Pembahasan Validitas Apendikografi dalam Menegakkan Diagnosis Apendisitis di RSUP H. Adam Malik Medan Periode 2011 – 2012

Tabel 5.8 Sensitivitas, Spesifisitas, Nilai Prediksi Positif, dan Nilai Prediksi Negatif Pemeriksaan Apendikografi Hasil Perhitungan: 1. Sensitivitas : � �+� = 88 93 = 95 2. Spesifisitas : � �+� = 4 9 = 44 3. Nilai Prediksi + : � �+� = 88 93 = 95 4. Nilai Prediksi - : � �+� = 4 9 = 44 Berdasarkan tabel 5.7, didapati bahwa sensitivitas pemeriksaan apendikografi adalah 95 CI95: 90 sampai 99, spesifisitas pemeriksaan apendikografi adalah 44 CI95: 12 sampai 77, nilai prediksi positif pemeriksaan apendikografi adalah 95 CI95: 90 sampai 99, dan nilai prediksi negatif pemeriksaan apendikografi adalah 44 CI95: 12 sampai 77.

5.2 Pembahasan

Dari hasil penelitian, didapati bahwa pasien perempuan lebih banyak menjalani pemeriksaan apendikografi untuk sangkaan apendisitis dibandingkan dengan pasien laki – laki. Pasien perempuan yang menjalani apendikografi ada sebanyak 70 orang 68.6 sedangkan pasien laki – laki lebih sedikit, hanya sebanyak 32 orang 31.4, dengan perbandingan perempuan dan laki-laki 2 : 1. Menurut Riwanto, et al., 2010, insidens apendisitis pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding. Hal ini bertentangan dengan penelitian di Variabel Diagnosis Pascaoperasi atau Histopatologi Jumlah Apendisitis Bukan Apendisitis Hasil Apendiko- grafi Apendisitis 88 a 5 b 93 Bukan Apendisitis 5 c 4 d 9 Jumlah 93 9 102 Universitas Sumatera Utara Amerika Serikat yang mengatakan rasio terjadinya apendisitis pada perempuan dan laki-laki adalah sekitar 1 : 2 Minkes, 2011 sedangkan penelitian di Departemen PA FKUI tahun 2003 – 2007 menunjukkan lebih banyak penderita apendisitis adalah perempuan daripada laki-laki Eylin, 2009. Penyebab perbedaan frekuensi antara laki – laki dan perempuan dari berbagai penelitian belum diketahui secara pasti. Namun, lebih tingginya pasien perempuan yang menjalani pemeriksaan apendikografi untuk sangkaan apendisitis pada penelitian ini mungkin berkaitan dengan pada perempuan, terutama yang masih muda, sering timbul gangguan yang menyerupai apendisitis, keluhan tersebut bisa berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, ataupun penyakit ginekologi lain Riwanto, 2010. Hal itu membuat lebih banyak perempuan yang membutuhkan diagnosis penunjang seperti apendikografi untuk menegakkan diagnosis dari gejala yang dikeluhkannya. Dari hasil penelitian, didapati bahwa pasien usia 11-20 tahun paling banyak menjalani pemeriksaan apendikografi untuk sangkaan apendisitis, diikuti dengan pasien pada usia 21-30 tahun. Pasien usia 11-20 tahun yang menjalani pemeriksaan apendikografi sebanyak 26 orang 25.5 diikuti dengan pasien usian 21-30 tahun yang tidak berbeda terlalu jauh yaitu sebanyak 22 orang 21.6. Kejadian apendisitis meningkat dengan bertambahnya umur, memuncak pada usia remaja dan jarang terjadi pada anak kurang dari usia 1 tahun Hartman, 2000. Sementara itu, Riwanto, et al., 2010 mengatakan bahwa apendisitis dapat ditemukan pada semua umur namun insidens tertinggi terjadi pada kelompok umur 20-30 tahun. Kedua pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian. Kelompok usia 11-20 tahun dan 21-30 tahun paling banyak menjalani pemeriksaan apendikografi untuk sangkaan apendisitis, karena pada kelompok usia tersebut insidens apendisitis paling tinggi. Hal ini mungkin berkaitan dengan kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis yang sering terjadi pada dekade ini Riwanto et al., 2010. Kemungkinan lain adalah hiperplasia folikel limfoid sebagai salah satu etiologi dari apendisitis. Hiperplasia kelenjar limfoid sering terjadi pada usia anak diatas Universitas Sumatera Utara 10 tahun dan pada dewasa muda yang dipicu oleh berbagai infeksi virus, seperti infeksi saluran nafas atas, mononucleosis dan gastroenteritis sehingga kejadian apendisitis pun lebih mungkin sering terjadi pada usia ini D. Mike Hardin, 1999. Dari 93 pasien dengan diagnosis pascaoperasi atau histopatologi apendisitis, keluhan utama tersering yang didapat dari penelitian ini adalah nyeri abdomen kuadran kanan bawah sebanyak 72 orang 77.4 dan 21 orang 22.6 sisanya memiliki keluhan utama lain yang cukup beragam walaupun dengan dengan persentase yang rendah, seperti nyeri abdomen kanan sebanyak 5 orang 5.4, nyeri abdomen bawah sebanyak 5 orang 5.4, dan lainnya. Menurut penelitian yang dilakukan Adelia 2012 di Bandung, keluhan tersering pada pasien apendisitis adalah nyeri pada kuadran kanan bawah. Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian ini yang juga menunjukkan bahwa keluhan tersering pasien apendisitis adalah nyeri pada kuadran kanan bawah. Hal ini disebabkan oleh lokasi apendiks yang bila diproyeksikan pada dinding abdomen akan terletak pada kuadran kanan bawah. Beragamnya keluhan utama pada 21 pasien apendisitis pada penelitian ini mungkin berkaitan dengan variasi posisi apendiks, usia pasien, tingkat peradangan, serta tumpang tindih dengan penyebab lain dari nyeri abdomen membuat presentasi klinis apendisitis tidak konsisten Bhasin et al., 2007, sehingga dibutuhkan suatu pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis apendisitis karena tanda – tanda klasik seperti nyeri pada kuadran kanan bawah tidak selalu hadir. Dari 102 pasien yang menjalani apendikografi di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2011 – 2012, didapati hasil positif 88 kasus, positif semu lima kasus, negatif semu lima kasus, dan negatif benar empat kasus. Dilakukan uji kemaknaan dengan analisis chi-square, didapati bahwa ada hubungan yang bermakna antara hasil pemeriksaan apendikografi dengan hasil diagnosis pascaoperasi atau histopatologi dengan p = 0.003 p0.05. Hal ini menandakan ada hubungan yang signifikan antara hasil uji positif apendikografi dengan kejadian apendisitis. Pada penelitian ini didapati sensitivitas apendikografi sebesar 95, spesifisitas apendikografi sebesar 44, nilai prediktif positif apendikografi Universitas Sumatera Utara sebesar 95, dan nilai prediktif negatif apendikografi sebesar 44. Hal ini menunjukkan bahwa apendikografi memiliki sensitivitas yang tinggi namun spesifisitasnya rendah, berarti apendikografi dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis apendisitis namun tidak untuk menyingkirkan diagnosis apendisitis. Apendikografi telah dilaporkan memiliki sensitivitas 92,5, hal ini menyimpulkan bahwa apendikografi sangat berguna dalam mendiagnosis apendisitis Sibuea, 1996. Menurut Hasya 2011, apendikografi memiliki nilai sensitivitas sebesar 97,8 dan spesifisitas sebesar 50. Penelitian lain yang dilakukan di Yogyakarta juga mengungkapkan bahwa apendikografi memiliki sensitivitas 100 dengan spesifisitas hanya 8.3. Adanya perbedaan angka sensitivitas dan spesifisitas dari pemeriksaan apendikografi dalam penegakkan apendisitis mungkin disebabkan karena validitas pada uji diagnostik sangat dipengaruhi pengamat, subjek, dan instrumen. Namun dari penelitian – penelitian diatas didapat bahwa apendikografi mempunyai sensitivitas dan akurasi yang tinggi dalam membantu menegakkan diagnosis apendisitis. Sementara itu menurut Haga 2002 dalam Monita 2009 mengatakan nonfilling apendiks pada interpretasi apendikografi merupakan tanda yang nonspesifik karena apendiks yang tidak terisi kontras dapat terjadi pada 10 – 20 orang normal, selain itu tingginya hasil nondiagnostik, eksposi radiasi, dan sensitivitas yang tidak tinggi membuat apendikografi tidak digunakan sebagai modalitas utama dalam menegakkan kasus apendisitis di era sonografi dan CT- Scan. Sebuah penelitian di Korea yang membandingkan keakuratan berbagai metode diagnosis untuk menegakkan diagnosis apendisitis menyatakan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, dan nilai prediksi negatif untuk ultrasonografi sebesar 99.1, 91.7, 96.5, dan 97.7, untuk computed tomography CT-Scan sebesar 96.4, 95.4, 95.6 dan 96.3. Ultrasonografi atau computed tomography karena nilai akurasinya yang tinggi harus digunakan secara rutin untuk menegakkan diagnosis apendisitis JS, et al., 2013. Pemakaian ultrasonografi dalam menegakkan diagnosis apendisitis sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ultrasonologist yang kurang Universitas Sumatera Utara berpengalaman, bekerja dengan teknik dan atau peralatan lemah, tidak akan menghasilkan hasil yang sempurna dan menurunkan nilai keakuratan, sementara pemakaian CT-Scan untuk menegakkan diagnosis apendisitis jarang dilakukan karena biayanya yang mahal. Walaupun ultrasonografi dan CT-Scan memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan apendikografi, namun apendikografi masih bermanfaat dalam mendiagnosis apendisitis karena merupakan pemeriksaan yang sederhana, murah, dan dapat memperlihatkan visualisasi dari apendiks dengan derajat akurasi yang tinggi Sibuea, 1996. Universitas Sumatera Utara

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan