Pendugaan biomassa tegakan jati menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 M dan 50 M dengan peubah backscatter, umur, dan tinggi pohon (Kasus KPH Kebonharjo PERUM PERHUTANI UNIT I Jawa Tengah

(1)

1.1 Latar Belakang

Pemanasan global merupakan salah satu isu lingkungan yang penting dan menjadi perhatian berbagai pihak saat ini. Menurut Departemen Kehutanan (2007) penyebab pemanasan global adalah efek gas rumah kaca. Efek gas rumah kaca yaitu energi yang diterima dari sinar matahari yang diserap sebagai radiasi gelombang pendek dan dikembalikan ke angkasa sebagai radiasi inframerah gelombang panjang, gasIgas rumah kaca menyerap radiasi inframerah, dan terperangkap di atmosfer dalam bentuk energi panas. Peristiwa ini lebih dikenal dengan sebutan efek rumah kaca (ERK), di mana panas yang masuk akan terperangkap di dalam atmosfer dan tidak dapat menembus ke luar, sehingga membuat kondisi suhu bumi menjadi lebih panas.

Karbondioksida (CO2) merupakan salah satu gas rumah kaca yang paling

berperan sebagai perangkap panas di atmosfer sehingga menyebabkan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Karbondioksida yang diserap oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomassa tumbuhan. Biomassa tumbuhan merupakan ukuran yang paling sering digunakan untuk menggambarkan dan mempelajari pertumbuhan tanaman. Biomassa adalah jumlah bahan organik yang diproduksi oleh organisme (tumbuhan) persatuan unit areal pada suatu waktu. Menurut Whitten (1984) biomassa hutan adalah jumlah total bobot kering semua bagian tumbuhan hidup, baik untuk seluruh maupun untuk sebagian tubuh organisme yang dinyatakan dalam berat kering per satuan luas (ton/ha).

Informasi mengenai biomassa dapat diperoleh dengan cara konvensional, akan tetapi cara ini membutuhkan waktu lama, biaya besar dan belum mampu mengimbangi permintaan informasi yang cepat dan akurat apabila dalam skala yang lebih luas. Sejalan dengan perkembangan teknologi penginderaan jauh ( ) satelit yang ada cukup memadai untuk memantau kondisi terkini tentang sumber daya alam, diantaranya ialah dengan menggunakan Citra Satelit ALOS PALSAR.

Pada tahun 2006, pemerintah Jepang meluncurkan satelit ALOS yang membawa sensor radar. Salah satu jenis sensornya yaitu PALSAR. Sensor yang


(2)

merupakan pengembangan dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya JERSI1 ini merupakan salah satu sensor yang dapat digunakan untuk menduga biomassa suatu tegakan. Teknologi penginderaan jauh merupakan teknologi yang dapat dikembangkan dari waktu ke waktu dalam mempermudah pendugaan biomassa, walaupun demikian keberadaan teknologi ini tidak dapat berdiri sendiri (Brown . 1997).

Selain variabel citra berupa tentunya variabel lapangan juga memiliki hubungan langsung yang erat dengan biomassa, diantaranya ialah umur dan tinggi pohon. Umur dan tinggi pohon merupakan salah satu parameter yang mudah diperoleh di lapangan. Pada keadaan normal seiring bertambahnya umur pohon maka tinggi pohon juga akan bertambah diiringi dengan bertambahnya kandungan biomassa pada pohon tersebut. Studi yang telah dilakukan oleh (Riska 2011) menemukan bahwa biomassa dan memiliki hubungan yang cukup baik pada SAR namun untuk memaksimalkan hasil dugaan biomassa maka selain dapat digunakan variabel lapangan berupa umur dan tinggi pohon.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini yaitu :

1. Memperbaiki dan meningkatkan akurasi dari model pendugaan biomassa berdasarkan dengan menambahkan variabel umur dan tinggi pohon.

2. Memperbaiki dan meningkatkan ketelitian pada pemetaan biomassa berdasarkan dengan menambahkan variabel umur pohon.

1.3 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini ialah memberikan informasi yang lebih akurat mengenai potensi biomassa yang terdapat di KPH Kebonharjo Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Selain itu juga dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam melakukan estimasi jumlah karbon yang berguna dalam kegiatan perdagangan karbon.


(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis (SIG)

SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objekI objek serta fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang paling penting atau kritis untuk dianalisis. Sehingga SIG dapat diartikan sistem komputer yang memilki empat kemampuan untuk menangani data dengan referensi geografis, yaitu pemasukan data, pengelolaan atau manajemen data (menyimpan atau mengaktifkan kembali), analisis dan manipulasi data serta keluaran data.

Prahasta (2009) menyatakan bahwa SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografis. Sistem ini diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak (program) yang berfungsi, yaitu : (1) akuisi dan verifikasi data, (2) kompilasi data, (3) Penyimpanan data, (4) perubahan dan updating data, (5) manajemen data dan pertukaran data, (6) manipulasi data, (7) pemanggilan dan presentasi, serta (8) analisis data. Sedangkan menurut Widjodjo (1993) SIG dapat didefinisikan sebagai perangkat lunak untuk penimpanan, pemanggilan kembali, transformasi dan display data keruangan permukaan bumi yang terdiri dari:

1. Spasial, yaitu data yang berkaitan dengan koordinat geografis (lintang, bujur, dan ketinggian)

2. Atribut, yaitu data yang tidak berkaitan dengan posisi geografis 3. Hubungan antara data spasial, atribut, dan waktu.

Menurut Jaya (2002), pada bidang kehutanan SIG sangat diperlukan guna mendukung pengambilan keputusan untuk memecahkan masalah keruangan ( ) mulai dari tahap perencanaan, pengelolaan sampai dengan pengawasan. SIG sangat membantu memecahkan permasalahan yang menyangkut luasan ( ), batas ( atau ) dan lokasi ( ). Terdapat beberapa data spasial (peta) yang sering digunakan dalam bidang kehutanan, antara lain peta rencana tata ruang, peta rencana tata guna hutan, peta rupa bumi (kontur), peta jaringan jalan, peta jaringan sungai, peta batas unit pengelolaan hutan, peta potensi sumberdaya hutan, peta iklim, peta tanah, dan peta sebaran biomassa hutan.


(4)

2.2 ( ) RADAR

Radar menurut Lillesand and Kiefer (1990) merupakan suatu cara yang menggunakan gelombang radio untuk mendeteksi adanya objek dan menentukan letak posisinya, prosesnya meliputi transmisi ledakan pendek atau pulsa tenaga gelombang mikro ke arah yang diinginkan dan merekam kekuatanya dari asal gema ( # ), atau pantulan yang diterima dari objek dalam sistem medan pandang.

Antena pada radar mentransmisi dan menerima gelombang (pulsa) pada panjang gelombang dan polarisasi tertentu. Energi gelombang radar menyebar ke seluruh bagian permukaan bumi, dengan sebagian energi yang dikenal sebagai atau hamburan balik. Panjang antena radar menentukan resolusi pada citra searah azimuth. Semakin panjang antena semakin baik resolusi yang di hasilkan.

# (SAR) menunjuk pada sebuah teknik yang

digunakan untuk mensintetis antena yang sangat panjang dengan mengombinasikan sinyal yang diterima Radar yang bergerak pada jalur terbangnya. berarti pembukaan yang terjadi dalam proses penyerapan refleksi energi yang digunakan dalam pembuatan gambar. Sebuah

sintetis dibangun oleh pergerakan antena pada berbagai posisi di sepanjang jalur penerbangan. Pada Radar, antena dipasang dibagian bawah pesawat dan diarahkan

kesamping, sistem ini dikenal sebagai $ % $ & SAR

merupakan teknik yang digunakan untuk menghasilkan Radar Image, dan menyediakan kemampuan yang unik sebagai alat pencitraan. SAR dapat menghasilkan penerangan sendiri (pulsa radar) tidak bergantung pada penerangan matahari dan dapat menembus awan maupun debu karena panjang gelombang radar lebih besar dari sinar tampak maupun infra merah.

Polarisasi adalah arah rambat dari gelombang mikro aktif yang dipancarkan dan ditangkap oleh sensor radar. Sinyal radar dapat ditransmisikan dan diterima dalam bentuk polarisasi yang berbeda. Sinyal dapat disaring sedemikian rupa sehingga gelombang elektrik dibatasi hanya pada satu bidang datar yang tegak lurus arah perjalanan gelombang. Satu sinyal radar dapat ditransmisikan pada


(5)

bidang datar (H) ataupun tegak lurus (V). Sinyal tersebut dapat pula di terima pada bidang datar (H) ataupun tegak lurus (V).

Terdapat empat kemungkinan kombinasi sinyalIsinyal transmisi dan penerimaan yang berbeda, yaitu HH, HV, VH dan VV. Semua itu dapat terjadi karena berbagai objek mengubah polarisasi tenaga yang mereka pantulkan dalam berbagai tingkatan, maka bentuk polarisasi sinyal mempengaruhi kenampakan objek pada citra yang dihasilkan (Lillesand dan Kiefer 1990). Selain itu terdapat pula faktor utama yang mempengaruhi sifat khas transmisi sinyal sistem radar yaitu panjang gelombang. Makin rendah panjang gelombang maka semakin rendah daya tembusnya. Sebaliknya, semakin tinggi panjang gelombang maka semakin tinggi pula daya tembusnya. Kisaran panjang gelombang yang ada untuk radar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kisaran panjang gelombang (λ) pada saluran/band radar

Saluran/Band Panjang Gelombang (λ) (mm)

Frekuensi (f) (MHz)

Ka 7,5 – 11 40.000 – 26.500

K 11 – 16,7 26.500 – 18.000

K4 16,7 – 24 18.000 – 12.500

X 24 – 37,5 12.500 – 8000

C 37,5 – 75 8000 – 4000

S 75 – 150 4000 – 2000

L 150 – 300 2000 – 1000

P 300 – 1000 1000 – 300

Sumber: Lillesand dan Kiefer 1990

Radar merupakan metode penginderaan jauh gelombang mikro aktif yang meliputi pencitraan pulsa energi gelombang mikro dari sensor ke target dan kemudian mengukur pancaran pulsa balik atau sinyal pantulan ( ). Faktor yang mempengaruhi besaran dapat di kelompokan ke dalam kedua kelompok besar, yaitu sistem sensor dan target objeknya. Dalam sistem sensor terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi besaran backscatter, yaitu :


(6)

1. Panjang gelombang microwave yang digunakan (band X,C,S,L dan P) 2. Polarisasi (HH,HV,VV,VH)

3. Sudut pandang dan orientasi, 4. Resolusinya

Sedangkan faktor yang mempengaruhi backscatter dalam yang berasal dari sistem target, yaitu :

1. Kekasaran, ukuran dan orientasi objek termasuk di dalamnya biomassa 2. Konstanta dielektrik (antara lain dapat berupa kelembaban dan

kandungan air)

3. Sudut kemiringan atau slope dan orientasinya (sudut pandang lokal/local incident angle). (JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2011)

Gelombang radar yang lebih panjang menghasilkan nilai yang tinggi pada penetrasi batang, percabangan, permukaan tanah dan tajuk. Sedangkan gelombang yang lebih pendek menghasilkan nilai yang tinggi hanya pada tajuk saja. Kemampuan gelombang panjang untuk mempenetrasikan kanopi hutan dengan lebih baik menjadi dasar kemampuan dari sistem SAR untuk secara langsung mengestimasi kuantiti dari struktur tegakan. Dalam hal ini yang berkaitan dengan biomassa dimana sebagian besar biomassa berada pada batang dan percabangan (rantingIranting besar). Banyak studi yang telah dilakukan dan menemukan hubungan yang kuat antara biomassa dan hamburan balik pada SAR (Mitchard 2009)

2.3 ALOS PALSAR

ALOS adalah satelit milik Jepang yang diluncurkan pada tahun 2006 Menggunakan roket HIII dan didesain untuk dapat beroperasi selama 3I5 tahun. Satelit ALOS merupakan generasi lanjutan dari JERSI1 ( # ' #

(1) dan ADEOS (# # ) yang

dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. Pertama teknologi yang mampu mengerjakan data dalam kapasitas yang sangat besar dengan kecepatan tinggi, dan selanjutnya kapasitas untuk menentukan posisi satelit dengan ketinggian yang lebih tepat (JAXA 2006).


(7)

Tabel 2 Karakteristik satelit ALOS

Data Keterangan

Alat Peluncuran Roket HIIIA

Tempat Peluncuran Pusat Ruang Angkasa Tanagashima

Berat Satelit 4000 Kg

Power 7000 W

Waktu Operasional 3I5 Tahun

Orbit SunISynchronous SubIRecurr Orbit

Recurrent Period: 46 Hari Sub Cycle 2 hari Tinggi Lintasan: 692 km diatas Ekuator Inklinasi: 98,2°

Sumber: JAXA 2006

PALSAR merupakan sensor gelombang mikro aktif menggunakan frekuensi LIband. Sensor ini memberikan kinerja yang lebih tinggi daripada sensor SAR

( # ) pada satelit JERSI1. Hal ini memungkinkan

instrumen PALSAR untuk melakukan pengamatan yang bebas dari tutupan awan pada siang atau malam hari.

Sinyal radar dapat ditransmisikan dan diterima dalam bentuk polarisasi yang berbeda. Polarisasi merupakan arah rambat dari gelombang mikro aktif yang dipancarkan dan ditangkap oleh sensor radar. Sensor PALSAR memiliki 4 jenis polarisasi yaitu HH, HV, VH, dan VV.

2.4 Biomassa

Biomassa hutan adalah jumlah total bobot kering semua bagian tumbuhan hidup, baik seluruh atau sebagian tubuh organisme, produksi atau komunitas dan dinyatakan dalam berat kering per satuan luas (ton/ha). Menurut Brown (1997) biomassa merupakan jumlah total dari bahan organik hidup yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area. Menurut Chapman (1976) biomassa adalah berat organik suatu organisme per satuan unit area pada suatu saat, berat bahan organik umumnya dinyatakan dengan satuan berat kering ( ) #) atau kadangIkadang dalam berat kering bebas abu ( # ) #).


(8)

Biomassa dapat dibedakan ke dalam dua kategori yaitu, biomassa tumbuhan atas permukaan tanah ( ) dan biomassa bawah permukaan tanah ( ) ). Lebih jauh dikatakan biomassa atas permukaan tanah adalah berat bahan unsur organik per unit luas pada waktu tertentu yang dihubungkan ke dalam suatu fungsi sistem produksi, umur tegakan hutan dan distribusi organik (Kusuma 1993).

Faktor yang mempengaruhi laju peningkatan karbon biomassa pohon diantaranya ialah suhu dan curah hujan (Kusuma 1993). Selain itu juga yang mempengaruhi besarnya biomassa yang dihasilkan adalah umur dan kerapatan tegakan, komposisi dan struktur tegakan, serta kualitas tempat tumbuh (Satoo dan Madgwick 1982). Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan (Lugo dan Snedaker 1974).

Pengukuran biomassa pada dasarnya mengacu pada empat teknik pengukuran, yaitu : (1) teknik pemetaan pemanenan atau teknik sampling destruktif (2) teknik sampling tanpa pemanenan atau teknik nonIdestruktif (3) pengukuran berdasarkan data remote sensing yang dihasilkan oleh sistem airborne/spaceborne, dan (4) estimasi menggunakan model. Menurut IPCC (2006), terdapat dua pendekatan dalam mengestimasi nilai kandungan biomassa yaitu, pendugaan langsung melalui persamaan alometrik pada sample plot dan pendekatan tidak langsung melalui penggunaan nilai *

(BEF). Metode ini termasuk metode non destruktif sampling karena tidak memerlukan pemanenan pohon contoh dalam pendugaan biomassanya.

Pendugaan biomassa juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh. Data yang digunakan adalah data biomassa yang diukur di lapangan dan kemudian menghubungkan data tersebut dengan data nilai citra. Dengan menganalisis hubungan tersebut, akan diperoleh persamaan yang bisa digunakan untuk menduga potensi biomassa melalui peta citra. Metode ini memiliki akurasi data yang cukup baik, di samping itu waktu dan biaya yang dibutuhkan juga relatif tidak mahal (Bergen and Doubson 1999).

Penelitian mengenai pendugaan nilai biomassa dengan memanfaatkan teknologi pengindraan jauh telah banyak dilakukan diantaranya ialah Rauste ,


(9)

(2007) melakukan penelitian mengenai pemprosesan dan analisis data citra ALOS PALSAR didaerah Heinavesi, Finlandia. Pada penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa polarisasi silang (HV) dari LIband SAR memiliki korelasi yang lebih baik dengan biomassa hutan dibandingkan dengan polarisasi searah (HH) dengan nilai saturasi sekitar 150 m3/ha.

Hasil penelitian Woisiri (2011) menyatakan bahwa pada hutan tanaman grandis peubah tinggi pohon,volume, dan biomassa menyebabkan variasi pada nilai . Hasil penelitian Syarif (2011) dengan menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m pada tgekan jati di KPH Kebonharjo menyimpulkan bahwa hubungan antara HH dengan biomassa tidak terlalu erat, hal tersebut ditunjukan oleh nilai koefisien determinasi terkoreksi yang rendah dan error yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan hubungan antara biomassa dengan HV. Penelitian yang dilakukan oleh Riska (2011) dengan menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m menyimpulkan bahwa pendugaan biomassa pinus pada kawasan hutan KPH Banyumas Barat dapat dilakukan dengan menggunakan metode alometrik yang menggunakan dua variabel polarisasi HH dan HV. Hasil yang didapatkan dari penelitian tersebut menunjukan adanya hubungan yang cukup baik antara nilai dengan kandungan biomassa.

# ) + (MIMICS) memberikan

pemahaman terhadap hamburan balik ( ) radar pada vegetasi. Beberapa bentuk hamburan yang dapat dikalkulasi adalah hamburan pada permukaan dan volume tajuk, hamburan langsung pada permukaan tanah, hamburan langsung pada batang, hamburan dari permukaan tanah ke batang, dan hamburan dari permukaan tanah ke tajuk.

Hamburan balik yang kuat dari vegetasi akan dihasilkan oleh tipe vegetasi rapat. Sistem radar LIband bekerja pada gelombang maksimum untuk citra radar yang tersedia. LIband memiliki kemampuan besar untuk menembus daunIdaunan hingga ke pokok batang yang paling bawah.


(10)

2.5 Jati ( Linn.F)

Tanaman jati diklasifikasikan ke dalam famili Verbenaceae, genus Tectona, dengan nama species terbanyak di Indonesia adalah " Linn.F, dimana jenis ini merupakan jenis terbaik dibandingkan dengan jenis Jati lainnya. Sejak abad ke 9 tanaman jati yang merupakan tanaman tropika dan subtropika telah dikenal sebagai pohon yang memiliki kayu kualitas tinggi dan bernilai jual tinggi. Tanaman jati yang tumbuh di Indonesia berasal dari India. Secara historis, nama berasal dari bahasa Portugis ( ) yang berarti tumbuhan yang memiliki kualitas tinggi. Di negara asalnya, tanaman jati dikenal dengan banyak nama daerah, seperti # (, (di wilayah Asam); - (Bengali);

(Bombay) (Sumarna 2001).

Tempat tumbuh yang optimal 0I700 m dari permukaan laut. Di Indonesia, memang masih dijumpai jati pada ketinggian 1300 mdpl namun dengan pertumbuhannya menjadi kurang optimal. Selain itu untuk tumbuh dengan optimal jati memerlukan daerah dengan musim kering yang nyata (meski bukan syarat mutlak), memiliki curah hujan 1200I3000 mm/tahun, intensitas cahaya cukup tinggi, 75I100% dan suhu berkisar 22°CI31°C (Mahfudz 2005). Ditinjau dari sifat fisiknya, kayu jati mempunyai berat jenis 0,62I0,75. Dan memiliki kelas kuat II dengan penyusutan hingga kering tanur 2,8% sampai 5,3% (Sumarna 2001).

Jati memiliki wilayah persebaran yang cukup luas, meliputi sebagian besar India, Myanmar, Laos, Kamboja, bagian Barat Thailand dan IndoIChina. Di Indonesia, jati terdapat di sebagian Pulau Jawa dan beberapa kepulauan kecil seperti di Muna, Kangean, Sumba dan Bali. Tanaman jati ini khususnya yang tumbuh di Jawa dapat tumbuh terutama pada daerahIdaerah panas dengan tanah yang rendah dan berbukitIbukit, sifatnya agak kurus dan kurang air, yang terdiri dari formasi tua kapur dan margalit (Fahutan UGM 1976). Hutan jati yang sebagian besar berada di Pulau Jawa dikelola oleh Perum Perhutani. Dimana luas daerah pengelolaannya mencapai 2,6 juta ha yang terdiri dari 54 KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan). Produksi hutan jati yang dikelola oleh Perhutani rataIrata 800.000 m3/tahun, dimana sebagian besar produksi hutan jati dijual dalam bentuk log.


(11)

Pada penelitian ini digunakan beberapa parameter tegakan jati diantaranya ialah tinggi pohon dan umur pohon untuk membantu dalam pendugaan biomassa atas permukaan. Tinggi pohon adalah salah satu dimensi yang di gunakan untuk mengetahui nilai volume pohon. Tinggi pohon pada tegakan seumur juga merupakan parameter yang penting dalam pemilihan pohon benih dan kunci untuk menentukan perlakuan penjarangan. Peninggi yang didefinisikan sebagai rata rata 100 pohon tertinggi yang tersebar merata dalam areal 1 hektar, dikaitkan dengan umur tegakan jati merupakan komponen informasi yang diperlukan untuk menentukan indeks tempat tumbuh atau kualitas tempat tumbuh. Parameter umur pohon digunakan perhutani untuk membagi wilayahnya pengelolaanya kedalam beberapa kelas umur. Selain itu umur pohon juga bermanfaat untuk menentukan waktu penjarangan dan penebangan. Pada hutan jati seumur, penjarangan dilakukan setiap 3I5 tahun sampai pohon berumur 15 tahun. Setelah berumur lebih dari 15 tahun, penjarangan dilakukan setiap 5I10 tahun. Agar dapat memberikan penghasilan yang maksimal sebaiknya pohon jati ditebang jika telah cukup dewasa untuk menghasilkan kayu berkualitas baik, minimal pohon telah berumur sekitar 15I20 tahun (CIFOR 2010).

Saat ini apresiasi masyarakat terhadap kayu jati semakin tinggi. Pemanfaatan yang dilakukan lebih terfokus pada penggunaan jati untuk nilai estetika (keindahan). Hal tersebut terjadi karena penampilan kayu jati yang menarik sari segi warna kayu teras dan kayu gubalnya yang bervariasi, dari cokelat muda, cokelat kelabu, sampai cokelat merah tua atau merah cokelat. KadangIkadang diselingi warna putih kekuningan dengan lingkaran tumbuh tampak jelas, baik pada bidang transversal maupun radial, sehingga menimbulkan ornament yang indah. Sehingga penggunaannya lebih banyak diarahkan untuk keperluan pembuatan bahan mebel atau dan bahan baku pembuatan kerajinan (# ). Namun ada pula yang digunakan untuk keperluan bahan bangunan dan industri (Tini & Amri 2002).


(12)

BAB III

METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di KPH Kebonharjo Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah. Meliputi Bagian Hutan (BH) Tuder dan Balo, pada Kelas Perusahaan Jati. Penelitian dilakukan dengan mengolah data sekunder pada bulan Agustus 2011 sampai dengan Januari 2012 di Laboratorium Remote Sensing dan GIS Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Data lapangan diambil pada bulan November 2010 sampai dengan Maret 2011.

3.2 Alat dan Bahan

AlatIalat yang digunakan pada penelitian ini adalah seperangkat komputer

dengan aplikasi pengolahan data yaitu - . - / ) 0.

/ 1 2- 0. 3 1- 4 / 56 57. Data yang digunakan dalam

penelitian terdiri dari:

1. Citra ALOS PALSAR resolusi spasial 50 m tahun perekaman atau peliputan 2009 dan citra ALOS PALSAR resolusi spasial 12,5 m tahun perekaman atau peliputan 2009 daerah Kebonharjo, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

2. Data hasil pengukuran dimensi tegakan (Diameter setinggi dada/D dan Tinggi total/Tt), jarak antar pohon, azimut plot pengamatan dan keadaan tapak.

3. Data informasi petak dan anak petak KPH Kebonharjo.

3.3 Tahapan Pelaksanaan

Tahapan pelaksanaan penelitian ini secara umum dilakukan dengan mengumpulkan data lapangan, pengolahan data lapangan, pengolahan data citra, penyusunan model penduga sebaran biomassa dan pembuatan peta sebaran biomassa. Gambar berikut merupakan alur tahapan pelaksanaan pada penelitian ini.


(13)

Gambar 1 Diagram Tahapan Penelitian.

Persiapan dan Pengumpulan Data

Hasil Inventarisasi dan Peta Dimensi Tegakan

Cita ALOS PALSAR Resolusi 50m & 12.5m

Perhitungan Biomassa

Nilai Biomassa Umur dan Tinggi Pohon

Extrasi dan Konversi Nilai Digital ke

backscatter

Pemilihan Model Peta Areal KPH Kebonharjo

Pemilihan Metode Peta Sebaran Biomassa Peta Sebaran

Biomassa

Perhitungan KA dan OA

Selesai

Nilai

Backscatter

Analisis Statistik dan Penyusunan


(14)

3.3.1 Pengumpulan Data Lapangan

Penentuan titik dan pengambilan data dilakukan secara

yang direncanakan pada peta kerja dan peta administrasi KPH Kebonharjo, Perhutani Unit I Jawa Tengah. Pemilihan titik plot dilapangan dilakukan berdasarkan sebaran kelas umur dan menyebar sebanyak 61 plot di dua bagian hutan yaitu Bagian Hutan Balo dan Bagian Hutan Tuder. Serta perlu di perhatikan juga kenampakanya pada citra ALOS PALSAR. Dari ke 61 data plot tersebut kemudian kembali dibagi menjadi dua, 36 plot digunakan sebagai pemodelan dan 25 plot sebagai validasi.

Plot contoh yang digunakan berbentuk lingkaran dengan luasan plot disesuaikan dengan KU (kelas umur) tertentu di lapangan. Pada KU I – II dilakukan pengukuran dengan plot lingkaran seluas 0,02 ha, pada KU III – IV dilakukan pengukuran dengan plot lingkaran seluas 0,04 ha, sedangkan untuk KU ≥ V dilakukan pengukuran dengan plot lingkaran seluas 0,1 ha. Unit contoh yang digunakan merupakan hasil klasifikasi visual pada citra ALOS PALSAR resolusi spasial 50 m dan 12,5 m berada dalam areal kerja KPH Kebonharjo, Bagian Hutan Tuder dan Bagian Hutan Balo, Perhutani Unit I Jawa Tengah.

Kriteria pengambilan titik didasarkan pada sebaran kelas umur pada peta kerja KPH Kebonharjo Perhutani Unit I Jawa Tengah. Untuk mengukur koordinat titik pengamatan digunakan alat bantu berupa GPS atau dapat pula menggunakan koordinat peta yang ada. Kemudian dilakukan perekaman posisi area contoh dengan menggunakan GPS. Setelah posisi terekam maka dilakukan pembuatan plot contoh dengan luasan sesuai dengan Kelas Umur (KU), untuk kemudian didalamnya dilakukan pengukuran terhadap parameter tegakan berupa diameter pohon setinggi dada (D), tinggi total (Tt), tinggi bebas cabang (Tbc) dan jenis pohon.

3.3.2 Pengolahan Data Lapangan

Pengolahan data lapangan dilakukan untuk menghasilkan pendugaan biomassa atas permukaan tanah ( ( ) berdasarkan parameter plot yang telah di ukur pada tingkat umur (KU) tertentu. Pendugaan biomassa atas permukaan dilakukan dengan menggunakan model alometrik biomassa Hendri


(15)

(2001) yang diformulasikan kembali oleh Tiryana (2011) dan dengan

menggunakan BEF ( * ). BEF merupakan rasio total berat

biomassa kering tanur diatas permukaan tanah pada diameter (diameter setinggi dada/D) minimum 10 cm atau lebih dengan berat biomassa kering tanur pada volume yang dapat dimanfaatkan atau BEF pada biomassa kering tanur pada volume batang. Model alometrik Hendri yang digunakan dalam pendugaan biomassa atas permukaan ialah sebagai berikut:

B = 0.2759D .

Keterangan :

B = Biomassa Atas Permukaan D = Diameter setinggi dada (cm)

Selain menggunakan persamaan alometrik pada penelitian ini juga dilakukan perhitungan nilai biomassa dengan menggunakan BEF (

* ) dengan menggunakan rumus sebagai berikut: = × ×

Volume (V, m3) dihitung dengan menggunakan formulasi : = 0.000112514085796703 . ! " # = 0.000106673063988034 . ! !!$ $

Keterangan :

Bbef = Biomassa diduga menggunakan BEF (ton/ha) / = Volume untuk Bagian Hutan Balo (m3) / = Volume untuk Bagian Hutan Tuder (m3) D = Diameter setinggi dada (cm)

ρ = Berat jenis rataIrata Pohon Jati sebesar 0.67 ton/m3

BEF = * dengan nilai koefisien 1,53186 untuk Jati

pada hutan tropis (Kraenzel 2003).

3.3.3 Pengolahan Data Citra

Citra yang digunakan dalam penelitian ini yaitu citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m dan 50 m yang telah dilakukan koreksi kelerengan (

). Pada citra radar biasanya terdapat beberapa efek topografi yang mempengaruhi nilai digital pada citra seperti # # - , atau bayangan. HalIhal tersebut berpengaruh pada nilai digital yang nantinya akan


(16)

mempengaruhi nilai yang akan digunakan untuk pemodelan dan pemetaan. Namun dengan adanya koreksi kelerengan efek topografi tersebut bisa diminimalisir.

Nilai hamburan balik ( ) yang terdapat pada plot pengamatan diperoleh dengan mengkonversi nilai digital citra ALOS PALSAR pada masing masing plot atau daerah pengamatan tersebut. Nilai dapat diperoleh dengan menggunakan formulasi sebagai berikut (Shimada 2009):

% = 10 × &'(10)*+ , + . Keterangan :

BS = (dB)

dN = Nilai Dijital (degree)

CF = + dari Citra ALOS PALSAR peliputan tahun 2009 sebesar

I83 (JAXA 4 )

Pada penelitian ini juga dilakukan pada citraIcitra hasil model terbaik yang telah dibuat. Setiap citra model dilakukan kernel 3x3 dan 4x4 untuk citra ALOS PALSAR resolusi 50 m. Pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m dilakukan dengan kernel 5x5 dan 7x7. Proses

dilakukan dengan menggunakan bantuan software ERDAS IMAGINE 9.1

dengan menu % . 8 &.

berfungsi untuk menghilangkan noise pada citra ALOS PALSAR.

3.3.4 Penyusunan dan Pemilihan Model

Pada penelitian ini pendugaan nilai biomassa digunakan dengan menggunakan hubungan antara biomassa di atas permukaan tanah dengan nilai pada citra Alos PALSAR, umur pohon, dan tinggi pohon. Penyusunan dan pemilihan model dilakukan dengan beberapa model matematika yaitu sebagai berikut:


(17)

Tabel 3 Model yang digunakan untuk pendugaan biomassa

Jenis Model Bentuk Model

Model regresi linier berganda Y = a + bX1 + cX2 + dX3

Model eksponensial Y = Exp (a + bX1 + cX2+ dX3)

Model Kuadratik Y = a + bX1

2

+ cX2 2

+ dX3 2

9 : ; < = ; ALOS PALSAR; X2 = Umur Pohon; X3 = Tinggi

pohon

Pada tahapan ini terdapat empat jenis penyusunan dan pemilihan model yang dapat dilakukan, yaitu dengan menggunakan dua dan tiga variabel menggunakan bentuk sederhana dari model matematika di atas, kemudian empat variabel. Model yang digunakan dalam pemetaan biomassa berasal dari pemodelan dengan variabel biomassa (y), (x1) dan tinggi(x2). Hal

tersebut dikarenakan data tinggi pohon tidak tersedia pada seluruh areal pengamatan. Alternatif untuk menyediakan data tinggi pohon tersebut dapat diperoleh yaitu dengan bantuan LIDAR, namum pada penelitian ini lebih difokuskan pada pemetaan sebaran biomassa dengan variabelIvariabel prediktor yang tersedia, yaitu umur dan backscatter.

Pemilihan model dilakukan dengan memperhatikan koefisien determinasi (R2), koefisien determinasi terkoreksi (R2adj), dan

(RMSE) yang dihasilkan oleh masingImasing persamaan. Koefisien determinasi adalah nilai yang menceminkan seberapa besar keragaman variabel tak bebas Y dapat dijelaskan oleh suatu variabel bebas X. Nilai R2 dinyatakan dalam persen (%) yang berkisar antar 0% hingga 100%. Semakin tinggi nilai R2, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin tinggi keragaman variabel tak bebas Y yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas X. Nilai R2 ditentukan dengan rumus :

/² = )123 − 12%,

123 × 100%

Keterangan :

R² = Koefisien determinasi JKT = Jumlah Kuadrat Total JKS = Jumlah Kuadrat Sisa


(18)

Koefisien determinasi terkoreksi adalah koefisien determinasi yang telah terkoreksi dari derajat bebas sisa dan derajat bebas totalnya. Dimana koefisien determinasi terkoreksi dihitung menggunakan formulasi sebagai berikut:

/ 6*7 = 12% /)9 − :,

123 /)9 − 1, ; 100%

Keterangan :

JKS = Jumlah kuadrat sisa JKT = Jumlah kuadrat total (n I p) = derajat bebas sisa (n I 1) = derajat bebas total

sedangkan akar kuadrat error dihitung berdasarkan formula :

MSE = ∑)=> − =?>, /)9 − :, RMSE = √A%B

Keterangan :

MSE = Kuadrat tengah sisa RMSE = Akar kuadrat tengah sisa : = Biomassa keIi

=?> ; RataIrata biomassa keIi

n = Jumlah plot sampel

p = Jumlah parameter yang digunakan

Model dengan lebih dari satu variabel rentan terhadap terjadinya multikolinearitas. Oleh karena itu, pada model terbaik perlu dilakukan pengujian multikolinearitas. Cara yang pertama ialah dengan melihat nilai korelasi antar peubah bebasnya. Cara yang kedua ialah dengan mengukur faktor inflasi variasinya (VIF). Jika suatu model mengandung VIF > 5 maka model tersebut mengandung multikolinearitas.

3.3.5 Validasi Model

Validsi model dilakukan dengan menggunakan 25 plot yang diambil secara pada citra dilakukan secara tersebar dan merata pada seluruh KU. Teknik menyebar dan merata dilakukan agar model yang dihasilkan dapat mewakili seluruh kelas umur (KU) yang ada. Setelah 25 plot terpilih, validasi model dilakukan dengan cara membandingkan antara hasil kandungan biomassa di atas permukaan tanah hasil pengukuran lapang dengan menggunakan model terpilih. Untuk membandingkannya digunakan uji tI berpasangan (Mattjik


(19)

& Sumertajaya 2000) dengan rumus sebagai berikut. C = *̅ − *$

EF/√9

; H = 9 − 1; *$ = 0

Dengan menggunakan hipotesis uji sebagai berikut : H0 : µ1 I µ2 = 0 (Biomassa aktual = biomassa model)

H1 : µ1 I µ2 ≠ 0 (Biomassa aktual ≠ biomassa model)

Model yang dianggap mewakili data dan layak digunakan didasarkan pada thitung dengan kriteria apabila thitung<t(α/2) atau nilai signifikansi > 0,05 maka model

pendugaannya layak digunakan. Sebaliknya jika thitung > t(α/2) atau nilai signifikansi

< 0,05. maka model penduganya kurang layak digunakan.

3.3.6 Pembuatan Peta Sebaran Biomassa

Pembuatan peta sebaran kelas biomassa dilakukan dengan bantuan software . 9.1 dan / ) 3.2. Dasar dari pembuatan peta sebaran kelas biomassa ini adalah model terpilih yang menjelaskan hubungan antara biomassa dengan dan umur pohon. Terdapat dua jenis sebaran peta biomassa yaitu berdasarkan (piksel) dari citra ALOS PALSAR dan berdasarkan peta areal kerja KPH Kebonharjo (per anak petak). Pada pembuatan pete sebaran biomassa berdasarkan piksel, terlebih dahulu data vektor berupa umur pohon pada seluruh areal diubah menjadi data raster dengan ukuran yang di sesuaikan dengan resolusi citra. Hal tersebut untuk memudahkan dalam pembuatan citra sebaran biomassa dengan menggunakan menu

pada ) . 9.1.

3.3.7 Penghitungan dan

Penghitungan dan merupakan metode

yang digunakan untuk mengetahui tingkat keterwakilan dan akurasi pada pembuatan peta sebaran kelas biomassa yang telah dibuat. Akurasi klasifikasi umumnya dilakukan dengan metode , akan tetapi akurasi ini umumnya terlalu sehingga jarang digunakan sebagai indikator yang baik untuk mengukur kesuksesan suatu klasifikasi karena hanya menggunakan pikselIpiksel yang terletak pada diagonal suatu matrik Akurasi yang


(20)

saat ini disarankan adalah dengan menggunakan rumus karena semua elemen dalam matrik akan diperhitungkan. Rumus yang digunakan (Jaya 2002) yaitu :

IJ = ∑ KLL

M L

+ × 100%

2 = + ∑ KLL

M

LN − ∑MLN KLOKOL

+ − ∑ KML LOKOL

× 100% Keterangan :

; (%)

; (%)

= = nilai diagonal dari matrik kontingensi bari keIi dan kolom keIi => = jumlah piksel dalam kolom keIi

=> = jumlah piksel dalam baris keIi ? = banyaknya titik contoh


(21)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak

Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kebonharjo terletak di wilayah Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah wilayah Seksi Perencanaan Hutan IV Rembang dan memiliki luas wilayah ± 17.801,30 ha. Secara geografis terletak pada 111°20′ I 111°30′ BT dan 6°30′ I 6°60′ LS yang terletak pada wilayah administratif Provinsi Jawa Tengah tepatnya pada wilayah Kabupaten Rembang serta wilayah Kabupaten Blora dan Provinsi Jawa Timur tepatnya pada wilayah Kabupaten Tuban.

Gambar 2 Peta Kawasan KPH Kebonharjo Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.

Pada wilayah Kabupaten Rembang Jawa Tengah memiliki luas ± 11.946,7 ha yang terdiri dari 9 kecamatan yaitu Kecamatan Gunem, Sale, Sarang, Sedan, Pamotan, Pancur, Kragan, Sluke, dan Lasem (terdapat sekitar 42 Desa sekitar hutan). Wilayah Kabupaten Blora Jawa Tengah, memiliki luas ± 2.140,4 ha yang terdiri dari 2 kecamatan yaitu Kecamatan Bogorejo dan Kecamatan Jiken (terdapat sekitar 7 Desa sekitar hutan). Sedangkan wilayah pemerintahan Kabupaten Tuban Jawa Timur, memiliki luas ± 3.714,2 ha yang terdiri dari 2 kecamatan yaitu Kecamatan Kenduruan dan Kecamatan Jatirogo (terdapat sekitar


(22)

11 Desa sekitar hutan). Adapun letak kantor KPH Kebonharjo, berkedudukan di Kebonharjo, Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban.

Tegakan utama yang terdapat di KPH Kebonharjo ialah tegakan jati Selain itu terdapat pula beberapa jenis tanaman kayu lain yang tumbuh seperti mahoni, sonokeling, johar dan mindi. Sedangakan tumbuhan bawahnya di dominasi oleh tanaman kirinyu.

4.2 Batas Wilayah

Secara umum terdapat beberapa KPH yang berbatasan langsung dengan KPH Kebonharjo diantaranya yaitu :

1. Sebelah Timur : KPH Jatirogo 2. Sebelah Selatan : KPH Cepu 3. Sebelah Barat : KPH Mantingan Batas wilayah KPH Kebonharjo meliputi :

1) Sebelah Utara : berbatasan langsung dengan Laut Jawa.

2) Sebelah Selatan : berbatasan dengan wilayah KPH Cepu bagian Utara mulai dukuh Gunung Wangon.

3) Sebelah Barat : berbatasan dengan batas KPH Mantingan bagian Timur mulai sungai Lasem dan Laut Jawa.

4) Sebelah Timur : berbatasan dengan batas KPH Jatirogo bagian Barat, pantai Laut Jawa, jalan besar jurusan Blora sampai dukuh Bogel, dan kali Gunung Wangon Kendik.

4.3 Topografi

Keadaan topografi KPH Kebonharjo secara garis besar memiliki topografi yang landai di bagian utara (kecuali pada kelompok – kelompok Gunung Lasem), yang semakin ke selatan semakin bergelombang penampakanya diiringi dengan peningkatan kelerengan. Hal ini disebabkan letaknya yang berada di lereng Gunung Kendeng Utara yang topografinya merupakan perbukitan dan lembah. Perbukitan yang menonjol di daerah ini disebelah utara adalah komplek Gunung Lasem dan disebelah selatan adalah Gunung Butak, sedangkan aliran Kali Kuning menyebabkan terjadinya daerah lembah.


(23)

4.4 Jenis Tanah

Jenis tanah yang dominan di KPH Kebonharjo khususnya pada bagian hutan Balo dan Tuder yaitu tanah Grumosol, Latosol, Andosol, dan Napal. Selain jenis tersebut terdapat juga tanah Karst dan Tektonik yang menyebabkan daerah ini memiliki daerah pertanian yang cukup berpotensi. Selain itu sifat jati yang tidak terlalu terikat pada jenis tanah tertentu dapat tumbuh cukup baik pada daerah ini.

Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson berdasarkan pada perhitungan bulan kering dan bulan basah maka iklim KPH Kebonharjo memiliki tipe iklim C dan D. Suhu udara rata rata berkisar antara 26,5°C sampai dengan 33°C dan suhu udara rata rata tahunan sebesar 27,5°C.


(24)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Pengolahan data Biomassa

Penelitian ini dilakukan di dua bagian hutan yaitu bagian Hutan Balo dan Tuder. Berdasarkan hasil pengolahan data lapangan diperoleh dari 61 plot yang tersebar berdasarkan Kelas Umur (KU) tertentu, pada KU IV sampai KU XI rataI

rata biomassa BEF ( * ) lebih besar dibandingkan

biomassa Alometrik Hendri. Nilai rataIrata biomassa tertinggi didapatkan pada KU XI yaitu sebesar 328,695 ton/ha untuk biomassa alometrik Hendri dan 461,175 ton/ha untuk biomassa BEF. Pada Kelas Umur I didapatkan nilai biomassa terendah yaitu sebesar 44,743 ton/ha untuk biomassa alometrik Hendri dan 37,711 ton/ha untuk biomassa BEF.

Tabel 4 RataIrata biomassa BEF dan alometrik di KPH Kebonharjo

Kelas Umur Jumlah Plot Biomassa (Ton/Ha)

Alometrik BEF

KU I 16 44,743 37,711

KU II 13 125,086 124,308

KU III 8 118,440 115,640

KU IV 5 139,168 155,914

KU V 5 125,784 144,978

KU VI 5 140,538 176,437

KU VII 3 191,743 245,830

KU VIII 4 211,218 288,682

KU IX 1 199,069 274,432

KU XI 1 328,695 461,174

Gambar 3 Grafik rataIrata biomassa alometrik Hendri dan BEF setiap KU. 0 100 200 300 400 500

KU I KU II KU III KU IV KU V KU VI KU VII KU VIII

KU IX KU XI

B io m as sa (T o n /H a)

Kelas Umur (KU)

Biomassa Alometrik dan BEF Pada Setiap Kelas

Umur

ALO BEF


(25)

Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa perhitungan biomassa dengan persamaan alometrik lebih rendah dibandingkan dengan perhitungan menggunakan koefisien BEF. Hal ini dapat disebabkan oleh sifat dari koefisien BEF yang lebih umum dibandingkan dengan penggunaan persamaan Alometrik yang memang dikhususkan untuk daerah dengan topografi dan ketinggian yang kurang lebih sama dengan daerah penelitian. BEF yang digunakan dikembangkan oleh Kraenzel . (2003) berdasarkan data perhitungan biomassa tegakan Jati secara destruktif di daerah Panama. Selain itu perhitungan BEF ini dikonsentrasikan pada pohon Jati berusia 20 tahun (KU II), sedangkan pada daerah penelitian pohon Jati yang diambil sebagai sampel pengukuran memiliki umur yang bervariasi. Sehingga pada penelitian ini penggunaan BEF

untuk digunakan. Selain itu uji t yang dilakukan menghasikan nilai biomassa Alometrik berbeda nyata dengan biomassa BEF dengani nilai signifikansi yang kurang dari 0,05 yaitu sebesar 0,01 dan nilai thitung 3,49 yang lebih besar darit(α/2)

yaitu 2,00 pada taraf nyata 5%. Sehingga hasil dari uji t menyatakan bahwa biomassa BEF tidak dapat digunakan untuk menduga biomassa atas permukaan pada tempat penelitian ini.

5.2 Hasil Pengolahan Data Citra

Nilai digital setiap plot didapatkan dari ekstraksi nilai digital pada citra ALOS PALSAR yang telah dilakukan koreksi kelerengan, untuk kemudian dikonversikan menjadi nilai hamburan balik. Selain itu juga dilakukan pengekstraksian nilai digital per petak areal kerja KPH Kebonharjo untuk pembuatan peta sebaran biomassa per anak petak. Nilai digital yang digunakan merupakan nilai digital rataIrata per petak areal kerja KPH Kebonharjo.

Rentang nilai terkecil sampai terbesar dari citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m untuk polarisasi HH dan HV ditampilkan dalam Tabel 5 berikut ini.


(26)

Tabel 5 Nilai pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m.

Resolusi Minimum Maksimum RataIrata

50 m HH I10,87440 I4,10189 I6,09736

HV I18,51798 I10,02429 I12,23662

12,5 m HH I14,70008 I4,23721 I7,37397

HV I22,59728 I11,27508 I13,91586

Dari hasil yang diperoleh nilai rataIrata dari 61 plot pada citra ALOS PALSAR, nilai pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m memiliki pola yang sama dimana polarisasi HV lebih rendah dibandingkan polarisasi HH.

5.3 Penyusunan Model

Pada penelitian ini dilakukan empat jenis pemodelan dengan menggunakan dua variabel, tiga variabel, dan empat variabel. Pada tahap pertama dilakukan pemodelan dengan menggunakan dua variabel yaitu biomassa sebagai variabel respons (y) dan sebagai variabel prediktor (x). Pada tahap kedua dilakukan pemodelan untuk keperluan pembuatan peta sebaran biomassa dengan menggunakan tiga variabel dimana satu variabel yaitu biomassa digunakan sebagai variabel respons (y) atau sering dikenal dengan variabel dependen dan dua variabel lainya yaitu dan umur pohon, digunakan sebagai variabel prediktor (x) atau sering dikenal dengan variabel indipenden. Pada tahap ketiga juga dilakukan pemodelan dengan menggunakan tiga variabel yaitu biomassa sebagai varibel respons (y) dan dua variabel lainya sebagai variabel prediktor (x) yaitu dan tinggi pohon.

Pada tahap keempat digunakan empat variabel dimana satu variabel yaitu biomassa digunakan sebagai variabel respons (y) atau sering dikenal dengan variabel dependen dan tiga variabel lainya yaitu , umur pohon, dan tinggi pohon digunakan sebagai variabel prediktor (x) atau sering dikenal dengan variabel indipenden.

Hasil terbaik dari keempat jenis pemodelan tersebut tidak seluruhnya akan digunakan dalam pembuatan peta sebaran biomassa, hal tersebut dikarenakan


(27)

salah satu variabel prediktor yaitu tinggi pohon tidak tersedia secara merata di seluruh areal pengamatan. Teknologi untuk menyediakan data tinggi pohon tersebut dapat diperoleh yaitu dengan bantuan LIDAR, namum pada penelitian ini lebih difokuskan pada pemetaan sebaran biomassa dengan variabelIvariabel prediktor yang tersedia yaitu umur dan .

Besarnya nilai koefisien determinasi dapat menjamin keterandalan model apabila variabel bebasnya memiliki korelasi. Dari seluruh variabel yang digunakan dalam regresi memiliki korelasi yang positif terhadap biomassa atas permukaan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 6 Matriks korelasi biomassa dengan seluruh variabel bebas pada citra ALOS PALSAR resolusi spasial 50 m

Korelasi Biomassa dengan BS HH, Umur, Tinggi

Korelasi Biomassa dengan BS HV, Umur, Tinggi

Biomassa HH Umur Biomassa HV Umur

HH 0,383 HV 0,503

0,002 0

Umur 0,723 0,365 Umur 0,723 0,456

0 0,004 0 0

Tinggi 0,82 0,471 0,881 Tinggi 0,856 0,537 0,881

0 0 0 0 0 0

Keterangan: Korelasi Pearson P value

Tabel 7 Matriks korelasi biomassa dengan seluruh variabel bebas pada citra ALOS PALSAR resolusi spasial 12,5 m

Korelasi Biomassa dengan BS HH, Umur, Tinggi

Korelasi Biomassa dengan BS HV, Umur, Tinggi

Biomassa HH Umur Biomassa HV Umur

HH 0,43 HV 0,522

0,001 0

Umur 0,723 0,416 Umur 0,723 0,432

0 0,001 0 0,001

Tinggi 0,82 0,511 0,881 Tinggi 0,82 0,524 0,881

0 0 0 0 0 0

Keterangan: Korelasi Pearson P value

Dari Tabel 6 dan 7 dapat terlihat bahwa seluruh variabel prediktor (x) memiliki hubungan yang positf dengan variabel respons (y). Hal tersebut berarti


(28)

bahwa analisis regresi dapat dilakukan karena variabel independen berupa , umur, dan tinggi pohon. memiliki hubungan yang nyata terhadap variabel dependen berupa biomassa. Keterkaitan dari hubungan ini kemudian dianalisis dengan menggunakan regresi sederhana, regresi linear berganda, regresi kuadratik dan regresi eksponensial.

5.3.1 Penyusunan Model Pendugaan Biomassa Berdasarkan

Hasil analisis korelasi menunjukan bahwa nilai baik HH maupun HV memiiki korelasi dengan biomassa walaupun besarnya nilai korelasi tidak sebesar variabel prediktor lainya yaitu umur dan tinggi pohon. Analisis hubungan antara dan biomassa di tunjukan pada tabel penyusunan model regresi berikut ini.

Tabel 8 Model regresi antara biomassa dengan variabel , pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m

Polarisasi No Model R² (%) R²adj (%) RMSE

HH

1 Y = 306,408 + 30,881X₁ 36,6 34,7 55,2 2 Y = EXP( 6,45 + 0,287X₁ ) 54,2 53,4 41,6 3 Y = 199,438 I 2,105X₁² 34,7 32,8 56,1

HV

4 Y = 441,120 + 28,679X₁ 46,3 44,7 50,9

5 Y = EXP( 9,291 + 0,38X₁ ) 75,3 74,9 29,7

6 Y = 255,974 I 1,070X₁² 42,7 41,0 52,5 Keterangan: Y = biomassa; X₁=

Tabel 9 Model regresi antara biomassa dengan variabel , pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m

Polarisasi No Model R² (%) R²adj (%) RMSE

HH

1 Y = 264,713 + 19,899X₁ 37,8 36,0 54,7 2 Y = EXP( 6,676 + 0,274X₁ ) 63,1 62,2 37,5 3 Y = 175,195 I 0,99X₁² 34,4 32,5 56,2

HV

4 Y = 358,331 + 17,264X₁ 40,2 38,4 53,7

5 Y = EXP( 8,811 + 0,302X₁ ) 72,5 71,7 32,4

6 Y = 218,358 I 0,505X₁² 37,9 36,1 52,5 Keterangan: Y = biomassa; X₁=

Analisis pemilihan model terbaik didasarkan kepada nilai R² dan R²adj


(29)

dipakai untuk membandingkan keterandalan modelImodel dari beberapa model yang memiliki banyak variabel bebas yang berbeda (Draper dan Smith 1981).

Pada tebel 8 dan 9 tersebut dapat dilihat bahwa model dengan nilai R² dan R²adj tertinggi serta nilai RMSE yang terendah didapatkan pada model

eksponensial nomor 5, dengan hubungan antara biomassa dengan HV baik pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m maupun 12,5 m. Hasil tersebut sesuai dengan penelitianIpenelitian sebelumnya yang umumnya menyimpulkan bahwa polarisasi HV mampu menjelaskan dengan baik pendugaanIpendugaan biomassa di lapangan (Rauste 2007; Awaya 2009).

Setelah dilakukan pemilihan model maka pada tahap selanjutnya dilakukan validasi model pada model terbaik dengan menggunakan uji t berpasangan untuk menguji keterandalan model tersebut. Validasi model bertujuan untuk mengetahui apakah model yang telah terpilih dapat digunakan untuk menduga biomassa di lapangan. Berikut ini merupakan tabel hasil validasi pada model terpilih.

Tabel 10 Validasi model terbaik dengan hubungan antara biomassa dengan citra ALOS PALSAR

Resolusi Polarisasi Model t hit t(α/2) sig

50 m HV Y = EXP( 9,291 + 0,38X₁ ) 0,444 2,064 0,857 12,5 m HV Y = EXP( 8,811 + 0,302X₁ ) 0,745 2,064 0,463 Keterangan: Y = biomassa; X₁=

Pada Tabel 10 tersebut dapat dijelaskan bahwa model terbaik pada kedua citra tidak berbeda nyata antara hasil pengukuran di lapangan dengan hasil model terpilih. Hal tersebut dapat di lihat dari nilai thitung yang lebih kecil dari t(α/2). Dan

signifikansi lebih kecil dari 0,05. Dengan demikian model terbaik yang telah terpilih bisa digunakan untuk pendugaan nilai biomassa atas pendugaan tegakan jati di lapangan.

5.3.2 Penyusunan Model Pendugaan Biomassa Berdasarkan dan Umur

Pada tahap kedua disusun model dengan menggunakan tiga variabel yaitu biomassa sebagai variabel respon (y) serta dan umur sebagai variabel prediktor (x). Model terbaik pada jenis regresi ini nantinya akan digunakan


(30)

sebagai model untuk penyusunan peta sebaran biomassa mengingat data variabel umur pohon tersedia pada seluruh areal pengamatan. Berikut merupakan tabel penyusunan model dengan menggunakan variabel prediktor dan umur pohon.

Tabel 11 Model regresi antara biomassa dengan variabel dan umur pohon pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m

Polarisasi No Model R² (%) R²adj (%) RMSE

HH

1 Y = 143 + 13,6X₁ + 1,75X₂ 78,1 76,8 32,9 2 Y = EXP( 4,964 + 0,122X₁ + 0,013X₂) 76,2 74,7 34,3 3 Y = 134 I 1,32X₁² + 0,0189X₂² 79,0 77,7 32,2

HV

4 Y = 216 + 13,5X₁ + 1,65X₂ 79,9 78,7 31,5 5 Y = EXP( 5,882 + 0,14X₁ + 0,013X₂) 78,8 77,5 32,4

6 Y = 173 ? 0,686X₁² + 0,0181X₂² 82,1 81,0 29,7

Keterangan: Y = biomassa; X₁ = ; X₂ = umur

Tabel 12 Model regresi antara biomassa dengan variabel dan umur pohon pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m

Polarisasi No Model R² (%) R²adj (%) RMSE

HH

1 Y = 129 + 9,25X₁ + 1,74X₂ 79,0 77,8 32,2 2 Y = EXP( 5,087 + 0,117X₁ + 0,013X₂) 79,4 78,1 31,9 3 Y = 120 I 0,637X₁² + 0,019X₂² 79,6 78,4 31,8

HV

4 Y = 178 + 8,35X₁ + 1,71X₂ 80,0 78,7 31,5

5 Y = EXP( 6,108 + 0,136X₁ + 0,013X₂) 82,1 81,0 29,8

6 Y = 150 I 0,333X₁² + 0,0187X₂² 81,7 80,6 30,2 Keterangan Y = biomassa; X₁= ; X₂= umur

Tabel di atas menjelaskan bahwa model terbaik pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m didapatkan pada model kuadratik nomor 6. Pada model nomor 6 didapatkan nilai R², R²adj yang lebih tinggi, dan RMSE yang lebih rendah dari

model lainya. Nilai R² dan R²adj pada model ini yaitu 82,1% dan 81% serta nilai

RMSE sebesar 29,7. Pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m didapatkan model terbaik pada nomer nomor 5 dengan jenis model eksponensial. Dengan nilai R² 82,1%, R²adj 81,02% dan RMSE 29,8.

Dari hasil yang didapatkan kembali dapat dilihat bahwa variabel citra yang diguanakan memiliki hubungan paling erat pada HV. Hal tersebut


(31)

didukung karena seluruh model pendugaan dengan menggunakan HV sebagai variabel bebas menunjukkan pola hubungan yang lebih baik jika dibandingkan dengan hubungan biomassa dengan HH. Hal ini dikarenakan polarisasi HV memiliki sensitifitas lebih baik terhadap komponen penyusun biomassa yaitu batang dan tutupan tajuk. Selain itu juga variabel lapangan berupa umur pohon turut memberi pengaruh yang cukup besar mengingat korelasi yang cukup besar antara biomassa dan umur pohon, yaitu berkisar antara 0,7–0,8. Variabel ini juga merupakan salah satu variabel yang mudah diketahui dilapangan.

Penyusunan model dengan lebih dari satu variabel prediktor rentan terhadap terjadinya multikolinearitas. Multikoliniearitas rentan terjadi antar variabel prediktor yang memiliki korelasi lebih besar dari 0,7. Dalam pemodelan ini variabel prediktor dan umur pohon memiliki nilai koefisien korelasi berkisar antara 0,3–0,4 sehingga dapat diduga bahwa multikolinearitas pada model ini tidak terjadi.

Kemudian pada model terpilih tersebut dilakukan validasi model untuk mengetahui kelayakan dari model tersebut sebagai model penduga biomassa lapangan. Validasi model dilakukan dengan menggunakan ujiIt berpasangan. Hasil dari validasi model ditampilkan pada Tabel 13 di bawah ini.

Tabel 13 Hasil validasi model terpilih pada citra ALOS PALSAR dengan variabel dan umur

Resolusi Polarisasi Model t hit t(α/2) sig

50 m HV Y = 173 I ( 0,686X₁²) + (0,0181X₂²) I1,128 2,064 0,271 12,5 m HV Y = EXP( 6,108 + (0,136X₁ )+ (0,013X₂)) I1,228 2,064 0,231 Keterangan: Y = biomassa; X₁ = ; X ₂= umur

Berdasarkan hasil dari validasi model terpilih didapatkan bahwa seluruh model terpilih valid untuk digunakan. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai thitung

yang lebih kecil dari t(α/2) dan nilai signifikansi yang lebih besar dari 0,05. Dengan

demikian model terbaik yang telah terpilih bisa digunakan untuk pendugaan dan pemetaan nilai sebaran biomassa atas pendugaan tegakan jati di lapangan.


(32)

5.3.3 Penyusunan Model Pendugaan Biomassa Berdasarkan dan Tinggi Pohon

Pada tahap ketiga dilakukan analisis regresi dengan menggunakan variabel lapangan berupa tinggi pohon dan variabel citra berupa . Tinggi pohon memiliki nilai korelasi yang lebih erat dengan biomassa dibandingkan dengan umur pohon yaitu berkisar antara 0,82I0,85. Selain itu korelasi antara sesama variabel prediktor berupa dan tinggi pohon dalam model regresi ini dibawah 0,7 hal tersebut menunjukan bahwa multikolinearitas juga tidak terjadi dalam model regresi ini. Nilai korelasi antara dan tinggi pohon berkisar antara 0,5 I 0,53. Berikut ini merupakan Tabel hasil Penyusunan model regresi menggunakan hubungan antara biomassa dengan dan tinggi pohon.

Tabel 14 Model regresi antara biomassa dengan variabel dan tinggi pohon pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m

Polarisasi No Model R²

(%)

R²adj

(%) RMSE HH 1 Y = 14,609 + 4,775X₁ + 7,758X₂ 85,8 84,9 26,6

2 Y = EXP( 4,224 + 0,099X₁ + 0,060X₂) 84,4 83,5 27,8 3 Y = 82,926 I 0,829X₁² + 0,194X₂² 85,4 84,5 26,9 HV 4 Y = 59,265 + 6,036X₁ + 7,423X₂ 86,4 85,6 26,0 5 Y = EXP( 4,936 + 0,112X₁ + 0,057X₂) 85,5 84,6 26,8

6 Y = 111,507 ? 0,449 X₁² + 0,186X₂² 86,8 86,0 25,6

Keterangan: Y = biomassa; X₁ = ; X ₂= tinggi pohon

Tabel 15 Model regresi antara biomassa dengan variabel dan tinggi pohon pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m

Polarisasi No Model R²

(%)

R²adj

(%) RMSE

HH

1 Y = 3,251 + 2,559X₁ + 7,817X₂ 85,6 84,7 26,7 2 Y = EXP( 3,99 + 0,045X₁ + 0,058X₂) 82,3 81,3 29,6 3 Y = 70,892 I 0,357X₁² + 0,195X₂² 84,6 83,6 27,7

HV

4 Y = 35,389 + 3,369X₁ + 7,589X₂ 86,2 85,3 26,2

5 Y = EXP( 4,775 + 0,077X₁ I 0,055X₂) 84,2 83,3 28,0 6 Y = 92,123 I 0,203X₁² + 0,191X₂² 85,8 85,0 26,5 Keterangan: Y = biomassa; X₁ = ; X₂ = tinggi pohon


(33)

Pada tabel tersebut dipilih masingImasing satu model terbaik pada masingI masing citra, model terbaik di dapatkan pada model kuadratik nomor 6 pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan model linear berganda nomor 4 pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m. Dengan nilai R²adj secara berturut turut sebesar

86,0% dan 85,3 %.

Pada model terpilih kemudian dilakukan validasi model dengan menggunakan uji t berpasangan untuk menunjukan apakah model bisa digunakan untuk menduga biomassa atas permukaan atau tidak. Tabel berikut merupakan hasil validasi pada model terpilih.

Tabel 16 Hasil validasi model terpilih pada cita ALOS PALSAR dengan variabel dan tinggi pohon

Resolusi Polarisasi Model t hit t(α/2) sig

50 m HV Y = 111,507 I 0,449 X₁² + 0,186X₂² 0,106 2,064 0,916 12,5 m HV Y = 35,389 + 3,369X₁ + 7,589X₂ 0,106 2,064 0,917 Keterangan: Y = biomassa; X₁ = ; X ₂= tinggi pohon

Dari hasil validasi tersebut didapatkan nilai thitung pada model resolusi 12,5

m dan 50 m yaitu sebesar 0,106 nilai tersebut lebih kecil dari nilai t(α/2)sebesar

2,064. Kemudian nilai signifikansi pada model tersebut lebih besar dari 0,05 yaitu sebesar 0,917 dan 0,916. Nilai nilai tersebut menunjukan bahwa model terbaik dapat digunakan untuk menduga biomassa atas permukaan di daerah penelitian.

5.3.4 Penyusunan Model Pendugaan Biomassa Berdasarkan Umur dan Tinggi Pohon

Pendugaan kandungan biomassa atas permukaan selain dengan menggunakan variabel yang berasal dari citra, variabel umur dan tinggi pohon dapat ditambahkan secara bersamaan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya variabel umur dan tinggi memiliki korelasi yang positif terhadap biomassa. Sehingga penambahan dua variabel ini diharapkan dapat meningkatkan akurasi dari model regresi berganda yang akan disusun. Model regresi yang disusun disajikan pada Tabel 17 dan Tabel 18.


(34)

Tabel 17 Model regresi antara biomassa dengan variabel , umur, dan tinggi pohon pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m

Polarisasi No Model R²

(%)

R²adj

(%) RMSE

HH

1 Y = 31,6 + 5,6X₁ + 0,449X₂ + 6,2X₃ 86,5 85,2 26,3 2 Y = EXP( 4,134 + 0,102X₁ + 0,004X₂ + 0,045X₃) 86,1 84,7 26,7 3 Y = 91,8 I 0,901X₁² + 0,00711X₂² + 0,138X₃² 87,4 86,3 25,3

HV

4 Y = 78,6 + 6,67X₁ + 0,461X₂ + 5,82X₃ 87,2 86,0 25,2 5 Y = EXP( 5,066 + 0,115X₁ + 0,004X₂ + 0,042X₃) 87,4 86,2 25,4

6 Y = 123 ? 0,488X₁² + 0,00745X₂² + 0,127X₃² 89,0 88,0 25,5

Keterangan: Y = biomassa; X₁= ; X₂= umur; X₃= tinggi pohon

Tabel 18 Model regresi antara biomassa dengan variabel , umur, dan tinggi pohon pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m

Polarisasi No Model R²

(%)

R²adj

(%) RMSE

HH

1 Y = 23,8 + 3,46X₁ + 0,484X₂ + 6,07X₃ 86,4 85,1 26,5 2 Y = EXP( 4,319 + 0,067X₁ + 0,006X₂ + 0,037X₃) 85,0 83,6 27,7 3 Y = 81,6 I 0,415X₁² + 0,00779X₂² + 0,132X₃² 87,0 85,8 25,8

HV

4 Y = 58 + 4X₁ + 0,498X₂ + 5,82X₃ 87,1 85,9 25,7 5 Y = EXP( 5,213 + 0,098X₁ + 0,006X₂ + 0,034X₃) 87,2 86,0 25,6

6 Y = 105 ? 0,231X₁² + 0,00802X₂² + 0,216X₃² 88,4 87,3 24,3

Keterangan: Y = biomassa; X₁= ; X₂= umur; X₃= tinggi pohon

Dari hasil penyusunan model pada kedua citra didapatkan model terbaik yaitu model kuadratik nomor 6. Pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m didapatkan kisaran nilai R²adj yaitu sebesar 86,2% I 88,0%. Hal tersebut berati

bahwa kandungan biomassa dapat dijelaskan dengan baik oleh variabelIvariabel penduganya sebesar 86,2% I 88,0%. Pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m didapatkan kisaran nilai R²adj yaitu sebesar 83,6% I 87,3%. Hal tersebut berati

bahwa kandungan biomassa dapat dijelaskan dengan baik oleh variabelIvariabel penduganya sebesar 83,6% I 87,3%.

Kemudian perlu analisis lebih lanjut terhadap adanya multikolinearitas pada model terpilih tersebut mengingat korelasi yang cukup erat antara umur dan tinggi pohon, yaitu sebesar 0,881. Selain menggunakan nilai korelasi, multikolinearitas juga dapat dilihat dari besaran nilai VIF. Hines dan Montgomery (1990) mengatakan bahwa meskipun suatu model memiliki R² yang besar, tidak berarti model tersebut model yang terbaik. Model regresi yang dibuat tersebut memiliki


(35)

kemungkinan terdapatnya kolinearitas diantara dua atau lebih variabel bebasnya. Ada atau tidaknya kolinearitas dalam suatu model dapat dilihat dari besaran nilai VIF (/ . ). Jika suatu model memiliki VIF lebih besar dari 5 maka model tersebut memiliki multikolinearitas. Tabel 19 berikut merupakan hasil analisis nilai VIF pada model model terpilih.

Tabel 19 Analisis VIF (/ . ) pada model terbaik pendugaan

biomassa dengan penambahan variabel umur dan tinggi pohon

Resolusi Polarisasi Model VIF

BS Umur Tinggi 50 m HV Y = 123 I 0,488X₁² + 0,00745X₂² + 0,127X₃² 1,3 3,4 3,8 12,5 m HV Y = 105 I 0,231X₁² + 0,00802X₂² + 0,126X₃² 1,3 3,4 4,0 Keterangan: Y = biomassa; X₁ = ; X₂ = umur; X₃ = tinggi pohon; BS =

Berdasarkan Tabel tersebut diperoleh informasi bahwa seluruh model terpilih tidak memiliki nilai VIF kurang dari 5. Hal tersebut menandakan bahwa multikolinearitas tidak terjadi dalam model terpilih tersebut. Pada modelImodel terpilih tersebut kemudian dilakukan validasi model. Validasi model dilakukan dengan menggunakan ujiIt berpasangan. Hasil dari validasi model disajikan pada Tabel 20.

Tabel 20 Hasil validasi model terbaik pendugaan biomassa dengan penambahan variabel umur dan tinggi pohon

Resolusi Polarisasi Model t hit t(α/2) sig

50 m HV Y = 123 I 0,488X₁² + 0,00745X₂² + 0,127X₃² I0,592 2,064 0,559 12,5 m HV Y = 105 I 0,231X₁² + 0,00802X₂² + 0,126X₃² I0,7 2,064 0,493 Keterangan Y = biomassa; X₁ = ; X₂ = umur; X₃ = tinggi pohon

Pada tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa model terbaik pada kedua citra tidak berbeda nyata antara hasil pengukuran di lapangan dengan hasil model terpilih. Hal tersebut berati bahwa pada uji t dengan taraf nyata sebesar 5%, koefisien dari variabel bebas (variabel prediktor) dapat menjelaskan biomassa secara signifikan. Dengan demikian model terbaik yang telah terpilih bisa di gunakan untuk pendugaan nilai biomassa atas permukaan tegakan jati di lapangan.


(36)

5.3.5 Pengaruh Penambahan Tinggi dan Umur Pohon pada Model Pendugaan Biomassa

Penambahan variabel umur dan tinggi pohon bisa dikatakan telah terbukti meningkatkan akurasi dalam pendugaan model biomassa, hal tersebut dapat di lihat dari hubungan biomassa dan HV citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dengan model terbaiknya yaitu model eksponensial, didapatkan nilai R²adj

sebesar 79,4%. Sedangkan pada hubungan biomassa dan HV citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m dengan model terbaik yaitu model eksponensial didapatkan nilai R²adj sebesar 71,7%.

Peningkatan nilai R²adj pada penambahan variabel umur dan tinggi pohon

pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m ialah sebesar 16,3% dan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m ialah sebesar 7,9 %. Peningkatan nilai R²adj

pada penambahan variabel umur pohon pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m ialah sebesar 9,3 % dan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m ialah sebesar 2%. Sedangkan peningkatan nilai R²adj pada penambahan variabel tinggi pohon

pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m ialah sebesar 14,3 % dan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m ialah sebesar 5,9%. Tabel berikut merupakan tabel perbandingan nilai pada pendugaan nilai biomassa dengan mengunakan dua variabel,tiga variabel, dan empat variabel.

Tabel 21 Perbandingan nilai R2adj pada tiga jenis model pendugaan biomassa

Variabel

Resolusi BS BS dan Umur BS dan Tinggi BS,Umur, dan tinggi

R2adj R 2

adj R

2

adj R

2 adj

50 m 71,7% 81,0% 86,0% 88,0%

12,5 m 79,4% 81,0% 85,3% 87,3%

Keterangan : BS=

Dari tabel tersebut dapat di lihat bahwa akurasi akan meningkat seiring penambahan peubah yang di gunakan dalam pemodelan. Hal tersebut menunjukan bahwa peubah peubah prediktor yang ditambahkan mampu menjelaskan dengan baik peubah responnya dalam hal ini ialah biomassa atas permukaan.


(37)

5.4 Peta Sebaran Biomassa

Peta sebaran biomassa berisi informasi tentang sebaran biomassa pada wilayah pengamatan. Peta sebaran biomassa dibuat berdasarkan model terpilih menggunakan hubungan antara biomassa dengan dan umur pohon yang telah dilakukan pada kegiatan pemodelan sebelumya. Pada penelitian ini dilakukan pengkelasan biomassa untuk memudahkan dilakukannya pemetaan sebaran biomassa. Pada penelitian ini kelas terbaik didapatkan pada sebaran nilai biomassa di lapangan dengan pembagian tiga kelas. Berikut merupakan gambar grafik distribusi kelas biomassa.

Gambar 4 Grafik distribusi kelas biomassa.

Berdasarkan grafik distribusi biomassa tersebut nilai biomassa dibagi menjadi tiga kelas. Pada kelas pertama sebaran biomassa mulai dari 7,52 ̶ 82,59 ton/ha, kelas kedua 82,59 – 149,52 ton/ha, dan kelas ketiga berkisar antara 149,52 – 346,34 ton/ha. Kemudian peta biomassa dibangun berdasarkan kelas biomassa tersebut. Pemetaan yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan dengan beberapa cara yaitu dengan basis piksel dan anak petak. Setelah itu dilakukan perhitungan

nilai (OA) dan (KA) untuk mengetahui akurasi

dari masingImasing peta sebaran biomassa. Tabel 26 dan 27 dibawah ini merupakan hasil dari perhitungan nilai OA dan KA pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5m.

0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00 400.00

B

io

m

as

sa

(t

o

n

/H

a)

Grafik Distribusi Biomassa


(38)

Tabel 22 Hasil perhitungan (OA) dan (KA) pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m

ALOS PASAR Resolusi 50m

Variabel Anak Petak (%) ? (%)

(%)

3x3 4x4

OA KA OA KA OA KA OA KA

HV+umur 60,65 39,85 67,21 50,06 70,49 55,05 70,49 54,85

Tabel 23 Hasil perhitungan (OA) dan (KA)

pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m

ALOS PASAR Resolusi 12,5 m

Variabel Anak Petak (%) ? (%)

(%)

5x5 7x7

OA KA OA KA OA KA OA KA

HV+umur 61,90 42,87 59,01 37,34 65,57 47,25 67,21 49,89

Berdasarkan Tabel tersebut citra hasil memiliki hasil akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan biomassa yang dipetakan berdasarkan anak petak dan berdasarkan piksel . Berdasarkan Tabel 22 dan 23, didapatkan

nilai (OA) dan (KA) terbesar diperoleh pada

hasil 7x7 pada ALOS PALSAR resolusi 12,5m dan 3x3 pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m. merupakan suatu prosedur atau fungsi matematis yang menggunakan matriks bujur sangkar ( ) sebagai alat utama yang biasanya akan dikenakan terhadap citra.

Pemetaan biomassa berdasarkan anak petak cendrung memiliki nilai

(OA) dan (KA) yang lebih rendah dibandingkan dengan pemetaan biomassa berbasis piksel. Hal tersebut dikarenakan data petak yang dirisalah cenderung homogen pada saat perisalahan sehingga pemetaan dengan cara ini lebih global dibandingkan dengan pemetaan dengan menggunakan basis piksel. Seiring berjalanya waktu banyak hal yang terjadi pada petak tersebut. Misalnya saja pencurian dan hama yang menyebabkan pertumbuhan dan jumlah pohon per petaknya terganggu. HalIhal tersebut bisa diminimalisir berdasarkan pemetaan dengan basis piksel. Selain itu juga berguna untuk


(39)

menghilangkan dan pada citra radar sehingga hasil ketelitian yang dihasilkan lebih akurat.

Proses membantu menstabilkan nilai disekitar titik pengamatan. Hal ini bisa untuk meminimalisir bias yang dapat ditimbulkan akibat adanya pergeseran * titik pengamatan pada citra karena banyaknya

. Pada pendugaan pemetaan secara spasial hal ini penting dilakukan karena sekelompok * memiliki faktor lokal yang bisa mempengaruhi nilai . Berikut ini merupakan Peta Sebaran Biomassa biomassa yang merupakan hasil terbaik berdasarkan nilai OA dan KA.

Gambar 5 Peta sebaran biomassa di KPH Kebonharjo resolusi 50 m berdasarkan anak petak.


(40)

Gambar 6 Peta sebaran biomassa di KPH Kebonharjo resolusi 50 m berdasarkan piksel dengan 3x3.

Berdasarkan Gambar 5 dan Gambar 6 nilai yang

didapatkan pada pemetaan dengan basis piksel lebih tinggi dari pada pemetaan dengan anak petak. Kedua jenis pemetan pada resolusi 50 m ini memiliki penampakan yang hampir serupa, namun apabila dilihat dengan seksama terdapat perbedaan pada sebaran spasial kelas biomassa tersebut. Biomassa yang seharusnya dikelaskan menjadi kelas tiga cenderung dikelaskan menjadi biomassa kelas dua pada pemetaan dengan menggunakan anak petak. Peta biomassa pada resolusi 50 m tersebut juga menunjukan bahwa sebagian besar biomassa di KPH Kebonharjo didominasi oleh biomassa kelas satu yang digambarkan dengan warna ungu dan kelas dua yang digambarkan dengan warna biru. Selain menggunakan resolusi 50 m dilakukan juga pemetaan dengan kedua metode tersebut pada resolusi 12,5 m. Gambar berikut merupakan peta sebaran biomassa dengan menggunakan anak petak dan basis piksel pada resolusi 12,5 m.


(41)

Gambar 7 Peta sebaran biomassa di KPH Kebonharjo resolusi 12,5 m berdasarkan anak petak.

Gambar 8 Peta sebaran biomassa di KPH Kebonharjo resolusi 12,5 m berdasarkan piksel dengan 7x7.


(42)

Dari hasil yang diperoleh pada Gambar 7 dan Gambar 8 nilai

yang didapatkan pada pemetaan dengan basis piksel 7x7 lebih tinggi dari pada pemetaan dengan anak petak pada resolusi 12,5 m. Peta biomassa dengan basis piksel memiliki penampakan biomassa yang lebih detail dibandingkan dengan peta sebaran biomassa dengan menggunakan anak petak. Hal tersebut dapat dilihat dari sebaran biomassa secara spasial yang dapat digambarkan dengan baik khususnya pada biomassa kelas tiga.

Kesalahan yang sering terjadi ialah biomassa kelas tiga cenderung dipetakan menjadi biomassa kelas dua dan biomassa kelas dua cenderung dikelaskan menjadi kelas satu pada pemetaan dengan menggunakan anak petak. Hal tersebut terjadi karena satuan areal yang digunakan oleh pemetaan dengan menggunakan anak petak lebih luas dibandingkan dengan menggunakan basis piksel, sehingga informasi yang digunakan untuk pembangunan peta tersebut juga akan lebih general pada pemetaan dengan menggunakan anak petak. Pada pemetaan dengan basis piksel biomassa diduga berdasarkan areal seluas piksel itu sendiri, yaitu 12,5m x 12,5 m sehingga penampakanya akan lebih detail. Peta biomassa pada resolusi 12,5 m tersebut juga menunjukan bahwa sebagian besar biomassa di KPH Kebonharjo didominasi oleh biomassa kelas satu dan kelas dua, namun terdapat pula sebaran biomassa kelas tiga khususnya pada bagian tengah areal KPH Kebonharjo.

Peta sebaran biomassa dengan nilai akurasi yang tinggi didapatkan pada pemetaan biomassa dengan basis piksel dibandingkan dengan anak petak, baik pada resolusi 50 m maupun resolusi 12,5 m. Tentu saja terdapat perbedaan sebaran biomassa antara kedua jenis resolusi tersebut karena perbedaan resolusi spasial akan mempengaruhi suatu peta. Peta sebaran biomassa pada Gambar 6 dan 8 merupakan peta sebaran biomassa dengan nilai akurasi yang terbaik pada resolusi 50 m dan 12,5 m. Pada peta tersebut dapat dilihat bahwa sebaran biomassa di KPH Kebonharjo didominasi oleh kelas satu dan kelas dua. Peta sebaran biomassa resolusi 12,5 m memiliki penampakan yang lebih detail daripada 50 m. Hal tersebut dipengaruhi oleh resolusi citra. Karena resolusinya lebih tinggi, citra resolusi 12,5 m dapat menduga biomassa dalam satuan luasan yang lebih kecil dibanding dengan citra resolusi 50 m. Selain itu pula kandungan


(43)

biomassa yang terdapat pada peta sebaran biomassa resolusi 12,5 m dapat digambarkan dengan baik dibandingkan dengan peta sebaran biomassa resolusi 50 m, hal tersebut dapat dilihat dari biomassa kelas tiga yang mampu digambarkan dengan lebih detail dan menyebar terutama pada bagian tengah areal KPH tersebut. Selain itu pula pada bagian kiri atas areal dapat dilihat bahwa biomassa kelas dua mampu diidentifikasi pada peta sebaran biomassa resolusi 12,5 m.

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Syarif (2011) di tempat yang sama dengan pemetaan menggunakan hubungan biomassa dan

saja, nilai KA dan OA terbesar didapatkan pada peta sebaran biomassa berdasarkan anak petak. Nilai KA 30,06% dan nilai OA 55,56% pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m. Sedangkan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m nilai KA dan OA terbaiknya yaitu sebesar 37,15% dan 60,32%. Dengan demikian penambahan variabel lapangan berupa umur pohon terhadap peta sebaran biomassa terbukti dapat meningkatkan nilai KA dan OA.

Apabila dibandingkan dengan nilai KA pada peta sebaran biomassa berdasarkan anak petak dengan menambahkan variabel umur. Maka nilai KA dengan penambahan variabel umur pohon akan meningkat sebesar 9,79% pada resolusi 50 m dan 5,72% pada resolusi 12,5 m. Sedangakan nilai OA akan meningkati 5,09% pada 50 m dan 1,58% pada 12,5 m. Tabel 24 dan 25 berikut ini merupakan Tabel perbandingan nilai KA dan OA sebelum ditambahkan variabel umur dan setelah ditambahkan variabel umur.

Tabel 24 Perbandingan nilai KA dan OA sebelum dan sesudah di tambahkan variabel umur pada peta sebaran biomassa berdasarkan anak petak

Variabel

Resolusi Polarisasi BS BS + Umur OA(%) KA(%) OA(%) KA(%)

50 m HV 55,56 30,06 60,65 39,85

12,5 m HV 60,32 37,15 61,90 42,87 Keterangan : OA= ; KA= <BS;


(44)

-Tabel 25 Perbandingan nilai KA dan OA sebelum dan sesudah di tambahkan variabel umur pada peta sebaran biomassa berdasarkan piksel

Variabel

Resolusi Polarisasi BS BS + Umur OA(%) KA(%) OA(%) KA(%)

50 m HV 53,97 27,3 70,49 55,05

12,5 m HV 55,56 29,75 67,21 49,89 Keterangan : OA= ; KA= <BS;

-Pada tabel tersebut dapat dilihat juga peningkatan nilai KA dan OA pada peta sebaran biomassa dengan basis piksel, Penambahan variabel umur akan menambah nilai KA sebesar 27,75% pada resolusi 50 m dan 20,41% pada resolusi 12,5 m, Sedangakan nilai OA akan meningkati 16,52% pada 50 m dan 11,65% pada 12,5 m, Dari dua jenis pemetaan sebaran biomassa tersebut dapat di lihat bahwa nilai KA dan OA akan meningkat apabila ditambahkan dengan variabel umur baik pada pemetaan dengan basis piksel maupun dengan pemetaan berdasarkan anak petak, Peningkatan yang signifikan terjadi pada jenis pemetaan berdasarkan piksel, Sementara itu resolusi spasial juga mempengaruhi nilai akurasi pemetaan, Dari hasil yang didapat pada jenis pemetaan berdasarkan anak petak ALOS PALSAR dengan resolusi 12,5 m memiliki nilai akurasi yang lebih baik di bandingkan resolusi 50 m, Selain itu juga ALOS PALSAR resolusi 12,5 m terbukti dapat menggambarkan kelas biomassa 3 lebih baik dari citra ALOS PALSAR resolusi 50 m.


(45)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Penambahan variabel prediktor ( ) berupa umur dan tinggi pohon terbukti dapat meningkatkan akurasi model pendugaan biomassa atas permukaan dibandingkan hanya menggunakan peubah citra ( ) saja.

2. Model terbaik pendugaan biomassa dengan menggunakan hubungan antara biomassa (Y) dengan (X₁) dan umur pohon (X₂) ialah Y = 173 I ( 0,686X₁²) + (0,0181X₂²) dengan nilai R²adj sebesar 81% pada citra ALOS

PALSAR resolusi 50 m dan Y = EXP (6,108 + (0,136X₁)+ (0,013X₂)) dengan nilai R²adj sebesar 81,02 % pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5

m.

3. Model terbaik pendugaan biomassa dengan menggunakan hubungan antara biomassa (Y) dengan (X₁) dan tinggi pohon (X₂) ialah Y = 111,507 – 0,449X₁² + 0,186X₂² dengan nilai R²adj sebesar 86% pada citra

ALOS PALSAR resolusi 50 m dan Y = 35,389 + 3,369X₁ + 7,589X₂ dengan nilai R²adj sebesar 85,3 % pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m.

4. Model terbaik pendugaan biomassa dengan menggunakan hubungan antara biomassa (Y) dengan (X₁), umur (X₂), dan tinggi pohon (X₃)

ialah Y = 123 – 0,488X₁² + 0,00745X₂² + 0,127X₃² dengan nilai R²adj

sebesar 88% pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan Y = 105 – 0,231X₁² + 0,00802X₂² + 0,126X₃² dengan nilai R²adj sebesar 87,3 % pada

citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m.

5. Penambahan variabel prediktor ( ) berupa umur pohon terbukti dapat meningkatkan hasil akurasi peta pendugaan biomassa atas permukaan dibandingkan hanya menggunakan peubah citra ( ) saja.

6. Pemetaan biomassa dengan menggunakan basis piksel memiliki nilai akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan rataIrata nilai biomassa per anak petak.


(1)

Lampiran 1 (Lanjutan) NO PLOT

ID

Resolusi 50 m Resolusi 12,5 m BS HH BS HV BS HH BS HV 44 50082 I7,31082 I14,8352 I8,69212 I15,2948 45 50083 I5,05636 I11,7354 I7,37191 I14,0081 46 50084 I9,0497 I15,5717 I9,898 I17,5442 47 50085 I7,13937 I13,2866 I7,89903 I14,1251 48 50086 I5,86814 I12,9808 I7,76322 I14,6342 49 50087 I5,53675 I11,9532 I6,39921 I12,8668 50 50088 I4,68365 I10,7456 I7,40229 I13,9304 51 50089 I5,46202 I11,5208 I6,53898 I13,0947 52 50090 I5,85472 I12,4197 I8,91652 I15,6718 53 50091 I5,32081 I11,5065 I6,89352 I13,2168 54 50092 I4,86802 I11,5228 I6,44803 I13,5279 55 50093 I5,21967 I11,075 I7,01374 I13,3342 56 50094 I6,5591 I12,5147 I7,28518 I13,8428 57 50095 I6,28077 I12,7106 I8,76427 I15,4001 58 50096 I8,04995 I14,2784 I13,3422 I21,0496 59 50097 I6,09001 I11,9535 I7,36373 I13,8748 60 50056A I6,57898 I11,8803 I7,25098 I12,5123 61 50074 I6,79326 I12,9998 I7,03925 I13,3378 Rata I rata I6,09736 I12,2366 I7,37397 I13,9159


(2)

53

Lampiran 2 Matriks perhitungan KA dan OA per anak petak resolousi 12,5 m

Biomassa Titik plot Total

Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Peta

Kelas 1 13 4 0 17

Kelas 2 4 14 6 24

Kelas 3 5 5 12 22

Total 22 23 18 61

Overall Accuracy (%) 61,90 Kappa Accuracy (%) 42,87

Lampiran 3 Matriks perhitungan KA dan OA per anak petak resolousi 50 m

Biomassa Titik plot Total

Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3

Peta

Kelas 1 13 8 1 22

Kelas 2 4 16 10 30

Kelas 3 1 8 9

Total 18 24 19 61

Overall Accuracy (%) 60,65 Kappa Accuracy (%) 39,85

Lampiran 4 Matriks perhitungan KA dan OA per piksel resolousi 12,5 m

Biomassa Titik plot Total

Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Peta

Kelas 1 10 7 17

Kelas 2 6 15 8 29

Kelas 3 2 2 11 15

Total 18 24 19 61

Overall Accuracy (%) 59,01 Kappa Accuracy (%) 37,34


(3)

Lampiran 5 Matriks perhitungan KA dan OA per piksel 5x5 resolousi 12,5 m

Biomassa Titik plot Total

Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3

Peta

Kelas 1 11 6 17

Kelas 2 6 17 7 30

Kelas 3 1 1 12 14

Total 18 24 19 61

Overall Accuracy (%) 65,57 Kappa Accuracy (%) 47,26

Lampiran 6 Matriks perhitungan KA dan OA per piksel 7x7 resolousi 12,5 m

Biomassa Titik plot Total

Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Peta

Kelas 1 12 6 18

Kelas 2 5 17 7 29

Kelas 3 1 1 12 14

Total 18 24 19 61

Overall Accuracy (%) 67,21 Kappa Accuracy (%) 49,89

Lampiran 7 Matriks perhitungan KA dan OA per piksel resolousi 50 m

Biomassa Titik plot Total

Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Peta

Kelas 1 13 8 21

Kelas 2 5 16 7 28

Kelas 3 12 12

Total 18 24 19 61

Overall Accuracy (%) 67,21 Kappa Accuracy (%) 50,06


(4)

55

Lampiran 8 Matriks perhitungan KA dan OA per piksel 3x3 resolousi 50 m

Biomassa Titik plot Total

Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Peta

Kelas 1 12 6 21

Kelas 2 5 17 7 28

Kelas 3 1 1 12 12

Total 18 24 19 61

Overall Accuracy (%) 70,49 Kappa Accuracy (%) 55,05

Lampiran 9 Matriks perhitungan KA dan OA per piksel 4x4 resolousi 50 m

Biomassa Titik plot Total

Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Peta

Kelas 1 11 6 20

Kelas 2 6 17 7 30

Kelas 3 1 1 12 11

Total 18 24 19 61

Overall Accuracy (%) 70,49 Kappa Accuracy (%) 54,85


(5)

Citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 m dan 50 m dengan Peubah , Umur, dan Tinggi Pohon (Kasus KPH Kebonharjo PERUM PERHUTANI UNIT I Jawa Tengah)Dibimbing oleh M. BUCE SALEH.

Pemanasan global merupakan salah satu isu lingkungan yang penting pada saat ini, penyebabnya adalah efek gas rumah kaca. Karbondioksida (CO2)

merupakan salah satu gas rumah kaca yang berperan sebagai perangkap panas di atmosfer. Karbondioksida diserap oleh hutan dan disimpan dalam bentuk biomassa. Informasi mengenai biomassa dapat diperoleh dengan menggunakan teknologi pengindraan jauh. Salah satunya ialah dengan citra satelit ALOS PALSAR. Selain itu tentunya variabel lapangan juga memiliki hubungan yang erat dengan biomassa. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan hasil dugaan biomassa maka selain variabel citra berupa dapat digunakan variabel lapangan berupa umur dan tinggi pohon.

Tujuan penelitian ini adalah : (1) Memperbaiki dan meningkatkan akurasi dari model pendugaan biomassa berdasarkan dengan menambahkan variabel umur, dan tinggi pohon ; (2) Memperbaiki dan meningkatkan ketelitian pada pemetaan biomassa berdasarkan dengan menambahkan variabel umur pohon. Perhitungan biomassa dilakukan dengan menggunakan alometrik Hendri dan konversi biomassa menggunakan koefisien BEF (

). Penyusunan model dilakukan dengan menggunakan dua variabel, tiga variabel, dan empat variabel. Model terbaik dipilih berdasarkan nilai koefisien determinasi (R2), koefisien determinasi terkoreksi (R2adj) dengan nilai tertinggi,

dan (RMSE) paling rendah. Pemetaan dilakukan berdasarkan anak petak,basis piksel, dan Pemetaan biomassa terbaik dipilih berdasarkan nilai dan paling tinggi.

Berdasarkan analisis regresi diperoleh hasil, model terbaik dengan variabel (X₁), umur (X₂), dan tinggi pohon (X₃) ialah model kuadratik Y = 123 – 0,488X₁² + 0,00745X₂² + 0,127X₃² pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dengan nilai R2adj sebesar 88% dan Y = 105 – 0,231X₁² + 0,00802X₂² + 0,126X₃²

pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m dengan nilai R2adj sebesar 87,3%.

Berdasarkan hasil uji akurasi pada peta sebaran biomassa didapatkan nilai terbaik pada pemetaan dengan penambahan variabel umur pohon berbasis piksel. Nilai terbaik pada 3x3 untuk resolusi 50 m sebesar 55,05% dan 7x7 untuk resolusi 12,5 m sebesar 49,89%. Peta sebaran biomassa dari citra biomassa yang dipetakan dengan menggunakan anak petak cenderung Penambahan variabel lapangan berupa umur dan tinggi pohon terbukti telah menambah akurasi dari model pendugaan biomassa. Penambahan variabel lapangan berupa umur pohon terbukti telah meningkatkan akurasi dari peta sebaran biomassa.

Kata Kunci : Biomassa, ALOS PALSAR, , Jati, umur dan tinggi pohon


(6)

SUMMARY

ADITYA SANI SASMITA The Biomass Estimation on Teak Stand Using ALOS

PALSAR Image Resolution of 50 M and 12,5 M With Backscatter, Age, and Height of Trees Variable Study at K.P.H. Kebonharjo PERUM PERHUTANI UNIT I in Central Java. Supervised by M. BUCE SALEH.

Global warming is one of the environmental issues that are important at the moment. The cause of global warming is the effect of greenhouse gases. Carbon dioxide (CO2) is one of the greenhouse gases which trap heat in the atmosphere.

The carbon dioxide absorbed by forests and is stored in the form of biomass. Information about biomass can be obtained using the technology of remote sensing. Such as by satellite ALOS PALSAR image. Of course the field variable also has close relation with biomass. Therefore, to maximize the results of the biomass estimation beside backscatter we used the field variable such as aged and height of trees.

The purpose of this research is : (1) To improve and gained accuracy of biomass estimatimation based on backscatter by adding the variable age, and height of tree; ( 2 ) To improve and increase biomass mapping based on backscatter by adding the variable age of trees. Calculation of biomass done by using Hendri alometric and BEF (Biomass Expantion Factor) coefficient. The formula of the biomass model conducted using two variables, three variables, and four variable. The best model are selected based on the higest value of the coefficient determination (R2), corrected coefficient determination (R2adj), and the

Root Mean Square Error (RMSE) which have the lowest value. The mapping is done by the areal base, pixel base, and pixel base using filltering. The best map selected due to Overall Accuracy (OA) and Kappa Accuracy (KA) which have the highest value.

From the regresion analys result, the best model are quadratic model using backscatter (X₁), Age (X₂), and Height of Trees (X₃). The equation is Y = 123 – 0.488X₁² + 0.00745X₂² + 0.127X₃² for ALOS PALSAR image 50 m resolution with R2adj value 88% and Y = 105 – 0.231X₁² + 0.00802X₂² + 0.126X₃² for ALOS PALSAR image 12,5 m resolution with R2adj value 87.3%. From the

accuracy test result of mapping, the best biomass map are using the pixel base with 3x3 filtering for 50 m resolution and 7x7 filltering for 12.5 m resolution. They have the higest Kappa Accuracy value which is 55.05% for 50 m resolution and 49.89% for 12.5 m resolution. The biomass map using areal based method tend to overestimates. From this research, adding the age and height of tree variable proven to incraese the accuracy of biomass model estimates and adding the variable age proven to increase the accuration of biomass mapping.