Jati Linn.F TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Jati Linn.F

Tanaman jati diklasifikasikan ke dalam famili Verbenaceae, genus Tectona, dengan nama species terbanyak di Indonesia adalah Linn.F, dimana jenis ini merupakan jenis terbaik dibandingkan dengan jenis Jati lainnya. Sejak abad ke 9 tanaman jati yang merupakan tanaman tropika dan subtropika telah dikenal sebagai pohon yang memiliki kayu kualitas tinggi dan bernilai jual tinggi. Tanaman jati yang tumbuh di Indonesia berasal dari India. Secara historis, nama berasal dari bahasa Portugis yang berarti tumbuhan yang memiliki kualitas tinggi. Di negara asalnya, tanaman jati dikenal dengan banyak nama daerah, seperti , di wilayah Asam; - Bengali; Bombay Sumarna 2001. Tempat tumbuh yang optimal 0I700 m dari permukaan laut. Di Indonesia, memang masih dijumpai jati pada ketinggian 1300 mdpl namun dengan pertumbuhannya menjadi kurang optimal. Selain itu untuk tumbuh dengan optimal jati memerlukan daerah dengan musim kering yang nyata meski bukan syarat mutlak, memiliki curah hujan 1200I3000 mmtahun, intensitas cahaya cukup tinggi, 75I100 dan suhu berkisar 22°CI31°C Mahfudz 2005. Ditinjau dari sifat fisiknya, kayu jati mempunyai berat jenis 0,62I0,75. Dan memiliki kelas kuat II dengan penyusutan hingga kering tanur 2,8 sampai 5,3 Sumarna 2001. Jati memiliki wilayah persebaran yang cukup luas, meliputi sebagian besar India, Myanmar, Laos, Kamboja, bagian Barat Thailand dan IndoIChina. Di Indonesia, jati terdapat di sebagian Pulau Jawa dan beberapa kepulauan kecil seperti di Muna, Kangean, Sumba dan Bali. Tanaman jati ini khususnya yang tumbuh di Jawa dapat tumbuh terutama pada daerahIdaerah panas dengan tanah yang rendah dan berbukitIbukit, sifatnya agak kurus dan kurang air, yang terdiri dari formasi tua kapur dan margalit Fahutan UGM 1976. Hutan jati yang sebagian besar berada di Pulau Jawa dikelola oleh Perum Perhutani. Dimana luas daerah pengelolaannya mencapai 2,6 juta ha yang terdiri dari 54 KPH Kesatuan Pemangkuan Hutan. Produksi hutan jati yang dikelola oleh Perhutani rataIrata 800.000 m 3 tahun, dimana sebagian besar produksi hutan jati dijual dalam bentuk log. Pada penelitian ini digunakan beberapa parameter tegakan jati diantaranya ialah tinggi pohon dan umur pohon untuk membantu dalam pendugaan biomassa atas permukaan. Tinggi pohon adalah salah satu dimensi yang di gunakan untuk mengetahui nilai volume pohon. Tinggi pohon pada tegakan seumur juga merupakan parameter yang penting dalam pemilihan pohon benih dan kunci untuk menentukan perlakuan penjarangan. Peninggi yang didefinisikan sebagai rata rata 100 pohon tertinggi yang tersebar merata dalam areal 1 hektar, dikaitkan dengan umur tegakan jati merupakan komponen informasi yang diperlukan untuk menentukan indeks tempat tumbuh atau kualitas tempat tumbuh. Parameter umur pohon digunakan perhutani untuk membagi wilayahnya pengelolaanya kedalam beberapa kelas umur. Selain itu umur pohon juga bermanfaat untuk menentukan waktu penjarangan dan penebangan. Pada hutan jati seumur, penjarangan dilakukan setiap 3I5 tahun sampai pohon berumur 15 tahun. Setelah berumur lebih dari 15 tahun, penjarangan dilakukan setiap 5I10 tahun. Agar dapat memberikan penghasilan yang maksimal sebaiknya pohon jati ditebang jika telah cukup dewasa untuk menghasilkan kayu berkualitas baik, minimal pohon telah berumur sekitar 15I20 tahun CIFOR 2010. Saat ini apresiasi masyarakat terhadap kayu jati semakin tinggi. Pemanfaatan yang dilakukan lebih terfokus pada penggunaan jati untuk nilai estetika keindahan. Hal tersebut terjadi karena penampilan kayu jati yang menarik sari segi warna kayu teras dan kayu gubalnya yang bervariasi, dari cokelat muda, cokelat kelabu, sampai cokelat merah tua atau merah cokelat. KadangIkadang diselingi warna putih kekuningan dengan lingkaran tumbuh tampak jelas, baik pada bidang transversal maupun radial, sehingga menimbulkan ornament yang indah. Sehingga penggunaannya lebih banyak diarahkan untuk keperluan pembuatan bahan mebel atau dan bahan baku pembuatan kerajinan . Namun ada pula yang digunakan untuk keperluan bahan bangunan dan industri Tini Amri 2002.

BAB III METODOLOGI