Validitas Apendikografi dalam Menegakkan Diagnosis Apendisitis di RSUP H. Adam Malik Medan Periode 2011 – 2012

(1)

VALIDITAS APENDIKOGRAFI DALAM MENEGAKKAN DIAGNOSIS APENDISITIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE 2011 - 2012

Oleh:

MARIA JHENY FP 100100119

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

VALIDITAS APENDIKOGRAFI DALAM MENEGAKKAN DIAGNOSIS APENDISITIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE 2011 - 2012

“Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”

Oleh :

MARIA JHENY FP 100100119

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

(4)

ABSTRAK

Apendisitis merupakan penyebab tersering nyeri abdomen baik akut maupun kronis. Ketika diagnosis apendisitis hanya ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, angka negatif apendektomi masih tetap tinggi yaitu, sekitar 20%. Salah satu cara untuk menurunkan angka negatif apendektomi adalah dengan menambah diagnosis penunjang berupa apendikografi. Apendikografi merupakan suatu teknik radiografi menggunakan barium sulfat untuk memvisualisasikan apendiks. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui validitas apendikografi dalam menegakkan diagnosis apendisitis di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2011 – 2012.

Jenis penelitian ini adalah penelitian uji diagnostik yang merupakan studi cross-sectional analitik. Pengumpulan data dilakukan dengan menganalisis 102 data rekam medis pasien yang menjalani pemeriksaan apendikografi di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2011 – 2012 yang dipilih dengan metode total sampling.

Dari hasil penelitian didapati bahwa ada hubungan antara hasil pemeriksaan apendikografi dengan hasil diagnosis pascaoperasi atau histopatologi dengan p = 0.003 (p<0.05). sensitivitas pemeriksaan apendikografi sebesar 95% (CI95%: 90 sampai 99), spesifisitas pemeriksaan apendikografi sebesar 44% (CI95%: 12 sampai 77), nilai prediksi positif pemeriksaan apendikografi sebesar 95% (CI95%: 90 sampai 99), dan nilai prediksi negatif pemeriksaan apendikografi sebesar 44% (CI95%: 12 sampai 77).

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa apendikografi dapat digunakan dalam menegakkan diagnosis apendisitis tetapi kurang mampu untuk menyingkirkan diagnosis apendisitis.


(5)

ABSTRACT

Appendicitis is the most common cause of abdominal pain, both acute and chronic. When the diagnosis of appendicitis is made only through physical examination, the negative appendectomy rate is still high at about 20% . One way to decrease the negative appendectomy rate is by adding a supporting diagnosis tool in the form appendicography. Appendicography is a radiographic technique using barium sulfate to visualize the appendix. This study aims to determine the validity of appendicography in making the diagnosis of appendicitis in Adam Malik General Hospital in 2011 until 2012.

The type of this research is a diagnostic test, which is a cross-sectional analytic study. Data collection was performed by analyzing 102 medical records from patients who underwent examination by appendicography in Adam Malik General Hospital in 2011 until 2012, which were selected by total sampling method.

From the results of the research, it is found that there is a significant correlation between the results of examination by appendicography with the results from postoperative diagnosis or histopathologic, with p = 0.003 (p<0.05). The sensitivity of diagnosis is 95 % (CI95%: 90 to 99), the specificity is 44% (CI95%: 12 to 77), the positive predictive value is 95% (CI95%: 90 to 99 , and the predictive value of appendicography is 44 % (CI95%: 12 to 77).

The result of this research concluded that appendicography can be used in the diagnosis of appendicitis but is less able to rule out the diagnosis of appendicitis.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan hasil penelitian yang berjudul “Validitas Apendikografi dalam Menegakkan Diagnosis Apendisitis di RSUP H. Adam Malik Medan Periode 2011 – 2012”. Sebagai salah satu area kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang dokter umum, laporan hasil penelitian ini disusun sebagai rangkaian tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan di program studi Sarjana Kedokteran, Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah turut serta membantu penulis dalam menyelesaikan laporan hasil penelitian ini, diantaranya:

1. Kepada Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Kepada dosen pembimbing dalam penulisan penelitian ini, dr. Evo Elidar, Sp. Rad (K), yang dengan sepenuh hati telah meluangkan segenap waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis, mulai dari awal penyusunan penelitian, pelaksanaan di lapangan, hingga selesainya laporan hasil penelitian ini. Juga kepada dr. M. Rizky Yaznil, Sp.OG dan dr. Mutiara Indah Sari, M.Kes selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang membangun untuk penelitian ini.

3. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Adi Muradi, Sp. B-KBD yang telah menjadi dosen penasehat akademik penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 4. Kepada kedua orangtua penulis, Ayahanda Gabungan Purba dan Ibunda

Rita Juliana, adik penulis, Laurentius Mahadika dan Axel Romario yang senantiasa mendukung dan memberikan semangat serta bantuan dalam menyelesaikan laporan penelitian ini.


(7)

5. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh sahabat-sahabat yang luar biasa di praktikum B4 FK USU 2010, khususnya Sonia H., Uli Asri, Maria Monalisa, Erlina Damanik, Elisa A.S, Ratu D., Monica O., dan Beactris L. atas dukungan dan motivasi yang sangat membantu penulis.

Semoga penelitian ini dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan khusunya di bidang ilmu kedokteran. Penulis menyadari bahwa penulisan laporan hasil penelitian ini masih belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan laporan hasil penelitian ini di kemudian hari.

Medan, Desember 2013


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

BAB 1PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Umum ... 4

1.3.2 Tujuan Khusus ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Apendisitis Akut ... 5

2.1.1 Definisi ... 5

2.1.2 Etiologi ... 5

2.1.3 Patofisiologi Apendisitis Akut ... 6

2.1.4 Gejala Klinis ... 7

2.1.5 Pemeriksaan Fisik ... 7


(9)

2.1.7 Histopatologi Apendisitis ... 11

2.2 Apendisitis Kronis ... 12

2.3 Apendikografi ... 13

2.3.1 Definisi ... 13

2.3.2 Terminologi dalam Apendikografi………..……….. 14

2.3.3 Teknik Pemeriksaan ... 14

2.3.4 Gambaran Normal Apendiks pada Apendikografi .... 16

2.3.5 Gambaran Apendisitis pada Apendikografi………… 16

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL .... 18

3.1 Kerangka Konsep……… 18

3.2 Definisi Operasional... . 18

BAB 4METODE PENELITIAN ... . 20

4.1 Jenis Penelitian ... 20

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 20

4.3 Populasi dan Sampel ... 20

4.3.1 Populasi……… 20

4.3.2 Sampel………. 21

4.4 Metode Pengumpulan Data ... . 21

4.5 Pengolahan dan Analisis Data ... . 21

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... . 23

5.1 Hasil Penelitian ... 23

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 23

5.1.2 Deskripsi Subjek Penelitian ... 23

5.1.3 Hasil Analisis Penelitian ... 29


(10)

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... . 35

6.1 Kesimpulan ... 35

6.2 Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ………... 37 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

NOMOR JUDUL

HALAMAN

Tabel 3.1 Variabel, Alat Ukur, Cara Ukur, Hasil Ukur, dan Skala Ukur...19 Tabel 4.1 Pemeriksaan Apendikografi Apendiks dengan

Diagnosis Pascaoperasi atau Histopatologi ... .22 Tabel 5.1 Distribusi Karakteristik Pasien yang Menjalani Pemeriksaan

Apendikografi ... 24 Tabel 5.2 Distribusi Pasien yang Menjalani Pemeriksaan

Apendikografi Berdasarkan Pengisian Barium pada Apendiks...25 Tabel 5.3 Distribusi Pasien yang Menjalani Pemeriksaan

Apedikografi Berdasarkan Diagnosis Histopatologi...26 Tabel 5.4 DistribusiPasien Perempuan Berdasarkan Hasil Apendikografi

dan Hasil Histopatologi...26 Tabel 5.5 DistribusiPasien Laki-Laki Berdasarkan Hasil Apendikografi

dan Hasil Histopatologi...27 Tabel 5.6 Distribusi Pasien dengan Diagnosis Pascaoperasi atau

Histopatologi Apendisistis Berdasarkan Keluhan Utama...28 Tabel 5.7 Hubungan Hasil Pemeriksaan Apendikografi dengan Hasil

Diagnosis Pascaoperasi atau Histopatologi ... 29 Tabel 5.8 Sensitivitas, Spesifisitas, NilaiPrediksi Positif,

dan Nilai Prediksi Negatif Pemeriksaan


(12)

DAFTAR GAMBAR

NOMOR JUDUL

HALAMAN

Gambar 2.1 Pemeriksaan Rovsing’s sign………... 9

Gambar 2.2 Pemeriksaan Psoas’s sign………... 9

Gambar 2.3 Pemeriksaan Obturator’s sign………... 10

Gambar 2.4 Pengisian Penuh dengan Kontras, Apendiks Normal…... 15

Gambar 2.5 NonFilling Apendiks dengan Asosiasi Kesan Massa di Distal Ileum………... 17

Gambar 2.6 Partialfilling.Bagian Proksimal Apendiks Dilatasi dan Adanya Perhentian Pengisian Barium (panah besar)…... 17

Gambar 3.1 Kerangka konsep validitas pemeriksaan apendikografi dalam menegakkan diagnosis apendisitis…………... 18


(13)

DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN 1 Daftar Riwayat Hidup

LAMPIRAN 2 Data Induk

LAMPIRAN 3 Output Data Hasil Penelitian

LAMPIRAN 4 Lembar Ethical Clearence


(14)

DAFTAR SINGKATAN

SK Surat Keputusan Menkes Menteri Kesehatan

RSUP H. Rumah Sakit Umum Pusat Haji RLQ Right Lower Quadran

RUQ Right Upper Quadran LLQ Left Lower Quadran ISK Infeksi Saluran Kemih BAB Buang Air Besar PA Patologi Anatomi


(15)

ABSTRAK

Apendisitis merupakan penyebab tersering nyeri abdomen baik akut maupun kronis. Ketika diagnosis apendisitis hanya ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, angka negatif apendektomi masih tetap tinggi yaitu, sekitar 20%. Salah satu cara untuk menurunkan angka negatif apendektomi adalah dengan menambah diagnosis penunjang berupa apendikografi. Apendikografi merupakan suatu teknik radiografi menggunakan barium sulfat untuk memvisualisasikan apendiks. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui validitas apendikografi dalam menegakkan diagnosis apendisitis di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2011 – 2012.

Jenis penelitian ini adalah penelitian uji diagnostik yang merupakan studi cross-sectional analitik. Pengumpulan data dilakukan dengan menganalisis 102 data rekam medis pasien yang menjalani pemeriksaan apendikografi di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2011 – 2012 yang dipilih dengan metode total sampling.

Dari hasil penelitian didapati bahwa ada hubungan antara hasil pemeriksaan apendikografi dengan hasil diagnosis pascaoperasi atau histopatologi dengan p = 0.003 (p<0.05). sensitivitas pemeriksaan apendikografi sebesar 95% (CI95%: 90 sampai 99), spesifisitas pemeriksaan apendikografi sebesar 44% (CI95%: 12 sampai 77), nilai prediksi positif pemeriksaan apendikografi sebesar 95% (CI95%: 90 sampai 99), dan nilai prediksi negatif pemeriksaan apendikografi sebesar 44% (CI95%: 12 sampai 77).

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa apendikografi dapat digunakan dalam menegakkan diagnosis apendisitis tetapi kurang mampu untuk menyingkirkan diagnosis apendisitis.


(16)

ABSTRACT

Appendicitis is the most common cause of abdominal pain, both acute and chronic. When the diagnosis of appendicitis is made only through physical examination, the negative appendectomy rate is still high at about 20% . One way to decrease the negative appendectomy rate is by adding a supporting diagnosis tool in the form appendicography. Appendicography is a radiographic technique using barium sulfate to visualize the appendix. This study aims to determine the validity of appendicography in making the diagnosis of appendicitis in Adam Malik General Hospital in 2011 until 2012.

The type of this research is a diagnostic test, which is a cross-sectional analytic study. Data collection was performed by analyzing 102 medical records from patients who underwent examination by appendicography in Adam Malik General Hospital in 2011 until 2012, which were selected by total sampling method.

From the results of the research, it is found that there is a significant correlation between the results of examination by appendicography with the results from postoperative diagnosis or histopathologic, with p = 0.003 (p<0.05). The sensitivity of diagnosis is 95 % (CI95%: 90 to 99), the specificity is 44% (CI95%: 12 to 77), the positive predictive value is 95% (CI95%: 90 to 99 , and the predictive value of appendicography is 44 % (CI95%: 12 to 77).

The result of this research concluded that appendicography can be used in the diagnosis of appendicitis but is less able to rule out the diagnosis of appendicitis.


(17)

ditandai dengan gejala klinis yang tidak jelas dan laju perjalanan penyakit yang lambat (Alumbo, 2006).

Diagnosis apendisitis akut dibuat berdasarkan temuan klinis, temuan klinis terdiri dari nyeri periumbilikalis bermigrasi ke kanan kuadran abdomen yang lebih rendah, disertai dengan demam dan leukositosis. Sementara itu pasien dengan apendisitis kronis mengeluhkan nyeri pada kuadran kanan bawah yang intermitten atau persisten selama berminggu – minggu atau berbulan - bulan (Linam dan Munden, 2012; Birnbaum dan Wilson, 2006).

Tanda – tanda klasik yang tidak selalu hadir dan gejalanya yang nonspesifik serta tumpang tindih dengan penyebab lain dari nyeri abdomen membuat diagnosis apendisitis tidak mudah ditegakkan hanya dengan gejala klinis. Begitu pula variasi posisi apendiks, usia pasien dan tingkat peradangan membuat presentasi klinis apendisitis tidak konsisten (Linam dan Munden, 2012; Bhasin et al., 2007).

Ketika diagnosis apendisitis hanya ditegakkan melalui pemeriksaan fisik dan meskipun sudah dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis apendisitis masih mungkin salah pada sekitar 15 – 20% (Riwanto et al., 2010).

Baku emas penegakkan diagnosis apendisitis dilakukan dengan pemeriksaan histopatologi apendiks pascaoperasi. Berdasarkan pemeriksaan histopatologi, angka negatif apendektomi saat ini masih tinggi, sekitar 20% pada beberapa kelompok pasien, khususnya pada wanita muda dan pasien dengan irritable bowel syndrome. Wanita berusia 15 – 45 tahun memiliki tingkat negatif appendektomi sampai 20%, dua sampai lima kali lipat dari populasi normal disebabkan kesalahan diagnosis dari penyebab lain nyeri panggul dan lokasi atipikal apendiks pada trimester akhir kehamilan (Makrauer dan Greenberger, 2012).

Salah satu upaya meningkatkan kualitas pelayanan medis adalah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukan cara untuk menurunkan insidensi negatif apendektomi, salah satunya adalah menambah diagnosis penunjang dengan apendikografi. Apendikografi merupakan pemeriksaan berupa foto barium apendiks yang dapat membantu melihat terjadinya sumbatan ataupun kotoran


(18)

(skibala) di dalam lumen apendiks (Darmono, 2006; Sanyoto, 2007 dalam Hasya, 2011).

Apendikografi telah dilaporkan memiliki sensitivitas 92,5%, hal ini menyimpulkan bahwa apendikografi sangat berguna dalam mendiagnosis apendisitis karena merupakan pemeriksaan yang sederhana dan dapat memperlihatkan visualisasi dari apendiks dengan derajat akurasi yang tinggi (Sibuea, 1996).

Melihat tingginya angka negatif apendektomi ketika diagnosis apendisitis hanya ditegakkan melalui temuan dan gejala klinis sehingga dibutuhkan suatu pemeriksaan penunjang yang dapat membantu penegakkan apendisitis, saya merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Validitas Apendikografi dalam Menegakkan Diagnosis Apendisitis di RSUP H. Adam Malik Medan Periode 2011 - 2012”. Penelitian ini dilakukan untuk melihat validitas apendikografi dalam menegakkan diagnosis apendisitis jika dibandingkan dengan pemeriksaan histopatologi sebagai baku emas.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dibuat suatu rumusan masalah sebagai berikut: “Bagaimanakah validitas apendikografi dalam menegakkan diagnosis apendisitis di RSUP H. Adam Malik Medan Periode 2011 - 2012?”

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui validitas apendikografi dalam menegakkan diagnosis apendisitis di RSUP H. Adam Malik Medan Periode 2011 – 2012.

1.3.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui jumlah penderita apendisitis dan bukan apendisitis berdasarkan apendikografi dan pemeriksaan histopatologi apendiks pascaoperasi.


(19)

2. Mengetahui sensitivitas pemeriksaan apendikografi dalam menegakkan diagnosis apendisitis di RSUP H. Adam Malik-Medan pada tahun 2011 - 2012.

3. Mengetahui spesifisitas pemeriksaan apendikografi dalam menegakkan diagnosis apendisitis di RSUP H. Adam Malik-Medan pada tahun 2011 - 2012.

4. Mengetahui nilai prediktif positif pemeriksaan apendikografi dalam menegakkan diagnosis apendisitis di RSUP H. Adam Malik-Medan pada tahun 2011 - 2012.

5. Mengetahui nilai prediktif negatif pemeriksaan apendikografi dalam menegakkan diagnosis apendisitis di RSUP H. Adam Malik-Medan pada tahun 2011 - 2012.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1. Melalui penelitian ini, peneliti dapat mulai mengaplikasikan ilmu pengetahuan di bidang statistik kedokteran yang telah diperoleh selama di bangku perkuliahan

2. Informasi kepada klinisi mengenai manfaat pemeriksaan apendikografi untuk membantu menegakkan diagnosis apendisitis

3. Sebagai bahan informasi dan masukan kepada klinisi dalam menangani kasus yang dicurigai apendisitis

4. Sebagai bahan informasi dan masukan kepada mahasiswa lain untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian yang telah dilakukan penulis.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Apendisitis Akut

2.1.1 Definisi

Menurut Ellis (1997) dan Riwanto et al. (2010) dalam Junias (2009), apendisitis akut berasal dari kata “apendiks” yaitu suatu organ berbentuk tabung, panjangnya kira – kira 10 cm (kisaran 3 – 25 cm), dan berpangkal di sekum atau yang dalam masyarakat awam secara kurang tepat sering disebut sebagai usus buntu, “itis” menerangkan suatu keadaan inflamasi dan “akut” menyatakan sifatnya berlangsung secara tiba – tiba dalam waktu yang sangat singkat.

Menurut National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (2004), apendisitis akut adalah inflamasi pada organ apendiks. Saat inflamasi itu sudah terjadi, tidak ada lagi terapi farmakologis yang efektif, sehingga apendisitis akut dianggap sebagai sebuah kegawatdaruratan medis.

2.1.2 Etiologi

Apendisitis akut merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus. Di samping hiperplasia jaringan limfa, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askariasis dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks akibat parasit seperti E. histolytica (Riwanto et al. 2010).

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatan pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Riwanto et al. 2010).


(21)

2.1.3 Patofisiologi Apendisitis Akut

Apendisitis akut terjadi akibat obstruksi atau sumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang dapat menyebabkan terjadinya distensi pada lumen apendiks. Keterbatasan elastisitas dinding abdomen menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan dan membuat peningkatan tekanan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml, jika sekresi mukus sekitar 0,5 ml, hal ini dapat meningkatkan tekanan intralumen sekitar 60 cmH20 (Maa and Kirkwood, 2008).

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia dan menghambat aliran limfe, hal ini membuat ulserasi pada mukosa apendiks dan mempermudah invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemia karena terjadi thrombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Kemudian terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat dan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menginvasi dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai perioneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di kuadran kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian arteri terganggu, akan terjadi infark apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24 – 36 jam. Bila dinding apendiks tersebut ruptur, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis (Maa and Kirkwood, 2008).

Infiltrat apendikularis merupakan tahap apendisitis yang dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24 – 48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa


(22)

sehingga terbemtuk massa apendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa apendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (Riwanto et al., 2010)

2.1.4 Gejala Klinis

Apendisitis biasanya dimulai dengan rasa tidak nyaman yang menetap dan progresif di bagian tengah abdomen, di daerah epigastrium di sekitar umbilikalis. Hal ini disebabkan oleh obstruksi dan distensi apendiks yang merangsang saraf otonom aferen viseral dan membuat nyeri alih pada daerah periumbilikal (distribusi dari nervus T8 – T10) (Finlay dan Doherty, 2002; Keshav, 2004).

Apendisitis diikuti dengan anoreksia dan juga demam ringan (<38,5° C). Dengan berlanjutnya sekresi cairan musinosa fungsional, terjadilah peningkatan tekanan intralumen yang menyebabkan kolapsnya vena drainase. Hal ini mengakibatkan timbulnya sensasi kram yang segera diikuti oleh mual dan muntah. Sembilan puluh persen pasien anoreksia, tujuh puluh persen menjadi mual dan muntah, dan sepuluh persen diare (Finlay dan Doherty, 2002; Crawford dan Kumar, 2007).

Ketika inflamasi dari apendiks terus berlanjut dan mencapai bagian luar apendiks, serabut saraf dari peritoneum parietal akan membawa informasi spasial tepat ke korteks somatosensori dan setelah peritoneum parietal terlibat, nyeri yang dihasilkan lebih intens, konstan, dan nyeri somatik akan terlokalisasi di fossa iliaka kanan, di daerah apendiks yang mengalami inflamasi tersebut (Keshav, 2004; Bhasin et al., 2007).

2.1.5 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada apendisitis akut dimulai dengan menilai bagian abdomen pasien di daerah selain daerah yang dicurigai (right lower quadran/ RLQ area). Lokasi usus buntu bervariasi. Namun, dasar biasanya ditemukan sejajar vertebral S1, lateral linea tepat pada titik McBurney. Titik McBurney adalah perpotongan lateral dan duapertiga dari garis yang menghubungkan spina iliaka


(23)

superior anterior kanan dan umbilikus (Finlay dan Doherty, 2002; Hartman, 2004).

Pada inspeksi abdomen, tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bias dilihat pada massa atau abses periapendikuler (Riwanto et al., 2010).

Menurut Departemen Bedah UGM (2010) dalam Hasya (2011), pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dilakukan pada dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah:

• Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.

• Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.

• Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.

Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.


(24)

Gambar 2.1 Pemeriksaan Rovsing’s Sign Sumber: Aryani, 2009, Appendicitis Acute

Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks. Penderita dalam posisi terlentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, penderita disuruh hiperekstensi. Psoas sign (+) bila terasa nyeri abdomen kanan bawah.

Gambar 2.2 Pemeriksaan Psoas’s sign Sumber: Aryani, 2009, Appendicitis Acute

Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium


(25)

Gambar 2.3 Pemeriksaan Obturator’s Sign Sumber: Aryani, 2009, Appendicitis Acute

Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Peristaltsis usus sering normal tetapi juga dapat menghilang akibat adanya ileus paralitik pada peritonitis generalisata yang disebabkan oleh apendisitis perforata (Riwanto et al., 2010).

2.1.6 Diagnosis Banding

Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, seperti:

• Gastroenteritis

Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan apendisitis akut.

• Demam Dengue

Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan hasil tes positif untuk Rumpel Leede, trombositopenia, dan hematokrit meningkat.

• Kelainan ovulasi

Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi.


(26)

• Infeksi panggul

Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih difus.

• Kehamilan di luar kandungan

Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan pendarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik.

• Kista ovarium terpuntir

Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal, atau colok rektal.

• Endometriosis ovarium eksterna

Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri di tempat endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan keluar.

• Urolitiasis pielum/ ureter kanan

Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan.

• Penyakit saluran cerna lainnya

Penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah peradangan di perut, seperti divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut, pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel apendiks (Riwanto et al., 2010).

2.1.7 Histopatologi Apendisitis

Pemeriksaan histopatologi merupakan baku emas penegakkan diagnosis apendisitis. Wangenstein menunjukkan bahwa penyumbatan lumen appendik yang menimbulkan berkembangnya appendicitis akut. Penyumbatan ini umumnya


(27)

terjadi akibat terbentuknya fekalit. Bila penyumbatan berlanjut dan tekanan intra lumen meningkat di daerah yang mengalami penyumbatan dan menimbulkan kolapsnya aliran vena. Ini memudahkan invasi bakteri sehingga menimbulkan edema, eksudasi dan akhirnya kerusakan aliran darah di daerah tersebut.

Gambaran morfologi appendik pada appendicitis akut yang berlanjut adalah sebagai berikut:

1. Early acute appendicitis

Proses inflamasi mulai tampak, kemudian reaksi menjadi progresif. Awalnya appendik mengalami inflamasi akut, tampak keluar eksudasi netrofil di mukosa, sub mukosa, dan otot. Biasanya pada mukosa yang banyak terlibat. Pada fase reaksi ini, pembuluh darah membengkak dan isinya dibatasi oleh neutrofil dan sering adanya gambaras perivaskuler, dan terjadinya perpindahan neutrofil.

2. Acute suppurative appendicitis

Bila berlanjut, neutrofil yang mengalami eksudasi akan keluar lebih banyak dari dinding appendik. Dengan banyaknya lekosit polimorfonuklear dan laipsan fibropurulent sebagai reaksi diatas serosa. Proses inflamasi memburuk dan terbentuk abses di dinding appendik, ulserasi dan fokus nekrotik suppuratif di mukosa. Pada stadium ini serosa biasanya dilapisi eksudat yang fibrosupuratif.

3. Acute gangrenous appendicitis

Bila reaksi berlanjut lebih buruk lagi, maka akan timbul daerah ulserasi yang luas di mukosa. Sepanjang ini timbul nekrosis gangrenous berwarna hijau kehitaman di dinding appendik dan berlanjut ke serosa, pada saat ini bisa terjadi ruptur (Junias, 2009).

2.2 Apendisitis Kronis

Keberadaan apendisitis kronis masih kontroversial, tetapi para ahli bedah menemukan banyak kasus dimana pasien dengan nyeri abdomen kronik, sembuh setelah apendektomi. Para ahli bedah sepakat bahwa ketika apendiks tidak terisi atau hanya terisi sebgaian oleh barium saat barium enema dengan keluhan nyeri


(28)

abdomen kanan bawah yang bersifat kronik intermiten, maka diagnosis apendisitis kronis sangat mungkin (The American Pediatric Surgery Association, 2003 dalam Eylin, 2009).

Apendisitis kronis lebih jarang terjadi daripada apendisitis akut dan lebih sulit didiagnosis, insidensinya hanya 1% di Amerika Serikat. Untuk mendiagnosis apendisitis kronis paling tidak harus ditemukan 3 hal yaitu (1) pasien memiliki riwayat nyeri kuadran kanan bawah abdomen selama paling sedikit 3 minggu tanpa alternatif diagnosis lain; (2) setelah dilakukan apendektomi, gejala yang dialami pasien tersebut hilang; (3) secara histopatologi, gejala dibuktikan sebagai akibat dari inflamasi kronis yang aktif pada dinding apendiks atau fibrosis pada apendiks (Santacroce, 2006 dalam Eylin, 2009).

Menutut Marson (1990) dalam Eylin (2009) mengatakan untuk mendiagnosis apendisitis kronis harus ada bukti inflamasi kronis yang aktif dengan infiltrasi pada lapisan muskularis dan serosa oleh limfosit dan sel plasma. Telah ada laporan yang mengatakan adanya besi pada apendiks merupakan indikator untuk inflamasi dalam 6 bulan.

Gejala yang dialami pasien dengan apendisitis kronis tidak jelas dan progresinya bersifat lambat. Terkadang pasien mengeluh nyeri pada kuadran kanan bawah yang intermiten atau persisten selama bermingu – minggu atau bebulan – bulan. Pada apendisitis kronis, sumbatan hanya bersifat parsial dengan lebih sedikit invasi bakteri. Sekalipun gejala dan progresi tidak sehabat apendisitis akut, apendisitis kronis tetaplah berbahaya jika dibiarkan tanpa ditangani (Birnbaum & Wilson, 2006).

2.3 Apendikografi 2.3.1 Definisi

Apendikografi adalah pemeriksaan secara radiografi pada bagian apendiks dengan menggunakan BaSO4 (barium sulfat) yang diencerkan dengan air

(suspensi barium) dan dimasukkan secara oral (melalui mulut). Pemeriksaan ini dapat membantu melihat anatomi fisiologis dari apendiks ataupun kelainan pada apendiks berupa adanya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) di dalam lumen


(29)

apendiks. Keuntungan dari pemeriksaan ini dapat menegakkan diagnosis penyakit lain yang menyerupai apendisitis (Kusuma, 2011; Sanyoto, 2007 dalam Hasya, 2011, Schey, 1972).

2.3.2 Terminologi dalam Apendikografi

Filling atau positif appendicogram : Keseluruhan lumen apendiks terisi penuh oleh barium sulfat. Sinar Roentgen tidak dapat menembus barium sulfat tersebut, sehingga menimbulkan bayangan dalam foto Roentgen, bila pasien meminum suspensi tersebut dan tidak ada obstruksi pada pangkal apendiks kemudian dipotret pada bagian apendiksnya, maka tergambarlah apendiks oleh suspensi itu pada foto Roentgen

Partial filling: Suspensi barium sulfat hanya sebagian lumen apendiks dan tidak merata

Non filling atau negative appendicogram : Kegagalan dari barium sulfat untuk memasuki lumen apendiks (Schey, 1972; Sibuea, 1996, Kartoleksono, 2010).

2.3.3 Teknik Pemeriksaan

Pemeriksaan radiologi traktus digestivus dapat dibagi atas dua golongan besar, yaitu pemeriksaan tanpa kontras dan pemeriksaan dengan kontras. Apendikografi merupakaan pemeriksaan radiologi dengan menggunakan kontras (Kartoleksono, 2010).

Indikasi dilakukannya pemeriksaan apendikografi adalah apendisitis kronis atau akut. Sedangkan kontraindikasi dilakukan pemeriksaan apendikografi adalah pasien dengan kehamilan trimester I atau pasien yang dicurigai adanya perforasi.

1. Persiapan Bahan:

• Larutan Barium Sulfat (± 250 gram) + 120-200 cc air.

Kontras positif yang digunakan dalam pemeriksaan radiologi apendikografi adalah barium sulfat (BaSO4). Bahan ini adalah


(30)

suatu garam berwarna putih, berat (karena barium mempunyai berat atom besar) dan tidak larut dalam air. Garam tersebut diaduk dalam air dalam perbandingan tertentu sehingga terjadi suspensi (bukan larutan). Suspensi tersebut harus diminum oleh pasien pada pemeriksaan apendikografi (Kartoleksono, 2010).

2. Persiapan Pasien:

• Sehari sebelum pemeriksaan pasien diberi BaSO4 dilarutkan dalam air masak dan diminta untuk diminum pada jam 24.00 WIB setelah itu puasa.

• Pasien di panggil masuk ke ruang pemeriksaan dalam keadaan puasa.

• Pasien diminta untuk membuka pakaian. • Pasien diberi baju RS untuk dipakai. 3. Prosedur:

• Pasien naik ke atas meja pemeriksaan.

• Kaset ditempatkan di bawah meja pemeriksaan.

• Meminta pasien agar kooperatif dan menuruti perintah radiografer sehingga pemeriksaan berjalan dengan baik.

• Sesudah pasien difoto, pasien diminta mengganti pakaian dan diminta untuk datang keesokan harinya untuk dilakukan foto kembali selama 3 hari berturut-turut

• Hasil apendikografi diekspertise oleh seorang dokter spesialis radiologi

(Prosedur Tetap dan Standar Operasional Prosedur RSUD Dr. Pirngadi Medan, 2011 dalam Hasya, 2011)


(31)

2.3.4 Gambaran Normal Apendiks pada Apendikografi

Apendiks yang normal akan memberikan gambaran berupa pengisian penuh barium sulfat pada lumen apendiks dan memiliki mukosa apendiks yang halus (William, 1972).

Gambar 2.4 Apendiks Normal. Pengisian Penuh dengan Kontras Sumber: Monita, 2009, Pencitraan dalam Mendiagnosis Apendisitis 2.3.5 Gambaran Apendisitis pada Apendikografi

Temuan appendikografi pada appendisitis: • Non filling apendiks

• Iregularitas nodularitas dari apendiks yang memberikan gambaran edema mukosa yang disebabkan oleh inflamasi akut

• Efek massa pada sekum serta usus halus yang berdekatan

Dari pemeriksaan menggunakan barium, kriteria diagnosis apendisitis: (1) non filling apendiks dengan desakan lokal sekum; (2) pengisian dari apendiks dengan penekanan lokal pada sekum; (3) non filling apendiks dengan adanya massa pelvis (kabur pada kuadran bawah kanan dengan perubahan letak usus halus akibat desakan); (4) pola mukosa apendiks irregular dengan terhentinya pengisian (Monita, 2009).


(32)

Gambar 2.5 Non Filling Apendiks dengan Asosiasi Kesan Massa di Distal Ileum Sumber: Schey, 1972, Use of Barium in the Diagnosis of Appendicitis in Children

Gambar 2.6 PartialFilling Apendiks. Bagian Proksimal Apendiks Dilatasi dan Adanya Perhentian Pengisian Barium (panah besar).


(33)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep

Pada penelitian ini, kerangka konsep tentang validitas pemeriksaan apendikografi dalam menegakkan diagnosis apendisitis dapat dijabarkan sebagai berikut:

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Validitas Pemeriksaan Apendikografi dalam Menegakkan Diagnosis Apendisitis

3.2 Definisi Operasional

1. Gambaran radiologi apendikografi adalah hasil foto rontgen pada bagian apendiks yang didapat setelah pemeriksaan apendikografi.

2. Apendisitis adalah adanya inflamasi pada bagian apendiks yang ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan patologi anatominya sebagai gold standart.

3. Sensitivitas adalah kemampuan alat diagnostik utk mendeteksi penyakit. 4. Spesifisitas adalah kemampuan alat diagnostik utk menentukan bahwa

subjek tidak sakit.

5. Nilai prediktif positif adalah probabilitas seseorang menderita penyakit apabila uji diagnostiknya positif.

6. Nilai prediktif positif adalah probabilitas seseorang tidak menderita penyakit apabila uji diagnostiknya negatif.

Gambaran Apendisitis Radiologi Apendikografi

Apendisitis dari hasil pemeriksaan histopatologi sebagai


(34)

Tabel 3.1 Variabel, Alat Ukur, Cara Ukur, Hasil Ukur, dan Skala Ukur

Variabel Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur Gambaran radiologi apendikogra fi Data sekunder dari rekam medis

Analisis data rekam

medis hasil apendikografi - Apendisitis -Bukan apendisitis Nominal Apendisitis Data sekunder dari rekam medis

Analisis data rekam medis hasil patologi anatomi

- Apendisitis -Bukan apendisitis

Nominal

Sensitivitas Tabel 2 x 2 a : (a+c) Dalam persen Rasio

Spesifisitas Tabel 2 x 2 d : (b+d) Dalam persen Rasio

Nilai prediktif positif

Tabel 2 x 2 a : (a+b) Dalam persen Rasio

Nilai prediktif negatif

Tabel 2 x 2 d : (c+d) Dalam persen Rasio

Keterangan

a = positif benar c = negatif semu b = positif semu d = negatif benar


(35)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian uji diagnostik yang merupakan studi cross-sectional analitik yang bertujuan untuk menganalisis sensitivitas dan spesifisitas apendikografi dalam menegakkan diagnosis apendisitis. Adapun pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini adalah potong lintang atau studi cross-sectional, yaitu pengamatan dilakukan pada satu saat tertentu dan data dari rekam medis hanya diobservasi satu kali.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan September hingga Oktober 2013, kemudian dilanjutkan dengan pengolahan dan analisis data.

Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan. Alasan pemilihan RSUP H. Adam Malik sebagai tempat penelitian adalah karena RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit umum pusat kelas A satu – satunya di Sumatera Utara sehingga alat – alat diagnostik yang tergolong alat canggih seperti apendikografi tersedia di sana dan masih banyaknya penggunaan apendikografi dalam penegakkan diagnosis apendisitis. Selain itu, RSUP H. Adam Malik Medan juga merupakan rumah sakit pendidikan yang merupakan pusat rujukan regional dan nasional sehingga diharapkan sampel yang digunakan dalam penelitian dapat menggambarkan populasi secara luas.

4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi

Populasi adalah sejumlah besar subjek yang mempunyai karakteristik tertentu (Sastroasmoro, 2011). Pada penelitian ini populasinya adalah seluruh pasien yang menjalani pemeriksaan apendikografi di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2011 – 2012.


(36)

4.3.2 Sampel

Sampel adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu hingga dianggap dapat mewakili populasinya (Sastroasmoro, 2011). Sampel pada penelitian ini dipilih dengan menggunakan metode total sampling, dimana seluruh populasi digunakan sebagai sampel penelitian.

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah : Kriteria inklusi pasien:

1. Pasien yang dicurigai apendisitis

2. Pasien yang menjalani pemeriksaan apendikografi 3. Pasien yang menjalani apendektomi

4. Adanya diagnosis pemeriksaan patologi anatomi apendiks

Sedangkan untuk kriteria eksklusi adalah data rekam medis yang tidak lengkap.

4.4 Metode Pengumpulan Data

Pada tahap awal, peneliti mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian pada institusi pendidikan Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Kemudian permohonan izin yang diperoleh dikirim ke bagian tata usaha RSUP H. Adam Malik Medan. Setelah mendapat izin, peneliti melaksanakan pengumpulan data penelitian.

Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data rekam medik pasien yang menjalani pemeriksaan apendikografi di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2011 - 2012. Data dikumpulkan kemudian diolah dan disesuaikan dengan kriteria inklusi dan ekslusi.

4.5 Pengolahan dan Analisis Data

Pada hasil pemeriksaan apendikografi dan pemeriksaan patologi anatomi dilakukan uji diagnostik. Penilaian uji diagnostik memberikan kemungkinan hasil positif benar, positif semu, negatif semu, dan negatif benar. Dalam penyajian hasil penelitian diagnostik, keempat kemungkinan tersebut disusun dalam tabel 2x2. Bila hasil positif benar disebut sel a, hasil positif semu sel b, hasil negatif semu


(37)

sel c dan hasil negatif benar sel d. Dari tabel 2x2 tersebut dilakukan uji hipotesis dengan uji x2 / uji chi square untuk melihat korelasi antara hasil pemeriksaan apendikografi dengan diagnosis histopatologi. Setelah itu dari tabel 2x2 juga dapat diperoleh beberapa nilai statistik (sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, dan nilai prediksi negatif) yang menunjukkan berapa akurat uji diagnostik apendikografi dibandingkan dengan gold standart.

Tabel 4.1. Tabel 2x2 Pemeriksaan Apendikografi Apendiks dengan Diagnosis Histopatologi

Setelah semua data terkumpul, peneliti melakukan pengolahan data dengan menggunakan bantuan program komputer yaitu Statistic Product and Service Solution (SPSS) yang kemudian dianalisis untuk melihat validitas pemeriksaan apendikografi dalam menegakkan diagnosis apendisitis di RSUP H. Adam Malik Medan Periode 2011 – 2012.

Variabel Diagnosis Histopatologi Jumlah Apendisitis Bukan

Apendisitis Hasil

Apendikografi

Apendisitis a b a + b

Bukan Apendisitis

c d c + d


(38)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990 dan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991, Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik juga sebagai Pusat Rujukan wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, dan Riau.

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik terletak di Jalan Bunga Lau No. 17 Km. 12 Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara. Data penelitian ini diambil dari bagian Instalasi Rekam Medis yang terletak di lantai 1 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

5.1.2 Deskripsi Data Penelitian

Dari 164 pasien yang menjalani pemeriksaan apendikografi di RSUP H. Adam Malik Medan selama periode 2011 – 2012, hanya 102 data pasien yang digunakan dalam penelitian, sementara 62 data yang lainnya dimasukkan ke dalam kriteria ekslusi karena hasil pemeriksaan apendikografi yang tidak tercantum di dalam rekam medis atau data rekam medis lain yang tidak lengkap. Data penelitian yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data yang berasal dari rekam medis pasien yang menjalani pemeriksaan apendikogram di RSUP H. Adam Malik Medan selama periode 2011 - 2012.

Jumlah data keseluruhan adalah 102 data rekam medis lengkap yang berisi nomor rekam medis, umur, jenis kelamin, keluhan utama, hasil pemeriksaan apendikogram, dan diagnosis pascaoperasi atau patologi anatomi. Untuk tahun 2011, terdapat 51 data rekam medis, sedangkan untuk tahun 2012 terdapat 51 data rekam medis.


(39)

5.1.2.1 Distribusi Karakteristik Pasien yang Menjalani Pemeriksaan Apendikografi

Distribusi data penelitian pasien yang menjalani pemeriksaan apendikografi

Tabel 5.1 Distribusi Karakteristik Pasien yang Menjalani Pemeriksaan Apendikografi

Karakteristik Total

Jenis Kelamin Frekuensi (N) Persentase (%)

Laki-laki 32 31.4

Perempuan 70 68.6

Total 102 100

Umur Frekuensi (N) Persentase (%)

≤10 tahun 1 1

11 – 20 tahun 26 25.5

21 – 30 tahun 22 21.6

31 – 40 tahun 21 20.6

41 – 50 tahun 19 18.6

51 – 60 tahun 10 9.8

61 – 70 tahun 2 2

≥70 tahun 1 1

Total 102 100

Berdasarkan tabel 5.1, didapati bahwa untuk periode 2011 - 2012, jumlah pasien laki-laki yang menjalani pemeriksaan apendikografi sebanyak 32 orang (31.4%) dan perempuan sebanyak 70 orang (68.6%).

Berdasarkan tabel 5.1, didapati bahwa jumlah pasien yang menjalani pemeriksaan apendikografi pada usia ≤10 tahun sebanyak 1 orang (1%), pada rentang usia 11 – 20 tahun sebanyak 26 orang (25.5%), pada rentang usia 21 – 30 tahun sebanyak 22 orang (21.6%), pada rentang usia 31 – 40 tahun sebanyak 21


(40)

orang (20.6%), pada rentang usia 41 – 50 tahun sebanyak 19 orang (18.6%), pada rentang usia 51 – 60 tahun sebanyak 10 orang (9.8%), pada rentang usia 61 – 70 tahun sebanyak 2 orang (9.8%),dan pada rentang usia ≥70 tahun sebanyak 1 orang (1%).

5.1.2.2 Distribusi Pasien yang Menjalani Pemeriksaan Apendikografi Berdasarkan Pengisian Barium pada Apendiks

Distribusi data penelitian pasien yang menjalani pemeriksaan apendikografi berdasarkan diagnosis apendikografi dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.2 Distribusi Pasien yang Menjalani Pemeriksaan Apendikografi Berdasarkan Pengisian Barium pada Apendiks

Jenis Kelamin Frekuensi (N) Persentase (%)

Filling Apendix / Apendiks Normal

9 8.8

Partial Filling Apendix / Apendisitis

3 2.9

Non Filling Apendix / Apendisitis

90 88.2

Total 102 100

Berdasarkan tabel 5.4, didapati bahwa jumlah pasien yang menjalani pemeriksaan apendikografi dengan diagnosis filling apendix atau apendiks normal sebanyak 9 orang (8.8%), diagnosis partial filling apendix atau apendisitis sebanyak 3 orang (2.9%), dan diagnosis non filling apendix atau apendisitis sebanyak 90 orang (88.2%).

5.1.2.3 Distribusi Pasien yang Menjalani Pemeriksaan Apendikografi Berdasarkan Diagnosis Histopatologi

Distribusi data penelitian pasien yang menjalani pemeriksaan apendikografi di berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut


(41)

Tabel 5.3 Distribusi Pasien yang Menjalani Pemeriksaan Apedikografi Berdasarkan Diagnosis Histopatologi

Diagnosis

Histopatologi Frekuensi (N) Persentase (%)

Apendisitis 93 91.2

Bukan Apendisitis 9 8.8

Total 102 100

Berdasarkan tabel 5.4, didapati bahwa jumlah pasien yang menjalani pemeriksaan apendikografi dengan diagnosis histopatologi berupa apendisitis sebanyak 93 orang (91.2%) dan bukan apendisitis sebanyak 9 orang (8.8%).

5.1.2.4 Distribusi Pasien Perempuan Berdasarkan Hasil Apendikografi dan Hasil Histopatologi

Distribusi data penelitian pasien perempuan berdasarkan hasil apendikografi dan hasil histopatologi

Tabel 5.4 Distribusi Pasien Perempuan Berdasarkan Hasil Apendikografi dan Hasil Histopatologi

Hasil Apendikografi

Diagnosis histopatologi

n %

Apendisitis Bukan apendisitis

n % n %

Apendisitis 61 93.8 3 6.2 64 100

Bukan

apendisitis 4 60.0 2 40.0 6 100

Dari tabel 5.5, diketahui bahwa dari 64 pasien perempuan dengan diagnosis apendisitis pada apendikografi, 61 diantaranya (93.8%) memiliki diagnosis apendisitis pada hasil pemeriksaan histopatoginya. Sedangkan untuk 6 pasien perempuan lainnya dengan diagnosis bukan apendisitis pada apendikografi,


(42)

4 diantaranya (60%) memiliki diagnosis apendisitis pada hasil pemeriksaan histopatoginya.

5.1.2.5 Distribusi Pasien Laki-Laki Berdasarkan Hasil Apendikografi dan Hasil Histopatologi

Distribusi data penelitian pasien laki-laki berdasarkan hasil apendikografi dan hasil histopatologi

Tabel 5.5 Distribusi Pasien Laki-Laki Berdasarkan Hasil Apendikografi dan Hasil Histopatologi

Hasil Apendikografi

Diagnosis histopatologi

n %

Apendisitis Bukan apendisitis

n % n %

Apendisitis 28 100 0 0 28 100

Bukan

apendisitis 3 75 1 25 4 100

Dari tabel 5.5, diketahui bahwa dari 28 pasien laki-laki dengan diagnosis apendisitis pada apendikografi, 28 diantaranya (100%) memiliki diagnosis apendisitis pada hasil pemeriksaan histopatoginya. Sedangkan untuk 4 pasien laki-laki lainnya dengan diagnosis bukan apendisitis pada apendikografi, 3 diantaranya (75%) memiliki diagnosis apendisitis pada hasil pemeriksaan histopatoginya.

5.1.2.6 Distribusi Pasien dengan Diagnosis Pascaoperasi atau Histopatologi Apendisitis Berdasarkan Keluhan Utama

Distribusi data penelitian pasien yang menjalani pemeriksaan apendikografi di berdasarkan keluhan utama dapat dilihat pada tabel berikut.


(43)

Tabel 5.6 Distribusi Pasien dengan Diagnosis Pascaoperasi atau Histopatologi Apendisistis Berdasarkan Keluhan Utama

Keluhan Utama Frekuensi (N) Persentase (%)

Nyeri RLQ 72 77.4

Nyeri Regio Abdomen dan Pinggang

3 3.2

Nyeri Perut Kanan 5 5.4

Nyeri RUQ 2 2.2

Nyeri Perut Bawah 5 5.4

BAB darah 1 1.1

Nyeri LLQ 1 1.1

Benjolan di Perut Kanan 2 2.2

Nyeri di daerah inguinal 1 1.1

Mencret 1 1.1

Total 93 100

Berdasarkan tabel 5.7, didapati bahwa dari 93 pasien dengan diagnosis pascaoperasi atau histopatologi berupa apendisitis dengan keluhan nyeri kuadran kanan bawah sebanyak 72 orang (77.4%), keluhan nyeri regio abdomen dan pinggang sebanyak 3 orang (3.2%), keluhan nyeri perut kanan sebanyak 5 orang (5.4%), keluhan nyeri kuadran kanan atas sebanyak 2 orang (2.2%), keluhan nyeri perut bawah sebanyak 5 orang (5.4%), keluhan BAB berdarah sebanyak 1 orang (1.1%), keluhan nyeri kuadran kiri bawah sebanyak 1 orang (1.1%), keluhan benjolan di perut kanan sebanyak 2 orang (2.2%), keluhan nyeri di daerah inguinal sebanyak 1 orang (1.1%), dan dengan keluhan mencret sebanyak 1 orang (1.1%).


(44)

5.1.3 Hasil Analisis Penelitian

Setelah data terkumpul, hasil data uji diagnostik apendikografi dinyatakan dalam tabel 2x2 dan dilakukan uji hipotesis, yaitu dengan uji hipotesis Chi-Square. Uji hipotesis dilakukan untuk melihat kolerasi antara hasil pemeriksaan apendikografi dengan hasil diagnosis pascaoperasi atau histopatologi. Hasil uji Fisher hasil pemeriksaan apendikografi dengan hasil diagnosis pascaoperasi atau histopatologi dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 5.7 Hubungan Hasil Pemeriksaan Apendikografi dengan Hasil Diagnosis Pascaoperasi atau Histopatologi

Hasil Apendikografi

Diagnosis histopatologi

n % p*

Apendisitis Bukan apendisitis

n % n %

0.003

Apendisitis 88 96.4 5 5.4 93 100

Bukan

apendisitis 5 55.6 4 44.4 9 100

*Fisher’s exact test

Berdasarkan tabel 5.6, didapati bahwa ada hubungan yang bermakna antara hasil pemeriksaan apendikografi dengan hasil diagnosis pascaoperasi atau histopatologi dengan p = 0.003 (p<0.05).

Adanya hubungan yang bermakna antara hasil pemeriksaan apendikografi dengan hasil diagnosis pascaoperasi atau histopatologi yang dibuktikan dengan uji hipotesis saja tidak cukup, maka diperlukan pertimbangan lain untuk interpretasi hasil uji diagnostik apendikografi. Dari tabel 2x2 berikut akan dilakukan penghitungan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, dan nilai prediksi negatif.


(45)

Tabel 5.8 Sensitivitas, Spesifisitas, Nilai Prediksi Positif, dan Nilai Prediksi Negatif Pemeriksaan Apendikografi

Hasil Perhitungan:

1. Sensitivitas : �

�+� = 88

93 = 95 %

2. Spesifisitas : �

�+� = 4

9 = 44%

3. Nilai Prediksi (+) : �

�+� = 88

93 = 95%

4. Nilai Prediksi (-) : �

�+� = 4

9 = 44%

Berdasarkan tabel 5.7, didapati bahwa sensitivitas pemeriksaan apendikografi adalah 95% (CI95%: 90 sampai 99), spesifisitas pemeriksaan apendikografi adalah 44% (CI95%: 12 sampai 77), nilai prediksi positif pemeriksaan apendikografi adalah 95% (CI95%: 90 sampai 99), dan nilai prediksi negatif pemeriksaan apendikografi adalah 44% (CI95%: 12 sampai 77).

5.2 Pembahasan

Dari hasil penelitian, didapati bahwa pasien perempuan lebih banyak menjalani pemeriksaan apendikografi untuk sangkaan apendisitis dibandingkan dengan pasien laki – laki. Pasien perempuan yang menjalani apendikografi ada sebanyak 70 orang (68.6%) sedangkan pasien laki – laki lebih sedikit, hanya sebanyak 32 orang (31.4), dengan perbandingan perempuan dan laki-laki 2 : 1.

Menurut Riwanto, et al., (2010), insidens apendisitis pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding. Hal ini bertentangan dengan penelitian di

Variabel Diagnosis Pascaoperasi atau Histopatologi Jumlah

Apendisitis Bukan Apendisitis

Hasil Apendiko-grafi

Apendisitis 88 a 5 b 93

Bukan Apendisitis 5 c 4 d 9


(46)

Amerika Serikat yang mengatakan rasio terjadinya apendisitis pada perempuan dan laki-laki adalah sekitar 1 : 2 (Minkes, 2011) sedangkan penelitian di Departemen PA FKUI tahun 2003 – 2007 menunjukkan lebih banyak penderita apendisitis adalah perempuan daripada laki-laki (Eylin, 2009). Penyebab perbedaan frekuensi antara laki – laki dan perempuan dari berbagai penelitian belum diketahui secara pasti. Namun, lebih tingginya pasien perempuan yang menjalani pemeriksaan apendikografi untuk sangkaan apendisitis pada penelitian ini mungkin berkaitan dengan pada perempuan, terutama yang masih muda, sering timbul gangguan yang menyerupai apendisitis, keluhan tersebut bisa berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, ataupun penyakit ginekologi lain (Riwanto, 2010). Hal itu membuat lebih banyak perempuan yang membutuhkan diagnosis penunjang seperti apendikografi untuk menegakkan diagnosis dari gejala yang dikeluhkannya.

Dari hasil penelitian, didapati bahwa pasien usia 11-20 tahun paling banyak menjalani pemeriksaan apendikografi untuk sangkaan apendisitis, diikuti dengan pasien pada usia 21-30 tahun. Pasien usia 11-20 tahun yang menjalani pemeriksaan apendikografi sebanyak 26 orang (25.5%) diikuti dengan pasien usian 21-30 tahun yang tidak berbeda terlalu jauh yaitu sebanyak 22 orang (21.6%).

Kejadian apendisitis meningkat dengan bertambahnya umur, memuncak pada usia remaja dan jarang terjadi pada anak kurang dari usia 1 tahun (Hartman, 2000). Sementara itu, Riwanto, et al., (2010) mengatakan bahwa apendisitis dapat ditemukan pada semua umur namun insidens tertinggi terjadi pada kelompok umur 20-30 tahun. Kedua pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian. Kelompok usia 11-20 tahun dan 21-30 tahun paling banyak menjalani pemeriksaan apendikografi untuk sangkaan apendisitis, karena pada kelompok usia tersebut insidens apendisitis paling tinggi. Hal ini mungkin berkaitan dengan kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis yang sering terjadi pada dekade ini (Riwanto et al., 2010). Kemungkinan lain adalah hiperplasia folikel limfoid sebagai salah satu etiologi dari apendisitis. Hiperplasia kelenjar limfoid sering terjadi pada usia anak diatas


(47)

10 tahun dan pada dewasa muda yang dipicu oleh berbagai infeksi virus, seperti infeksi saluran nafas atas, mononucleosis dan gastroenteritis sehingga kejadian apendisitis pun lebih mungkin sering terjadi pada usia ini (D. Mike Hardin, 1999).

Dari 93 pasien dengan diagnosis pascaoperasi atau histopatologi apendisitis, keluhan utama tersering yang didapat dari penelitian ini adalah nyeri abdomen kuadran kanan bawah sebanyak 72 orang (77.4%) dan 21 orang (22.6%) sisanya memiliki keluhan utama lain yang cukup beragam walaupun dengan dengan persentase yang rendah, seperti nyeri abdomen kanan sebanyak 5 orang (5.4%), nyeri abdomen bawah sebanyak 5 orang (5.4%), dan lainnya.

Menurut penelitian yang dilakukan Adelia (2012) di Bandung, keluhan tersering pada pasien apendisitis adalah nyeri pada kuadran kanan bawah. Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian ini yang juga menunjukkan bahwa keluhan tersering pasien apendisitis adalah nyeri pada kuadran kanan bawah. Hal ini disebabkan oleh lokasi apendiks yang bila diproyeksikan pada dinding abdomen akan terletak pada kuadran kanan bawah. Beragamnya keluhan utama pada 21 pasien apendisitis pada penelitian ini mungkin berkaitan dengan variasi posisi apendiks, usia pasien, tingkat peradangan, serta tumpang tindih dengan penyebab lain dari nyeri abdomen membuat presentasi klinis apendisitis tidak konsisten (Bhasin et al., 2007), sehingga dibutuhkan suatu pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis apendisitis karena tanda – tanda klasik seperti nyeri pada kuadran kanan bawah tidak selalu hadir.

Dari 102 pasien yang menjalani apendikografi di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2011 – 2012, didapati hasil positif 88 kasus, positif semu lima kasus, negatif semu lima kasus, dan negatif benar empat kasus. Dilakukan uji kemaknaan dengan analisis chi-square, didapati bahwa ada hubungan yang bermakna antara hasil pemeriksaan apendikografi dengan hasil diagnosis pascaoperasi atau histopatologi dengan p = 0.003 (p<0.05). Hal ini menandakan ada hubungan yang signifikan antara hasil uji positif apendikografi dengan kejadian apendisitis.

Pada penelitian ini didapati sensitivitas apendikografi sebesar 95%, spesifisitas apendikografi sebesar 44%, nilai prediktif positif apendikografi


(48)

sebesar 95%, dan nilai prediktif negatif apendikografi sebesar 44%. Hal ini menunjukkan bahwa apendikografi memiliki sensitivitas yang tinggi namun spesifisitasnya rendah, berarti apendikografi dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis apendisitis namun tidak untuk menyingkirkan diagnosis apendisitis.

Apendikografi telah dilaporkan memiliki sensitivitas 92,5%, hal ini menyimpulkan bahwa apendikografi sangat berguna dalam mendiagnosis apendisitis (Sibuea, 1996). Menurut Hasya (2011), apendikografi memiliki nilai sensitivitas sebesar 97,8% dan spesifisitas sebesar 50%. Penelitian lain yang dilakukan di Yogyakarta juga mengungkapkan bahwa apendikografi memiliki sensitivitas 100% dengan spesifisitas hanya 8.3%. Adanya perbedaan angka sensitivitas dan spesifisitas dari pemeriksaan apendikografi dalam penegakkan apendisitis mungkin disebabkan karena validitas pada uji diagnostik sangat dipengaruhi pengamat, subjek, dan instrumen. Namun dari penelitian – penelitian diatas didapat bahwa apendikografi mempunyai sensitivitas dan akurasi yang tinggi dalam membantu menegakkan diagnosis apendisitis.

Sementara itu menurut Haga (2002) dalam Monita (2009) mengatakan nonfilling apendiks pada interpretasi apendikografi merupakan tanda yang nonspesifik karena apendiks yang tidak terisi kontras dapat terjadi pada 10 – 20% orang normal, selain itu tingginya hasil nondiagnostik, eksposi radiasi, dan sensitivitas yang tidak tinggi membuat apendikografi tidak digunakan sebagai modalitas utama dalam menegakkan kasus apendisitis di era sonografi dan CT- Scan.

Sebuah penelitian di Korea yang membandingkan keakuratan berbagai metode diagnosis untuk menegakkan diagnosis apendisitis menyatakan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, dan nilai prediksi negatif untuk ultrasonografi sebesar 99.1%, 91.7%, 96.5%, dan 97.7%, untuk computed tomography (CT-Scan) sebesar 96.4%, 95.4%, 95.6% dan 96.3%. Ultrasonografi atau computed tomography karena nilai akurasinya yang tinggi harus digunakan secara rutin untuk menegakkan diagnosis apendisitis (JS, et al., 2013).

Pemakaian ultrasonografi dalam menegakkan diagnosis apendisitis sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ultrasonologist yang kurang


(49)

berpengalaman, bekerja dengan teknik dan atau peralatan lemah, tidak akan menghasilkan hasil yang sempurna dan menurunkan nilai keakuratan, sementara pemakaian CT-Scan untuk menegakkan diagnosis apendisitis jarang dilakukan karena biayanya yang mahal. Walaupun ultrasonografi dan CT-Scan memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan apendikografi, namun apendikografi masih bermanfaat dalam mendiagnosis apendisitis karena merupakan pemeriksaan yang sederhana, murah, dan dapat memperlihatkan visualisasi dari apendiks dengan derajat akurasi yang tinggi (Sibuea, 1996).


(50)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh, maka kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dari 102 pasien yang menjalani apendikografi, 93 pasien positif menderita apendisitis dan 9 pasien negatif apendisitis pada apendikografi, serta 93 pasien positif menderita apendisitis dan 9 pasien negatif apendisitis pada pemeriksaan histopatologi.

2. Sensitivitas pemeriksaan apendikografi adalah sebesar 95%. Hal ini menyatakan bahwa apendikografi memiliki kemampuan 95% untuk mendiagnosis apendisitis. Apendikografi memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk mendiagnosis apendisitis. 3. Spesifisitas pemeriksaan apendikografi adalah sebesar 44%. Hal ini

menyatakan bahwa apendikografi memiliki kemampuan 44% untuk menyatakan bahwa subjek tidak menderita apendisitis. Apendikografi memiliki nilai spesifisitas yang rendah sehingga kurang dapat digunakan untuk menyingkirkan penyakit apendisitis.

4. Nilai prediktif positif apendikografi adalah sebesar 95%. Hal ini menyatakan probabilitas seseorang menderita apendisitis jika hasil uji apendikografinya positif adalah sebesar 95%.

5. Nilai prediktif negatif apendikografi adalah sebesar 44%. Hal ini menyatakan probabilitas seseorang tidak menderita apendisitis jika hasil uji apendikografinya negatif adalah sebesar 44%

6.2 Saran

Berdasarkan hasil yang didapat pada penelitian yang telah dilakukan, maka dapat dikemukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Bagi para klinisi disarankan untuk menambah pemeriksaan apendikografi dalam menangani kasus yang dicurigai apendisitis


(51)

kronis karena merupakan pemeriksaan yang sederhana, murah, serta derajat akurasinya yang tinggi.

2. Bagi para petugas radiologi disarankan untuk memberikan petunjuk kepada para pasien yang akan menjalani pemeriksaan apendikografi dengan jelas dan lengkap sehingga tidak terjadi kesalahan prosedur pemeriksaan dan menurunkan keakuratan pemeriksaan apendikografi. 3. Bagi pihak rumah sakit diharapkan dapat membuat rekam medis

dengan lengkap sehingga tidak banyak data yang harus diekslusi pada penelitian selanjutnya yang berhubungan.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Adelia, 2012. Prevalensi Apendisitis Akut pada Anak di Rumah Sakit Immanuel Bandung periode Januari-Desember 2011. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha.

Alumbo, 2006. The Challenge in Diagnosing Chronic Appendicitis. Available from: 2013].

Aryanti, Adhita Dwi, 2009. Appendicitis Acute. Bandung:Universitas Jenderal Achmad Yani.

Asep & Monita, Nadia, 2009. Peranan Pencitraan dalam Mendiagnosis Apendisitis. Semarang:Universitas Tarumanegara.

Bhasin, Sanjay Kumar, Khan, Arsad Bhasir, Kumar, Vijay, Sharman, Sanjay, and Saraf, Rakesh. 2007. Vermiform Appendix And Acute Appendicitis. India: Departemen of Surgery, Govt. Medical Collage Jammu. J&K. Available from:

Birnbaum, Bernard A. & Wilson, Stephanie R., 2006. Appendicitis at the

Millenium. Available from:

Mei 2013].

Craig, Sandy, 2011. Appendicitis. Available from: 2013]

Crawford, James M. & Kumar, Vinay, 2007. Apendiks. In: Kumar, Vinay, Cotran, Ramzi S., and Robbins, Stanley L., ed. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta:EGC, 660 – 661


(53)

D. Mike Hardin, JR., 1999. Acute Appendicitis: Review and Update. Temple: Texas A&M University Health Science Center. Available from: www.aafp.org/afp/1999/1101/p2027.html [Accessed 13 November 2013] Dahlan, M. Sopiyudin, 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam

Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika

Darmono, Ponco, 2006. Validitas Pemeriksaan Ultrasonografi dalam Menegakkan Diagnosis Apendisitis Akut pada Anak. Yogyakarta:UGM Eylin, 2009. Karakteristik Pasien dan Diagnosis Histologi pada Kasus

Apendisitis Berdasarkan Data Registrasi di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSCM pada Tahun 2003 – 2007. Jakarta:Universitas Indonesia

Finlay, David J. & Doherty, Gerard M., 2002. Acute Abdominal Pain and Appendicitis. In: Doherty, Gerard M., Lowney, Jennifer K., Mason, John E., Reznik, Scott I., and Smith, Michael A., ed. Washington Manual Book of Surgery. Third Edition. USA:Lippincott Williams & Wilkins, 252 - 261 Hartman, Gery E., 2000. Apendisitis Akut. In: Behrman, Richard E., Kliegman,

Robert M., and Arvin, Ann M., ed. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15 Vol. 2. Jakarta:EGC,1364 – 1367.

Hasya, M. Nawal, 2011. Realiabilitas Pemeriksaan Appendicogram dalam Penegakan Diagnosis Apendisitis di RSUD Dr. Pirngadi Medan Periode 2008 – 2011. Medan: USU

Kartoleksono, Sukonto, 2010. Traktus Digestivus dan Biliaris: Pendahuluan. In: Ekayuda, Iwan, ed. Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 227 - 232

Keshav, Satish, 2004. Caecum and Appendix. In: Keshav, Satish, ed. The Gastrointestinal System at Glance. First Edition. USA:Wiley -Blackwell, 36 – 38.


(54)

Kusuma, Wira Hadi, 2011. Appendicografi. Available from: Leung, Alexander K.C. & Sigalet, David L., 2003. Acute Abdominal Pain in

Children. Alberta: University of Calgary Faculty of Medicine. Available from: 2013]

Linam, Leann E. & Munden, Martha, 2012. Sonography as the First Line of Evaluation in Children With Suspected Acute Appendicitis. USA: American Institute of Ultrasound in Medicine. Available from: 2013]

Maa, John & Kirkwood, Kimberly S., 2008. The Appendix. In: Townsend, Courtney M., Beauchamp, R. Daniel, Evers, B. Mark and Mattox, Kenneth L., ed. Sabiston Textbook of Surgery: The Biological Basis of Modern Surgical Practice. 18th Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier, 1333 - 1347 Makrauer, Frederick L. & Greenberger, Norton J., 2012. Acute Abdominal Pain:

Basic Principles & Current Challenges. In: Greenberger, Norton J., Blumberg, Richard S., & Burakoff, Robert, ed. Current Diagnosis & Treatment: Gastroenterology, Hepatology, & Endoscopy. Second Edition. USA:McGraw-Hill, 7 – 10.

Minkes, Robert K., 2011. Pediatric Appendicitis. Available from:

[Accesed

21 April 2013]

National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases, 2004. Appendicitis. U.S. Departement of Health and Human Services, National Institute of Health

Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta


(55)

Park, JS., Jeong, JH., Lee, JI., Lee, JH., Park, JK., and Moon, HJ., 2013. Accuracies of Diagnostic Methods for Acute Appendicitis. Goyang:

Kwandong University. Available from: www.ncbi.nlm.gov/pubmed/23317620 [Accessed 13 November 2013]

{abstrak}

Riwanto, Ign. et al., 2010. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. In: Sjamsudihajat, R. et al., ed. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:EGC,

755 – 762.

S, Mangema Junias R., 2009. Hubungan Antara Skor Alvarado dan Temuan Operasi Appendisitis Akut di Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan:USU

Safaei, M., Moeinei, L., and Rasti, M., 2004. Recurrent Abdominal Pain and Chronic Appendicitis. Iran:Isfahan University of Medical Sciences. Available from [Accessed 12 Mei 2013]

Schey, William L., 1972. Use of Barium in the Diagnosis of Appendicitis in

Children. Available from

[Accessed 15 Mei 2013]

Sibuea, W.H., 1996. Kegunaan Apendikogram Barium per Oral dalam Menegakkan Diagnosis Apendisitis Akut. Available from:

Sastroasmoro, Sudigdo & Ismael, Sofyan, 2011. Dasar – Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 4. Jakarta: Sagung Seto


(56)

LAMPIRAN 1

DAF TAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Maria Jheny FP

Tempat / Tanggal Lahir : Bandung / 3 Januari 1992

Agama : Kristen Katolik

Alamat : Jalan Buana Sari Raya no 2, Bandung Riwayat Pendidikan :

1. Sekolah Dasar Santa Angela Bandung (1998-2004)

2. Sekolah Menengah Pertama Santa Angela Bandung (2004-2007) 3. Sekolah Menengah Atas Negeri 8 Bandung (2007-2010)

Riwayat Organisasi :

1. Anggota Departemen Infokom dan Eksternal PEMA FK USU tahun 2010 2. Anggota Seksi Administrasi dan Kesekretariatan Pekan Olahraga dan Seni

(PORSENI) FK USU tahun 2010


(57)

4. Anggota Seksi Dana Perayaan Natal FK USU tahun 2011 5. Bendahara Komisi Pemilihan Umum FK USU tahun 2012 6. Anggota Seksi Konsumsi Perayaan Paskah FK USU tahun 2012

7. Anggota Seksi Dana Pengabdian Masyarakat Mahasiswa Kristen tahun 2013


(58)

LAMPIRAN 2 DATA INDUK No No. Rekam Medis Jenis Kelamin Umur Pasien (thn) Keluhan

Utama Diagnosis Apendikogram

Diagnosis Pascaoperasi atau

Histopatologi

1 00511675 Perempuan 42 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 2 00497117 Laki-Laki 18 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 3 00503348 Perempuan 30 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 4 00495695 Laki-Laki 46 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 5 00529568 Perempuan 36 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 6 00525813 Laki-Laki 13 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 7 00471242 Perempuan 17 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 8 00471299 Perempuan 21 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 9 00465288 Perempuan 51 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 10 00464690 Laki-Laki 39 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 11 00486261 Laki-Laki 16 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 12 00481160 Perempuan 17 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 13 00535762 Laki-Laki 35 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 14 00537568 Perempuan 46 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 15 00535776 Perempuan 42

Nyeri Regio Abdomen dan

Pinggang


(59)

16 00534388 Laki-Laki 21 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 17

00532593 Perempuan 30

Nyeri Perut Kanan

Non Filling Apendix

Apendisitis Kronis 18 00533558 Laki-Laki 4 Tidak bisa BAB Filling Apendix Kolik Abdomen 19 00538500 Perempuan 11 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 20 00537204 Perempuan 15 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 21 00535615 Perempuan 55 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 22 00534343 Perempuan 51 Sakit Perut

Bawah Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 23 00534342 Perempuan 50 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 24 00474410 Perempuan 25 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 25 00463053 Laki-Laki 21 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 26 00460469 Laki-Laki 19 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 27 00460664 Perempuan 34 Nyeri Perut

Simpisis Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 28 00467538 Perempuan 16

Nyeri Perut Menjalar Ke

Punggung

Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 29 00463300 Laki-Laki 22 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 30 00463931 Perempuan 67 Nyeri Perut

Kanan Atas Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 31 00465346 Perempuan 45 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 32 00449692 Perempuan 23 Nyeri Perut

Kanan Partial Filling Apendix Apendisitis Kronis 33 00459355 Laki-Laki 91 Mencret Non Filling Apendix Apendisitis Kronis


(60)

34 00458071 Perempuan 32 Nyeri Perut

Kanan Atas Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 35 00487729 Perempuan 34 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 36 00531867 Perempuan 33 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 37 00531684 Laki-Laki 54 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 38 00469101 Perempuan 64 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 39 00469907 Perempuan 21 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 40 00520392 Perempuan 52 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 41 00524596 Laki-Laki 59 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 42 00525363 Perempuan 41 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 43 00525689 Perempuan 41 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 44 00510941 Laki-Laki 14 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 45 00510244 Laki-Laki 30 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 46 00516419 Perempuan 13 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 47 00510750 Perempuan 53 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 48 00511658 Perempuan 14 Nyeri RLQ Partial Filling Apendisitis Kronis 49 00502367 Perempuan 47 Nyeri Perut

Kanan Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 50 00504335 Laki-Laki 26 Nyeri Perut

Bawah Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 51 00509506 Laki-Laki 50 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 52 00508603 Perempuan 29 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 53 00505188 Perempuan 39 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 54 00505390 Perempuan 21 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis


(61)

55 00504954 Perempuan 53 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 56 00503345 Perempuan 30 BAB Berdarah Filling Apendix Apendisitis Kronis 57 00499944 Perempuan 48 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 58 00491743 Perempuan 42 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 59 00503064 Laki-Laki 14 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 60 00510818 Perempuan 14 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 61 00506664 Perempuan 18 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 62 00504969 Perempuan 27 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 63 00504956 Perempuan 13 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 64 00514830 Laki-Laki 26 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 65 00519156 Perempuan 44 Nyeri RLQ Filling Apendix Apendisitis Kronis 66 00495407 Perempuan 32 Nyeri RLQ Filling Apendix Apendisitis Kronis 67 00487624 Laki-Laki 37 Nyeri Perut Kiri

Bawah Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 68 00487017 Laki-Laki 14 Nyeri Perut

Kanan Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 69 00489303 Perempuan 12 Nyeri Perut

Kanan Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 70 00490725 Perempuan 34 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Kista Ovarium 71 00491740 Laki-Laki 30 Nyeri RLQ Filling Apendix Apendisitis Kronis 72 00486981 Perempuan 21 Benjolan di

Perut Kanan Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 73 00489790 Laki-Laki 38 Nyeri RLQ Partial Filling Apendix Apendisitis Kronis 74 00481512 Perempuan 43 Nyeri RLQ Filling Apendix Pelvic Inflamatory


(62)

75 00482911 Perempuan 14 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 76 00463172 Laki-Laki 29 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 77 00441873 Perempuan 43 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Batu Saluran Kemih 78 00540258 Perempuan 18 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 79 00509441 Laki-Laki 19 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 80 00491102 Perempuan 48 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 81 00465101 Laki-Laki 38 Nyeri Perut

Kanan Atas Filling Apendix Kolelitiasis 82 00481928 Laki-Laki 24 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 83 00476897 Perempuan 29 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 84 00510964 Laki-Laki 17 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 85 00529568 Perempuan 36 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 86 00498330 Perempuan 19 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 87 00490699 Perempuan 23 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Pelvic Mass 88 00487409 Perempuan 15 Nyeri Perut

Bawah Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 89 00475448 Perempuan 11 Nyeri Perut

Bawah Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 90 00463609 Perempuan 38 Benjolan di

Perut Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 91 00532928 Perempuan 33 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 92 00332138 Perempuan 34 Nyeri RLQ Filling Apendix Kista Endometriosis 93 00316629 Perempuan 43 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 94 00418268 Laki-Laki 47 Nyeri di Daerah


(63)

95 00422341 Perempuan 35 Nyeri Perut dan

Pinggang Non Filling Apendix Apendisitis Kronis

96 00264844 Perempuan 47 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Dyspepsia

97 00490360 Perempuan 60 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 98 00495179 Laki-Laki 14 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 99 00486584 Perempuan 33 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis 100 00469006 Perempuan 36 Nyeri Perut

Bawah Non Filling Apendix Infeksi Saluran Kemih 101 00300799 Laki-Laki 34 Nyeri RLQ Filling Apendix Apendisitis Kronis 102 00305899 Perempuan 52 Nyeri RLQ Non Filling Apendix Apendisitis Kronis


(64)

LAMPIRAN 3

OUTPUT DATA HASIL PENELITIAN a. Frekuensi Data Penelitian

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Laki -Laki 32 31.4 31.4 31.4

Perempuan 70 68.6 68.6 100.0

Total 102 100.0 100.0

Kelompok Umur

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid <10 tahun 1 1.0 1.0 1.0

11 - 20 tahun 26 25.5 25.5 26.5

21 - 30 tahun 22 21.6 21.6 48.0

31 - 40 tahun 21 20.6 20.6 68.6

41 - 50 tahun 19 18.6 18.6 87.3

51 - 60 tahun 10 9.8 9.8 97.1

61 - 70 tahun 2 2.0 2.0 99.0

>70 tahun 1 1.0 1.0 100.0


(65)

Diagnosis Apendikografi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Filling Apendix 9 8.8 8.8 8.8

Partial Filling Apendix 3 2.9 2.9 11.8

Non Filling Apendix 90 88.2 88.2 100.0

Total 102 100.0 100.0

Diagnosis Histopatologi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Apendisitis 93 91.2 91.2 91.2

Bukan Apendisitis 9 8.8 8.8 100.0

Total 102 100.0 100.0

apendikografi * hasilPA Crosstabulation pasien perempuan

hasilPA

Total apendisitis

bukan apendisitis

apendikografi apendisitis Count 61 4 65

% within apendikografi

93.8% 6.2% 100.0%

bukan apendisitis Count 3 2 5

% within apendikografi

60.0% 40.0% 100.0%

Total Count 64 6 70

% within apendikografi


(66)

apendikografi * hasilPA Crosstabulation pasien laki-laki

hasilPA

Total apendisitis

bukan apendisitis

apendikografi apendisitis Count 28 0 28

% within apendikografi 100.0% .0% 100.0%

bukan apendisitis

Count 3 1 4

% within apendikografi 75.0% 25.0% 100.0%

Total Count 31 1 32

% within apendikografi 96.9% 3.1% 100.0%

Keluhan Utama Pasien Apendisitis

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Nyeri RLQ 72 77.4 77.4 77.4

Nyeri Regio Abdomen dan Pinggang

3 3.2 3.2 80.6

Nyeri Perut Kanan 5 5.4 5.4 86.0

Nyeri RUQ 2 2.2 2.2 88.2

Nyeri Perut Bawah 5 5.4 5.4 93.5

BAB darah 1 1.1 1.1 94.6

Nyeri LLQ 1 1.1 1.1 95.7

Benjolan di Perut Kanan 2 2.2 2.2 97.8

Nyeri di daerah inguinal 1 1.1 1.1 98.9

Mencret 1 1.1 1.1 100.0


(1)

Diagnosis Apendikografi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Filling Apendix 9 8.8 8.8 8.8

Partial Filling Apendix 3 2.9 2.9 11.8

Non Filling Apendix 90 88.2 88.2 100.0

Total 102 100.0 100.0

Diagnosis Histopatologi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Apendisitis 93 91.2 91.2 91.2

Bukan Apendisitis 9 8.8 8.8 100.0

Total 102 100.0 100.0

apendikografi * hasilPA Crosstabulation pasien perempuan

hasilPA

Total apendisitis

bukan apendisitis

apendikografi apendisitis Count 61 4 65

% within apendikografi

93.8% 6.2% 100.0%

bukan apendisitis Count 3 2 5

% within apendikografi

60.0% 40.0% 100.0%

Total Count 64 6 70

% within apendikografi


(2)

apendikografi * hasilPA Crosstabulation pasien laki-laki hasilPA Total apendisitis bukan apendisitis

apendikografi apendisitis Count 28 0 28

% within apendikografi 100.0% .0% 100.0% bukan

apendisitis

Count 3 1 4

% within apendikografi 75.0% 25.0% 100.0%

Total Count 31 1 32

% within apendikografi 96.9% 3.1% 100.0%

Keluhan Utama Pasien Apendisitis

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Nyeri RLQ 72 77.4 77.4 77.4

Nyeri Regio Abdomen dan Pinggang

3 3.2 3.2 80.6

Nyeri Perut Kanan 5 5.4 5.4 86.0

Nyeri RUQ 2 2.2 2.2 88.2

Nyeri Perut Bawah 5 5.4 5.4 93.5

BAB darah 1 1.1 1.1 94.6

Nyeri LLQ 1 1.1 1.1 95.7

Benjolan di Perut Kanan 2 2.2 2.2 97.8

Nyeri di daerah inguinal 1 1.1 1.1 98.9

Mencret 1 1.1 1.1 100.0


(3)

b.

Crosstab Data Penelitian

DiagApen1 * DiagAkhir1 Crosstabulation DiagAkhir1

Total Apendisitis

Bukan Apendisitis DiagApen1 Bukan

Apendisitis

Count 5 4 9

% within DiagApen1 55.6% 44.4% 100.0%

Apendisitis Count 88 5 93

% within DiagApen1 94.6% 5.4% 100.0%

Total Count 93 9 102

% within DiagApen1 91.2% 8.8% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 15.568a 1 .000

Continuity Correctionb 11.091 1 .001

Likelihood Ratio 9.558 1 .002

Fisher's Exact Test .003 .003

Linear-by-Linear Association 15.416 1 .000

N of Valid Cases 102

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,79. b. Computed only for a 2x2 table


(4)

(5)

(6)