Nommensen telah menjadi transformator bagi peradaban manusia di Toba. Orang-orang Toba tumbuh menjadi orang-orang yang beragama dan terdidik.
Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan kedatangan Nommensen ke tanah Batak, terjadi juga perubahan besar di bagian timur pulau Sumatera. Sebuah kesultanan Melayu di pesisir timur Sumatera42 yang bernama Deli, dipimpin Sultan Mahmud Perkasa Alam, memberikan hak kepada investor Belanda bernama Jacobus Nienhuys untuk membuka lahan perkebunan luas di daerah Deli pada 1863. Kesultanan Deli juga mengaku tunduk pada pemerintah kolonial Belanda.43
41
Paul Bodholt Pedersen, op.cit., hal. 64.
42
Saat ini merupakan wilayah kota Medan (ibukota Sumatera Utara) dan sekitarnya.
43
Kesultanan Deli pada masa tersebut berada di bawah kekuasaan Siak, kesultanan yang sudah terlebih dahulu ditaklukkan oleh Belanda. Oleh karena itu, Deli serta-merta menjadi daerah
(33)
Tembakau yang sebelumnya dihasilkan secara tradisional oleh petani-petani kecil tanah Melayu, oleh Nienhuys, diubah bentuknya menjadi perkebunan luas di bawah naungan perusahaan Deli Maatschappij. Terjadi modernisasi pertanian di tanah Melayu.
Awalnya, Nienhuys membuka perkebunan di daerah Labuhan, daerah ibukota kesultanan Deli. Kemudian Nienhuys memindahkan kantornya ke sebuah kampung yang penuh hutan belukar bernama Medan Putri pada 1869. Perusahaan membuka hutan tersebut dan menjadikannya perkebunan tembakau. Dibangun pula sebuah kota koloni, bernama Medan.44
Medan dibangun dengan semangat dagang yang tinggi. Di dalamnya terdapat berbagai macam tempat hiburan eksklusif, juga bangunan-bangunan arsitektur Eropa. Petinggi perkebunan menjadikannya pusat hiburan bagi orang-orang kaya. Sarana transportasi seperti jalan raya dan rel kereta api dibangun.45
Seiring meluasnya perkebunan yang dibuat Belanda, bahkan sampai hampir ke seluruh tanah Melayu di Sumatera Timur, semakin besar pula perkembangan kota Medan. Perkantoran keresidenan Sumatera Timur (pemerintah kolonial Belanda) yang sebelumnya berada di Bengkalis, dipindahkan ke Medan pada 1887. Ibukota kesultanan Deli juga turut berpindah ke Medan pada 1891. Medan dalam perkembangannya sempat dijuluki Parijs van Soematra dan tanah dolar.
kekuasaan kolonial Belanda. Pengesahan dilakukan dengan penandatanganan surat perjanjian bernama
Acte van Verband pada 1962. Alexander Avan, Parijs van Soematera, Medan: Rainmaker, 2010, hal. 39-40.
44
Saat ini ibukota provinsi Sumatera Utara.
45
Sebelumnya sarana transportasi yang diandalkan kesultanan Deli adalah sungai. Itu sebabnya Deli memilih Labuhan sebagai ibukota. Labuhan berada di tepi sungai Deli yang menghubungkan penduduk pedalaman dengan pesisir laut. Kesultanan Deli memperoleh keuntungan dagang dari posisi strategis ini.
(34)
Lahan Deli Maatschappij kemudian mengalami perluasan sampai ke wilayah Langkat, Serdang, pesisir pantai Padang-Bedagai, Batubara, Asahan bahkan ke wilayah Aceh Selatan di Tamiang. Ketika Nienhuys pulang ke Belanda,46
Tanah Simalungun, turut menjadi target pengembangan perkebunan. Ini terkait dengan permintaan pasar, berikut defisit keuangan pemerintah kolonial Belanda akibat Perang Aceh yang terus berkobar. Pemerintah kolonial Belanda sangat mengharapkan kucuran dana dari para investor.
pada 1871,
Deli maatschappij baru memiliki satu lahan perkebunan yang menghasilkan 1.315
pak tembakau. Pada akhir 1870-an jumlah perkebunan meningkat menjadi 11 lokasi perkebunan. Akhir 1899, Deli Maatschappij bahkan sudah memiliki 21 anak perusahaan. Penanaman tembakau mengalami sukses besar.
R.H. Kroesen, controleur Batubara, dan Von Brucken, perwakilan Deli Maatschappij, pergi meninjau tanah Simalungun pada 1887. Kroesen bergerak atas perintah Residen Sumatera Timur, bernama Michelsen. Di Simalungun, ditemukan bahwa wilayah Siantar dan Tanah Jawa cocok untuk dijadikan lahan perkebunan. Hanya saja, wilayah Simalungun yang dinilai subur itu masih berstatus merdeka, belum dianeksasi oleh Belanda.
Pihak kolonial pun melaksanakan siasat politiknya. Kroesen sering campur tangan dalam politik internal Simalungun sebagai juru damai. Dalam perundingan-perundingan yang ditanganinya, Kroesen menawarkan perlindungan keamanan di bawah pemerintahan kolonial Belanda.47
46
Posisi Nienhuys sebagai administrator kepala perusahaan digantikan J.T Cremer. Siasat Kroesen berhasil.
47
(35)
Pada 16 september 1888, Siantar menyatakan tunduk kepada Belanda.48 Perselisihan antara Tuan Marihat dengan penguasa Tanah Jawa dan penguasa Tanjung Kasau diselesaikan oleh Kroesen. Pada 20 juli 1889, raja Maligas Tuan Djintar Sinaga dinobatkan sebagai raja Tanah Jawa dan menyatakan tunduk pada Belanda. Kerajaan Panei juga takluk pada masa kekuasaan Tuan Djontama Purba Dasuha pada 1890. Sang Naualuh, ketika sudah berkuasa penuh sebagai raja Siantar, melakukan tindakan oposisi terhadap Belanda. Hal ini membuat ia ditangkap dan diasingkan ke Bengkalis. Selama tahun 1891-1896, berturut-turut kerajaan Raya yang dikuasai Tuan Soemajan Saragih Garinggging49, kerajaan Purba yang dikuasai Tuan Rahalim Purba Pakpak dan Silimakuta yang dikuasai Tuan Pamoraidup Purba Girsang, menyatakan tunduk pada Belanda. Pada 1907, ketujuh kerajaan Simalungun resmi menjadi bagian dari pemerintahan kolonial Belanda dengan ditandatanganinya Perjanjian Pendek (Korte Verklaring) oleh ketujuh penguasa kerajaan Simalungun.50
Pasifikasi (penertiban) daerah Simalungun kemudian ditata menurut aturan-aturan kolonial. Bersama dengan tanah Karo, Simalungun dijadikan satu Afdeeling,
bernama ”Afdeeling Simaloengoen en Karolanden” yang dikepalai oleh Asistent Resident V.C.J. Westenberg, berkedudukan di Saribudolok. Afdeeling dibagi lagi
48
Pada saat itu raja Siantar, Sang Naualuh Damanik masih berumur 17 tahun. Pelaksana pemerintahan sehari-hari adalah Bah Bolag, Tuan Anggi dan Raja Hitam.
49
Sebelumnya Raya diperintah Tuan Rondahaim Saragih Garingging. Tuan Rondahaim terkenal gigih menentang Belanda, berkali-kali ia melakukan penyerangan ke tanah yang sudah dianeksasi Belanda. Setelah kematian Tuan Rondahaim, kerajaan Raya mengalami defisit keuangan akibat perang.
50
Pelaksanaannya sebagai berikut: Kerajaan Panei, Raya dan Silimakuta pada tanggal 4 september 1907, Purba dan Tanah Jawa pada 6 september 1907, Dolog Silau pada 10 september 1907 dan Siantar pada 16 oktober 1907.
(36)
menjadi 2 Onderafdeeling yaituSimalungun dan Karo. Onderafdeeling dikepalai oleh
Controleur.
Awalnya, Controleur Simalungun bertempat di Pardagangan, kemudian pindah ke Tomuan lalu pindah ke Pematang Siantar51 pada Juni 1907. Pematang Siantar diangkat statusnya menjadi gemeente (kota) pada 27 Juni 1917.52
Di Simalungun bawah, yang berada di dataran rendah, ditanami karet Havea
Brasiliensis. Kemudian menyusul juga teh, kopi, serta kelapa sawit. Jerman dan
Inggris turut berinvestasi dalam perkebunan di Simalungun. Status Cultuurgebied van
Oost Sumatra (Kawasan Perkebunan Pantai Timur)
Pematang Siantar berkembang menjadi kota koloni dengan semangat dagang yang tinggi di tengah hamparan perkebunan, sama halnya seperti kota Medan.
53
dilekatkan pada Simalungun dan mulai berjalan efektif sejak 1 juli 1920.54
Berbeda dengan kolonisasi di Toba yang meniadakan kekuasaan tradisional, Simalungun secara politik dijadikan Native State, kekuasaan tradisional tetap ada. Dalam sistem Native State, daerah taklukan diperintah Belanda melalui perantaraan kerajaan yang telah ada.55
51
Daerah yang sama dengan kerajaan Siantar.
Kerajaan-kerajaan yang ada dibiarkan tetap eksis, rakyat tetap dikuasai raja. Hanya saja, kekuasaan raja sudah berada dibawah wewenang kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Status ini sama dengan yang diberikan Belanda pada kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur.
52
Juandaha Raya P. Dasuha, dkk., op.cit., hal. 62-64.
53
Keuntungan investasi mengkhususkan Belanda menjaga kawasan Sumatera Timur dengan memberi status khusus Cultuurgebied van Oost Sumatera meliputi: Deli, Langkat, Serdang, Simalungun dan Asahan. Wilayah tersebut memiliki dewan penasehat untuk masalah perkebunan bernama Plaatselijke Raad. Ketentuan ini berlangsung sejak 1909.
54
Ibid., hal. 74.
55
(37)
2.3. Kristenisasi di Simalungun 1903-1928
Sebelum RMG masuk ke Simalungun dan melakukan penginjilan, upaya memperkenalkan agama Kristen bagi masyarakat Simalungun sudah dilakukan terlebih dahulu oleh sekelompok orang Toba yang tergabung dalam PMB
(Pardonganan Mission Batak)56
Mereka mengunjungi daerah Tuan Sipolha Damanik, Siboro, Tigalanggiung (Haranggaol) dan Pematangpurba (ibukota kerajaan Purba) pada 1900. Di Pematangpurba mereka melihat ruma bolon, istana kayu Tuan Purba yang megah dan indah, balei bolon, lesung dan seperangkat alat musik tradisional Simalungun. Istana besar seperti itu tak pernah mereka temukan di Toba sekalipun itu di kediaman Sisingamangaraja.
. PMB adalah sebuah lembaga penginjilan yang dibentuk oleh orang Toba.
PMB diterima oleh Raja Purba dan diperkenankan membacakan buku yang mereka bawa. Mereka membaca injil, ayat-ayat Alkitab Kristen. Namun, Raja Purba mengaku tidak mengerti apa yang mereka baca. Raja Purba juga menolak pemberian PMB berupa kitab Perjanjian Baru Kristen. Alasannya, tidak sopan bagi seorang Simalungun menerima sesuatu dari orang yang belum dikenal. Pulang dari Purba, para penginjil PMB menemui Nommensen di Sigumpar.57
Nommensen mendapat banyak informasi tentang Simalungun. Selain informasi dari PMB, Nommensen juga mendapat informasi dari pejabat-pejabat
56
PMB juga populer disebut Kongsi Batak. PMB dipimpin oleh Pdt. Henokh Lumbantobing. Dibentuk pada 1899. Tujuannya adalah membawa injil Kristus ke kalangan etnis-etnis Batak di Sumatera. Paul Bodholt Pedersen, op.cit., hal. 120.
57
(38)
Belanda. Informasi juga didapat dari penginjil Guillaume dan G.K. Simon yang sudah melakukan kunjungan ke Simalungun. Diketahui, penduduk Simalungun di sebelah Timur sudah banyak yang beragama Islam. G.K. Simon bahkan meminta agar kristenisasi di Simalungun jangan ditunda.
Pada tanggal 21-25 Januari 1903, dalam sebuah rapat yang dihadiri 23 penginjil RMG di Laguboti, diputuskan:
1. Pemberitaan injil di Simalungun segera dilaksanakan.
2. Segera dikirimkan surat kepada Direktur RMG, Schreiber, di Barmen Jerman untuk dimintakan persetujuan dan rekomendasi RMG memperluas lapangan penginjilan ke Simalungun.
3. Segera dilakukan langkah-langkah penginjilan ke Simalungun.
Schreiber, direktur RMG yang berkedudukan di Barmen, membalas surat Nommensen perihal rencana kristenisasi ke Simalungun dengan sebuah surat rekomendasi. Surat rekomendasi itu berisi kalimat singkat: ”Tole! Den Timorlanden
das Evangelium!” yang berarti: ”Segeralah! Beritakan Injil ke Tanah Timur
(Simalungun)!”.
Nommensen menyusun perencanaan sistematis 58
a) Langkah pertama, suatu ekspedisi yang terdiri dari dua puluh tiga evangelis dan misionaris mengadakan perjalanan keliling ke daerah dalam kristenisasi Simalungun, yaitu:
58
Paul Bodholt Peddersen menyatakan perencanaan ini “Seperti suatu kampanye militer” (planned like a military campaign).
(39)
Simalungun, memberitakan injil dan memperbincangkan kemungkinan untuk bekerja tetap dengan penguasa tradisional Simalungun.
b) Kedua, semua keputusan diperbincangkan dengan seksama, dengan bantuan penduduk setempat, baik dengan dari pemerintah Belanda maupun dari penguasa tradisional Simalungun.
c) Ketiga, ada penitikberatan atas pendidikan, pembentukan sekolah-sekolah dan pekerjaan di kalangan pemuda. Akhirnya ada suatu jaringan pos perkabaran injil dan evangelis Batak Toba yang disebarkan ke seluruh wilayah Simalungun.
Kelompok ekspedisi dipimpin oleh Nommensen sendiri. Perjalanan ditempuh ke Tigalanggiung, Purba, Raya, Panei, Dologsaribu dan Tigarunggu. Ada juga rombongan Guilaumme59 yang menempuh rute: Sigumpar - Tiga Langgiung – Purba –Sibuhar-buhar – Bangun Purba – Tanjung Morawa – Medan – Delitua – Sibolangit – Bukum di Karo. 60
Setelah ekspedisi, diputuskanlah untuk membuat Raya sebagai pusat perkabaran injil di Simalungun.
Rombongan Guillaume memiliki misi khusus menyampaikan permintaan izin kristenisasi ke pemerintah kolonial.
61
59
Guilaumme adalah penginjil RMG yang dipekerjakan oleh NZG (Nederlands Zendingsgenootschap). Guilaumme sebelumnya bertugas untuk menginjili wilayah Karo.
Penginjil yang ditugaskan di Raya adalah August
60
Justin Sihombing, Saratus Taon HKBP, 1861-1961, Pematangsiantar: Philemon dan Liberty, 1961, hal. 54.
61
(40)
Theis.62 August Theis tiba di Pamatang Raya, ibukota kerajaan Raya, pada Rabu, 2 September 1903.63
Kebaktian minggu pertama kali dilakukan Theis pada 6 Desember 1903, ia dibantu oleh penginjil Toba, Theofilus Pasaribu. Sejak itu, dibukalah terus kebaktian minggu di Raya. Namun, sangat sedikit orang Simalungun yang tertarik, kebanyakan hanya mondar-mandir dan memperhatikan dari luar. Salah satu penyebabnya, khotbah yang disampaikan berbahasa Toba. Sangat sulit bagi penduduk Simalungun untuk mengerti bahasa Toba.
August Theis mengalami berbagai halangan seperti perintah mutasi ke Nias oleh RMG Barmen (mutasi ini berhasil dicegah oleh Nommensen), penyakit yang menyerang keluarganya, bahkan kematian istrinya.64
Theis juga membuka sekolah, tenaga pengajar yang digunakannya adalah para penginjil Toba, seperti Lukas Hutagalung dan Fridolin Silitonga. Agar berminat untuk dibaptis, Theis menetapkan bahwa hanya murid yang sudah dibaptis yang bisa melanjut sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Namun jerih-payahnya tidak sia-sia, Theis membaptis 24 orang Simalungun pertama di Pamatang Raya pada 26 Desember 1909.
62
August Theis lahir dari keluarga miskin. Obsesi awalnya adalah persoalan tiefe Suenfenerkentnis (pengertian atau pengalaman akan keberdosaan yang mendalam), sewaktu ia masih seorang buruh pabrik. Hatinya bergetar melihat gambar penginjil RMG yang dibunuh di Kalimantan. Dia memutuskan untuk menjadi pekabar injil RMG. Dalam sejarah GKPS, August Theis tercatat sebagai tokoh pertama yang membawa injil kepada orang Simalungun.
63
Hari kedatangan August Theis ke Pamatang Raya, 2 September 1903, diperingati sebagai hari sampainya Injil di Simalungun dan sekaligus hari lahir GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun).
64
Istri August Theis bernama Henriette Bannier. Meninggal pada 12 juni 1909 dan dimakamkan di Pematang Raya.
(41)
Theis berhasil menarik minat beberapa putera Simalungun seperti Djaoeloeng Saragih dan Paoeloes Purba, mereka dibaptis pada 11 September 1910. Menyusul juga seorang ahli dihar65
Nommensen sebelumnya menetapkan empat wilayah strategis untuk diinjili. Nommensen menetapkan August Theis ke Pamatang Raya (1903), G.K. Simon di Pamatang Bandar (1904), Weissenbrunch di Sipiak-Parapat/Tanah Jawa (1905) dan H. Guillaume di Purbasaribu (1905).
bernama Djason Saragih yang dibaptis pada 4 Juni 1911. Mereka melanjut ke sekolah guru. Djaoeloeng dan Paoeloes sekolah di Narumonda, Tapanuli, dan Djason Saragih sekolah di Depok, Jawa Barat.
G.K. Simon mengalami banyak kesulitan di Bandar sejak tiba pada tahun 1904. Daerah tersebut sudah terlebih dahulu dipengaruhi oleh Islam. Strategi yang dipergunakan G.K. Simon adalah mendirikan sekolah sebagai alat utama penginjilan. Tidak seperti Theis yang selalu mengandalkan bahasa Toba, Simon menyadari pentingnya penggunaan bahasa Simalungun. Namun, sampai Simon pulang ke Jerman karena sakit parah pada 1906, tak satupun orang Simalungun yang bersedia dibaptis olehnya.
Pengganti G.K. Simon, Edward Muller, mengalihkan pos kristenisasi dari Bandar ke Pematang Siantar pada 1906. Di Pematang Siantar, Muller hanya fokus
65
(42)
pada kristenisasi terhadap orang-orang Toba yang bermigrasi ke Simalungun.66
Anak raja Siantar Sang Naualuh Damanik, bernama Tuan Riah Kadim Damanik dikirim kepada penginjil Guillaume di Purbasaribu untuk dididik dan dikristenkan. Ia dibaptis dengan nama Waldemar Damanik. Pada 1916, Tuan Riah Kadim Damanik diangkat oleh Belanda menjadi raja Siantar. Tuan Riah Kadim menghibahkan sebidang tanah di Jl. Gereja Pematang Siantar untuk aktivitas Kristen.
Mueller mengabaikan kristenisasi orang Simalungun.
67
Di Tanah Jawa, penginjil Weissenbruch hampir dibunuh oleh 400 pasukan bersenjata setempat. Weissenbruch menangkal kecurigaan laskar bersenjata tersebut dengan itikad murni memberitakan injil. Dalam konflik antara gerilyawan setempat melawan pasukan kolonial, ia bersikap dengan merawat luka-luka para gerilyawan. Selama konflik, rumah Weissenbruch berubah menjadi rumah sakit. Weissenbruch berhasil menarik simpati penduduk sehingga banyak yang dibaptis di Parapat, Adjibata, Girsang, Sibaganding, Repa, Sipangan Bolon dan Motung pesisir Danau Toba.
Namun, pengkristenan Tuan Riah Kadim tak mempengaruhi orang Simalungun di Pematang Siantar untuk turut masuk Kristen.
Di Sidamanik, kristenisasi diterima dengan baik oleh raja Sidamanik, Tuan Riahata Sidamanik, asal mau mendirikan sekolah-sekolah. Desa-desa seperti Gorak,
66
Awal abad ke-20, orang Toba melakukan migrasi ke Simalungun, atas permintaan pemerintah kolonial Belanda. Mereka didatangkan untuk menjadi penyedia bahan makanan dalam pembangunan Simalungun. Orang Toba dikenal mahir bertani sawah sehingga kehadiran mereka sangat diperlukan untuk mencegah krisis pangan.
67
(43)
Sihilon, Gunung Bosar, Sinamar, Bah Aren dan Sait Buttu adalah kampung-kampung Sidamanik yang menjadi daerah pelayanan RMG melalui pembukaan sekolah-sekolah rakyat.
Guillaume di Purbasaribu dan Tiga Langgiung (Haranggaol) menggunakan
tiga (pasar) dan lods (pendopo pasar) sebagai waktu dan tempat dia berkhotbah. Dia berkhotbah di keramaian perdagangan, namun hanya sedikit yang tertarik terhadapnya. Tidak puas dengan kondisinya, dia menemui raja Purba, Tuan Rahalim, memohon izin mengelola sebidang tanah. Tuan Rahalim mengabulkannya. Guillaume diberi sebidang tanah68
Di tanah barunya, Guillaume berladang dan menanaminya mangga dan bawang merah. Guillaume juga membuka lahan persawahan. Banyak penduduk yang mendatanginya dan menanyai tentang tanaman baru itu. Penduduk kemudian tertarik dan ikut menanam mangga di pekarangan masing-masing.
yang letaknya agak jauh dari perkampungan penduduk.
Guillaume juga membuka sekolah sebagaimana strategi penginjil lainnya. Ia dibantu guru-guru pribumi seperti: Guru Andreas Simangunsong, Guru Johanes Munthe dan Guru Johanes Panggabean. Dengan seizin Tuan Rahalim, Guillaume juga membuka sekolah rakyat di Tiga Langgiung.
Guillaume melakukan baptisan pertama pada seorang perempuan di Purbasaribu pada 19 September 1909. Perempuan ini menjadi orang Simalungun
68
(44)
pertama yang dibaptis. Kemudian Guillaume membaptis keluarga partuanan Siboro Toean Willem Poerba (Tuan Siboro).
Guillaume tergolong tidak sukses dalam mengkristenkan Simalungun. Di
lods Tiga Langgiung, pada hari Senin, Guillaume sering mengadakan makan bersama
dan khotbah. Namun strategi itu tak kunjung berhasil. Setelah makanan habis, para penduduk pulang tanpa peduli pada khotbah yang akan disampaikan.
Ketika Guillaume cuti ke Eropa, rumahnya di Purbasaribu dibakar. Karena kejadian ini, RMG memutuskan memindahkan pos pengabaran injil dari Purbasaribu ke Saribudolok. Pada 11 Agustus 1918, Guillaume membaptis 3 orang perempuan Karo di Saribudolok, yaitu Senti br. Tarigan, Seperti br. Karo-karo dan Lamek br. Tarigan. Ini baptisan pertama Guillaume di Saribudolok.
Sumbangan terbesar badan penginjil bagi Simalungun adalah pendidikan. Sampai 1928, tercatat ada 85 sekolah dengan tenaga pengajar 125 orang dan murid sekolah sebanyak 5000 orang di Simalungun. Tokoh-tokoh yang kelak menjadi transformator Simalungun, seperti Djaoeloeng dan Djason Saragih, merupakan hasil dari pendidikan ini. Mereka berkesempatan mengecap ilmu sampai ke pendidikan tinggi di Laguboti dan Depok.69
2.4. Terbentuknya Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen
Sejak 1907, terjadi perubahan besar-besaran di Simalungun dengan ditandatanganinya Perjanjian Pendek antara pemerintah kolonial Belanda dengan
69
(45)
ketujuh kerajaan besar Simalungun (Siantar, Tanah Jawa, Dolog Silou, Panei, Raya, Purba dan Silimakuta). Simalungun sah menjadi daerah jajahan Belanda. Perubahan terjadi. Hak kepemilikan tanah mengalir ke berbagai perkebunan swasta.
Di samping pengalihan tanah rakyat menjadi perkebunan besar swasta asing, berdatangan pula imigran dalam jumlah yang besar ke tanah Simalungun. Menjelang tahun 1920, sudah 26.000 jiwa orang Batak Toba yang bermukim di Simalungun.70 Sampai 1938, sepertiga dari seluruh tanah Simalungun telah menjadi perkebunan asing, dan jumlah orang Jawa yang bekerja di Simalungun telah melampaui jumlah seluruh orang Simalungun.71
Pada 1908, Belanda mewajibkan semua mata uang seperti uang Spanyol dan Inggris yang beredar ditukar dengan mata uang Belanda. Pada 1910, atas permintaan para misionaris Kristen, perbudakan dilarang di Simalungun. Pemerintah Belanda mulai membangun jalan-jalan yang menghubungkan kampung-kampung di Simalungun. Dalam pembangunan, Belanda menggunakan sistem rodi (dikenakan selama 30 hari setahun untuk semua pria dewasa). Banyak pemuda Simalungun yang demi menghindari sistem rodi tersebut, masuk ke sekolah-sekolah Kristen.
Imigran yang pertama kali didatangkan ke Simalungun untuk kepentingan perkebunan adalah orang-orang Jawa yang dipekerjakan sebagai kuli kontrak, mengisi kekosongan pekerja karena penduduk Simalungun enggan bekerja di
70
Muatan Lokal Bahasa Simalungun, Sinalsal, SMP Kalas IX, Pematangsiantar: DPP Komite Nasional Pemuda Simalungun Indonesia, hal. 86.
71
Anthony Reid, Perjuangan Rakyat, Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera,
(46)
perkebunan. Kedatangan orang-orang Jawa semakin meningkat dipicu tingginya harga komoditas karet pada 1911-1912, dibutuhkan banyak pekerja untuk peningkatan produksi. Kegiatan mendatangkan imigran Jawa berlangsung sampai 1920.
Demi menghindari krisis pangan, didatangkanlah imigran Toba dalam jumlah besar ke Simalungun. Orang Toba dikenal mahir dalam pertanian di lahan basah. Imigran Toba diberi lahan-lahan khusus (kampung) untuk bermukim dan bertani. Salah-satunya adalah lahan seluas 2000 hektar di daerah Bah Korah I dan Bah Korah II. Orang Toba yang bermigrasi tak sepenuhnya merupakan petani, sebagian dari mereka adalah lulusan sekolah-sekolah Kristen yang didatangkan ke Simalungun untuk bekerja sebagai penginjil, guru, staf perkebunan dan pegawai pemerintahan.
Pemerintah Belanda begitu menghargai keberadaan imigran Toba. Pada tahun 1914, Belanda membentuk kantor urusan orang Toba yang mengatur imigrasi mereka ke Simalungun, bernama Imigratie Buerau der Tobanezen. Andreas Simangunsong diangkat sebagai kepala urusan untuk migrasi orang Toba (Hoofd der
Tobanezen/ raja ihutan). Pemerintah Belanda mempercepat pertumbuhan migrasi
mereka dengan membangun sarana irigasi yang dapat mengairi persawahan seluas 35.540 hektar di Sidamanik dan Tanah Jawa pada 1915-1930.
Gelombang besar orang Toba dan orang Jawa ke Simalungun membuat penduduk asli Simalungun menjadi minoritas. Orang asli Simalungun tersisih ke
(47)
daerah Simalungun atas, sedangkan Simalungun bawah didominasi oleh penduduk Toba dan Jawa.
Dominasi Batak Toba ini, menimbulkan sejumlah masalah. Mereka menolak status tunduk kepada raja-raja Simalungun. Sebab, di daerah asal mereka di Toba, rakyat diperintah langsung oleh kolonial Belanda, tanpa perantaraan raja. Para imigran Toba menyatakan keberatan terhadap status mereka yang berada di bawah raja-raja yang belum beragama (heiden) ataupun beragama Islam dan masih rendah pendidikannya. Sebaliknya, pengangkatan Andreas Simangunsong sebagai kepala orang Toba (Hoofd der Tobanezen), tidak dapat diterima raja-raja Simalungun.
Masyarakat Toba memandang Andreas Simangunsong sebagai raja di samping ketujuh raja Simalungun. Pada mobilnya dipasangi bendera kuning, hal yang lazim dipakai pada mobil raja-raja Simalungun. Tindakan ini dianggap sebagai hal yang melecehkan kedudukan para raja Simalungun. Pada 20 Oktober 1920, raja
ihutan Andreas Simangunsong meninggal dunia. Pada 1921, jabatan Hoofd der
Tobanezen ditiadakan karena dinilai kontroversial.72 Sentimen antara Toba dan
Simalungun juga membesar karena banyak orang Simalungun yang mengaku dirampok ketika melewati kampung-kampung imigran Toba.
72
(48)
Tabel 1. Penduduk Onderafdeeling Simalungun berdasarkan sensus penduduk (volkstelling) pada
1930.73
Kelompok Etnis Jumlah %
Simalungun 76.759 26,90 Toba 45.603 15,98 Mandailing 3.343 1,17 Karo 2.245 0,79 Angkola 1.543 0,54 Padanglawas 13 0,01 Pakpak 8 0,00 Lainnya 585 0,21
Jumlah 130.099 45,60
Indonesia lainnya 138.167 48,43 Cina 14.047 4,92 Eropah 1.562 0,55 Asia lainnya 1.426 0,50
Jumlah 285.301 100,00
Dalam upaya kristenisasi, sentimen terhadap tingkah-laku Toba merupakan penghambat utama perkembangan Kristen di Simalungun. Ditambah lagi, penginjil suka sekali menggunakan bahasa Toba dalam kegiatan penginjilan. Bahasa Toba
73
(49)
digunakan baik dalam hal lisan maupun tulisan. Banyak kata-kata dalam bahasa Batak Toba yang maknanya tidak dimengerti oleh orang Simalungun. Ada kata yang sama tapi maknanya berbeda, bahkan ada kata yang dalam bahasa Toba sopan namun dalam bahasa Simalungun tergolong melecehkan.
Terdapat hambatan lain, seperti: penyembahan berhala dan animisme yang masih berlangsung di Simalungun, karakter orang Simalungun yang selalu hati-hati dalam menerima ide-ide baru, dan juga sistem kepemimpinan tradisional Simalungun. Raja Simalungun memiliki banyak istri, sedangkan agama Kristen hanya memperkenankan satu istri. Kalau raja masuk Kristen, raja harus menerima nasehat para penginjil yang secara adat sebenarnya hanyalah orang kampung biasa. Ini membuat raja-raja Simalungun enggan untuk masuk Kristen, sekalipun di antara mereka ada yang berteman dekat dengan para penginjil.
Djaoeloeng Saragih, murid August Theis yang mendapat kesempatan menjalani sekolah guru di Narumonda, berpandangan bahwa orang Simalungun mesti mengalami kemajuan. Berdasarkan pengalamannya bersekolah, Djaoeloeng melihat lembaga Kristen menyediakan jalan untuk kemajuan itu. Djaoeloeng Saragih bersedia dibaptis dengan nama baptis Wismar pada 11 September 1910 dan menjalani sekolah guru di Narumonda pada 1911-1915. Di kemudian hari, Wismar meninggalkan jabatannya sebagai Pangulu Balei demi mengikuti sekolah pendeta di Sipoholon pada 1927-1929.
(50)
Baru setahun menjadi pelajar di sekolah pendeta, Wismar sudah menerbitkan buku pertamanya berjudul Pesta Perak ni Koeria Raja. Buku ini merupakan buku sejarah yang disusunnya berdasarkan laporan dan wawancara dengan para penginjil yang pernah bertugas di Simalungun. Buku ditulis dalam bahasa Simalungun dan disebarkan sebanyak 500 eksamplar di pesta Peringatan 25 Tahun Injil di Simalungun pada 2 September 1928, pesta bertajuk “Pesta Pirak ni Koeria ni Halak Kristen i Raja”. Wismar melihat perlunya melawan dominasi kultural Batak Toba.
Melalui buku ini, Wismar Saragih mengampanyekan pentingnya
hasimalungunon (unsur budaya Simalungun) dalam kegiatan kristenisasi. Aksi ini disambut baik oleh sejumlah intelektual Kristen Simalungun. Sebulan kemudian, sebagai kelanjutan dari aksi penerbitan buku Wismar Saragih, 14 intelektual Kristen Simalungun sepakat membentuk Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen. Sebuah kepanitiaan nirlaba yang bertugas menerbitkan buku-buku berbahasa Simalungun.
(51)
BAB III
PERANAN COMITE NA RA MARPODAH
SIMALOENGOEN TERHADAP SIMALUNGUN
3.1. Dasar Organisasi
Idealisme74
J. Wismar Saragih lahir di Sinondang, sebuah desa yang letaknya sekitar 3 kilometer dari Pematang Raya ibukota Kerajaan Raya, pada 1888
yang menjadi dasar perjuangan Comite Na Ra Marpodah
Simaloengoen merupakan pengembangan dari idealisme yang diusung oleh J. Wismar
Saragih secara pribadi. Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen merupakan media bagi J. Wismar Saragih untuk menyatakan idealisme yang diperjuangkannya ke dalam bentuk gerakan sosial. Melalui organisasi inilah J. Wismar Saragih secara pasti menggalang kekuatan.
75
Ayah Djaoeloeng bernama Jalam Saragih Sumbayak, seorang yang digelari
”Tuhang Sarung ni Bodil” (tukang pembuat senapan) bekerja untuk penguasa Raya,
yaitu Tuan Raya Tuan Rondahaim Saragih berikut penggantinya Tuan Soemajan . J. Wismar Saragih lahir dengan nama Djaoeloeng.
74
Pemakaian istilah “idealisme” disini berangkat dari kenyataan bahwa Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen adalah organisasi nirlaba (dijalankan bukan untuk memperoleh laba/untung).
75
Tahun ini hasil perhitungan J. Wismar Saragih sendiri. Untuk tanggal lahirnya, J. Wismar Saragih menyamakannya dengan tanggal pembaptisan dirinya, yaitu 11 September 1888. J. Wismar Saragih, Memorial Peringatan Pendeta J. Wismar Saragih (Marsinalsal), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977, hal. 55-56.
(52)
Saragih. Ibunya bernama Rongganaim boru Purba Sigumonrong dari kampung Raya Dolog.
Djaoeloeng dibesarkan ketika Raya mengalami krisis keuangan. Rondahaim, raja Raya yang terkenal gigih melawan Belanda karena berkali-kali melakukan ekspansi ke perbatasan Simalungun yang menjalin hubungan dengan Belanda, meninggal pada 1891.76
Paska meninggalnya Rondahaim, terjadi pula perang saudara di Raya. Karena situasi yang tidak kondusif, keluarga Djaoeloeng pindah ke desa Simandemei dan hidup berladang. Budak-budak yang sebelumnya merupakan ”harta” keluarga, banyak yang kabur.
Krisis keuangan muncul di Raya karena biaya perang yang besar. Krisis keuangan tersebut berdampak pada keluarga Djaoeloeng yang ayahnya merupakan orang dekat Rondahaim.
Ketika Djaoeloeng beranjak remaja, ayahnya sudah meninggal, begitu juga dengan budak yang dimiliki keluarganya. Abangnya, Djaoedin, sudah bekerja sebagai kerani di kantor pemerintahan kolonial di Pematang Raya. Semangat juang yang dimiliki ayah Djaoeloeng, Jalam Saragih Sumbayak, mengalir ke kedua puteranya, Djaoeloeng dan Djaoedin.
76
Rondahaim memerintah Raya sebagai raja Goraha (panglima perang). Pada 1887, Rondahaim menyerang Belanda di Hulu Padang dan Bandar Bejambu dan membakar bangsal-bangsal tembakau. Pada 9 oktober 1887, pecah pertempuran di Si Onai yang menewaskan 22 pasukan Raya dan 2 pasukan Belanda beserta seorang komandan Belanda. Pada 12 oktober 1887, terjadi pertempuran di Sibarou, satu orang Belanda tewas. Pada 21 oktober, meletus lagi pertempuran di Dolog Merawan. Pada 1888, Badjalinggei diserang Raya dan menangkap 21 kolaborator Belanda. Karena kegigihannya, Rondahaim dijuluki oleh Tichelman sebagai “Napoleon der Bataks”. Juandaha Raya P. Dasuha, dkk.,
(53)
Demi mencapai kemajuan, Djaoeloeng memutuskan untuk bersekolah di sekolah Kristen milik August Theis. Djaoeloeng melihat pendidikan Kristen sebagai jawaban untuk kemajuan orang Simalungun. Kemudian Djaoeloeng dibaptis dengan nama Wismar dan melanjutkan pendidikan ke sekolah guru (kweekschool) Narumonda pada 1911-1915. Setelah tamat, Wismar Saragih bekerja sebagai guru di sekolah-sekolah Kristen di Simalungun. Wismar Saragih juga aktif mengabarkan injil.
Wismar Saragih menyusun sebuah kamus Simalungun mulai 1916 dan selesai pada 1918. Kamus ini akan menjadi kamus pertama yang berbahasa Simalungun. Namun, pemerintah kolonial Belanda menolak untuk menerbitkannya. Kamus tersebut baru terbit pada 1936, oleh Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen
dengan judul Partingkian ni Hata Simalungun.77
Selama menjadi pengajar dan penginjil, keuangan Wismar Saragih serba kekurangan. Djaoedin yang selalu menjadi pendukung utama Wismar, memutuskan untuk merekomendasikan Wismar menjadi Pangulu Balei78. Rekomendasi diterima, Wismar Saragih diangkat menjadi Pangulu Balei pada 1 agustus 1921.79
77
Martin Lukito Sinaga, Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil,
Yogyakarta: LKiS, 2004, hal. 27.
Wismar Saragih berhenti mengajar dan mendapat pekerjaan bergaji besar. Selama menjadi
Pangulu Balei, Wismar Saragih tetap aktif mengabarkan injil.
78
Pejabat pemerintah kolonial Belanda yang bekerja sebagai kepala urusan administrasi kerajaan. Setiap kerajaan Simalungun memiliki satu pangulu balei.
79
Padmono Sk, J.W. Saragih, Rasul Simalungun, Pematangsiantar: Yayasan Pdt. J. Wismar Saragih, 1998, hal. 93.
(54)
Jabatannya berhasil memapankan perekonomian Wismar Saragih. Akan tetapi, idealisme Wismar Saragih membuatnya tidak puas dengan jabatan Pangulu Balei sekalipun bergaji besar. Ia memutuskan berhenti sebagai Pangulu Balei per 1 November 1926. Wismar Saragih memilih untuk mengikuti sekolah pendeta di Sipoholon, Toba, mulai Januari 1927. Sebagai tanda perpisahan, teman-temannya sesama Pangulu Balei memberi Wismar Saragih sebuah mesin tik.80
Di Sipoholon, selagi mengikuti sekolah pendeta, Wismar Saragih selama setahun mengumpulkan data-data historis tentang penginjilan di Simalungun dan menyusunnya menjadi sebuah buku sejarah berjudul Pesta Perak ni Koeria Raja.
Wismar Saragih menggunakan mesin tik pemberian temannya.
Wismar Saragih dan intelektual Kristen Simalungun lainnya, sepakat untuk merayakan 25 tahun penginjilan di Simalungun dengan sebuah pesta bertajuk, ”Pesta Pirak ni Koeria ni Halak Kristen i Raja”. Pesta diadakan pada 2 september 1928, tepat 25 tahun setelah kedatangan August Theis ke Pematang Raya. Pesta ini hendak menarik simpati masyarakat untuk penginjilan yang mengutamakan hasimalungunon
(unsur budaya Simalungun). Di pesta ini Wismar Saragih menjual bukunya, Pesta Perak ni Koeria Raja, sebanyak 500 eksamplar.81
80
Ibid., hal. 112-113.
Buku habis tapi ongkos cetak pun tak kembali.
81
Buku ini menjadi buku pertama yang terbit dalam bahasa Simalungun. Buku dicetak oleh J. Wismar Saragih di percetakan zending Laguboti. Juandaha Raya P. Dasuha, dkk., op.cit., hal. 181-182.
(55)
Kesadaran menerbitkan buku dalam bahasa Simalungun adalah poin terpenting yang ditularkan Wismar Saragih dalam aksi penerbitan bukunya. Sebulan kemudian, 13 Oktober 1928, 14 orang intelektual Kristen Simalungun berkumpul di kediaman Djaoedin Saragih, abang Wismar, untuk membicarakan kelanjutan aksi Wismar Saragih. Dalam pertemuan ini, mereka yang hadir sepakat untuk membentuk organisasi penerbitan buku berbahasa Simalungun yang bersifat nirlaba. Organisasi ini diberi nama Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen. Ketua Comite Na Ra
Marpodah Simaloengoen adalah Jason Saragih, lulusan sekolah guru di Depok pada
1914.82
Dari keempatbelas tokoh yang mendirikan Comite Na Ra Marpodah
Simaloengoen, terdapat 1 siswa sekolah pendeta, 6 orang guru, 1 orang kerani, 1
orang pejabat pemerintah (Pangulu Balei) dan 1 orang bangsawan (Parbapaan Raya Usang). Ragam komposisi dan status sosial pembentuk Comite Na Ra Marpodah
Simaloengoen menandakan bahwa organisasi ini dibentuk dengan kemufakatan yang
bulat dari orang Simalungun yang memikirkan kemandirian sukunya. Jabatan redaktur penerbitan dipegang oleh J. Wismar Saragih.
83
Secara resmi, ditetapkan 3 tujuan Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen:
1. Mengasihi sesama manusia (mangkaholongi hasoman jolma). 2. Takut pada Tuhan (mangkabiari Nabata).
3. Menghormati raja/pemerintah (pasangapkon Raja).
82
T.B.A. Purba Tambak, Sejarah Simalungun, Pematangsiantar: Tanpa nama penerbit, 1982, hal. 138.
83
Budi Agustono, dkk., Sejarah Etnis Simalungun, Simalungun: Tanpa nama penerbit, 2012, hal. 300.
(56)
Tabel 2. Daftar 12 tokoh kemandirian Simalungun, pendiri Comite Na Ra Marpodah
Simaloengoen. Dari 14 pendiri, hanya 12 yang namanya terdokumentasikan.84
No Nama dan Marga Pekerjaan Alamat Jabatan
1. J. Wismar Saragih Candidat Pandita Sipoholon Redaktur
2. Jason Saragih Goeroe Zending Raja Tongah Voorzitter Ihoetan
3. Jacoboes Sinaga Krani Tiga Raja Pamatang Raja Secretaris/
Penningmeester 4. Djaoedin Saragih Pangoeloebalei Raja Pamatang Raja Commissaris
5. Djotti Saragih Parbapaan Raja Oesang Commissaris
6. Bendjamin Damanik Sintoea Pamatang Raja Commissaris
7. Augustin Sinaga Goeroe Zending Dalig Raja Commissaris
8. Djainoes Saragih Goeroe Zending Raja Oesang Commissaris
9. Kenan Saragih Goeroe Zending Djandi Maoeli Commissaris
10. Lamsana Saragih Goeroe Zending Hoeta Bajoe Commissaris
11. Kilderik Saragih Goeroe Zending Pamatang Raja Commissaris
12. Djonas Poerba Girsang Sondi Raja Commissaris
Dalam anggaran dasarnya dikatakan juga tujuan ”manramothon ampa patorsahon
hata Simaloengoen” (memelihara dan memberdayakan bahasa Simalungun).
Perjuangan Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen didasarkan pada ayat Alkitab, yaitu 1 Petrus 2:7, yang berbunyi, ”Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah pada Allah, hormatilah raja!” Anggaran Dasar
84
(57)
(Statutent) organisasi Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen disahkan oleh Assistent Resident G.W. Meindersma pada 5 februari 1929. Disepakati, tanggal lahir organisasi adalah 2 september 1928.
Dalam pendanaan, masing-masing anggota menyumbang modal awal 97 gulden. Dari pemerintah swapraja (landschapskas Simaloengoen) sebesar 300 gulden. Donasi rakyat, pengusaha, pegawai pemerintah dan raja-raja sebesar 400 gulden. P. Voorhoeve seorang penyelidik bahasa (taalambtenaar) asal Belanda, juga memberi donasi 5 gulden per tahun. Filolog ini juga menjadi penasehat komite (Begunstiger).85
Bentuk perjuangan yang dilakukan oleh Comite Na Ra Marpodah
Simaloengoen adalah penerbitan buku-buku dalam bahasa Simalungun, hal yang
belum pernah ada sebelumnya. Buku yang diterbitkan berupa buku-buku agama, buku pelajaran, buku tentang kebudayaan Simalungun, juga buku-buku pengembangan karakter. Komite juga menerbitkan majalah bulanan Sinalsal. Melalui karya-karya ini, ide-ide kemandirian Simalungun disebarkan.
Pada 1934, Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen sudah memiliki kantor sendiri di Pamatang Raya. Akan tetapi, buku-bukunya lebih sering diterbitkan di Pematang Siantar. Percetakan yang sering menjadi mitra adalah percetakan zending di Laguboti.
85
(58)
3.2. Peranan di Bidang Penginjilan
Sebelum kemunculan Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen, bahasa Simalungun dalam aktifitas kristenisasi merupakan bahasa yang terpinggirkan. Sangat jarang bahasa Simalungun digunakan dalam khotbah RMG. Para penginjil selalu menggunakan bahasa Toba.
Ada kekeliruan yang menyebabkan hal ini terjadi. Kekeliruan tersebut adalah RMG memandang remeh perbedaan antara Simalungun dan Toba. RMG percaya bahwa suku Simalungun adalah cabang dari Batak yang nenek moyangnya berasal dari Samosir dan Pusuk Buhit, sebagaimana klaim mitos Batak Toba,86 sehingga perbedaan Simalungun dan Toba tak perlu dipandang lebih jauh. Ditambah lagi tenaga penginjil yang membantu RMG adalah orang Batak Toba, semakin kokohlah pendirian RMG untuk menggunakan bahasa Toba. Tokoh RMG bernama Bregenstroth87 menyatakan, ”Orang Simalungun cukup mengerti bahasa Toba, namun dewasa ini, dengan sengaja setiap penyimpangan bahasa dijadikan bahasa pustaka.”88
Dari sudut pandang Simalungun, sikap RMG yang menggunakan bahasa Toba dalam mengkhotbahi orang-orang Simalungun merupakan sikap yang ”tidak
Orang Simalungun justru dinilai menyimpang.
86
Jubil Raplan Hutauruk, Kemandirian Gereja: Pemikiran Historis Sistematis Tentang Gerakan Kemandirian Gereja di Sumatera Utara dalam Kancah Pergolakan Kolonialisme dan Gerakan Kebangsaan Indonesia, 1899-1942, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, hal. 163.
87
Bregenstroth adalah pendeta RMG yang bertugas di Pematang Siantar. Bregenstroth sangat mengutamakan pelayanan terhadap orang-orang Batak Toba yang ramai bermigrasi ke Simalungun.
88
(59)
tepat, sedikit arogan dan melukai”.89 Dalam budaya Simalungun, ada istilah ahap,90
Di sisi lain, ketika orang Toba memandang rendah orang Simalungun karena belum beragama dan tak berpendidikan, sebaliknya orang Simalungun juga memandang rendah orang Toba. Dalam sejarahnya, orang-orang Toba yang datang ke Simalungun biasanya adalah orang yang hendak bekerja sebagai buruh upahan tuan tanah. Hal ini membuat orang Simalungun skeptis terhadap ajaran yang disampaikan orang Toba, karena dianggap rendah. Superioritas yang dianut keduanya membuat Toba dan Simalungun sulit menyatu sekalipun itu dalam aktifitas keagamaan.
bagian terdalam dari perasaan orang Simalungun.Salah satu ahap Simalungun adalah penggunaan bahasa. Tanpa penggunaan bahasa Simalungun, akan sangat sulit meresapkan injil ke dalam kehidupan orang Simalungun.
Karena didominasi Toba, sempat orang Simalungun beranggapan bahwa Yesus Kristus adalah orang Toba. Seperti yang ditanya seorang Simalungun beragama suku kepada seorang guru injil, ”Ai halak Toba do Toehan Jesoes Goeroe?” nini. ”Ai sai hata Toba do tong iloearhon Toehan Jesoes hoebogei ibasa
ham?” (Orang Toba kah Tuhan Yesus itu, Guru? Selalu kudengar bahasa Toba yang
dipakai Tuhan Yesus yang anda baca?)91
Kekeliruan ini yang disadari oleh Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen.
Komite memperjuangkan penggunaan bahasa Simalungun dalam kristenisasi guna
89
Martin Lukito Sinaga, op.cit., hal. 65.
90
Ahap adalah suatu integritas kepribadian yang terbentuk melalui adat istiadat Simalungun yang kemudian teraktualisasi dalam solidaritas dan persaudaraan. El Imanson Sumbayak (ed.), op.cit.,
hal. 4.
91
(60)
mengoptimalkan pengkristenan Simalungun. Komite menerbitkan sejumlah literatur yang berhubungan dengan aktivitas kristenisasi dalam bahasa Simalungun, seperti: Kathekismus kecil karangan Luther, ayat-ayat alkitab, liturgi gereja, nyanyian-nyanyian gerejani, cerita-cerita Alkitab Perjanjian Lama dan Baru, berikut bacaan untuk pembangunan rohani.92
Pada 1930, Wismar Saragih resmi menjadi orang Simalungun pertama yang menjadi pendeta. Sejak saat itu ia dikenal sebagai Pdt. J. Wismar Saragih.
Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen berupaya
membuat ajaran Kristen semakin mudah diterima dan dipahami oleh orang Simalungun.
93
Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen memiliki majalah bulanan bernama
Sinalsal. Dalam tulisan-tulisan di majalah Sinalsal, yang tentu berbahasa
Simalungun, tertuang ajaran Kristen yang bercorak pietisme.
Dalam khotbah-khotbahnya, J. Wismar Saragih aktif menggunakan bahasa Simalungun. Ia juga menggunakan tata bahasa dan cerita yang dekat dengan keseharian orang Simalungun.
94
92
Paul Bodholt Pedersen, op.cit., hal. 104-105.
Pietisme ini diperoleh J. Wismar Saragih, redaktur Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen, dari corak pengajaran Nommensen.
93
Nama Pdt. J. Wismar Saragih diabadikan menjadi nama sebuah jalan di Pematangsiantar. Di jalan tersebut kantor pusat GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) berdiri.
94
Pietisme adalah corak rohani yang menekankan kesalehan pribadi dan penghayatan iman. Christiaan de Jonge, Gereja Mencari Jawab, Kapita Selekta Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, hal. 34.
(1)
Undang-undang pengaturan persawahan di Simalungun pada masa kolonialisme Belanda.
(2)
Pustaha (kitab). Literatur kuno Simalungun.
(3)
Tokoh-tokoh RMG.
Nommensen August Theis
J. Wismar Saragih
(4)
Raja na pitu. Raja-raja Simalungun.
(5)
Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen.
(6)
G. L. Tichelman, Asisten Residen Simalungun dan Tanah Karo, mengunjungi kantor
Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen di Pamatang Raya tahun 1934.