Kajian Morfopatologi Ginjal Kucing Yang Terpapar Feline Infectious Peritonitis (FIP)

(1)

K

YANG T

KAJIAN

TERPAP

NOV

FAK

IN

MORFO

PAR FELI

VI HAND

KULTAS

NSTITUT

OPATOLO

INE INFE

DAYANI

KEDOK

T PERTA

BOGO

2011

OGI GINJ

ECTIOUS

SETIA M

KTERAN

ANIAN BO

OR

1

JAL KUC

S PERITO

MARETA

HEWAN

OGOR

CING

ONITIS (F

A

N


(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Kajian Morfopatologi Ginjal Kucing yang Terpapar Feline Infectious Peritonitis (FIP) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka bagian akhir.

Bogor, Januari 2011

Novi Handayani S. Mareta NIM B04060982


(3)

ABSTRACT

NOVI HANDAYANI SETIA MARETA. The Morphopathological Study of Cat Kidney which Suffering of Feline Infectious Peritonitis (FIP). Supervised by  EKOWATI HANDHARYANI and ADI WINARTO. 

This study was aimed to clarify the morphophatological aspect of Feline Infectious Peritonitis (FIP) that was focused on its kidney. In this study three cats that were diagnoses suffering of FIP were used as case samples. The morphophatological observation was done based on the regular protocol of Laboratory Pathology, Faculty of Veterinary Medicine, Bogor Agricultural University. The morphophatological changes of kidneys were evaluated by performing necroption and the histopathological changes were observed under light microscope after stained with Haematoxilin-Eosin dyes method. The results of gross findings showed that all evaluated kidneys have congestion and granulomatous nephritis. Histopathologically, these changes demonstrated general congestion, degeneration and necrosis of epithelial tubules, dilatation of tubules and infiltration of inflammatory cells (macrophages, lymphocytes and plasma cells) in the interstitial spaces with mild fibrosis. It could be conclude that interstitial granulomatous nephritis and congestion are the main morphophatological findings of the cat kidney which suffering of FIP.


(4)

ABSTRAK

NOVI HANDAYANI SETIA MARETA. Kajian Morfopatologi Ginjal Kucing yang Terpapar Feline Infectious Peritonitis (FIP). Dibimbing oleh EKOWATI HANDHARYANI dan ADI WINARTO.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji gambaran morfopatologi ginjal kucing yang terpapar Feline Infectious Peritonitis (FIP). Pada studi ini digunakan tiga kucing yang didiagnosa terpapar FIP. Pengamatan morfopatologi dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Perubahan morfopatologi ginjal diamati dengan melakukan nekropsi dan perubahan histopatologi diamati di bawah mikroskop cahaya setelah diwarnai dengan metode pewarnaan Hematoxilin-Eosin. Perubahan yang ditemukan dari semua ginjal yaitu kongesti dan nefritis granuloma. Secara histopatologi, perubahan yang terlihat secara umum berupa kongesti, degenerasi, dan nekrosa epitel tubuli, dilatasi tubuli, dan infiltrasi sel radang (makrofag, limfosit, dan sel plasma) pada interstisial dengan fibrosis ringan. Dapat disimpulkan bahwa nefritis interstisial granuloma dan kongesti merupakan ciri morfopatologi yang khas ditemukan pada ginjal kucing yang terpapar FIP.


(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(6)

KAJIAN MORFOPATOLOGI GINJAL KUCING

YANG TERPAPAR FELINE INFECTIOUS PERITONITIS (FIP)

NOVI HANDAYANI SETIA MARETA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(7)

LEMBAR PENGESAHAN

 

Judul Skripsi : Kajian Morfopatologi Ginjal Kucing yang terpapar Feline Infectious Peritonitis (FIP)

Nama : Novi Handayani Setia Mareta NIM : B04060982

Disetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Drh. Ekowati Handharyani, Msi. Ph.D Drh. Adi Winarto, Ph. D

NIP. 19591217 198601 2 001 NIP.19580516 198601 1 001

Diketahui, Wakil Dekan

Fakultas Kedokteran Hewan

Dr. Nastiti Kusumorini NIP. 19621205 198703 2 001


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Feline Infectious Peritonitis Coronaviridae ... 4

Patogenesa ... 5

Gejala Klinis ... 6

Teknik Diagnosa ... 7

Diferensial Diagnosa ... 7

Pengobatan ... 8

2.2. Kucing ... 8

2.3. Ginjal Anatomi Ginjal ... 9

Histologi Ginjal ... 10

Fungsi Ginjal ... 12

Patologi Anatomi dan Histopatologi Ginjal yang Terinfeksi FIP ... 12

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 15

3.2. Materi Penelitian Sampel Organ ... 15

Bahan dan Alat ... 15

3.3. Metode Penelitian Pemeriksaan Patologi Anatomi ... 16

Pemeriksaan Histopatologi ... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Patologi Anatomi ... 19

4.2. Histopatologi ... 25

V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan ... 31

5.2. Saran ... 31


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Identitas kucing dengan kasus FIP………. 15 2. Temuan Patologi Anatomi kucing yang terpapar FIP……… 20 3. Temuan Patologi Anatomi Ginjal Kucing yang terpapar FIP……… 22 4. Temuan Histopatologi ginjal kucing yang terinfeksi

FIP... 26  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Partikel coronavirus dengan gambaran mikroskop elektron... 4

2. Kucing lokal (Felis domesticae)... 9

3. Situs viscerum ginjal kucing... 10

4. Histologi korpuskulus renalis ginjal kucing... 11

5. Patologi anatomi ginjal kucing dengan FIP tipe kering... 12

6. Ginjal kucing yang terinfeksi FIP tipe kering... 13

7. Gambaran histopatologi ginjal dengan lesio infiltrasi granulomatous perivenous pada vena cortical renal... 13

8. Histopatologi ginjal kucing terinfeksi FIP... 14

9. Gambaran patologis subkapsular ginjal kucing (P/11/09) yang mengalami nefritis granuloma... 23

10. Gambaran histopatologi tubular dan interstisial ginjal kucing (P/11/09). Kongesti pembuluh darah ginjal, degenerasi tubuli... 27

11. Gambaran histopatologi korteks ginjal kucing (P/11/09). Penebalan kapsula Bowan ginjal kucing yang terinfeksi FIP... 28

12. Gambaran histopatologi korteks ginjal kucing (P/36/09). Epitel tubuli ginjal lisis, perluasan lumen tubuli, kongesti... 29

13. Gambaran histopatologi tubular dan interstisial ginjal kucing (P/78/09). Degenerasi tubuli, infiltrasi sel radang, kongesti... 30

14. Gambaran histopatologi korteks ginjal kucing (P/78/09). Infiltrasi sel radang, degenerasi tubuli... 30


(11)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kucing merupakan hewan yang sangat dekat dengan manusia. Menurut sejarahnya kucing pertama kali didomestikasi dan dipelihara oleh manusia pada awal kebudayaan mesir kuno (Anonim 2010). Masyarakat mesir kuno inilah yang pertama menyadari potensi kucing sebagai pemburu tikus. Mereka menjinakkan dan memelihara kucing untuk melindungi ladang dan gudang jagung. Hingga saat ini semakin banyak manusia yang menjadikan kucing sebagai hewan kesayangan (pet animal). Menurut survey di Amerika & Inggris, lebih banyak kucing yang dipelihara sebagai hewan kesayangan dibandingkan anjing. Sekitar 37% rumah-rumah di Amerika setidaknya memiliki satu ekor kucing (Waluyo 2007).

Sebagai hewan yang dapat hidup dimana saja serta mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya, kucing memiliki kemungkinan untuk terpapar berbagai macam penyakit, baik yang berasal dari agen infeksius maupun akibat sistem pemeliharaan yang kurang tepat. Feline Infectious Peritonitis (FIP) adalah salah satu penyakit yang sangat penting yang dapat menyebabkan kematian pada kucing. Belakangan diketahui bahwa penyakit FIP ini menyebar sangat luas pada populasi kucing, bahkan di Amerika Serikat 25% populasi kucing terinfeksi. Penyakit ini dianggap sebagai penyakit yang terjadi secara sporadis, yang sangat fatal sifatnya (Subronto 2006).

Sebagai informasi, FIP dapat terjadi pada kucing dengan semua tingkatan umur, namun lebih sering pada kucing dengan umur kurang dari tiga tahun (Norris 2007). Menurut Aiello (1998), Feline Infectious Peritonitis ini dilaporkan dapat menyerang semua ras kucing meskipun sebenarnya merupakan suatu penyakit primer pada kucing domestik (Felis domestica).

Feline Infectious Peritonitis pertama kali digambarkan oleh Holzworth

pada tahun 1963 sebagai suatu sindrom yang dikenal dengan chronic fibrinous

peritonitis atau peradangan peritonium kronis yang disertai fibrin (Norris 2007). Agen penyebabnya adalah virus, termasuk ke dalam famili coronaviridae, yang diketahui memiliki kecendrungan seringkali bermutasi pada saat replikasi virus (Norris 2007).


(12)

Horzinek, Lutz (2000) menyebutkan bahwa Feline Infectious Peritonitis merupakan mutasi dari Feline Corona Virus (FCoV) atau Feline Enteric Corona Virus (FECV) menurut Eldredge et al. (2008). Kucing yang sembuh dari infeksi

FECV dapat menjadi carrier yang tidak menunjukkan gejala. Kebanyakan dari

kucing tersebut adalah kucing yang tidak memiliki kekebalan atau imunitas terhadap coronavirus. Diperkirakan 30–40% dari seluruh kucing positif memiliki antibodi untuk FECV, 80 sampai 90 persennya terjadi pada catteries (Eldredge et al. 2008).

Menurut Eldredge et al. (2008), sekitar 1% dari seluruh kucing yang terpapar FECV akan berkembang menjadi penyakit sekunder yang dikenal dengan Feline Infectious Peritonitis (FIP). Hal tersebut terjadi karena mutasi coronavirus yang tersebar dimana-mana (Pedersen 2009). Tingkat mortalitas akibat penyakit Feline Infectious Peritonitis mencapai 100% meskipun rata-rata telah dilakukan terapi (Aiello 1998). Kematian dapat terjadi dalam hitungan hari, minggu atau bulan (Pedersen 2009).

Ditinjau dari perjalanan penyakitnya, Feline Infectious Peritonitis merupakan penyakit yang sistemik (Tilley, Smith 2000), dapat menyebar ke seluruh organ tubuh kucing tak terkecuali ginjal. Ginjal kucing yang terinfeksi virus Feline Infectious Peritonitis, terutama tipe kering, akan memperlihatkan ciri yang khas berupa nefritis granuloma (Newman et al. 2007). Keadaan tersebut tentu saja akan sangat mengganggu fungsi ginjal sebagai salah satu organ yang sangat penting dalam tubuh kucing.

Gejala klinis dari kucing yang terinfeksi Feline Infectious Peritonitis tidak patognomonis (Garner et al. 2008). Uji serologisnya pun belum memiliki tingkat spesifisitas dan sensitivitas yang dapat membedakan virus FIP dari golongan coronavirus lainnya (Sharif et al. 2010). Oleh karena itu pemeriksaan patologi anatomi dan histopatologi dilakukan untuk menunjang diagnosa FIP.

1.2. Tujuan

Studi ini bertujuan untuk mengkaji kasus penyakit Feline Infectious Peritonitis (FIP) pada tiga ekor kucing yang dinekropsi di Laboratorium Patologi


(13)

Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Pengkajian ini diutamakan untuk melihat morfopatologi organ ginjal yang terpapar Feline Infectious Peritonitis.

                                                             


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Feline Infectious Peritonitis

Feline Infectious Peritonitis merupakan salah satu penyakit pada kucing yang disebabkan oleh virus dari famili coronaviridae, yaitu coronavirus (Norris 2007). Tidak semua kucing yang terinfeksi coronavirus dapat terserang FIP. Namun, ketika virus tersebut bermutasi kucing memiliki kemungkinan untuk terserang FIP. Infeksi tersebut dapat terjadi sangat fatal dan menyebabkan kematian (Anonim 2010).

Coronaviridae

Coronaviridae memiliki satu genus, coronavirus, yang dapat dibedakan kedalam empat kelompok antigenik I (mamalia), II (mamalia), III (unggas) dan IV (unggas). Virus dalam tiap kelompok menunjukkan reaksi-silang antigen tertentu, dan terdapat sejumlah serotype dalam satu spesies virus. Hewan yang kebal terhadap satu serotype rentan terhadap infeksi oleh serotype yang berbeda dari coronavirus (Fenner et al. 1995).

Gambar 1. Partikel coronavirus dengan gambaran mikroskop elektron (Horzinek, Lutz 2000)

Coronavirus merupakan virus RNA untai tunggal yang memiliki peplomer berbentuk tongkat dan luar biasa besarnya mencuat dari amplop sehingga menyebabkan partikel itu berbentuk korona matahari (Fenner et al. 1995). Virus ini menginfeksi berbagai spesies mamalia dan unggas, penyebab penting dari penyakit pernafasan dan pencernaan, ensefalomyelitis, hepatitis, serositis dan


(15)

vaskulitis. Hal tersebut karena kebanyakan coronavirus memiliki tropisme yang kuat bagi sel epitel saluran pernafasan dan pencernaan (Horzinek, Lutz 2000).

Keseluruhan siklus replikasi coronavirus berlangsung dalam sitoplasma dan relatif lambat. Untai RNA polaritas minus lengkap ditranskripsi dari RNA virion. Dari RNA virion tersebut dihasilkan himpunan tersarang mRNA dengan urutan unik pada ujung 5’nya yang kemudian ditranslasi. Pendewasaan melalui penguncupan ke dalam retikulum endoplasma dan sisterna Golgi. Terakhir virion dilepaskan melalui eksitosis (Fenner et al. 1995).

Patogenesa

Rute masuknya virus Feline Infectious Peritonitis ke dalam tubuh tidak diketahui dengan pasti. Menurut Aiello (1998), infeksi dapat disebabkan oleh ingesti virus atau juga transmisi secara aerosol.

Setelah virus masuk melalui ingesti atau terpapar secara aerosol, virus Feline Infectious Peritonitis pada mulanya bereplikasi pada tonsil atau epitelium usus. Kemudian virus ditransportasikan melalui makrofag dan monosit menuju organ target primer seperti hati, limpa dan viceral lymph node. Perkembangan Feline Infectious Peritonitis dan bentuk klinis penyakit (seperti effusive atau non-effusive) tergantung pada respon kekebalan dalam tubuh kucing.

Kucing dengan respon kekebalan humoral yang kuat dan kekebalan seluler (cell-mediated immunity, CMI) yang lemah atau tidak ada sama sekali respon perlawanan maka Virus FIP akan berkembang menjadi suatu bentuk viremia yang terus menerus dan bentuk FIP effusive. Bentuk penyakit effusive ini dihasilkan dari tersebarluasnya pembentukan dan deposisi immune complex pada pembuluh darah dan bertambahmudahnya aktivasi vaskulitis, kerusakan pembuluh, serta kebocoran serum dan protein ke dalam rongga tubuh.

FIP non-effusive berkembang kronis pada kucing dengan respon kekebalan seluler dan kekebalan humoral yang hanya sebagian (tidak sempurna). Karakteristik pada kucing dengan keadaan ini yaitu immune-mediated (tampak adanya keterlambatan reaksi hipersensitivitas), granuloma perivaskular, lesio pada viscera abdominal, paru-paru, mata dan otak.


(16)

Kucing yang memiliki respon kekebalan seluler yang kuat dengan atau tanpa respon kekebalan humoral, salah satunya dapat sembuh sempurna atau menjadi carrier infeksi persisten yang asimptomatik. Kontak langsung dengan kucing terinfeksi akan menyebabkan FIP berkembang pada kucing-kucing tersebut, terutama pada kondisi stres atau co-infeksi dengan Feline Leukemia Virus (FeLV). Beberapa yang asimptomatik, kucing yang seropositif carrier mungkin selanjutnya akan menjadi seronegatif dan berhenti mengeluarkan virus.

Gejala Klinis

Gejala klinis Feline Infectious Peritonitis sering berubah-ubah dan kompleks, tergantung variasi refleksi virus dalam tubuh, respon imunitas alami dan pengaruh dari stres lingkungan pada kucing (Norris 2007). Secara umum gejalanya seperti anoreksia, depresi, kehilangan berat badan, muntah, diare, ikterus, seizure atau gejala syaraf lain, keguguran, uveitis dan lesio granuloma retina (Shaw, Ihle 1997).

Infeksi FIPV bisa berupa granuloma (kering, non-effusive, parenchymatous) atau effusive (basah, non-parenchymatous). Ini pertama kali dilaporkan oleh Montali dan Standberg tahun 1972 (Pedersen 2009). Menurut Barr, Bowman (2006), target FIP tipe basah adalah pada rongga tubuh sedangkan tipe kering memiliki target berbagai organ.

Menurut Norris (2007), pasien dengan FIP effusive atau basah memiliki protein tinggi pada ruang abdominal, ruang perikardial (sekitar jantung) dan atau rongga toraks, demam, kehilangan berat badan, anemia dan peningkatan level serum globulin, meskipun tidak semua kucing mengikuti stereotype ini. Menurut Eldredge et al. (2008), FIP effusive pada kucing tampak sebagai penyakit kronis. Cairan berakumulasi pada rongga tubuh, terlihat dari gejala sulit bernafas karena adanya cairan pada rongga toraks atau pembesaran abdomen akibat cairan yang berakumulasi pada abdomen. Akumulasi cairan pada kantung jantung (pericardial) dapat menyebabkan kematian mendadak. Gejala klinis lain dari FIP tipe basah yaitu dehidrasi, muntah, diare, jaundice dan urin pekat. Jaundice dan urin pekat ini disebabkan oleh kegagalan hati.


(17)

Feline Infectious Peritonitis yang non-effusive atau tipe kering menunjukkan gejala klinis yang hampir mirip FIP effusive, bedanya pada FIP non-effusive tidak dihasilkan cairan. Hal tersebut menyebabkan penyebaran dari bentuk ini sulit untuk didiagnosa (Eldredge et al. 2008). Karakteristik dari FIP tipe kering yaitu keberadaan granuloma pada organ-organ parenkim seperti ginjal, mesenteric lymph nodes, dinding perut (peritonium), hati, sistem syaraf pusat dan mata (Pedersen 2009). Sekitar 90% dari kasus FIP bentuk kering terlihat dari kerusakan pada mata atau otak, atau keduanya (Eldredge et al. 2008).

Teknik Diagnosa

Feline Infectious Peritonitis adalah salah satu penyakit virus yang sangat serius pada kucing. Diagnosa penyakit yang disebabkan oleh virus FIP dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis, pemeriksaan laboratorium, diagnosa radiografi dan ultrasonografi. Juga dengan pemeriksaan laboratorium diantaranya yaitu cell blood count (CBC), profil biokimia serum, analisis cairan, analisis cerebrospinalfluid (CSF), biopsi dan serologi (Shaw, Ihle 1997).

Menurut Sharif et al. (2010), gejala klinis FIP tidak spesifik. Abnormalitas haematologi dan biokimia pada kasus FIP juga tidak spesifik. Uji serologi yang tersedia sekarang memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang rendah untuk mendeteksi infeksi aktif dan reaksi silang (cross-react) dengan strain FCoV berpatogenisitas rendah, Feline Enteric Coronaviruses (FECV). Reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) digunakan untuk mendeteksi FCoV dengan cepat dan sensitif, tetapi hasilnya harus diinterpretasikan dalam konteks gejala klinis. Sekarang ini, suatu diagnosa untuk memastikan adanya infeksi FIP dapat ditentukan dengan pemeriksaan histopatologi.

Differensial Diagnosa

Barr, Bowman (2006) menyebutkan bahwa penyakit Feline Infectious Peritonitis memiliki banyak kemiripan dengan penyakit lain sehingga differensial diagnosanya penting untuk diketahui. Demam yang tidak diketahui asal penyebabnya dapat membingungkan ketika penyakit yang lain pun menimbulkan gejala demam yang sama. Sakit jantung yang menyebabkan effusi pleural, dengan


(18)

ciri khas keparahan spesifik yang rendah. Lesio dari lymphoma, khususnya pada ginjal, dengan pemeriksaan palpasi. Tumor central nervous system (CNS), penyakit respiratori (seperti Feline Calicivirus, Feline Herpes Virus, chlamydiosis, atau bakteri), pensteatitis (yellow fat disease), panleukopenia yang menyebabkan enteritis dan kerusakan hati merupakan penyakit-penyakit yang juga menampakkan gejala klinis yang mirip dengan penyakit Feline Infectious Peritonitis.

Pengobatan

Tidak ada terapi yang terbukti efektif dalam pengobatan penyakit Feline Infectious Peritonitis (Norris 2007). Pada umumnya kucing mengalami infeksi sekunder (selain FIP bentuk basah atau kering) dan kemudian mati (Eldredge et al. 2008). Menurut Aiello (1998), pengobatan cenderung untuk mengobati gejalanya (pengobatan simptomatis), bukan berdasarkan penyebabnya (pengobatan kausalis).

Prednisolon atau cyclophosphamide, kedunya diberikan sebagai obat immunosupresif meskipun tingkat keberhasilannya terbatas. Kortikosteroid untuk membantu pencegahan penyebaran ke daerah mata (Barr, Bowman 2006). Pentoxifylline (Trental) digunakan oleh beberapa dokter hewan untuk pengobatan pada kerusakan pembuluh darah. Aspirin dosis rendah digunakan untuk mengurangi rasa sakit. Interferon dan vitamin tambahan, khususnya vitamin C, diberikan pula dengan harapan dapat membantu menjaga daya tahan tubuh (Eldredge et al. 2008).

2.2. Kucing

Kucing merupakan salah satu hewan karnivora mutlak atau obligat karnivora, artinya kebutuhan protein dalam tubuh dipenuhi sepenuhnya dengan memakan daging. Pencernaan kucing sangat mudah beradaptasi dengan makanan berupa daging namun terbatas beradaptasi dengan makanan mengandung karbohidrat dan serat (Bradshaw 1993).

Biasanya kucing bersifat territorial dan hidup berpasangan atau sebagai kelompok keluarga (Smith, Mangkoewidjojo 1988). Secara fisologis dapat hidup


(19)

pada suhu yang panas sehingga kucing kurang peka terhadap stres panas (Bradshaw 1993).

Menurut Grzimek (1975) dan Allexander (1986), kucing domestik memiliki klasifikasi ilmiah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chorda

Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Subkelas : Theria Ordo : Carnivora Sub ordo : Fissipedia Super famili : Cynofelidae Famili : Felidae

Subfamili : Machairodonyinae Genus : Felis

Spesies : Felis domesticae Gambar 2. Kucing lokal (Felis domesticae)

2.3. Ginjal Anatomi Ginjal

Kucing memiliki dua ginjal yang terletak pada cranial rongga abdomen, masing-masing satu pada garis ventral otot lumbar hypaxial (Gambar 3). Masing-masing ginjal ini menempel pada otot lumbar tertutup oleh suatu penutup diantara parietal peritonium. Tidak ada mesenteric tambahan, terlihat organ abdominal yang lain dan ginjal digambarkan pada retroperitoneal. Ginjal kanan terkesan lebih ke cranial dibandingkan yang kiri karena pada bagian kiri rongga abdomen terdapat organ perut yang mendorong ginjal kiri dari posisi yang seharusnya (Aspinall, O’Reilly 2004).


(20)

Gambar 3. Situs viscerum ginjal kucing (Eldredge et al. 2008)

Sebagai salah satu organ dalam sistem urogenital, ginjal memiliki dua daerah utama yaitu korteks di bagian luar yang beraspek gelap dan medulla di bagian dalam yang agak cerah, berbentuk piramid terbalik (Dellmann, Brown 1992). Korteks normal berwarna gelap merah kecoklatan, tapi warna ini mungkin juga dipengaruhi substansi-substansi yang disaringnya (Aspinall, O’Reilly 2004). Pada kucing dewasa korteks seringkali berwarna kuning karena kandungan lemak yang besar pada sel epitel tubular (Newman et al. 2007).

Ginjal kucing memiliki karakteristik bentuk seperti kacang dan memiliki suatu bagian yang dikenal dengan hilus. Pada bagian inilah terdapat pembuluh darah, saraf dan ureter masuk dan keluar dari ginjal (Aspinall, O’Reilly 2004). Menurut Dellmann, Brown (1992) kucing memiliki tipe ginjal unilobar atau unipiramid. Tipe ini sangat khas karena perpaduan lobusnya yang sempurna, sehingga apeks piramid membentuk papil umum yang bergerigi, disebut kresta renalis, duktus papilaris bermuara dalam pelvis renalis.

Histologi Ginjal

Pada sediaan ginjal dengan pembesaran rendah, akan tampak bagian ginjal yang terdiri dari kapsula, korteks dan medula. Kapsula adalah bagian luar yang


(21)

membalut pekat, sed ginjal anji tidak mem Un (Gambar meliputi t distalis ya Korpuskul jalinan ep (kapsula B pipih selap   Gambar 4 lemak (6), 250x. (Bac   Tu berbentuk yang diseb pada karn

t ginjal. Bag dangkan bag ing, kuda d miliki otot po

nit fungsion 4) yaitu gl tubuli konv ang dikump lus renalis t pitel ujung Bowman). E pis (Dellma

4. Histologi , macula de cha, Bacha

ubuli proks k piramid de but brush b nivora, teru

gian terluarn gian dalamn dan babi me

olos (Dellm nal ginjal a omerulus d voluti prok pulkan ke d terbentuk da g nefron y

Epitel kaps ann, Brown

korpuskulu ensa (8), tub

2000)

imalis pada engan inti bu border pada utama pada

nya memilik nya terdiri d

emiliki otot mann, Brown adalah nefro dalam kapsu ksimalis, jer dalam tubu ari jalinan k ang melua sula pada k

1992).

us renalis gi buli proksim

a nefron m ulat terletak a permukaa kucing, ba

ki serabut k dari jaringan t polos, sed n 1992). on, yang m ula Bowma rat (lup) H uli pengump kapiler atau as, yang di korpuskulus

injal kucing mal (9), urin

memiliki ep k basal dan an bebasnya anyak meng

kolagen sert n ikat longg dangkan pa

meliputi kor an dan siste Henle dan t pul (Newm

glomerulus isebut kaps

renalis kh

g. Tubuli di nary space

pitel yang b memiliki m a. Epitel tu gandung bu

ta serabut e gar. Pada ka da ginjal k

rpuskulus re em tubular tubuli konv man et al. 2

s yang mem sula glome has berupa

istal (5), va (12). Perbe

bersifat asi mikrovili pa ubuli proksi utir lipid b

elastik apsula kucing enalis yang voluti 2007). masuki erulus epitel kuola esaran idofil, njang imalis erupa


(22)

trigliserida dan fosfolipid. Tubuli distalis memiliki epitel yang lebih rendah sehingga lumennya cenderung lebih besar, selnya sempit, dan intinya tampak lebih banyak dibandingkan sayatan melintang tubuli proksimalis. Selain itu, tubuli distalis tidak memiliki brush border pada permukaan epitel dan sitoplasmanya tampak lebih pucat serta kurang asidofil (Dellmann, Brown 1992).

Fungsi Ginjal

Secara umum ginjal memiliki fungsi membuang bahan-bahan sampah tubuh dari hasil pencernaan atau yang diproduksi oleh metabolisme. Menurut Guyton, Hall (1997), ginjal menjalankan fungsi yang multiple diantaranya pengaturan keseimbangan air dan elektrolit, pengaturan konsentrasi osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektolit, pengaturan keseimbangan asam-basa, ekskresi produk sisa metabolik dan bahan kimia asing, pengaturan tekanan arteri, sekresi hormon dan glukoneogenesis.

Patologi Anatomi dan Histopatologi Ginjal yang Terinfeksi FIP

Ginjal yang terinfeksi virus Feline Infectious Peritonitis memperlihatkan perubahan-perubahan baik secara anatomi maupun histologi. Ukuran ginjal seringkali menjadi sangat besar, diameternya 5 cm lebih besar dari ginjal normal (Pedersen 2009). Lesio granuloma banyak terlihat pada kapsula ginjal dan menyebar kebawah ke dalam parenkim ginjal (Gambar 5 dan 6).

                 


(23)

Gambar 6. Ginjal kucing yang terinfeksi FIP tipe kering (Sharif et al. 2010)

Histopatologi ginjal yang terinfeksi FIP menunjukkan adanya degenerasi hebat dan nekrosa dalam lapisan endothelium tubuli convoluted, kebanyakan sitoplasmolisis (Gambar 7). Ditunjukkan juga oleh terjadinya nefritis interstisialis yang memiliki ciri banyaknya infiltrasi limfosit, sel plasma dan beberapa neutrofil mati, disertai dengan dilatasi dan kongesti pembuluh darah interstisial. Luka vaskuler dikelilingi oleh proliferasi sel radang merupakan karakteristik untuk FIP tipe basah sedangkan ciri khas FIP tipe kering yaitu lesio granuloma. Pada lesio granuloma (Gambar 8) banyak terdapat fokus sel radang dan lesio nekrosa-proliferatif (Sharif et al. 2010).

Gambar 7. Gambaran histopatologi ginjal dengan lesio infiltrasi granuloma perivenous pada vena cortical renal. Pewarnaan Papanicolaou’s hematoxylin counterstain (Kipar et al. 2005)


(24)

Gambar 8. Histopatologi ginjal kucing terinfeksi FIP. Pewarnaan Haematoxylin & Eosin (Sharif et al. 2010)

   

                                                 


(25)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Studi kasus ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai bulan Oktober 2010 di Laboratorium Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

3.2. Materi Penelitian Sampel organ

Bahan berasal dari tiga ekor kucing tanpa membedakan variasi ras dan umur. Sampel organ ginjal diambil dengan mengikuti prosedur rutin nekropsi Laboratorium Patologi FKH IPB.

Berikut merupakan tabel identitas kucing yang didiagnosa terpapar Feline Infectious Peritonitis (FIP) setelah dilakukan pemeriksaan Patologi Anatomi (PA).

Tabel 1 Identitas kucing dengan kasus FIP Kasus Identitas 1. P/11/09 Nama : Pimpim

Ras : Mix 2. P/36/09 Nama : Chiron

Ras : Persia

Jenis kelamin : jantan Umur : 9 tahun 3. P/78/10 Nama : Otong

Ras : Siam

Jenis kelamin : jantan Umur : 8 tahun FIP ditetapkan berdasar pemeriksaan PA

Bahan dan alat

Bahan-bahan yang digunakan yaitu larutan buffered neutral formalin 10%, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90% dan alkohol absolut), xylol, lithium karbonat, pewarna Mayer Hematoksilin, pewarna Eosin, Parafin (histoplast) dan Entellan. Alat-alat yang digunakan adalah gelas objek, rak gelas, cover glass, cetakan blok Parafin, pinset, tissue processor, mikrotom, inkubator, mikroskop cahaya dan fotomikroskop.


(26)

3.3. Metode Penelitian

Metode yang dilakukan dalam studi kasus ini adalah pemeriksaan patologi anatomi yaitu dengan melakukan nekropsi pada kadaver hewan. Pemeriksaan dilanjutkan dengan pengamatan preparat histopatologi, yaitu pemeriksaan terhadap sampel organ di bawah mikroskop cahaya setelah diwarnai dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE).

Pemeriksaan patologi anatomi

Nekropsi adalah cara pemeriksaan makroskopik yang dilakukan untuk melihat kelainan-kelainan yang terjadi pada organ tubuh hewan (patologi anatomi). Pemeriksaan dilakukan pada hewan yang sudah mati baik yang dengan sengaja dimatikan (eutanasi) atau yang mati secara wajar. Bagian-bagian tubuh hewan yang telah mati tersebut seperti bagian abdomen, toraks hingga kepala dibuka dan dilihat perubahan gambaran anatomisnya pada organ-organ yang terdapat didalamnya. Kemudian organ-organ tersebut diambil dan disimpan dalam buffer formalin 10%.

Pemeriksaan histopatologi

Tahapan dalam pembuatan preparat histopatologi yaitu fiksasi jaringan, penipisan jaringan, dehidrasi, penjernihan (clearing), pencetakan (embedding), pengirisan (sectioning), pewarnaan (staining) dan penutupan jaringan dengan cover glass (mounting).

Dehidrasi adalah suatu proses penarikan air dari jaringan dan mencegah terjadinya pengerutan sampel yang diuji. Sampel jaringan disimpan dalam tissue processor, lalu didehidrasi dalam alkohol bertingkat (alkohol 70%, 80%, 90%, 95%), alkohol absolut (I dan II), xylol (I dan II) dan parafin (I dan II). Proses ini dilakukan pada masing-masing cairan selama dua jam.

Penjernihan atau clearing yaitu proses pengangkatan sisa-sisa alkohol pada jaringan agar parafin dapat berpenetrasi dengan baik ke dalam jaringan. Zat yang digunakan dalam proses ini adalah xylol.


(27)

Proses pembuatan dalam blok parafin dinamakan proses pencetakan (embedding). Proses ini dikerjakan di dekat sumber panas dengan alat-alat yang telah dihangatkan terlebih dahulu untuk mencegah pembekuan parafin sebelum proses selesai. Zat yang digunakan adalah Parafin histoplast yang memiliki titik cair 56-57oC. Irisan sampel jaringan direndam dalam parafin cair selama 2 jam. Cetakan diisi dengan parafin cair, kemudian jaringan diletakkan didalamnya dengan bantuan pinset. Blok parafin yang sudah setengah beku diberi label untuk memudahkan identifikasi jaringan. Tahap selanjutnya adalah pendinginan blok parafin pada suhu 4-5oC. Setelah dingin blok parafin dilepaskan dari cetakannya dan siap untuk tahap berikutnya.

Pengirisan adalah tahap pemotongan jaringan menggunakan alat mikrotom, terdiri dari tahap pemotongan kasar dan pemotongan halus. Potongan jaringan tersebut ditempatkan pada gelas objek dan dimasukkan ke inkubator dengan suhu 37oC selama 24 jam sampai jaringan melekat sempurna.

Selanjutnya preparat diwarnai dengan pewarnaan Mayer Hematoksilin dan Eosin (HE). Preparat dideparafinisasi dengan dicelupkan secara bertahap ke dalam larutan xylol I dan II masing-masing selama 2 menit. Kemudian dicelupkan ke dalam alkohol absolut selama 2 menit, alkohol 95%, 90% dan 80% masing selama 1 menit. Setelah itu preparat dicuci dengan air mengalir selama 1 menit. Pewarnaan Mayer Hematoksilin dilakukan selama 8 menit, dicuci pada air yang mengalir selama 30 detik. Preparat itu dicelupkan ke dalam lithium karbonat selama 30 detik dan dicuci kembali dengan air yang mengalir selama 2 menit. Untuk pewarnaan Eosin, preparat direndam di dalam larutan Eosin selama 2-3 menit, kemudian dicuci dengan air yang mengalir selama 30 detik. Proses berikutnya preparat dicelupkan masing-masing sebanyak 10 celupan ke dalam alkohol 95% dan alkohol absolut (I dan II). Kemudian, dilakukan perendaman secara bertahap dalam alkohol absolut dan xylol I masing-masing selama 1 menit, selanjutnya dalam xylol II selama 2 menit.

Terakhir adalah penutupan jaringan, dilakukan dengan cara menempatkan gelas objek di atas kertas tisu pada tempat yang datar. Gelas objek ditetesi dengan bahan perekat, yaitu Entellan. Setelah itu jaringan ditutup dengan cover glass secara hati-hati untuk mencegah terbentuknya gelembung udara.


(28)

Preparat histopatologi yang telah jadi tersebut selanjutnya diamati di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran objektif 4x, 10x dan 40x untuk mengetahui lesio yang terjadi pada jaringan objek.

                                                           


(29)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kajian mengenai penyakit Feline Infectious Peritonitis (FIP) ini merupakan studi terhadap kasus yang terjadi pada tiga ekor kucing yang dinekropsi di Laboratorium Patologi FKH IPB. Tiga ekor kucing tersebut berbeda ras dan tingkatan usia. Kasus pertama (P/11/09) kucing mix, kasus kedua (P/36/09) Kucing Persia jantan berusia sembilan tahun dan kasus ketiga (P/78/10) Kucing Siam jantan delapan tahun.

Anamnesa ketiga kucing tersebut antara lain mukosa kuning atau pucat, dehidrasi, mulut berbau, hipersalivasi, anoreksia, dispnoe dan mati beberapa jam sampai dua hari setelah dirawat. Ketiga kucing yang telah mati tersebut kemudian dinekropsi untuk melihat patologi anatomi yang terjadi. Nekropsi yaitu pemeriksaan penampilan struktur internal tubuh setelah kematian, khususnya untuk mendapatkan informasi mengenai penyakit yang sulit didapatkan dalam keadaan hidup (Boden 2005). Nekropsi adalah peristiwa penting dalam menetapkan suatu diagnosa (Cheville 2006).

4.1. Patologi Anatomi

Catatan perubahan patologi anatomi dari hasil nekropsi menunjukkan bahwa ketiga kucing tersebut sama-sama mengalami perubahan yang terlihat pada mukosa, organ respirasi, organ sirkulasi, organ pencernaan dan organ urinaria. Selain itu juga terlihat beberapa bagian tubuh yang berbeda yang mengalami perubahan diantaranya scirrhous atrophy pada Kasus Pertama (P/11/09), dehidrasi, subkutis ikterus, banyak perlemakan (obesitas), serositis (peritonitis) granuloma, dan vasa injectio otak pada Kasus Kedua (P/36/09), serta ulkus pada sudut pertemuan maxilla dan mandibula pada Kasus Ketiga (P/78/10).

Berdasarkan hasil pengamatan patologi anatomi tersebut dapat diketahui bahwa ketiga kucing telah terinfeksi Feline Infectious Peritonitis (FIP). Sebagaimana diungkapkan oleh Pedersen (2009), kucing yang terinfeksi FIP akan memperlihatkan perubahan patologi anatomi seperti kerusakan dalam organ-organ parenkim yaitu ginjal, mesenteric lymph nodes, hati, sistem syaraf pusat dan mengalami ascites.


(30)

Tabel 2 Temuan Patologi Anatomi kucing yang terpapar FIP

Kasus P/11/09 P/36/09 P/78/10

Patologi anatomi

1. mukosa ikterus (kuning)

2. scirrhous atrophy 3. pneumonia,

supuratif (diffuse)

4. hipertropi ventrikel kiri, dilatasi ventrikel kanan 5. hepatitis, pembendungan (mild)

6. pankreatitis (moderate)

7. enteritis kataralis

8. nefritis granuloma (bilateral, severe)

1. mukosa ikterus 2. dehidrasi

3. subkutis ikterus, perlemakan banyak (obesitas)

4. hydrothorax, hydropascites,

5. pneumonia interstitialis

6. edema pulmonum

7. hipertropi ventrikel kiri, dilatasi ventrikel kanan 8. serositis (peritonitis) granuloma 9. perihepatitis granuloma 10. pankreatitis granuloma 11. gastroenteritis

12. kongesti ginjal

13. spleenitis granuloma

14. vasa injectio otak

1. mukosa pucat 2. ulcus pada sudut

pertemuan maxilla dan mandibula 3. hydrothorax ± 200

ml (severe)

4. pneumonia (severe, diffuse

granulomatous) 5. endokarditis valvulus (kiri,

mild-moderate)

6. multifokus nekrotik pada hati disertai fibrin (mild)

7. nefritis granuloma (diffuse, bilateral, severe)

8. ditemukan fibrin pada permukaan limpa


(31)

Faktor yang dapat menyebabkan perbedaan tingkat keparahan infeksi virus FIP dalam tubuh kucing yang satu dengan kucing yang lainnya diantaranya adalah predisposisi usia, genetik, keterpaparan pelepasan virus yang kronis dan faktor lingkungan yang dapat menyebabkan stres pada kucing (Eldredge et al. 2008). Norris (2007) mengungkapkan bahwa kasus FIP lebih sering terjadi pada kucing dengan umur kurang dari tiga tahun.

Daya tangkal anak kucing dari ancaman virus sangat tergantung pada adanya antibodi maternal, yang berasal dari induk ketika dalam kandungan dan dari kolostrum. Kekebalan pasif tersebut mampu bertahan selama 14-16 minggu. Setelah itu zat kebal akan menurun karena zat kebal mengalami degradasi dan karena pertambahan berat badan anak. Pada kondisi itu kucing muda menjadi rentan terhadap infeksi (Subronto2006).

Infeksi FIP dalam kasus ini terjadi pada ketiga sampel kucing yang sudah berumur tua, antara delapan sampai sembilan tahun. Hal ini mungkin disebabkan oleh turunnya sistem kekebalan dalam tubuh kucing (Widyamartha 2010) atau karena infeksi coronavirus yang terjadi lama dan kemudian bermutasi menjadi FIP.

Menurut Pesteanu-Somogyi (2006), dari semua kucing yang diidentifikasi dalam penelitiannya selama lebih dari 16 tahun menunjukkan kucing jantan dengan ras murni (purebreed) memiliki prevalensi lebih tinggi terinfeksi FIP. Abyssinian, Bengal, Birman, Himalayan, Ragdoll, dan Rex memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan ras lainnya. Demikian pula dengan sampel pada kasus ini, ketiga kucing berjenis kelamin jantan dengan berbagai macam ras terutama ras murni.

Refleksi virus dalam tubuh akan mempengaruhi gejala klinis yang tampak (Norris 2007). Tilley, Smith (2000) mengungkapkan bahwa virus FIP bereplikasi di daerah epitel saluran pernafasan atau daerah orofaring. Masuknya virus ini akan merangsang terbentuknya antibodi dalam tubuh. Virus menempati makrofag sebagai inangnya untuk beredar ke seluruh tubuh, selanjutnya virus akan terlokasi di dinding vena dan bagian perivaskuler. Virus bereplikasi kembali di daerah perivaskuler kemudian membentuk reaksi jaringan yang akan merefleksikan lesi klasik pyogranuloma di berbagai organ, seperti hati, ginjal dan usus.


(32)

Hasil pengamatan patologi anatomi dari ketiga kucing terlihat bahwa sebagian besar kerusakan terjadi pada organ di bagian rongga abdomen dan sedikit di bagian rongga toraks. Menurut Pedersen (2009), target jaringan virus FIP pertama kali menuju limfonodus di mesenterium, serosa usus dan sebagian kecil pada pleura dan omentum. Beberapa virus juga tampak mencapai meningen terutama di bagian posterior ventral permukaan otak, ependima di sepanjang ventrikel, dura mater di sumsum tulang belakang dan uvea serta retina mata.

Tabel 3 Temuan Patologi Anatomi Ginjal Kucing yang terpapar FIP

Kasus  P/11/09  P/36/09  P/78/10 

Patologi anatomi

Nefritis granuloma (bilateral, severe)

Kongesti ginjal Nefritis granuloma (diffuse, bilateral, severe)

Tabel 3 menunjukkan bahwa ginjal yang terinfeksi FIP mengalami perubahan patologi anatomi berupa kongesti ginjal dan nefritis granuloma. Kongesti adalah gelombang darah pasif dalam vaskuler rusak yang secara umum disebabkan oleh penurunan aliran darah keluar dari jaringan atau peningkatan aliran masuk darah ke dalam jaringan (Mosier 2007). Kongesti ginjal yaitu peningkatan genangan darah vena dalam vaskular ginjal yang disebabkan oleh keadaan fisiologis, tekanan darah pasif, efek sekunder terhadap shock hipovolemik dan insufisiensi jantung dan hipostatik. Ginjal yang mengalami kongesti berwarna ungu tua dan mengeluarkan darah dari pemotongan bagian permukaan sampai akumulasi darah yang tidak beroksigen pada sistem vena ginjal (Newman et al. 2007).


(33)

1 2

5 mm Gambar 9. Gambaran patologis subkapsular ginjal kucing (P/11/09) yang mengalami nefritis ganuloma. Terdapat granul-granul pada korteks ginjal (1), penebalan kapsula (2), dan dilatasi vaskular (tanda panah).

Nefritis adalah peradangan pada ginjal yang dapat disebabkan oleh toxin, obat, racun lingkungan atau virus (Eldredge et al. 2008). Terdapat dua bentuk nefritis, yaitu nefritis akut dan nefritis kronis. Nefritis akut adalah peradangan yang terjadi dengan cepat pada seluruh jaringan ginjal atau hanya glomerulus dan sekresi tubuli. Nefritis kronis terjadi setelah nefritis akut, sifatnya lebih berbahaya. Pada kucing, nefritis kronis ini dapat menimbulkan terjadinya ascites (Boden 2005).

Nefritis granuloma adalah penyakit pada tubulointerstisial ginjal yang sering menyertai penyakit kronis sistemik dengan karakteristik multipel granuloma di berbagai organ (Newman et al. 2007). Ginjal kucing yang mengalami nefritis granuloma akibat infeki virus FIP (Gambar 9) memiliki ukuran yang lebih besar dari ukuran ginjal normal. Kapsula ginjal menjadi tebal dengan lesio granuloma yang menyebar ke dalam parenkim ginjal. Hal ini sesuai dengan ungkapan Pedersen (2009) yang mengatakan bahwa ginjal, hati, dan mesenteric lymph node pada kucing yang terinfeksi FIP dengan lesio granuloma seringkali memiliki ukuran yang sangat besar. Diameter organ-organ tersebut bertambah sebesar 5 cm dari ukuran normalnya.


(34)

Nefritis granuloma berhubungan dengan agen infeksi seperti coronavirus pada kucing. Nefritis granuloma merupakan ciri khas FIP tipe kering. Patogenesa lesio ini berhubungan dengan reaksi cell-mediate hypersensitivitas tipe IV terhadap virus FIP. Respon imun menyebabkan granulomatous necrotizing vaskulitis dan perkembangan pyogranuloma (Newman et al. 2007).

Perubahan patologi anatomi pada organ-organ tubuh dapat memberikan informasi mengenai bentuk FIP yang terjadi pada kucing. Berdasarkan bentuknya, FIP dibagi menjadi dua bentuk yaitu effusive (basah) dan noneffusive (kering). Gejala klinis FIP effusive berupa akumulasi cairan pada rongga tubuh, sedangkan pada FIP noneffusive berupa lesio granuloma di berbagai organ (Eldredge et al. 2008).

Bentuk FIP noneffusive dialami oleh kucing pada Kasus Pertama yang ditandai oleh keberadaan granuloma pada ginjal, hepatitis dan pankreatitis, serta adanya pneumonia. Pada Kasus Kedua dan Ketiga terlihat adanya akumulasi cairan pada rongga-rongga tubuh seperti edema pulmonum, hidropascites dan hidrotoraks. Namun selain itu, terlihat pula lesio-lesio granuloma seperti serositis granuloma, perihepatitis granuloma, pankreatitis granuloma, spleenitis granuloma dan nefritis granuloma serta adanya pneumonia. Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat diketahui bahwa Kasus Kedua dan Ketiga mengalami FIP dengan bentuk effusive dan noneffusive (campuran). Sebagai informasi, bentuk FIP effusive merupakan kelanjutan dari FIP noneffusive (Teymori 2009).

Adanya akumulasi cairan di dalam rongga tubuh akibat distribusi cairan yang abnormal, biasa disebut edema, merupakan karakteristik FIP effusive (Eldredge et al. 2008). Edema yang sering terjadi pada kasus FIP disebabakan oleh peningkatan permeabilitas vaskuler. Coronavirus sebagai agen penyakit Feline Infectious Peritonitis menyebabkan terjadinya reaksi imun berupa hipersensitivitas tipe III dalam tubuh kucing. Akibatnya terjadi rangsangan pengeluaran mediator penyebab vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas mikrovaskuler. Vaskuler menjadi bocor dan radang sehingga cairan dapat masuk ke dalam rongga-rongga tubuh seperti kantung perikardium (hidroperikardium), rongga toraks (hidrotoraks), rongga abdomen (ascites atau hidroperitoneum) dan lumen alveolar (pulmonary edema) (Mosier 2007).


(35)

4.2. Histopatologi

Penunjang diagnosa FIP dilakukan dengan melakukan pemeriksaan histopatologi pada ginjal ketiga kucing tersebut. Kajian histopatologi pada unsur penyusun jaringan dan organ diharapkan dapat memberikan data secara rinci ragam perubahan yang terjadi pada ginjal.

Pemeriksaan mikroskopis organ ginjal pada ketiga kasus memperlihatkan terjadinya perubahan-perubahan pada bagian korteks dan medula ginjal. Secara umum perubahan banyak terjadi pada bagian korteks, meliputi bagian korpuskulus renalis, sistem tubular, dan interstisial. Pada kasus seperti ini dapat dipastikan bahwa keadaan dalam tubuh kucing sudah sangat parah. Sistem urinari dan filtrasi terganggu karena unit-unit fungsional ginjal yang rusak.

Secara mikroskopis ketiga ginjal yang terpapar Feline Infectious Peritonitis memperlihatkan tampilan yang hampir sama. Pada Kasus Pertama terlihat adanya kongesti, degenerasi epitel tubuli (ada inti piknosis dan karyolisis), nekrosa tubuli, dilatasi lumen tubuli ginjal, penebalan kapsula Bowman, endapan protein pada ruang Bowman, penebalan dinding kapiler glomerulus disertai kebengkakan sel epitel, serta infitrasi sel radang pada interstisium yang didominasi oleh makrofag, limfosit dan sel plasma. Selain itu, pada kasus pertama juga terlihat sel-sel yang lisis dan telah mengarah pada terbentuknya jaringan ikat (fibrosis).

Pada Kasus Kedua terlihat adanya kongesti, degenerasi epitel tubuli, nekrosa tubuli, infiltrasi sel radang (makrofag, limfosit, sel plasma), dan penebalan kapiler glomerulus yang sangat parah. Koloni bakteri berbentuk batang ditemukan juga pada glomerulus ginjal kucing kasus kedua ini. Pada umumnya kucing yang terinfeksi virus FIP mengalami infeksi sekunder (Eldredge et al. 2008), dalam kasus ini berupa koloni bakteri. Sedangkan pada Kasus Ketiga terlihat adanya kongesti, penebalan kapsula Bowman, infiltrasi sel radang (makrofag, limfosit, sel plasma), dilatasi lumen tubuli ginjal dan degenerasi epitel tubuli.


(36)

Temuan hasil pengamatan histopatologi ginjal kucing tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Temuan histopatologi ginjal kucing yang terinfeksi FIP

Bagian ginjal P/11/09 P/36/09 P/78/10

* Korteks Korpuskulus renalis Sistem tubular * Interstisial *Medula - kongesti - sel lisis, awal

fibrosis - penebalan kapsula Bowman - endapan protein pada ruang Bowman - penebalan dinding kapiler - kebengkakan sel epitel

- dilatasi lumen tubuli ginjal - degenerasi

epitel tubuli - nekrosa

- infitrasi sel radang (makrofag, limfosit, sel plasma) - kongesti - kongesti - penebalan kapiler glomerulus - infiltrasi bakteri pada glomerulus - degenerasi epitel tubuli - nekrosa - epitel tubuli

lisis

- infiltrasi sel radang (makrofag, limfosit, sel plasma) - kongesti - kongesti - penebalan kapsula Bowman - dilatasi lumen tubuli ginjal - degenerasi epitel tubuli

- infiltrasi sel radang (makrofag, limfosit, sel plasma)


(37)

K

D

K

16 µm K

Gambar 10. Gambaran histopatologi tubular dan interstisial ginjal kucing, P/11/09. Kongesti pembuluh darah ginjal (K), degenerasi tubuli (D). Pewarnaan HE.

Kongesti atau pembendungan yang tampak pada pengamatan histopatologi terlihat pada bagian korteks dan medula dari ginjal ketiga kucing tersebut. Pembendungan pada pembuluh darah vena ini tentu saja tidak terlihat pada histologi organ yang normal. Aliran darah pada pembuluh darah yang mengalami kongesti menjadi terganggu sehingga jaringan kekurangan oksigen. Keadaan ini dapat menimbulkan terjadinya degenerasi pada jaringan sampai menuju ke arah nekrosa, seperti yang terjadi pada ketiga kasus ini. Komplikasi dari segala pemicu dapat menjadi penyebab terjadinya kongesti pada ginjal kucing, diantaranya vaskulitis akibat infeksi, kompensasi jantung dan paru pada kongesti yang berlanjut, kelemahan kontraksi jantung akibat adanya tamponade jantung, serta akibat kerusakan hati (Hartmann 2003).

Kerusakan sel dapat bersifat sementara atau menetap. Pada kerusakan yang bersifat sementara, sel mengalami perubahan untuk beradaptasi agar tetap hidup. Sedangkan pada kerusakan yang bersifat permanen, sel akan mengalami kematian. Sel yang mengalami perubahan yang bersifat sementara dinamakan sel


(38)

yang mengalami degenerasi, sedangkan sel yang mengalami kematian dinamakan nekrosa.

16 µm

Gambar 11. Gambaran histopatologi korteks ginjal kucing P/11/09. Penebalan kapsula Bowman (tanda panah). Pewarnaan HE.

Degenerasi sampai nekrosa tubuli ginjal ditandai dengan perubahan pada nuclear berupa pyknosis, karyorrhexis, dan karyolysis. Nukleus yang pyknosis terlihat lisut/mengkerut, berwarna lebih gelap, homogenous dan berkumpul. Pyknosis mungkin berakibat pada penggumpalan kromatin dari degenerasi awal. Karyorrhexis yaitu rusaknya amplop nuclear dan pecahan nuclear yang gelap keluar ke dalam sel sitoplasma. Sedangkan pada karyolysis nukleusnya pucat sangat parah sampai kromatinnya terputus yang diduga disebabkan oleh aksi dari RNAases dan DNAases. Nekrosa pada sel epitel tubuli proksimal ginjal sering memiliki nuclei yang karyolitic sedangkan pada sel epitel tubuli distal ginjal lebih didominasi oleh nuclei yang pyknotic (Myers, McGavin 2007).


(39)

 

K

K

L

L L

16 µm

Gambar 12. Gambaran histopatologi korteks ginjal kucing, P/36/09. Epitel tubuli ginjal lisis (L), perluasan lumen tubuli (tanda panah), kongesti (K). Pewarnaan HE.

Infiltrasi sel radang yaitu berkumpulnya sel-sel radang terutama pada daerah yang dekat dengan pembuluh darah untuk menyerang atau menghancurkan agen patogen yang ada di daerah tersebut. Pada pengamatan ginjal ketiga kucing yang terinfeksi FIP tampak adanya infiltrasi sel radang dengan jumlah yang berbeda. Infiltrasi sel radang pada Kasus Pertama dan Ketiga sangat banyak sedangkan pada Kasus Kedua hanya sedikit. Sel-sel radang yang ditemukan yaitu limfosit, terutama pada Kasus Ketiga sangat mendominasi, makrofag dan sel plasma. Limfosit adalah sel darah yang berpengaruh pada infeksi akibat virus. Tingginya aktivitas makrofag dipicu oleh peradangan granuloma yang merupakan proses peradangan yang kronis (Cheville 2006).

Virus FIP bersifat viremia sehingga dengan mudah menyebar dan menimbulkan kerusakan dalam ginjal serta organ-organ lainnya. Proliferasi sel radang yang ditemukan disekitar vaskular merupakan karakteristik FIP tipe basah. Akumulasi fokus sel radang dan lesio nekrosa yang proliferatif merupakan khas lesio granuloma pada FIP tipe kering (Sharif et al. 2010).


(40)

        D

D

R  

K

16 µm Gambar 13. Gambaran histopatologi tubular dan interstisial ginjal kucing, P/78/10. Degenerasi tubuli (D), infiltrasi sel radang (R), kongesti (K). Pewarnaan HE.

     

       

 

D

 

 

           

16 µm Gambar 14. Gambaran histologi korteks ginjal kucing P/78/10. Infiltrasi sel radang (R), degenerasi tubuli (D), Pewarnaan HE.


(41)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan studi morfopatologi ginjal pada ketiga kasus, dapat disimpulkan bahwa ginjal kucing yang terinfeksi virus FIP mengalami perubahan patologi anatomi dan juga histopatologi. Perubahan yang ditemukan secara makroskopis dari ketiga ginjal adalah kongesti dan nefritis granuloma. Pemeriksaan mikroskopik ditemukan kongesti, degenerasi-nekrosa tubuli dan infiltrasi sel-sel radang (makrofag, limfosit dan sel plasma) pada daerah interstisial disertai dengan fibrosis. Diagnosa ginjal secara histopatologi adalah nefritis interstisialis granuloma.

5.2. Saran

Feline Infectious Peritonitis (FIP) termasuk penyakit penting dan bersifat fatal yang sering dialami oleh kucing. Pencegahannya masih sulit dilakukan karena deteksi dininya yang masih sulit pula. Untuk itu diharapkan adanya penelitian lebih lanjut tentang deteksi dini baik melalui gejala klinis maupun uji serologis sehingga penyakit tersebut dapat ditangani segera mungkin.


(42)

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2010. Feline corona virus [terhubung berkala]. http://www.cathealth.com/InfX.htm. [07 Januari 2010]

[Anonim]. 2010. Kucing: sejarah dan mitos. [terhubung berkala] http://www.kucingkita.com [29 April 2010]

Aiello S. 1998. The Merck Veterinary Manual. Merck Co. Inc. Whitehouse N.J. USA.

Allexander MN. 1986. The Encyclopedia of Animal Behaviour and Biology. Groiler International.

Aspinal V, O’Reilly M. 2004. Introduction to Veterinary Anatomy and Physiology. London: Butterworth-Heinemann.

Bacha WJ, Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary HistologySecond Edition. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.

Barr SC, Bowman DD. 2006. The 5-Minute Veterinary Consult Clinical Companion First Edition. Blackwell Publishing.

Boden E. 2005. Black’s Veterinary Dictionary 21ST Edition. London: A & C Black Publisher.

Bradshaw J. 1993. The True Nature of The Cat. London: Boxtree Limited

Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology Third Edition. Iowa : Blackwell Publishing.

Eldredge DM, Carlson DG, Carlson LD, Giffin DM. 2008. Cat Owner’s Home Veterinary Handbook. Hoboken, New Jersey: Wiley Publishing.

Fenner FJ, Gibbs EPJ, Murphy FA, Rott R, Studdert MJ, White DO. 1995. Veterinary Virology. Terjemahan Putra, Harya dan K. G. Suryana. Semarang: IKIP Semarang Press.

Garner MM et al. 2008. Clinicopathologic features of a systemic coronavirus-associated disease resembling feline infectious peritonitis in the domestic ferret (Mustela putorius). Vet Pathol 45:236–246.

Grzimek B. 1975. Grzimek’s Animal Life Encyclopedia Mammals III. New York: Vannostrandern Hold.


(43)

Guyton, Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Ed. Ke-9. Irawati Setiawan. Penerjemah. Jakarta : EGC

Hartmann K, Binder C, Hirschberger J. 2003. Comparison of different tests to diagnose feline infectious peritonitis. Journal of veterinary medicine; 17(6):781-790.

Horzinek MC, Lutz H. 2000. An Update on Feline Infectious Peritonitis. Veterinary Science Tomorrow-Nr.0

Kipar A, May H, S. Menger, M. Weber, W. Leukert, M. Reinacher. 2005. Morphologic Features and Development of Granulomatous Vasculitis in Feline Infectious Peritonitis. J Vet Pathol 42:321–330 (2005).

Mosier DA. 2007. Vascular Disorder and Thrombosis, Phatologic Basis of Veterinary Disease Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier.

Myers RK, McGavin MD. 2007. Cellular and Tissue Responses to Injury, Phatologic Basis of Veterinary Disease Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier.

Newman SJ, Anthony WC, Roger JP. 2007. Urinary System, Phatologic Basis of Veterinary Disease Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier.

Norris J. 2007. Feline Infectious Peritonitis (FIP): Update 2007. Sydney: The University of Sydney.

Pesteanu-Somogyi LD, Radzai C, Pressler BM. 2006. Prevalence of feline infectious peritonitis in spesific cat breeds. J Feline Med Surg 8(1):1-5.

Pedersen NC. 2009. A synopsis of feline infectious peritonitis virus infection. USA: Center for Companion Animal Health.

Sharif S, Siti Suri Arshad, Mohd Hair-Bejo, Abdul Rahman Omar, Nazariah Allaudin Zeenathul, and Amer Alazawy. 2010. Review Article, Diagnostic Methods for Feline Coronavirus: A Review. Veterinary Medicine International Article ID 809480, 7 pages.

Shaw D, Ihle S. 1997. Small Animal Internal Medicine First Edition. Blackwell Publishing.

Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, & Penggunaan Hewan Percobaan Di Daerah Tropis. Jakarta: UI-Press

Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


(44)

Teymori A. 2009. Feline infectious peritonitis (FIP) fact and information [terhubung berkala]. www.vet.cornell.edu/hfc. [07 Februari 2010]

Tilley LP, Smith FWK. 2000. The Five-Minute Veterinary Consult. Misouri: Mosby.

Waluyo SN. 2007. Tahukah Anda? [terhubung berkala] http://www.kucingkita.com [29 April 2010]

Widyamartha GR. 2010. Kajian Histopatologi Hati Kucing yang Terpapar Feline Infectious Peritonitis (FIP). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

   


(45)

ABSTRACT

NOVI HANDAYANI SETIA MARETA. The Morphopathological Study of Cat Kidney which Suffering of Feline Infectious Peritonitis (FIP). Supervised by  EKOWATI HANDHARYANI and ADI WINARTO. 

This study was aimed to clarify the morphophatological aspect of Feline Infectious Peritonitis (FIP) that was focused on its kidney. In this study three cats that were diagnoses suffering of FIP were used as case samples. The morphophatological observation was done based on the regular protocol of Laboratory Pathology, Faculty of Veterinary Medicine, Bogor Agricultural University. The morphophatological changes of kidneys were evaluated by performing necroption and the histopathological changes were observed under light microscope after stained with Haematoxilin-Eosin dyes method. The results of gross findings showed that all evaluated kidneys have congestion and granulomatous nephritis. Histopathologically, these changes demonstrated general congestion, degeneration and necrosis of epithelial tubules, dilatation of tubules and infiltration of inflammatory cells (macrophages, lymphocytes and plasma cells) in the interstitial spaces with mild fibrosis. It could be conclude that interstitial granulomatous nephritis and congestion are the main morphophatological findings of the cat kidney which suffering of FIP.


(46)

ABSTRAK

NOVI HANDAYANI SETIA MARETA. Kajian Morfopatologi Ginjal Kucing yang Terpapar Feline Infectious Peritonitis (FIP). Dibimbing oleh EKOWATI HANDHARYANI dan ADI WINARTO.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji gambaran morfopatologi ginjal kucing yang terpapar Feline Infectious Peritonitis (FIP). Pada studi ini digunakan tiga kucing yang didiagnosa terpapar FIP. Pengamatan morfopatologi dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Perubahan morfopatologi ginjal diamati dengan melakukan nekropsi dan perubahan histopatologi diamati di bawah mikroskop cahaya setelah diwarnai dengan metode pewarnaan Hematoxilin-Eosin. Perubahan yang ditemukan dari semua ginjal yaitu kongesti dan nefritis granuloma. Secara histopatologi, perubahan yang terlihat secara umum berupa kongesti, degenerasi, dan nekrosa epitel tubuli, dilatasi tubuli, dan infiltrasi sel radang (makrofag, limfosit, dan sel plasma) pada interstisial dengan fibrosis ringan. Dapat disimpulkan bahwa nefritis interstisial granuloma dan kongesti merupakan ciri morfopatologi yang khas ditemukan pada ginjal kucing yang terpapar FIP.


(47)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kucing merupakan hewan yang sangat dekat dengan manusia. Menurut sejarahnya kucing pertama kali didomestikasi dan dipelihara oleh manusia pada awal kebudayaan mesir kuno (Anonim 2010). Masyarakat mesir kuno inilah yang pertama menyadari potensi kucing sebagai pemburu tikus. Mereka menjinakkan dan memelihara kucing untuk melindungi ladang dan gudang jagung. Hingga saat ini semakin banyak manusia yang menjadikan kucing sebagai hewan kesayangan (pet animal). Menurut survey di Amerika & Inggris, lebih banyak kucing yang dipelihara sebagai hewan kesayangan dibandingkan anjing. Sekitar 37% rumah-rumah di Amerika setidaknya memiliki satu ekor kucing (Waluyo 2007).

Sebagai hewan yang dapat hidup dimana saja serta mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya, kucing memiliki kemungkinan untuk terpapar berbagai macam penyakit, baik yang berasal dari agen infeksius maupun akibat sistem pemeliharaan yang kurang tepat. Feline Infectious Peritonitis (FIP) adalah salah satu penyakit yang sangat penting yang dapat menyebabkan kematian pada kucing. Belakangan diketahui bahwa penyakit FIP ini menyebar sangat luas pada populasi kucing, bahkan di Amerika Serikat 25% populasi kucing terinfeksi. Penyakit ini dianggap sebagai penyakit yang terjadi secara sporadis, yang sangat fatal sifatnya (Subronto 2006).

Sebagai informasi, FIP dapat terjadi pada kucing dengan semua tingkatan umur, namun lebih sering pada kucing dengan umur kurang dari tiga tahun (Norris 2007). Menurut Aiello (1998), Feline Infectious Peritonitis ini dilaporkan dapat menyerang semua ras kucing meskipun sebenarnya merupakan suatu penyakit primer pada kucing domestik (Felis domestica).

Feline Infectious Peritonitis pertama kali digambarkan oleh Holzworth

pada tahun 1963 sebagai suatu sindrom yang dikenal dengan chronic fibrinous

peritonitis atau peradangan peritonium kronis yang disertai fibrin (Norris 2007). Agen penyebabnya adalah virus, termasuk ke dalam famili coronaviridae, yang diketahui memiliki kecendrungan seringkali bermutasi pada saat replikasi virus (Norris 2007).


(48)

Horzinek, Lutz (2000) menyebutkan bahwa Feline Infectious Peritonitis merupakan mutasi dari Feline Corona Virus (FCoV) atau Feline Enteric Corona Virus (FECV) menurut Eldredge et al. (2008). Kucing yang sembuh dari infeksi

FECV dapat menjadi carrier yang tidak menunjukkan gejala. Kebanyakan dari

kucing tersebut adalah kucing yang tidak memiliki kekebalan atau imunitas terhadap coronavirus. Diperkirakan 30–40% dari seluruh kucing positif memiliki antibodi untuk FECV, 80 sampai 90 persennya terjadi pada catteries (Eldredge et al. 2008).

Menurut Eldredge et al. (2008), sekitar 1% dari seluruh kucing yang terpapar FECV akan berkembang menjadi penyakit sekunder yang dikenal dengan Feline Infectious Peritonitis (FIP). Hal tersebut terjadi karena mutasi coronavirus yang tersebar dimana-mana (Pedersen 2009). Tingkat mortalitas akibat penyakit Feline Infectious Peritonitis mencapai 100% meskipun rata-rata telah dilakukan terapi (Aiello 1998). Kematian dapat terjadi dalam hitungan hari, minggu atau bulan (Pedersen 2009).

Ditinjau dari perjalanan penyakitnya, Feline Infectious Peritonitis merupakan penyakit yang sistemik (Tilley, Smith 2000), dapat menyebar ke seluruh organ tubuh kucing tak terkecuali ginjal. Ginjal kucing yang terinfeksi virus Feline Infectious Peritonitis, terutama tipe kering, akan memperlihatkan ciri yang khas berupa nefritis granuloma (Newman et al. 2007). Keadaan tersebut tentu saja akan sangat mengganggu fungsi ginjal sebagai salah satu organ yang sangat penting dalam tubuh kucing.

Gejala klinis dari kucing yang terinfeksi Feline Infectious Peritonitis tidak patognomonis (Garner et al. 2008). Uji serologisnya pun belum memiliki tingkat spesifisitas dan sensitivitas yang dapat membedakan virus FIP dari golongan coronavirus lainnya (Sharif et al. 2010). Oleh karena itu pemeriksaan patologi anatomi dan histopatologi dilakukan untuk menunjang diagnosa FIP.

1.2. Tujuan

Studi ini bertujuan untuk mengkaji kasus penyakit Feline Infectious Peritonitis (FIP) pada tiga ekor kucing yang dinekropsi di Laboratorium Patologi


(49)

Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Pengkajian ini diutamakan untuk melihat morfopatologi organ ginjal yang terpapar Feline Infectious Peritonitis.

                                                             


(50)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Feline Infectious Peritonitis

Feline Infectious Peritonitis merupakan salah satu penyakit pada kucing yang disebabkan oleh virus dari famili coronaviridae, yaitu coronavirus (Norris 2007). Tidak semua kucing yang terinfeksi coronavirus dapat terserang FIP. Namun, ketika virus tersebut bermutasi kucing memiliki kemungkinan untuk terserang FIP. Infeksi tersebut dapat terjadi sangat fatal dan menyebabkan kematian (Anonim 2010).

Coronaviridae

Coronaviridae memiliki satu genus, coronavirus, yang dapat dibedakan kedalam empat kelompok antigenik I (mamalia), II (mamalia), III (unggas) dan IV (unggas). Virus dalam tiap kelompok menunjukkan reaksi-silang antigen tertentu, dan terdapat sejumlah serotype dalam satu spesies virus. Hewan yang kebal terhadap satu serotype rentan terhadap infeksi oleh serotype yang berbeda dari coronavirus (Fenner et al. 1995).

Gambar 1. Partikel coronavirus dengan gambaran mikroskop elektron (Horzinek, Lutz 2000)

Coronavirus merupakan virus RNA untai tunggal yang memiliki peplomer berbentuk tongkat dan luar biasa besarnya mencuat dari amplop sehingga menyebabkan partikel itu berbentuk korona matahari (Fenner et al. 1995). Virus ini menginfeksi berbagai spesies mamalia dan unggas, penyebab penting dari penyakit pernafasan dan pencernaan, ensefalomyelitis, hepatitis, serositis dan


(51)

vaskulitis. Hal tersebut karena kebanyakan coronavirus memiliki tropisme yang kuat bagi sel epitel saluran pernafasan dan pencernaan (Horzinek, Lutz 2000).

Keseluruhan siklus replikasi coronavirus berlangsung dalam sitoplasma dan relatif lambat. Untai RNA polaritas minus lengkap ditranskripsi dari RNA virion. Dari RNA virion tersebut dihasilkan himpunan tersarang mRNA dengan urutan unik pada ujung 5’nya yang kemudian ditranslasi. Pendewasaan melalui penguncupan ke dalam retikulum endoplasma dan sisterna Golgi. Terakhir virion dilepaskan melalui eksitosis (Fenner et al. 1995).

Patogenesa

Rute masuknya virus Feline Infectious Peritonitis ke dalam tubuh tidak diketahui dengan pasti. Menurut Aiello (1998), infeksi dapat disebabkan oleh ingesti virus atau juga transmisi secara aerosol.

Setelah virus masuk melalui ingesti atau terpapar secara aerosol, virus Feline Infectious Peritonitis pada mulanya bereplikasi pada tonsil atau epitelium usus. Kemudian virus ditransportasikan melalui makrofag dan monosit menuju organ target primer seperti hati, limpa dan viceral lymph node. Perkembangan Feline Infectious Peritonitis dan bentuk klinis penyakit (seperti effusive atau non-effusive) tergantung pada respon kekebalan dalam tubuh kucing.

Kucing dengan respon kekebalan humoral yang kuat dan kekebalan seluler (cell-mediated immunity, CMI) yang lemah atau tidak ada sama sekali respon perlawanan maka Virus FIP akan berkembang menjadi suatu bentuk viremia yang terus menerus dan bentuk FIP effusive. Bentuk penyakit effusive ini dihasilkan dari tersebarluasnya pembentukan dan deposisi immune complex pada pembuluh darah dan bertambahmudahnya aktivasi vaskulitis, kerusakan pembuluh, serta kebocoran serum dan protein ke dalam rongga tubuh.

FIP non-effusive berkembang kronis pada kucing dengan respon kekebalan seluler dan kekebalan humoral yang hanya sebagian (tidak sempurna). Karakteristik pada kucing dengan keadaan ini yaitu immune-mediated (tampak adanya keterlambatan reaksi hipersensitivitas), granuloma perivaskular, lesio pada viscera abdominal, paru-paru, mata dan otak.


(52)

Kucing yang memiliki respon kekebalan seluler yang kuat dengan atau tanpa respon kekebalan humoral, salah satunya dapat sembuh sempurna atau menjadi carrier infeksi persisten yang asimptomatik. Kontak langsung dengan kucing terinfeksi akan menyebabkan FIP berkembang pada kucing-kucing tersebut, terutama pada kondisi stres atau co-infeksi dengan Feline Leukemia Virus (FeLV). Beberapa yang asimptomatik, kucing yang seropositif carrier mungkin selanjutnya akan menjadi seronegatif dan berhenti mengeluarkan virus.

Gejala Klinis

Gejala klinis Feline Infectious Peritonitis sering berubah-ubah dan kompleks, tergantung variasi refleksi virus dalam tubuh, respon imunitas alami dan pengaruh dari stres lingkungan pada kucing (Norris 2007). Secara umum gejalanya seperti anoreksia, depresi, kehilangan berat badan, muntah, diare, ikterus, seizure atau gejala syaraf lain, keguguran, uveitis dan lesio granuloma retina (Shaw, Ihle 1997).

Infeksi FIPV bisa berupa granuloma (kering, non-effusive, parenchymatous) atau effusive (basah, non-parenchymatous). Ini pertama kali dilaporkan oleh Montali dan Standberg tahun 1972 (Pedersen 2009). Menurut Barr, Bowman (2006), target FIP tipe basah adalah pada rongga tubuh sedangkan tipe kering memiliki target berbagai organ.

Menurut Norris (2007), pasien dengan FIP effusive atau basah memiliki protein tinggi pada ruang abdominal, ruang perikardial (sekitar jantung) dan atau rongga toraks, demam, kehilangan berat badan, anemia dan peningkatan level serum globulin, meskipun tidak semua kucing mengikuti stereotype ini. Menurut Eldredge et al. (2008), FIP effusive pada kucing tampak sebagai penyakit kronis. Cairan berakumulasi pada rongga tubuh, terlihat dari gejala sulit bernafas karena adanya cairan pada rongga toraks atau pembesaran abdomen akibat cairan yang berakumulasi pada abdomen. Akumulasi cairan pada kantung jantung (pericardial) dapat menyebabkan kematian mendadak. Gejala klinis lain dari FIP tipe basah yaitu dehidrasi, muntah, diare, jaundice dan urin pekat. Jaundice dan urin pekat ini disebabkan oleh kegagalan hati.


(53)

Feline Infectious Peritonitis yang non-effusive atau tipe kering menunjukkan gejala klinis yang hampir mirip FIP effusive, bedanya pada FIP non-effusive tidak dihasilkan cairan. Hal tersebut menyebabkan penyebaran dari bentuk ini sulit untuk didiagnosa (Eldredge et al. 2008). Karakteristik dari FIP tipe kering yaitu keberadaan granuloma pada organ-organ parenkim seperti ginjal, mesenteric lymph nodes, dinding perut (peritonium), hati, sistem syaraf pusat dan mata (Pedersen 2009). Sekitar 90% dari kasus FIP bentuk kering terlihat dari kerusakan pada mata atau otak, atau keduanya (Eldredge et al. 2008).

Teknik Diagnosa

Feline Infectious Peritonitis adalah salah satu penyakit virus yang sangat serius pada kucing. Diagnosa penyakit yang disebabkan oleh virus FIP dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis, pemeriksaan laboratorium, diagnosa radiografi dan ultrasonografi. Juga dengan pemeriksaan laboratorium diantaranya yaitu cell blood count (CBC), profil biokimia serum, analisis cairan, analisis cerebrospinalfluid (CSF), biopsi dan serologi (Shaw, Ihle 1997).

Menurut Sharif et al. (2010), gejala klinis FIP tidak spesifik. Abnormalitas haematologi dan biokimia pada kasus FIP juga tidak spesifik. Uji serologi yang tersedia sekarang memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang rendah untuk mendeteksi infeksi aktif dan reaksi silang (cross-react) dengan strain FCoV berpatogenisitas rendah, Feline Enteric Coronaviruses (FECV). Reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) digunakan untuk mendeteksi FCoV dengan cepat dan sensitif, tetapi hasilnya harus diinterpretasikan dalam konteks gejala klinis. Sekarang ini, suatu diagnosa untuk memastikan adanya infeksi FIP dapat ditentukan dengan pemeriksaan histopatologi.

Differensial Diagnosa

Barr, Bowman (2006) menyebutkan bahwa penyakit Feline Infectious Peritonitis memiliki banyak kemiripan dengan penyakit lain sehingga differensial diagnosanya penting untuk diketahui. Demam yang tidak diketahui asal penyebabnya dapat membingungkan ketika penyakit yang lain pun menimbulkan gejala demam yang sama. Sakit jantung yang menyebabkan effusi pleural, dengan


(54)

ciri khas keparahan spesifik yang rendah. Lesio dari lymphoma, khususnya pada ginjal, dengan pemeriksaan palpasi. Tumor central nervous system (CNS), penyakit respiratori (seperti Feline Calicivirus, Feline Herpes Virus, chlamydiosis, atau bakteri), pensteatitis (yellow fat disease), panleukopenia yang menyebabkan enteritis dan kerusakan hati merupakan penyakit-penyakit yang juga menampakkan gejala klinis yang mirip dengan penyakit Feline Infectious Peritonitis.

Pengobatan

Tidak ada terapi yang terbukti efektif dalam pengobatan penyakit Feline Infectious Peritonitis (Norris 2007). Pada umumnya kucing mengalami infeksi sekunder (selain FIP bentuk basah atau kering) dan kemudian mati (Eldredge et al. 2008). Menurut Aiello (1998), pengobatan cenderung untuk mengobati gejalanya (pengobatan simptomatis), bukan berdasarkan penyebabnya (pengobatan kausalis).

Prednisolon atau cyclophosphamide, kedunya diberikan sebagai obat immunosupresif meskipun tingkat keberhasilannya terbatas. Kortikosteroid untuk membantu pencegahan penyebaran ke daerah mata (Barr, Bowman 2006). Pentoxifylline (Trental) digunakan oleh beberapa dokter hewan untuk pengobatan pada kerusakan pembuluh darah. Aspirin dosis rendah digunakan untuk mengurangi rasa sakit. Interferon dan vitamin tambahan, khususnya vitamin C, diberikan pula dengan harapan dapat membantu menjaga daya tahan tubuh (Eldredge et al. 2008).

2.2. Kucing

Kucing merupakan salah satu hewan karnivora mutlak atau obligat karnivora, artinya kebutuhan protein dalam tubuh dipenuhi sepenuhnya dengan memakan daging. Pencernaan kucing sangat mudah beradaptasi dengan makanan berupa daging namun terbatas beradaptasi dengan makanan mengandung karbohidrat dan serat (Bradshaw 1993).

Biasanya kucing bersifat territorial dan hidup berpasangan atau sebagai kelompok keluarga (Smith, Mangkoewidjojo 1988). Secara fisologis dapat hidup


(55)

pada suhu yang panas sehingga kucing kurang peka terhadap stres panas (Bradshaw 1993).

Menurut Grzimek (1975) dan Allexander (1986), kucing domestik memiliki klasifikasi ilmiah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chorda

Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Subkelas : Theria Ordo : Carnivora Sub ordo : Fissipedia Super famili : Cynofelidae Famili : Felidae

Subfamili : Machairodonyinae Genus : Felis

Spesies : Felis domesticae Gambar 2. Kucing lokal (Felis domesticae)

2.3. Ginjal Anatomi Ginjal

Kucing memiliki dua ginjal yang terletak pada cranial rongga abdomen, masing-masing satu pada garis ventral otot lumbar hypaxial (Gambar 3). Masing-masing ginjal ini menempel pada otot lumbar tertutup oleh suatu penutup diantara parietal peritonium. Tidak ada mesenteric tambahan, terlihat organ abdominal yang lain dan ginjal digambarkan pada retroperitoneal. Ginjal kanan terkesan lebih ke cranial dibandingkan yang kiri karena pada bagian kiri rongga abdomen terdapat organ perut yang mendorong ginjal kiri dari posisi yang seharusnya (Aspinall, O’Reilly 2004).


(56)

Gambar 3. Situs viscerum ginjal kucing (Eldredge et al. 2008)

Sebagai salah satu organ dalam sistem urogenital, ginjal memiliki dua daerah utama yaitu korteks di bagian luar yang beraspek gelap dan medulla di bagian dalam yang agak cerah, berbentuk piramid terbalik (Dellmann, Brown 1992). Korteks normal berwarna gelap merah kecoklatan, tapi warna ini mungkin juga dipengaruhi substansi-substansi yang disaringnya (Aspinall, O’Reilly 2004). Pada kucing dewasa korteks seringkali berwarna kuning karena kandungan lemak yang besar pada sel epitel tubular (Newman et al. 2007).

Ginjal kucing memiliki karakteristik bentuk seperti kacang dan memiliki suatu bagian yang dikenal dengan hilus. Pada bagian inilah terdapat pembuluh darah, saraf dan ureter masuk dan keluar dari ginjal (Aspinall, O’Reilly 2004). Menurut Dellmann, Brown (1992) kucing memiliki tipe ginjal unilobar atau unipiramid. Tipe ini sangat khas karena perpaduan lobusnya yang sempurna, sehingga apeks piramid membentuk papil umum yang bergerigi, disebut kresta renalis, duktus papilaris bermuara dalam pelvis renalis.

Histologi Ginjal

Pada sediaan ginjal dengan pembesaran rendah, akan tampak bagian ginjal yang terdiri dari kapsula, korteks dan medula. Kapsula adalah bagian luar yang


(57)

membalut pekat, sed ginjal anji tidak mem Un (Gambar meliputi t distalis ya Korpuskul jalinan ep (kapsula B pipih selap   Gambar 4 lemak (6), 250x. (Bac   Tu berbentuk yang diseb pada karn

t ginjal. Bag dangkan bag ing, kuda d miliki otot po

nit fungsion 4) yaitu gl tubuli konv ang dikump lus renalis t pitel ujung Bowman). E pis (Dellma

4. Histologi , macula de cha, Bacha

ubuli proks k piramid de but brush b nivora, teru

gian terluarn gian dalamn dan babi me

olos (Dellm nal ginjal a omerulus d voluti prok pulkan ke d terbentuk da g nefron y

Epitel kaps ann, Brown

korpuskulu ensa (8), tub

2000)

imalis pada engan inti bu border pada utama pada

nya memilik nya terdiri d

emiliki otot mann, Brown adalah nefro dalam kapsu ksimalis, jer dalam tubu ari jalinan k ang melua sula pada k

1992).

us renalis gi buli proksim

a nefron m ulat terletak a permukaa kucing, ba

ki serabut k dari jaringan t polos, sed n 1992). on, yang m ula Bowma rat (lup) H uli pengump kapiler atau as, yang di korpuskulus

injal kucing mal (9), urin

memiliki ep k basal dan an bebasnya anyak meng

kolagen sert n ikat longg dangkan pa

meliputi kor an dan siste Henle dan t pul (Newm

glomerulus isebut kaps

renalis kh

g. Tubuli di nary space

pitel yang b memiliki m a. Epitel tu gandung bu

ta serabut e gar. Pada ka da ginjal k

rpuskulus re em tubular tubuli konv man et al. 2

s yang mem sula glome has berupa

istal (5), va (12). Perbe

bersifat asi mikrovili pa ubuli proksi utir lipid b

elastik apsula kucing enalis yang voluti 2007). masuki erulus epitel kuola esaran idofil, njang imalis erupa


(1)

        D

D

R  

K

16 µm Gambar 13. Gambaran histopatologi tubular dan interstisial ginjal kucing, P/78/10. Degenerasi tubuli (D), infiltrasi sel radang (R), kongesti (K). Pewarnaan HE.

     

       

 

D

 

 

           

16 µm Gambar 14. Gambaran histologi korteks ginjal kucing P/78/10. Infiltrasi sel radang (R), degenerasi tubuli (D), Pewarnaan HE.


(2)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan studi morfopatologi ginjal pada ketiga kasus, dapat disimpulkan bahwa ginjal kucing yang terinfeksi virus FIP mengalami perubahan patologi anatomi dan juga histopatologi. Perubahan yang ditemukan secara makroskopis dari ketiga ginjal adalah kongesti dan nefritis granuloma. Pemeriksaan mikroskopik ditemukan kongesti, degenerasi-nekrosa tubuli dan infiltrasi sel-sel radang (makrofag, limfosit dan sel plasma) pada daerah interstisial disertai dengan fibrosis. Diagnosa ginjal secara histopatologi adalah nefritis interstisialis granuloma.

5.2. Saran

Feline Infectious Peritonitis (FIP) termasuk penyakit penting dan bersifat fatal yang sering dialami oleh kucing. Pencegahannya masih sulit dilakukan karena deteksi dininya yang masih sulit pula. Untuk itu diharapkan adanya penelitian lebih lanjut tentang deteksi dini baik melalui gejala klinis maupun uji serologis sehingga penyakit tersebut dapat ditangani segera mungkin.


(3)

K

YANG T

KAJIAN

TERPAP

NOV

FAK

IN

MORFO

PAR

FELI

VI HAND

KULTAS

NSTITUT

OPATOLO

INE INFE

DAYANI

KEDOK

T PERTA

BOGO

2011

OGI GINJ

ECTIOUS

SETIA M

KTERAN

ANIAN BO

OR

1

JAL KUC

S PERITO

MARETA

HEWAN

OGOR

CING

ONITIS

(F

A

N


(4)

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2010. Feline corona virus [terhubung berkala]. http://www.cathealth.com/InfX.htm. [07 Januari 2010]

[Anonim]. 2010. Kucing: sejarah dan mitos. [terhubung berkala] http://www.kucingkita.com [29 April 2010]

Aiello S. 1998. The Merck Veterinary Manual. Merck Co. Inc. Whitehouse N.J. USA.

Allexander MN. 1986. The Encyclopedia of Animal Behaviour and Biology. Groiler International.

Aspinal V, O’Reilly M. 2004. Introduction to Veterinary Anatomy and Physiology. London: Butterworth-Heinemann.

Bacha WJ, Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary HistologySecond Edition. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.

Barr SC, Bowman DD. 2006. The 5-Minute Veterinary Consult Clinical Companion First Edition. Blackwell Publishing.

Boden E. 2005. Black’s Veterinary Dictionary 21ST Edition. London: A & C Black Publisher.

Bradshaw J. 1993. The True Nature of The Cat. London: Boxtree Limited

Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology Third Edition. Iowa : Blackwell Publishing.

Eldredge DM, Carlson DG, Carlson LD, Giffin DM. 2008. Cat Owner’s Home Veterinary Handbook. Hoboken, New Jersey: Wiley Publishing.

Fenner FJ, Gibbs EPJ, Murphy FA, Rott R, Studdert MJ, White DO. 1995. Veterinary Virology. Terjemahan Putra, Harya dan K. G. Suryana. Semarang: IKIP Semarang Press.

Garner MM et al. 2008. Clinicopathologic features of a systemic coronavirus-associated disease resembling feline infectious peritonitis in the domestic ferret (Mustela putorius). Vet Pathol 45:236–246.

Grzimek B. 1975. Grzimek’s Animal Life Encyclopedia Mammals III. New York: Vannostrandern Hold.


(5)

Guyton, Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Ed. Ke-9. Irawati Setiawan. Penerjemah. Jakarta : EGC

Hartmann K, Binder C, Hirschberger J. 2003. Comparison of different tests to diagnose feline infectious peritonitis. Journal of veterinary medicine; 17(6):781-790.

Horzinek MC, Lutz H. 2000. An Update on Feline Infectious Peritonitis. Veterinary Science Tomorrow-Nr.0

Kipar A, May H, S. Menger, M. Weber, W. Leukert, M. Reinacher. 2005. Morphologic Features and Development of Granulomatous Vasculitis in Feline Infectious Peritonitis. J Vet Pathol42:321–330 (2005).

Mosier DA. 2007. Vascular Disorder and Thrombosis, Phatologic Basis of Veterinary Disease Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier.

Myers RK, McGavin MD. 2007. Cellular and Tissue Responses to Injury,

Phatologic Basis of Veterinary Disease Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier.

Newman SJ, Anthony WC, Roger JP. 2007. Urinary System, Phatologic Basis of Veterinary Disease Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier.

Norris J. 2007. Feline Infectious Peritonitis (FIP): Update 2007. Sydney: The University of Sydney.

Pesteanu-Somogyi LD, Radzai C, Pressler BM. 2006. Prevalence of feline infectious peritonitis in spesific cat breeds. J Feline Med Surg 8(1):1-5.

Pedersen NC. 2009. A synopsis of feline infectious peritonitis virus infection. USA: Center for Companion Animal Health.

Sharif S, Siti Suri Arshad, Mohd Hair-Bejo, Abdul Rahman Omar, Nazariah Allaudin Zeenathul, and Amer Alazawy. 2010. Review Article, Diagnostic Methods for Feline Coronavirus: A Review. Veterinary Medicine International Article ID 809480, 7 pages.

Shaw D, Ihle S. 1997. Small Animal Internal Medicine First Edition. Blackwell Publishing.

Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, & Penggunaan Hewan Percobaan Di Daerah Tropis. Jakarta: UI-Press

Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


(6)

Teymori A. 2009. Feline infectious peritonitis (FIP) fact and information [terhubung berkala]. www.vet.cornell.edu/hfc. [07 Februari 2010]

Tilley LP, Smith FWK. 2000. The Five-Minute Veterinary Consult. Misouri: Mosby.

Waluyo SN. 2007. Tahukah Anda? [terhubung berkala] http://www.kucingkita.com [29 April 2010]

Widyamartha GR. 2010. Kajian Histopatologi Hati Kucing yang Terpapar Feline Infectious Peritonitis (FIP). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.