Peranan di Bidang Penginjilan

3.2. Peranan di Bidang Penginjilan

Sebelum kemunculan Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen, bahasa Simalungun dalam aktifitas kristenisasi merupakan bahasa yang terpinggirkan. Sangat jarang bahasa Simalungun digunakan dalam khotbah RMG. Para penginjil selalu menggunakan bahasa Toba. Ada kekeliruan yang menyebabkan hal ini terjadi. Kekeliruan tersebut adalah RMG memandang remeh perbedaan antara Simalungun dan Toba. RMG percaya bahwa suku Simalungun adalah cabang dari Batak yang nenek moyangnya berasal dari Samosir dan Pusuk Buhit, sebagaimana klaim mitos Batak Toba, 86 sehingga perbedaan Simalungun dan Toba tak perlu dipandang lebih jauh. Ditambah lagi tenaga penginjil yang membantu RMG adalah orang Batak Toba, semakin kokohlah pendirian RMG untuk menggunakan bahasa Toba. Tokoh RMG bernama Bregenstroth 87 menyatakan, ”Orang Simalungun cukup mengerti bahasa Toba, namun dewasa ini, dengan sengaja setiap penyimpangan bahasa dijadikan bahasa pustaka.” 88 Dari sudut pandang Simalungun, sikap RMG yang menggunakan bahasa Toba dalam mengkhotbahi orang-orang Simalungun merupakan sikap yang ”tidak Orang Simalungun justru dinilai menyimpang. 86 Jubil Raplan Hutauruk, Kemandirian Gereja: Pemikiran Historis Sistematis Tentang Gerakan Kemandirian Gereja di Sumatera Utara dalam Kancah Pergolakan Kolonialisme dan Gerakan Kebangsaan Indonesia, 1899-1942, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, hal. 163. 87 Bregenstroth adalah pendeta RMG yang bertugas di Pematang Siantar. Bregenstroth sangat mengutamakan pelayanan terhadap orang-orang Batak Toba yang ramai bermigrasi ke Simalungun. 88 Juandaha Raya P. Dasuha, dkk., op.cit., hal. 176. Universitas Sumatera Utara tepat, sedikit arogan dan melukai”. 89 Dalam budaya Simalungun, ada istilah ahap, 90 Di sisi lain, ketika orang Toba memandang rendah orang Simalungun karena belum beragama dan tak berpendidikan, sebaliknya orang Simalungun juga memandang rendah orang Toba. Dalam sejarahnya, orang-orang Toba yang datang ke Simalungun biasanya adalah orang yang hendak bekerja sebagai buruh upahan tuan tanah. Hal ini membuat orang Simalungun skeptis terhadap ajaran yang disampaikan orang Toba, karena dianggap rendah. Superioritas yang dianut keduanya membuat Toba dan Simalungun sulit menyatu sekalipun itu dalam aktifitas keagamaan. bagian terdalam dari perasaan orang Simalungun. Salah satu ahap Simalungun adalah penggunaan bahasa. Tanpa penggunaan bahasa Simalungun, akan sangat sulit meresapkan injil ke dalam kehidupan orang Simalungun. Karena didominasi Toba, sempat orang Simalungun beranggapan bahwa Yesus Kristus adalah orang Toba. Seperti yang ditanya seorang Simalungun beragama suku kepada seorang guru injil, ”Ai halak Toba do Toehan Jesoes Goeroe?” nini. ”Ai sai hata Toba do tong iloearhon Toehan Jesoes hoebogei ibasa ham?” Orang Toba kah Tuhan Yesus itu, Guru? Selalu kudengar bahasa Toba yang dipakai Tuhan Yesus yang anda baca? 91 Kekeliruan ini yang disadari oleh Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen. Komite memperjuangkan penggunaan bahasa Simalungun dalam kristenisasi guna 89 Martin Lukito Sinaga, op.cit., hal. 65. 90 Ahap adalah suatu integritas kepribadian yang terbentuk melalui adat istiadat Simalungun yang kemudian teraktualisasi dalam solidaritas dan persaudaraan. El Imanson Sumbayak ed., op.cit., hal. 4. 91 Sinalsal, No. 90September1938, hal. 4. Universitas Sumatera Utara mengoptimalkan pengkristenan Simalungun. Komite menerbitkan sejumlah literatur yang berhubungan dengan aktivitas kristenisasi dalam bahasa Simalungun, seperti: Kathekismus kecil karangan Luther, ayat-ayat alkitab, liturgi gereja, nyanyian- nyanyian gerejani, cerita-cerita Alkitab Perjanjian Lama dan Baru, berikut bacaan untuk pembangunan rohani. 92 Pada 1930, Wismar Saragih resmi menjadi orang Simalungun pertama yang menjadi pendeta. Sejak saat itu ia dikenal sebagai Pdt. J. Wismar Saragih. Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen berupaya membuat ajaran Kristen semakin mudah diterima dan dipahami oleh orang Simalungun. 93 Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen memiliki majalah bulanan bernama Sinalsal. Dalam tulisan-tulisan di majalah Sinalsal, yang tentu berbahasa Simalungun, tertuang ajaran Kristen yang bercorak pietisme. Dalam khotbah-khotbahnya, J. Wismar Saragih aktif menggunakan bahasa Simalungun. Ia juga menggunakan tata bahasa dan cerita yang dekat dengan keseharian orang Simalungun. 94 92 Paul Bodholt Pedersen, op.cit., hal. 104-105. Pietisme ini diperoleh J. Wismar Saragih, redaktur Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen, dari corak pengajaran Nommensen. 93 Nama Pdt. J. Wismar Saragih diabadikan menjadi nama sebuah jalan di Pematangsiantar. Di jalan tersebut kantor pusat GKPS Gereja Kristen Protestan Simalungun berdiri. 94 Pietisme adalah corak rohani yang menekankan kesalehan pribadi dan penghayatan iman. Christiaan de Jonge, Gereja Mencari Jawab, Kapita Selekta Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, hal. 34. Universitas Sumatera Utara Dalam pietisme, pribadiindividu memperoleh panggung utama. Seorang pietis harus memperlihatkan melalui pribadinya, ”kekuatan kehidupan baru di dalam Yesus Kristus dan harapan akan kemuliaan yang akan datang.” 95 Kemajuan paling mendasar dalam kristenisasi khas J. Wismar Saragih, adalah penerjemahan istilah ”Allah” menjadi ”Naibata” Simalungun. Naibata adalah sebutan agama suku Simalungun untuk dewa penguasa segalanya. J. Wismar Saragih dengan penuh percaya diri menggunakan istilah dari agama suku itu. Sebagai contoh, sebuah kalimat dari majalah Sinalsal: Turun ma ham Naibata na i atas Dalam cara pandang yang seperti ini, individu penganut agama suku akan dipandang sangat bermasalah dan kafir, sehingga harus segera dikristenkan. 96 Melalui pemakaian istilah dari agama suku ini disertai berbagai penjelasannya yang juga dimuat di Sinalsal, semangat kekristenan disuntikkan tepat di akar budaya Simalungun. Tak hanya sebatas teks, istilah tersebut terus dipakai dalam kegiatan kristenisasi sehingga meraih hasil yang memuaskan. Hal yang tak terpikirkan oleh penginjil RMG. Gerakan penerbitan literatur Kristen Comite Na Ra Marpodah Simalungun kemudian disambut oleh munculnya gerakan-gerakan kristenisasi lain seperti: Kongsi Laita, Kongsi Sintoea Protestant Simaloengoen KSPS, Kongsi Sihol Matoea, dan Kas Saksi ni Kristus. Sukses yang diraih oleh gerakan-gerakan kemandirian Kristen 95 Van den End, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860an-sekarang, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989, hal. 39. 96 Terjemahan: “Turunlah engkau Allah yang di atas” Sinalsal No. 1April1931, hal. 1. Universitas Sumatera Utara Simalungun ini adalah meningkatnya jumlah orang Kristen Simalungun menjadi 5700 orang pada 1940. 97 Aktifitas Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen bukan tanpa halangan. Pada 1935, Ephorus mengajukan pemutasian J. Wismar Saragih dari Simalungun ke Pearaja. J. Wismar Saragih menolak, ia sampai harus menghubungi direktur RMG di Barmen agar pemutasiannya dibatalkan. Direktur RMG ketika itu adalah J. Warneck, orang yang sebelumnya menjabat sebagai Ephorus di Sumatera, sehingga kenal dengan J. Wismar Saragih. Pemutasiannya pun dibatalkan. Dalam otobiografi J Wismar Saragih tertulis: Ada permintaan Ephorus pada 15 Agustus 1935 supaya Pd Wismar menjadi Evangelis Umum bertempat di Pearaja. Rupanya ada yang mengusulkan jika Pd Wismar dipindahkan tidak akan berkembang lagi bahasa Simalungun di daerah itu dan bahasa Toba-lah yang dipakai di seluruh Simalungun. Dengan pendek Pd Wismar menjawab: ”Makanya saya mau jadi pendeta ialah karena saya melihat Simalungun, itulah sebabnya saya jadi pendeta di sini.” Tetapi mereka mendesak juga dan dikatakan dapat menaikkan gajinya, sebab dari 50 pendeta di Tanah Batak hanya dia katanya yang sanggup ke sana. Pd. Wismar terus merasakan hal ini akan menghalang-halangi jalannya bahasa Simalungun dan dijawab: ”Rupanya Tuan belum mengetahu bahwa saya bekerja tidak melihat gaji. Tuan boleh ambil gaji saya yang seharusnya dan boleh diberikan kepada Evangelis Umum itu, biarkanlah saya terus menjadi pendeta di sini. Sebab rumah yang saya tempati ini, bukan rumah jemaat dan sawah yang di sana akan memberi gaji kami.” 98 Dalam kasus yang berbeda, J. Wismar Saragih juga punya kegelisahan kenapa bukan HKBP distrik Simalungun yang dibentuk. Dalam suratnya kepada 97 Bandingkan dengan masa sebelum Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen , pada 1903- 1928, yang hanya berhasil mengkristenkan 900 orang dalam 25 tahun. 98 Otobiografi ini ditulis J. Wismar Saragih dengan sudut pandang orang ketiga. J. Wismar Saragih, op.cit., hal. 145. Universitas Sumatera Utara penginjil H. Volmer di Saribudolog pada 27 Oktober 1937, J. Wismar Saragih menuliskan: Sudah sejak awal ada lima distrik di HKBP, yaitu Angkola, Silindung, Humbang, Toba dan Simalungun. Tetapi karena bertambah luasnya daerah pelayanan tuan Praeses Pematang Siantar, maka nama Simalungun menjadi hilang begitu saja dan diganti dengan distrik Ooskust van Sumatra, Aceh dan Dairilanden. Perubahan nama itu tidak adil sebab pusat kegiatan distrik berada di Simalungun, tetapi nama Simalungun dihapuskan. Kalau memang tidak berhubungan lagi Simalungun ke sinode am HKBP, maka saya sebagai urusan dari orang Simalungun tidak akan hadir lagi mengikuti sinode tersebut. Bahkan sinode distrik Ootkust pun tidak pantas diikuti orang Simalungun. Kaum Kristen Simalungun hanya pantas ikut dalam distrik Simalungun... Tuan tahu bahwa saya begitu mementingkan kepentingan perjuangan identitas Simalungun dalam perkabaran injil. Untuk itu, adalah lebih berharga bahwa saya menyampaikan Injil kepada orang Simalungun daripada gaji kependetaan saya. Mohon tuan mengerti dan memenuhi keinginan kami. 99 HKBP dalam Tata Gereja HKBP 1940 tetap mengesahkan nama HKBP distrik Oostkust van Sumatra, Aceh dan Dairilanden, sekalipun telah diprotes terlebih dahulu dalam surat J. Wismar Saragih kepada Volmer. Komunitas-komunitas Kristen Simalungun mengajukan keberatan. Sinode am HKBP pada 10-11 juli 1940 di Pearaja membicarakan keberatan orang Simalungun ini. Lalu diputuskanlah agar HKBP membicarakan hal tersebut dengan jemaat Simalungun. Dalam pertemuan dengan jemaat-jemaat Simalungun di Raya, Saribudolog dan Nagoridolog, pada 26 September 1940, dipenuhilah keinginan jemaat Simalungun untuk membentuk HKBP distrik Simalungun. 99 Juandaha Raya P. Dasuha, dkk., op.cit., hal. Hal.211. Universitas Sumatera Utara 3.3.Peranan di Bidang Kebudayaan Dalam Sinalsal tertulis: Halani dokah mardalan boekoe ampa hata Toba i parsikolahan ampa i partoempoean ni halak Kristen, lambin mandjalar ma hata ampa adat Toba hoe Simaloengoen on. Roh dokahni lambin roh tangkasni ma ai iahapkon halak Simaloengoen dob lambin banggal-banggal na marsikolah sapari na marladjar soerat ibagas hata Toba. Ai marhitei hata Toba ai lambin rarat do ampa adat Toba hoe Simaloengoen on, panrarat ni ae manedai do ai deba bani adat ampa hatani halak Simaloengoen. Ai boei pe na mardoemoe adat Batak Toba hoe bani adat Batak Simaloengoen, boei toemang do na daoh marsalisi, andjaha na soehar hoe bani adat ampa hata Simaloengoen. Gati pala songon na maborit oehoer ni halak Simaloengoen dompak halak Toba, halani lang marsiaroesan, ai adat na hormat i Toba, anggo iloeharhon ai bani halak Simaloengoen gabe songon na mangapsi iahap halak Simaloengoen atap na parihiron. 100 Gagasan untuk memakai bahasa Simalungun tidak hanya diperjuangkan oleh Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen melalui penerbitan literatur saja, tetapi juga melalui rekomendasi-rekomendasi ke pemerintah dan RMG. Dalam hal ini, Djaoedin Saragih banyak berperan. Dengan semangat nativisme, ia berkata: ”Sudah 25 tahun kekristenan di Raya, tetapi masih tetap bahasa Batak Toba yang dipakai di sekolah dan kebaktian gereja. Kami melihat bahwa guru- guru zending dari Tapanuli tidak mau belajar bahasa Simalungun. Itulah yang membuat pelajaran di sekolah menjadi macet dan kaku. Perlu tuan-tuan ketahui bahwa bahasa Simalungun jauh berbeda dengan bahasa Batak Toba. Karena itu saya meminta kepada tuan-tuan guru zending yang berasal dari Tapanuli yang bekerja di Raya agar mempelajari bahasa Simalungun dan apabila buku-buku pelajaran telah ada dalam bahasa Simalungun, hendaknya itulah yang diajarkan kepada anak-anak sekolah.” 101 100 Terjemahan: Karena begitu lamanya beredar dipakai buku dan adat Toba di sekolah maupun di perkumpulan orang Kristen, makin merembeslah pengaruh bahasa dan adat Batak Toba ke tanah Simalungun. Makin lama makin jelaslah dirasakan orang Simalungun dampaknya khususnya setelah murid zending yang ditobakan makin beranjak desawa yang dulu bersekolah dan belajar dalam bahasa Toba. Sebab melalui bahasa Toba itu makin deraslah perembesan adat Toba ke Simalungun, perembesannya itu merusak adat dan bahasa Simalungun. Sering orang Simalungun merasa sakit hati dilecehkan yang dilakukan oleh orang Batak Toba, sebab tidak saling mengerti, karena adat yang hormat dan bahasa yang hormat di Toba kalau disampaikan pada orang Simalungun menjadi suatu bentuk penghinaan dan merendahkan.” Sinalsal No. 90September1938, hal. 3. 101 Juandaha Raya P. Dasuha, dkk., op.cit., hal. 199. Universitas Sumatera Utara Ucapan tersebut disampaikan oleh Djaoedin Saragih dalam rapat guru-guru zending di Pamatang Raya pada 2 November 1929. Djaoedin Saragih kemudian menguraikan kata-kata bahasa Toba yang berbeda maknanya dengan bahasa Simalungun, bahkan ada kata-kata yang dalam bahasa Toba terdengar biasa saja tetapi dalam bahasa Simalungun tergolong tabu. Tambah Djaoedin Saragih lagi, ”... Kalau masih terdengar kata-kata seperti itu, maka dalam tempo satu tahun ini, mulai tanggal 2 November 1929, baiklah mereka diadili ke kerapatan karena membuat malu orang Simalungun.” Atas kerja keras Djaoedin, Tuan Soemajan Saragih, pemimpin kerajaan Raya, menetapkan bahasa Simalungun sebagai bahasa pengantar voertaal satu-satunya di seluruh wilayah kerajaan Raya. Djason Saragih, ketua Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen, menjadi kepala sekolah pertama di Simalungun. Ia terutama memperjuangkan bahasa Simalungun di sekolah-sekolah. Buah dari upaya memperjuangkan pemakaian bahasa Simalungun di sekolah-sekolah mulai tampak jelas pada 1936. Dari 102 sekolah di seluruh wilayah Simalungun, terdapat 46 berbahasa Simalungun, 41 berbahasa Batak Toba dan 1 berbahasa Karo. Sekolah yang memakai bahasa Simalungun sudah lebih banyak daripada yang memakai bahasa Batak Toba. 102 Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen dalam perjuangannya menawarkan social progresshamajuon kemajuan kepada orang Simalungun. Sebelumnya, orang Simalungun sering dituduh pemalas dan suka memakai candu, sehingga tidak tertarik terhadap agama, persawahan dan pendidikan. Comite Na Ra Marpodah 102 Jubil Raplan Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh dalam Kristus, op.cit., hal. 107. Universitas Sumatera Utara Simaloengoen mencoba menjadi counter stigma perlawanan paradigma atas itu. Hal ini membuat gerakan Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen dijuluki sebagai gerakan kemandirian Simalungun. Semangat kemandirian tersebut paling terasa dalam tulisan-tulisan yang muncul di Sinalsal. Salah-satunya adalah pantun berjudul Siparmaloeonkon ni halak Simaloengoen. Tabel 3. Kumpulan pantun Siparmaloeonkon ni halak Simaloengoen yang dimuat majalah Sinalsal, 103 Siparmaloeonkon ni halak Simaloengoen berserta terjemahannya. ” Siparmaloeonkon” orang Simalungun Marboeah ma galoegoer Tading i joema roba Anggo na hoerang oehoer Tarjoel ma hoe Toba Ilandja ma baloehoer Laho hoe dagang dokah Hoendja dalan maroehoer Ningon laho marsikolah Irandoeg ma hadingan Hoe pongkalan Hatoemoean Ganoep do partadingan Anggo seng dong parmaloean Berbuahlah asam gelugur Yang ada di ladang ”Joema roba” Kalau kita kurang bijaksana Kita akan dijual sebagai budak ke Toba Dipikullah ”baloehoer” Untuk dijual di pekan Jika ingin bijaksana Haruslah kita bersekolah Dipikullah ”hadingan” Ke ”pokkalan” tempat orang berkumpul Semuanya kita ketinggalan Kalau tak punya ”parmaloean” 103 Sinalsal, No. 90September1938, hal. 32. Universitas Sumatera Utara Horbou paninggalei e Boban hoelang-hoelangmoe Antong baor malistang Ilonggi-longgi laklak Bani sihala bolon Bangsa Simaloengoen e Boban parmaloeanmoe” Antong bador ma hita Idodingdodingi halak Bani dalan na bolon Kerbau yang biasa membajak Jangan lupa bawa kukmu Jadi lubangi dengan bor memanjang Di celah-celah kulit kayu Di ”sihala” yang besar Hai, bangsa Simalungun Bawalah ”parmaloean”-mu Jadi sangatlah kita dipermalukan Diejek-ejek orang lain dengan nyanyian Di jalanan besar Sinalsal memuat berbagai tema. Mulai dari kristenisasi, budaya, sampai ekonomi. Di dalam Sinalsal ada juga artikel tentang bagaimana bertani dengan sistem persawahan. Sejarah raja-raja juga dimuat didalamnya. A.G. Hoekema menuliskan, ”Sinalsal adalah sarana memperjuangkan emansipasi yang diinginkan orang Kristen- Simalungun”. 104 Sinalsal layak disebut sebagai karya terpenting Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen. Di dalam Sinalsal, tertuang ide-ide dasar yang filosofis tentang kemajuan Simalungun, khususnya Kristen-Simalungun. Sinalsal juga bisa disebut sebagai laboratorium ide bagi tokoh-tokoh Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen 104 Alle Gabe Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis: Sejarah Lahirnya Teologi Protestan Nasional di Indonesia, Sekitar 1860-1960, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997, hal. 156. Universitas Sumatera Utara untuk merancang serangkaian aksi kemandirian bagi Simalungun di masa berikutnya paska Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen. Pemikiran-pemikiran J. Wismar Saragih dan Bendjamin Damanik menjadi inti majalah Sinalsal. 105 Sejumlah buku diterbitkan oleh Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen. Pada 8 tahun pertama, sudah terbit 20 jenis buku berbahasa Simalungun yang dicetak sebanyak 27000 eksamplar dan telah laku sebanyak 15000 eksamplar, baik di Simalungun maupun luar Simalungun PadangTebing, Bedagai, Serdang dan batubara. Organisasi ini juga menerbitkan kalender bulanan Maandkalender dan almanak saku Susukkara. Buku terbitan pertama pada 1929 adalah buku tentang penanaman kopi Parkonoenan Kopi, cara memerintah Panggomgomion, nasihat bekerja Podah Marhordja, dan buku-buku Kristen pada 1930. Buku-buku pelajaran Rudang Ragi-ragian dan Sitolusaodaron terbit pada 1931. Buku cara bersawah Parsabahon dan buku pelajaran terbit pada 1932. Buku tata ibadah Kristen Agenda dan buku pelajaran terbit pada 1933. Buku renungan harian Kristen Manna, saduran kitab Perjanjian Lama Parpadanan Na Basaia dan tata bahasa Simalungun Ruhut Manurat terbit pada 1934. Almanak Kristen Susukkara dan saduran Perjanjian Baru Padan Na Baru terbit pada 1936. 106 105 Juandaha Raya Purba Dasuha, Perjumpaan Masyarakat Simalungun dengan Zending dan Kolonialisme, Medan: STT Abdi Sabda, 2009, hal. 165. Pada tahun ini juga terbit kamus pertama Simalungun karangan J. Wismar Saragih, dengan bantuan pemerintah dari cukai karet rubbergelden berjudul Partingkian ni Hata Simalungun. 106 Sinalsal No. 63Juni1936, hal. 9-10. Universitas Sumatera Utara J. Wismar Saragih secara khusus mendirikan dua perpustakaan di Pematang Raya, yaitu perpustakaan Dos ni Riah dan perpustakaan pribadi Parboekoenan ni Pan Djaporman pada 1937. Pada tahun yang sama, J. Wismar Saragih mendirikan Parsaoran ni Laingan, sebuah sanggar kesenian. Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen bekerjasama dengan pihak kerajaan-kerajaan Simalungun menggagasi berdirinya Roemah Poesaka Simaloengoen Museum Simalungun pada 1940 dan organisasi Partuha Maujana Simalungun organisasi persatuan tetua dan kerabat kerajaan Simalungun. Kedua lembaga ini masih berdiri dan berfungsi sampai sekarang. Salah satu yang diketahui paling menohok hati para intelektual Simalungun adalah perasaan kalah orang Simalungun di lapangan pertanian, khususnya akibat migrasi dan penetrasi padi-sawah orang Toba di tanah Simalungun. Persoalan ini, menjadi persoalan serius yang dibahas di Sinalsal. Ada tulisan bersambung bertajuk Mardjoema berladang yang bertujuan mengangkat seluk-beluk perladangan dari berbagai aspek yang terkait. Tulisan ini juga bertujuan untuk mendorong orang Simalungun untuk mengangkat pacul dan melangkah menggarap ladang dan sawah baru. Teks Mardjoema dimulai dengan perumusan hakekat ”kerja”, yaitu: Manusia mengambil, mengangkut dan menghabiskan apa yang disediakan Tuhan di muka bumi ini. Manusia awalnya seperti burung, yang menghabiskan buah yang ditemuinya dimanapun. Hal ini kemudian tidak mungkin lagi dilakukan, sehingga lahirlah kebudayaan: Dari yang berburu menjadi beternak, dari yang berladang berpindah-pindah menjadi menetap. Universitas Sumatera Utara Dituliskan lagi dalam Mardjoema, terdapat dua macam pertanian. Pertama, bertani di ladang. Cara ini cenderung membuat tanah cepat kehilangan kesuburannya sehingga kemudian diterlantarkan kasus Simalungun. Hal ini masih bisa diatasi kalau orang Simalungun mencari pupuk kandang dan belajar dari Mintori Landbouw Dinas Pertanian setempat. Hal ini penting karena semakin lama tanah rakyat Simalungun telah diambil dan dijadikan perkebunan. Kedua, bertani di sawah, yang lebih baik dari bertani di ladangdarat. Walaupun hal ini tergantung pada budi baik pemerintah Belanda untuk membuka saluran irigasi seperti di Pane dan Tanah Jawa, yang selama ini hanya menguntungkan orang Toba. Hal ini bukan karena orang Toba di-anak-emas-kan, melainkan karena orang Simalungun kurang berdaya dan kurang gesit mengerjakan apa yang semestinya dikerjakan. Karena itu orang Simalungun dianjurkan pergi ke Nagori Dolog karena disitu akan dibuka irigasi sawah, dengan menekankan bahwa kita orang Simalungun akan kalah cepat kalau tak sigap. 107 Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen melalui karya tulisnya telah merumuskan sebuah ruang identitas bagi penghidupan identitas Kristen Simalungun. Sebelumnya, kaum Kristen Simalungun terombang-ambing, antara pietisme dan nativisme. 108 107 Martin Lukito Sinaga, op.cit., hal. 84-85. Antara social progress kemajuan sosial, berpendidikan dan beragama, tapi mengikuti arus Toba atau social defense pertahanan sosial, mempertahankan kultur Simalungun namun berpotensi merusak hubungan dengan RMG. Comite Na 108 Nativisme adalah penonjolan keaslian atau kepribumian. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hal. 610. Universitas Sumatera Utara Ra Marpodah Simaloengoen menemukan titik tengahnya, tempat untuk kaum Kristen Simalungun berpijak. Dalam Sinalsal tertulis: Ada tidaknya suatu bangsa tergantung pada jawaban atas soal ini: Adakah aksaranya? Adakah budi bahasanya, adatnya, perumpamaannya, gendangnya, tariannya? ... dan untuk kita Simalungun semua itu ada ... 1. Aksara kita: Kita punya aksara ... dan sedikit berbeda karena ada nada suara yang khas inggou ... 2. Gendang gual kita: Gendang itu biasanya kita pakai pada pesta kematian ... Kita orang Kristen ada yang tidak mau lagi main gendang ... menurut saya hal itu salah, sebab apa bedanya gendang itu dengan musik yang ada di gereja sekarang ini? Musik gereja itu dari Eropa, dan kita pun punya musik gendang sendiri ... Soal adat, kita bawalah adat itu ke zaman yang baru ... Pertimbangkanlah hal itu 109 109 Sinalsal, 88Juli1938, hal. 3-4. Universitas Sumatera Utara BAB IV PERUBAHAN RELIGI DAN BUDAYA DI SIMALUNGUN 1928-1942

4.1. Perubahan Sosial-politik Simalungun