32
umum, kamus hukum, majalah-majalah, dan internet
. 58
serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang berkaitan guna melengkapi data.
4. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, Deskritif analisis dalam arti bahwa penulisan ini mempunyai tujuan untuk
menggambarkan, menelaah
dan menjelaskan
mengenai perkawinan
dengan perempuan yang bercerai diluar pengadilan. Adapun tipe penelitian yang digunakan
adalah penelitian normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
59
. pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan Statute Approach yaitu melakukan
pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian serta ditunjang conceptual approach dan comperatif approach untuk
kemudian secara
integral distrukturisasi
melalui pendekatan
system untuk
pembahasannya.
5. Alat Pengumpulan Data.
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 2 dua cara, yaitu: 1 studi pustaka, dan 2 wawancara. Studi pustaka digunakan
dalam rangka
pengumpulan data
skunder. Pengumpulan
data dengan
menggunakan studi pustaka ini ditempuh dengan cara mengumpulkan, membaca,
58
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Penerbit Jakarta : Bayumedia, 2005, hal. 340.
59
Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normative, Penerbit Surabaya: Bayumedia, 2006, hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
33
menelaah, mengkaji, serta mengkritisi ketentuan peraturan perundang-undangan terkait. Sedangkan dalam melakukan penelitian lapangan, alat yang digunakan untuk
mengumpulkan data adalah dengan menggunakan pedoman wawancara yang memuat data daftar pertanyaan yang akan diajukan secara lisan dan tulisan kepada responden
dan narasumber.
6. Analisis Data.
Analisis data yaitu merupakan suatu proses atau langkah-langkah dalam pengorganisasian dan mengurutkan bahan hukum yang dikumpulkan pada suatu pola
kategori dan satuan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan diatas. Jadi, bahan hukum yang diperoleh dari kepustakaan, bahan hukum primer seperti
peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder seperti buku-buku teks, literatur, karya tulis ilmiah dan bahan hukum tersier seperti kamus, tulisan, dan lain-
lain diuraikan dan dihubungkan begitu rupa sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna membahas dan menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
Universitas Sumatera Utara
34
BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA PERCERAIAN
DILUAR PENGADILAN
A. Hakikat Talak Menurut Hukum Islam.
Apabila ditelusuri sumber hukum Islam, al-Quran QS.al-Baqarah [2]:227- 237,Q.S.al-Nisa’[4]:19,34,35,128,130, Q.S.al-Ahzab[33]: 28,29,39, QS. Al Thalaq
[65]:1,2,4,6,7 dan Sunnah shahih, yang mengatur tentang talak dan berbagai aspek hukum di dalamnya, maka dapat ditarik beberapa garis hukum tentang perceraian
sebagai berikut: 1.
Perceraian adalah dibolehkan dalam Islam sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan suami isteri dan anak-anak dalam kondisi rumah tangga yang
tidak mungkin dipertahankan lagi. 2.
Meskipun perceraian dibolehkan, namun perbuatan tersebut sangat dibenci oleh Allah SWT mengingat besarnya dampak negatif yang akan timbul akibat
perceraian. 3.
Meskipun perceraian dibolehkan dalam kondisi dharurat, namun perceraian harus dilakukan dengan cara-cara ihsan baik. Makna ihsan mencakup asas
keadilan, persamaan dan pemeliharaan hak dan kewajiban serta harus didasari oleh alasan atau alasan-alasan yang dibenarkan hukum.
4. Perceraian merupakan salah satu perbuatan hukum yang tidak boleh dilakukan
semena-mena serampangan untuk menjaga sakralitas institusi perkawinan. Berdasarkan beberapa pokok pikiran tersebut, maka yang menjadi nilai-nilai
mutlak dan tidak mungkin diubah dalam ajaran Islam tentang perceraian nilai-nilai kategori Syari’ah adalah kebolehan perceraian dalam kondisi tertentu, sedangkan
tata cara pelaksanaannya secara “ihsan” adalah bersifat umum dan dinamis serta berkembang sesuai dengan tuntutan kemaslahatan masyarakat. Sebagai contoh, dalam
hadis riwayat Ibnu Abbas r.a disebutkan bahwa talak pada masa Rasulullah SAW dan
34
Universitas Sumatera Utara
35
Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq serta dua tahun masa kekhalifahan Umar ibn al- Khaththab, yang dijatuhkan tiga kali sekaligus dihitung satu, setelah itu di saat
masyarakat mulai mempermain-mainkan talak, maka Khalifah Umar ibn al- Khaththab menetapkan talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus dihitung tiga.
60
Ketetapan Umar tersebut secara zhahir terlihat bertentangan dengan ayat al- Quran ath-thalaqu marrataini yang menyatakan talak itu dua kali serta berbeda
dengan praktek hukum pada masa Rasulullah dan Abu Bakar. Namun oleh karena substansi talak pada hakikatnya adalah untuk memelihara institusi perkawinan, maka
Umar selaku penguasa pada waktu itu berani menetapkan hukum yang tidak sama dengan praktek pada zaman Rasul dan Abu Bakar.
Apabila dilihat dari segi rentang waktu terjadinya perubahan hukum di sekitar talak pada masa Umar tersebut kurang lebih hanya empat tahun setelah Rasulullah
SAW wafat terjadi perubahan kondisi masyarakat sehingga Umar memandang perlu adanya perubahan hukum karena mempertahankan ketentuan yang lama dalam
kondisi masyarakat yang suka mempermain-mainkan talak akan berakibat tidak tercapainya tujuan pensyari’atan talak sebagai proteksi untuk melindungi institusi
perkawinan. Apalagi apabila dibandingkan dengan situasi dan kondisi masyarakat modern sekarang yang rentang waktunya sudah lebih kurang 14 abad yang silam
tentu mengalami perubahan dan perkembangan yang jauh lebih besar dan sudah pasti menuntut kajian hukum yang lebih dalam pula untuk dapat menerapkan hukum sesuai
dengan tuntutan perubahan.
60
Muhammad Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, Bandung: Dahlan, 2019., jil.3, hal. 171.
Universitas Sumatera Utara
36
Pada masa lalu, sebagian ulama berpendapat bahwa hak talak merupakan hak mutlak suami sehingga suami dapat menggunakan haknya tersebut kapan, dimana dan
dengan alasan apapun. Akibat dari persepsi tersebut banyak terjadi perceraian yang merugikan pihak perempuan dan anak-anak selaku pihak yang paling banyak
menderita akibat putusnya perkawinan. Apabila kembali dikaji kembali dasar-dasar hukum Al-Quran dan Sunnah
yang menempatkan hak talak pada suami, ternyata tidak ada suatu ayat atau hadis yang secara tegas mengungkapkan hal itu. Pemberian hak talak kepada suami adalah
berbentuk fikih atau pemahaman dari tekstual ayat dan praktek pada masa Nabi. Namun apabila dicermati lebih jauh, praktek talak pada masa Nabi dan para sabahat
pun tidak terlepas dari peran dan fungsi penguasa dalam menentukannya. Seperti campur tangan Nabi SAW yang memerintahkan Ibn Umar untuk kembali kepada
isterinya yang dijatuhkan talak disaat haid, marahnya Nabi ketika seorang laki-laki menjatuhkan talak tiga sekaligus, campur tangan Umar ibn al-Khaththab untuk
menetapkan talak tiga sekaligus dijatuhkan tiga, tindakan Umar yang memukul punggung seorang laki-laki yang menjatuhkan talak terhadp isterinya secara semena-
mena. Menurut ketentuan Hukum Islam yang berlaku di Indonesia pada saat ini
bahwa, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Tahun 1991.
Universitas Sumatera Utara
37
Adapun dasar dari ketentuan tersebut berdasarkan kajian terhadap isi kandungan, makna dan tujuan maqashid dari seluruh ayat al-Quran dan hadis-hadis
Rasulullah SAW yang berkaitan dengan masalah perceraian, yang intisarinya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Bahwa menurut ajaran Islam yang bersumber dari ayat al-Quran dan Hadis Nabi
SAW., ikatan perkawinan adalah suatu ikatan yang sangat sakral suci dan sangat kokoh mitsaqan ghalizan. Ikatan perkawinan disebut Allah SWT
sebagai ikatan yang sangat kuat mitsaqan ghalizan sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa’ [4] ayat 21 yang artinya:
Artinya: “...Dan mereka isteri-isterimu telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.Q.S An-Nisa:21.
Ikatan perkawinan disebut sebagai ikatan yang sangat kuat karena di dalam ikatan perkawinan tersebut tersimpul hak dan kewajiban yang sangat banyak dan
mulia, tujuannya untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah Pasal 2 KHI. Dalam al-Quran Allah SWT hanya tiga kali menyebutkan
kalimat mitsqan ghalizan masing-masing: 1. Ketika menyebutkan ikatan perkawinan surat An-Nisa’[4] ayat 21
2. Ketika menyebutkan perjanjian antara Nabi Musa dengan kaumnya surat an Nisa[4] ayat 154
3. Ketika menyebutkan perjanjian yang diikatkan oleh para Nabi untuk menyampaikan ajaran agama kepada umat surat al-Ahzab[33] ayat 7.
Oleh karena ikatan perkawinan adalah sesuatu yang sangat kuat, maka ikatan perkawinan menurut ajaran Islam tidak mungkin diputuskan melalui perceraian,
kecuali dalam kondisi yang tidak dapat dihindarkan darurat saja.
Universitas Sumatera Utara
38
b. Bahwa oleh karena perceraian adalah jalan yang boleh ditempuh untuk
menyelesaikan kemelut rumah tangga dalam kondisi “darurat” saja, maka perceraian haruslah merupakan jalan alternatif terakhir yang dapat ditempuh
untuk menyelamatkan suami isteri dan keturunan mereka, di saat perpecahan rumah tangga suami isteri tersebut tidak mungkin lagi dipertahankan. Apabila
rumah tangga mereka tetap dipertahankan dalam kondisi yang demikian, besar kemungkinan akan timbul kemudaratan dan kerusakan mafsadat yang lebih
besar, baik terhadap kedua belah pihak maupun terhadap anak-anak mereka. Sementara kaidah fikih menyatakan: “Menolak kemudharatan lebih utama
daripada mengambil manfaat”. Apabila kondisi rumah tangga masih dalam keadaan biasa dan belum sampai
ke tahap dharurat, maka perceraian sangat dilarang mengingat besarnya dampak atau akibat yang akan diderita oleh kedua belah pihak, terutama oleh anak-anak
mereka setelah perceraian. c.
Meskipun perceraian hanya dibolehkan dalam kondisi darurat, namun perceraian merupakan jalan keluar yang sangat dibenci oleh Allah SWT, sesuai dengan
Sabda Rasulullah SAW. yang artinya: Artinya: “Perbuatan halal yang sangat dimurkai oleh Allah adalah thalaq
perceraian” HR. Abu Daud. Perceraian merupakan jalan keluar yang sangat dibenci Allah SWT karena
dapat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan masing-masing suami isteri, apalagi bagi anak-anak mereka.
Universitas Sumatera Utara
39
d. Mengingat perceraian merupakan “jalan terakhir”, maka perceraian tidak boleh
dilakukan secara “sewenang-wenang”, “serampangan” atau “sesuka hati”. Perceraian wajib dilakukan secara “baik” yang dalam bahasa al-Quran disebut
dengan secara “ma’ruf” , sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam surat Ath- Thalaq ayat 2 yang artinya:
Artinya: ….“apabila kamu ingin bersatu kembali maka penganglah para isteri itu secara baik, namun apabila kamu ingin bercerai,
ceraikanlah para isteri itu secara baik pula”. Persaksikanlah dengan dua orang saksi di antara kamu, dan tegakkanlah kesaksian
itu karena Allah…QS. At-Thalaq:2
Sebagaimana tuntutan Allah SWT dimana perceraian harus dilakukan secara ma’ruf atau ihsan baik tersebut, maka perceraian harus diatur pelaksanaanya
agar tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Apabila pintu perceraian dibuka secara luas, maka suami isteri yang sedang bertengkar dalam rumah tangga akan
sangat mudah melakukan perceraian itu, akibatnya rumah tangga akan menjadi kacau. Apabila kehidupan rumah tangga menjadi kacau, dampaknya sudah pasti
akan sangat buruk terhadap kehidupan bermasyarakat secara umum, termasuk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, baiknya kehidupan suatu
bangsa apabila masyarakatnya baik, baiknya kehidupan masyarakat apabila keluarga-keluarga sudah baik. Sebaliknya jika kehidupan keluarga kacau balau,
maka masyarakat juga akan menjadi kacau, halmana pasti tidak dikehendaki oleh ajaran Islam. Dalam konteks inilah, maka secara siyasah syar’iyah, persoalan
talak perlu diatur pelaksanaannya oleh negara.
Universitas Sumatera Utara
40
Apabila direnungkan secara filosofi, bahwa pertengkaran dan perselisihan dalam suatu rumah tangga adalah sesuatu hal yang lumrah dan mungkin terjadi
serta bersifat alami. Hal itu sangat mungkin terjadi karena suami dan isteri adalah dua insan yang memang berbeda, baik dari segi latar belakang pendidikan,
keluarga, lingkungan sosial, karakter dan sifat masing-masing, maupun perbedaan status sosial dan lain sebagainya. Perbedaan-perbedaan itulah yang
secara alami menyebabkan suami isteri memiliki pola pikir berbeda, akibatnya suami isteri akan sering berbeda pandangan dalam menyelesaikan suatu masalah,
termasuk dalam hal menempuh “cara” untuk menyelesaikan masalah tersebut. Perbedaan-perbedaan latar belakang kehidupan itu juga sering menimbulkan
perbedaan harapan dan cita-cita. Kondisi yang memang sudah tercipta secara alami tersebut kemudian disatukan dalam sebuah ikatan yang kokoh disebut
dengan rumah tangga, dalam perbedaan-perbedaan itu tentu saja besar kemungkinan akan menimbulkan pergesekan-pergesekan kepentingan, sehingga
berwujud dalam bentuk perselisihan dan pertengkaran. Apabila masing-masing suami dan isteri memahami hakikat perkawinan
tersebut, maka besar kemungkinan kedua suami isteri itu akan saling menerima setiap perbedaan itu, baik berupa kelebihan maupun kelemahan masing-masing
secara ikhlas. Karena perbedaan-perbedaan itu tercipta bukanlah atas kehendak masing-masing untuk menciptakannya, melainkan kehendak Allah SWT lah yang
paling menentukan tentang siapa orangtua yang melahirkan kita, dimana
Universitas Sumatera Utara
41
lingkungan tempat kita tinggal, keluarga dan masyarakat kita sehingga sejak kecil hingga dewasa membentuk sifat dan karakter kita masing-masing.
Meskipun perselisihan dan pertengkaran dalam kehidupan rumah tangga adalah sesuatu hal yang tidak mungkin dihindarkan. Namun tidak berarti semua
perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga itu harus diakhiri dengan jalan perceraian. Hanya perselisihan dan pertengkaran yang sangat memuncak
dan besar kemungkinan akan menimbulkan kemudaratan saja yang boleh diselesaikan dengan perceraian dan itupun harus dilakukan secara baik ma’ruf
agar tidak menimbulkan akibat yang sangat buruk bagi kedua belah pihak, apalagi bagi anak-anak mereka.
Mengingat besarnya dampak negatif yang akan muncul dari suatu perceraian itu, maka masalah “perceraian” menurut pendapat ulama dan pakar hukum Islam
untuk masa sekarang ini tidak lagi semata-mata merupakan urusan pribadi seorang suami atau isteri, melainkan telah menjadi urusan pemerintahnegara
publik untuk mengaturnya. Pemerintah selaku pihak yang wajib mengayomi dan melindungi warga
negaranya mempunyai kewajiban untuk mengatur tertibnya rumah tangga setiap warga negaranya agar terjamin ketertiban kehidupan masyarakat, yang pada
gilirannya akan mewujudkan ketertiban hidup berbangsa dan bernegara. Pemerintah Indonesia selaku “Ulil Amri” yang wajib ditaati setelah kewajiban
mentaati Allah dan Rasul-Nya bagi seluruh umat Islam di Indonesia, telah mengeluarkan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam bahwa perceraian hanya
Universitas Sumatera Utara
42
dapat terjadi di depan pengadilan setelah pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk
mengatur masalah perceraian dalam kehidupan masyarakat tersebut telah sejalan dengan kaidah hukum yang menyatakan:“Kebijakan pemerintah untuk rakyatnya
adalah mengacu kepada kemaslahatan”. Oleh karena ketentuan yang ditetapkan pemerintah itu bertujuan untuk
kemashlahatan umum, maka ketetapan pemerintah tersebut sangat patut dan wajib didukung oleh semua masyarakat, terutama masyarakat Islam karena telah
sejalan dengan maksud dan tujuan hukum Islam itu sendiri. Dari kacamata al- Quran,
sepanjang ketentuan
yang dibuat
pemerintah bertujuan
untuk kemashalahatan hidup masyarakat, maka ketentuan tersebut wajib ditaati sebagai
perwujudan dari kewajiban mengikuti perintah Allah dan Rasulnya. e.
Untuk menghindari agar perceraian tidak dijatuhkan secara sewenang-wenang dan sesuka hati, maka pihak yang patut dan layak menilai kondisi “darurat”
tersebut bukanlah suami atau isteri yang sedang terlibat pertikaian itu, karena dikhawatirkan mereka akan salah dalam menilai subjektifivitas, apalagi mereka
adalah pihak-pihak yang sedang bertikai. Suami atau isteri yang sedang bertikai atau berselisih cendrung menilai suatu
masalah secara emosional dan kurang pertimbangan. Dalam keadaan bertengkar setiap suami isteri cendrung melihat sisi buruk dari masing-masing pasangannya
sehingga mudah untuk terjerumus dalam perceraian. Sementara Rasulullah SAW telah menyatakan dalam sebuah hadis yang artinya: “Perceraian tidak sah
Universitas Sumatera Utara
43
apabila dijatuhkan dalam keadaan marah, dendam dan penuh kebencian” Hadis. Bahkan, dalam ajaran Islam perceraian tidak boleh dilakukan hanya atas
dasar pemufakatan kedua belah pihak suami isteri karena kemufakatan untuk bercerai adalah kemufakatan yang bertentangan dengan kehendak hukum Islam
itu sendiri. Oleh karena perceraian adalah sesuatu yang dimurkai Allah SWT, maka permufakatan bercerai adalah permufakatan untuk mencari kemurkaan
Allah SWT. Oleh sebab itu, pihak yang patut dan layak menilai kondisi rumah tangga
apakah sudah sampai ke tahap darurat atau belum, haruslah pihak yang netral independen, yaitu pihak yang mampu berlaku adil, yang tidak memiliki
kepentingan apa-apa terhadap salah satu pihak, baik kepada suami ataupun isteri, pihak ini hanya berpihak kepada kemashlahatan rumah tangga mereka, baik
terhadap suami, isteri dan anak-anak mereka. Dalam hal ini, pemerintah telah menetapkan bahwa pihak yang layak menilai kondisi darurat itu adalah
Pengadilan Agama bagi umat Islam di Indonesia. Pengadilan Agama secara hukum bertugas dan berwenang menyelesaikan sengketa-sengketa umat Islam
termasuk di dalamnya masalah perceraian. Pengadilan Agama dalam hal ini Hakim akan memeriksa apakah perceraian tersebut telah beralasan hukum.
Penilaian itu
wajib berdasarkan
alat-alat bukti
yang dapat
dipertanggungjawabkan di depan persidangan. Dalam rangkaian sejarah umat Islam, turut campurnya pemerintah dalam
mengatur kehidupan masing-masing pribadi masyarakatnya bukanlah sesuatu hal
Universitas Sumatera Utara
44
yang baru. Pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a, beliau pernah mengambil kebijakan untuk memerangi orang-orang yang enggan membayar
zakat, padahal tidak ada satu ayat atau hadispun yang memerintahkan untuk memerangi orang yang tidak membayar zakat. Kewajiban membayar zakat
sebenarnya adalah urusan masing-masing peribadi kepada Allah SWT., namun ketika hal itu bertujuan untuk memelihara kepentingan umum, maka pemerintah
dapat mengaturnya agar kemashlatan umum masyarakat dapat terwujud. Demikian pula halnya dengan masalah perceraian. Ayat-ayat al-Quran dan
Hadis-hadis yang berkaitan dengan perceraian tidak akan pernah diubah dan berubah sampai kapanpun, namun teknis pelaksanaannya dapat saja berubah
sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. Kalau pada masa lalu, para pakar hukum Islam berpendapat bahwa hak talak adalah hak mutlak suami yang dapat
dijatuhkan kapan, dimana dan dengan cara apapun, maka pendapat tersebut untuk situasi dan kondisi pada saat ini dirasakan kurang tepat karena akan
menimbulkan perceraian-perceraian secara sewenang-wenang dan sesuka hati dari pihak suami. Apabila pendapat ini dipakai untuk situasi dan kondisi saat ini,
maka pihak wanita isteri dan anak-anak akan terzalimi, padahal Islam adalah agama yang menyelamatkan dan agama yang mementingkan keadilan bagi
siapapun. Kepentingan suami dan isteri harus dipelihara secara adil dan seimbang, demikian juga kepentingan anak-anak yang lahir dari perkawinan
tersebut. Oleh sebab itu para pakar hukum Islam di Indonesia setelah mempertimbangkan berbagai segi dan mempertimbangkan kokohnya ikatan
Universitas Sumatera Utara
45
perkawinan dan tujuan perceraian akhirnya menetapkan bahwa perceraian harus diatur oleh negara agar terlaksana secara ma’ruf baik. Pengaturan negara dalam
masalah perceraian itu semata-mata bertujuan untuk menyelamatkan kehidupan keluarga dan masyarakat secara umum, sejalan dengan tujuan Syari’at Islam.
Berdasarkan uraian tersebut, maka perceraian suami isteri yang dilakukan di luar pengadilan, dari kaca mata hukum Islam yang berlaku saat ini di Indonesia
dipandang tidak sah dan tidak berkekuatan hukum. Perceraian seperti itu tidak dapat dibuktikan secara sah dengan akta cerai. Apabila suami isteri telah berpisah
akibat melakukan perceraian di luar pengadilan, maka dari kaca mata hukum Islam yang berlaku saat ini di Indonesia dipandang masih terikat suami isteri.
Sebagaimana telah ditegaskan di atas, bahwa perkawinan adalah ikatan yang sangat kokoh mitsaqan ghalizan yang tidak dapat diputuskan kecuali dengan
cara-cara yang dibenarkan hukum Islam Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 113 disebutkan bahwa perkawinan
dapat putus karena: 1 kematian, 2 perceraian, dan 3 atas putusan pengadilan. Yang dimaksud dengan putusnya ikatan perkawinan karena kematian adalah
berakirnya ikatan suami isteri disebabkan wafatnya salah seorang dari mereka. Adapun yang dimaksud dengan putusnya perkawinan karena perceraian adalah
berakhirnya ikatan perkawinan karena perceraian yang dilangsungkan di pengadilan. Perceraian yang dilaksanakan di pengadilan ini adakalanya
berbentuk cerai talak, yaitu perceraian yang dilaksanakan oleh suami di depan sidang pengadilan, atau berbentuk cerai gugat yaitu cerai yang dijatuhkan oleh
Universitas Sumatera Utara
46
pengadilan karena adanya gugatan dari pihak isteri. Sedangkan yang dimaksud dengan putusan pengadilan adalah putusnya ikatan perkawinan yang didasarkan
atas putusan pengadilan selain cerai talak dan cerai gugat, seperti pembatalan perkawinan fasakh.
Oleh karena perceraian yang diakui secara hukum adalah yang dilakukan di depan sidang pengadilan, maka perceraian yang dilakukan secara liar atau di luar
pengadilan, dinilai tidak memiliki kekuatan hukum. Oleh sebab itu, perceraian yang demikian tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap perkawinan. Antara
suami isteri tersebut secara hukum masih terikat dalam sebuah perkawinan, keduanya dapat hidup bersama sebagai suami isteri karena hak dan kewajiban
masing-masing masih tetap berjalan sampai adanya putusan pengadilan yang menceraikan mereka.
Memang dalam kitab-kitab fikih pada masa lalu ada pendapat yang menyatakan bahwa perceraian itu merupakan hak suami secara mutlak yang
boleh dijatuhkan kapan, dimanapun dan dengan cara apapun dikehendakinya. Pendapat ini berlandaskan kepada ketentuan umum ayat al-Quran dan hadis Nabi
SAW. di antaranya yang artinya : “Tiga perkara yang tidak boleh dipermain- mainkan, yakni nikah, talak dan rujuk” HR. an-Nasa’i.
Setelah dilakukan pen-takhrij-an penelitan terhadap sanad hadis di atas, para pakar hadis menilai bahwa hadis di atas hanya memiliki kualitas paling tinggi
hasan gharib hadis yang dikuatkan oleh hadis yang lain. Bahkan, Ibnu Majjah menilai hadis ini sebagai hadis mungkar. Apabila dilihat dari segi teks matan
Universitas Sumatera Utara
47
hadis, terlihat bahwa makna yang dikehendaki oleh hadis itu adalah tiga hal yang tidak boleh dipermain-mainkan, yaitu nikah, talak dan rujuk. Sementara selama
ini, sebagian ulama dan masyarakat memahami makna hadis itu secara tekstual, yaitu tiga perkara yang apabila dilakukan main-main atau sungguh-sungguh
hukumnya adalah sungguh-sungguh, yaitu nikah, talak dan rujuk. Namun anehnya pemahaman masyarakat secara tektual itu dibatasi pada talak saja, tidak
untuk nikah dan rujuk. Padahal teks hadis itu secara jelas dan terang menyatakan tiga perbuatan, yaitu nikah, talak dan rujuk tanpa ada perbedaan. Semestinya
apabila talak yang dijatuhkan main-main itu dianggap sah, maka nikah secara main-main seharusnya juga dianggap sah, demikian pula rujuk yang dilakukan
main-main semestinya juga dianggap sah. Tetapi para ulama menyatakan bahwa nikah dan rujuk itu harus memenuhi rukun dan syarat tertentu yang tidak boleh
dilanggar supaya perkawinan menjadi sah. Terlihat bahwa pemahaman terhadap hadis seperti demikian tidak konsisten dan tidak tepat.
Perubahan hukum dalam tataran fikih merupakan sebuah kemutlakan agar hukum tersebut dapat diterapkan sesuai dengan perubahan zaman. Sedangkan
hukum dalam kategori syariah merupakan hukum yang bersifat tetap dan abadi sepanjang zaman serta tidak terpengaruh oleh situasi dan kondisi apapun. Adanya
perubahan hukum menghendaki perubahan paradigma berpikir masyarakat Islam sebagai habitat hukum Islam tersebut, termasuk di bidang hukum perkawinan,
khususnya perceraian. Perceraian tidak lagi merupakan hak mutlak suami, namun sudah menjadi bagian dari hak masyarakat umum sehingga perlu diatur
Universitas Sumatera Utara
48
pelaksanaannya oleh pemerintah. Tujuan pengaturan perceraian oleh pemerintah tersebut semata-mata untuk terwujudnya kepastian hukum sehingga ketentraman
dan kedamaian kehidupan masyarakat dapat diwujudkan. Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah yang sangat mulai itu tentu saja sejalan dengan tujuan
pensyariatan hukum sehingga wajib dipatuhi sebagai wujud kepatuhan kepada Allah dan RasulNya. Berdasarkan hal itu, maka perceraian yang dijatuhkan di
luar pengadilan menurut ketentuan hukum Islam di Indonesia dinilai tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.
B. Faktor-faktor Penyebab Utama Perceraian
Perceraian terjadi didahului dengan banyaknya konflik dan pertengkaran yang terjadi antara suami dan isteri. Kadang-kadang pertengkaran tersebut masih bisa
ditutup-tutupi sehingga anak tidak mengetahuinya, namun tidak jarang anak bisa melihat dan mendengar secara jelas pertengkaran tersebut. Pertengkaran orang tua,
apapun alasan dan bentuknya, akan membuat anak merasa takut. Pertengkaran berakibat negatif terhadap psikis anak, hal tersebut akan membuatnya merasa takut,
sedih dan bingung sehingga bisa membuatnya menjadi anak yang pemurung. Adapun yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian diluar
pengadilan dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Ekonomi.
Perceraian karena masalah ekonomi dapat terjadi karena menganggap pasangan tidak mampu memenuhi kebutuhan materi keluarga, sehingga
meninggalkan pasangannya dengan cara bercerai. Hal ini bisa dialami oleh
Universitas Sumatera Utara
49
siapa saja baik dari keluarga yang ekonominya lemah atau yang sudah mapan sekalipun. Mengatur keuangan dengan bijaksana dan tetap hidup sederhana
tanpa bermewah-mewahan jauh lebih baik demi kelangsungan hidup berumah tangga.
61
2. Kurang Komunikasi. Setiap orang memiliki permasalahannya sendiri. Begitupun dengan sebuah
rumah tangga yang berisi suami, istri dan anak, tentu tidak luput dari konflik. Konflik yang terjadi di dalam rumah tangga sering kali terjadi karena masalah
komunikasi yang tidak lancar antara suami dengan istri.
62
3. Tidak Mau Mengalah. Tidak mau mengalah bukan hanya terjadi pada pasangan suami isteri baru
atau dalam masa-masa penyesuaian. Namun karakter dan sifat ini bisa terjadi pada pasangan yang sudah “senior” atau tua. Dalam setiap perbedaan
pendapat dan pertengkaran antara suami isteri biasanya dipicu oleh perasaan yang menganggap diri selalu benar
dan pasangannya yang salah, sehingga keduanya tidak mau mengalah dan saling mempertahankan keinginan serta
pendapatnya.
63
4. Campur Tangan Orang Tua.
61
Hasil wawancara nyonya X nama samaran, tanggal 13 Oktober 2013, di Banda Aceh.
62
Hasil wawancara nyonya Ynama samaran, tanggal 13 Oktober 2013, di Banda Aceh.
63
Hasil wawancara dengan Muhammad Irham, tokoh agama masyarakat Kecamatan Ulee Kareng, tanggal 5 Oktober 2013.
Universitas Sumatera Utara
50
Turut campur orang tua dalam rumah tangga anak memang sering terjadi, karena orang tua merasa menjadi orang tua dari anaknya sehingga ikut campur
dalam urusan rumah tangga anaknya. Ada pula bahkan sampai mengatur kehidupan anaknya sehingga anaknya tertekan. Problem inilah yang menjadi
masalah, batasan dari orang tua yang mencampuri urusan rumah tangga anaknya.
64
5. Perbedaan Prinsip dan Keyakinan. Dalam hidup berumah tangga diperlukan persamaan visi. Apabila dalam
berumah tangga tidak ada persamaan visi dan tujuan dunia maupun akhirat, lambat laun keluarga tersebut pasti akan mengalami kerapuhan. Karena itu,
dalam Islam baik muslim maupun muslimah dianjurkan untuk menikahi pasangan bukan karena faktor kecantikan, ketampanan, harta kekayaan, dan
keturunan saja, tetapi yang lebih utama adalah faktor agama. Untuk itulah dianjurkan untuk menikah dengan pemeluk agama yang sama.
65
6. Perselingkuhan. Perselingkuhan terjadi karena ketidakharmonisan berumah tangga dengan
berbagai macam alasan seperti penuaan, kondisi tubuh istri atau suami tak lagi puas terhadap pasangannya. Sedangkan sebagian lagi perceraian terjadi karena
faktor umum, seperti suami yang tidak punya pekerjaan tetap atau tidak
64
Hasil wawancara dengan Muhammad Irham, tokoh agama masyarakat Kecamatan Ulee Kareng, tanggal 5 Oktober 2013.
65
Hasil wawancara dengan Muhammad Irham, tokoh agama masyarakat Kecamatan Ulee Kareng, tanggal 5 Oktober 2013.
Universitas Sumatera Utara
51
berpenghasilan rutin tapi harus berbagi dengan keluarga orangtuanya sendiri.
66
C. Praktek Cerai di Luar Pengadilan AgamaMahkamah Syar’iyah di Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh
Tokoh masyarakat yang dikenal sebagai sosok yang sering menangani proses perceraian di kalangan masyarakat Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh.
67
Praktek cerai diluar pengadilan ini menurut beliau tidak dapat dilepaskan dari adanya keinginan masyarakat untuk bercerai yang berkesesuaian dengan hukum Fikih Islam
serta proses cepat dan murah. Pria berusia 38 tahun yang masih aktif sebagai perangkat desatokoh masyarakat ini juga merupakan tokoh keagamaan masyarakat.
Pemahaman beliau akan ilmu agama-lah yang menjadikan beliau sebagai panutan masyarakat dalam hal permasalahan agama. Di samping menjadi hakam dalam proses
perceraian yang dilakukan oleh masyarakat. juga menjadi pihak yang mengawinkan pasangan laki-laki dan perempuan dalam perkawinan sirri atau di luar ketentuan
perkawinan resmi di Indonesia.
68
66
Hasil wawancara dengan nyonya M nama samaran, tanggal 15 Oktober 2013 di Banda Aceh.
67
Hasil wawancara dengan Muhammad Marzuki, salah seorang tokoh masyarakat Desa Ceurih, Ulee Kareng, tanggal 27 Oktober dan 7 Nopember 2013
68
Hasil wawancara dengan Muhammad Marzuki, salah seorang tokoh masyarakat Desa Ceurih, Ulee Kareng, tanggal 27 Oktober dan 7 Nopember 2013.
Universitas Sumatera Utara
52
Tabel 1 Perceraian di Luar Pengadilan di Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh pada
tahun 2012-2013
No Nama
Umur Tahun
Alamat Kec. Ulee Kareng
Status Cerai Status
sekarang Keterangan
1 Rubiah
35 Desa Ilie
Diluar Pengadilan
Menikah lagi Nikah Sirri
2 Mauliawati
45 Desa Pango Raya
Diluar Pengadilan
Menikah lagi Nikah Sirri
3 Mawardi
40 Desa
Lamglumpang Diluar
Pengadilan Menikah lagi
Nikah Sah
4 Misthafiah
38 Desa Ie Masen
Diluar Pengadilan
Menikah lagi Nikah Sirri
5 Sri
Ratnawati 41
Desa Ceurih Diluar
Pengadilan Tidak
menikah lagi -
6 Hasan
43 Desa Pango Raya
Diluar Pengadilan
Menikah lagi Nikah Sirri
7 Abdul Hadi
47 Desa Doi
Diluar Pengadilan
Menikah lagi Nikah Sirri
Sumber: Dari Tokoh masyarakat Geuchik GampongDesa Dalam Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa, dari 25 orang sampel didapat hasil penelitian bahwa terdapat ada 7 kasus perceraian yang dilakukan diluar pengadilan
yang terjadi di Kecamatan Ulee Kareng sepanjang tahun 2012-2013, 6 kasus diantaranya menikah lagi secara sirribawahtangan. Semua kasus perceraian tersebut
dilakukan didepan tokoh agama masyarakat yang ada di desa setempat.
Universitas Sumatera Utara
53
Tabel 2 Perceraian di Pengadilan di Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh pada tahun
2012-2013
No Nama
Umur Tahun
Alamat Kec. Ulee Kareng
Status Cerai Status
Sekarang keterangan
1 Farma
39 Desa Ceurih
Di Pengadilan
Janda -
2 Yusra Aini
38 Desa Lamteh
Di Pengadilan
Menikah lagi Nikah Sirri
3 Yulidar
38 Desa Pango Deah
Di Pengadilan
Menikah lagi Nikah Sah
4 Saiful
45 Desa
Lamglumpang Di
Pengadilan Duda
-
5 Fadli
35 Desa Doi
Di Pengadilan
Menikah lagi Nikah Sah
6 Sukmawati
37 Desa Doi
Di Pengadilan
Menikah lagi Nikah sah
7 Burhan
47 Desa Doi
Di Pengadilan
Duda -
8 Zubir
40 Desa Ceurih
Di Pengadilan
Menikah lagi Nikah sah
9 Ratnawati
42 Desa Ie Masen
Di Pengadilan
Janda -
10 Adam
45 Desa Ie Masen
Di Pengadilan
Menikah lagi Nikah sah
Sumber: Dari Tokoh masyarakat Geuchik GampongDesa Dalam Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh.
Universitas Sumatera Utara
54
Dari tabel diatas dapat dilihat ada 10 kasus perceraian yang dilakukan di pengadilan yang terjadi di Kecamatan Ulee Kareng sepanjang tahun 2012-2013, 1
kasus menikah lagi secara sirribawahtangan, 5 kasus menikah lagi secara sah, dan 4 kasus tidak menikah lagi.
Berdasarkan data diatas, dari 7 perceraian yang dilakukan diluar pengadilan ada 6 kasus perceraian yang melakukan perkawinan berikutnya dengan tidak
mencatatkan perkawinannya tersebut pada Kantor Urusan Agama setempat. Dengan demikian praktek cerai diluar pengadilan dikecamatan Ulee Kareng Banda Aceh,
banyak dilakukan oleh masyarakat setempat.
D. Penyebab Perceraian diluar Pengadilan di kecamatan Ulee kareng Kota Banda Aceh.
Berdasarkan kasus-kasus perceraian yang dilakukan di luar pengadilan pada masyarakat Kecamatan Ulee kareng Kota Banda Aceh, maka terdapat beberapa faktor
penyebab, yaitu : 1. Faktor Ekonomi
Praktek cerai di luar Pengadilan Agama juga didasarkan pada kenyataan bahwasanya proses yang dilalui lebih mudah dan tidak memerlukan biaya yang
banyak. Biasanya proses perceraian di Pengadilan Agama berlarut-larut karena harus menjalani beberapa persidangan. Berbeda dengan perceraian yang dilakukan di depan
penghulu yang langsung dapat diputuskan jika pasangan suami-isteri yang akan bercerai
telah benar-benar
menginginkan perceraian.
Meskipun ada
upaya
Universitas Sumatera Utara
55
pendamaian, namun hal itu tidak berlarut-larut dan tidak melibatkan banyak orang melainkan hanya terpusat pada pasangan yang akan bercerai.
69
2. Faktor Agama Masyarakat menilai bahwa perceraian tersebut sah menurut agama, walaupun
tanpa melalui Pengadilan. Dengan cara ini sangat mudah dan biayanya murah. Faktor-faktor pendorong praktek perceraian dalam Kecamatan Ulee Kareng Kota
Banda Aceh. Masalah cerai di luar PengadilanMahkamah Syar”iyah yang dilakukan oleh masyarakat Ulee Kareng tidak lepas dari pemahaman masyarakat terhadap posisi
hukum dalam kehidupan mereka. Pada umumnya, masyarakat memiliki pandangan bahwasanya hukum Islam adalah hukum dasar yang menjadi pijakan dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Oleh sebab itu, sekali lagi, bagi mereka pelaksanaan hukum agama lebih penting dan lebih utama daripada pelaksanaan hukum lainnya.
70
3. Faktor Sosial dan Kebiasaan Masyarakat Setempat Praktek cerai di Luar Pengadilan di Ulee Kota Kareng Banda Aceh
merupakan praktek yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Pada dasarnya, proses perceraian yang dilaksanakan di depan tokoh agama masyarakat ini dilaksanakan
melalui tiga tahapan dengan penjelasan sebagai berikut:
71
69
Hasil wawancara dengan hasbuh, tanggal 6 Oktober 2013
70
Hasil wawancara dengan Muhammad Irham, tokoh agama masyarakat Kecamatan Ulee Kareng, tanggal 5 Oktober 2013.
71
Hasil wawancara dengan Hasbuh tanggal 6 Oktober 2013.
Universitas Sumatera Utara
56
a. Tahapan “pendaftaran” Maksud dari pendaftaran ini tidak sama dengan pendaftaran pada proses
perceraian di
Pengadilan. Pendaftaran
dalam proses
perceraian cukup
pemberitahuan kepada penghulu perihal keinginan suami isteri yang akan bercerai.
Pendaftaran tersebut dilakukan secara lisan kepada tokoh agama masyarakat, hasil dari proses pendaftaran tersebut tidak dibuktikan melalui hitam di atas putih
melainkan hanya berlandaskan pada saling percaya antara masyarakat dengan tokoh
agama masyarakat.
Dalam proses
“pendaftaran” juga
disertakan kesepakatan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Umumnya, jangka
waktu antara penyampaian keinginan dari suami-isteri yang akan bercerai dengan penyelesaian masalah tidak lebih dari 1 satu minggu. Biaya untuk proses
perceraian ini tidak ditentukan, namun umumnya, para pelaku memberikan uang tanda jasa kepada tokoh agama masyarakat, rata-rata sebesar Rp. 100.000,00-Rp.
250.000,00. b. Tahapan “mediasi”
Proses ini terdiri dari dua proses, yakni proses penjelasan alasan-alasan yang menyebabkan suami-isteri ingin bercerai dan proses pemberian konsultasi
Muhammad dan rekan kerja Muhammad kepada pasangan suami-siteri tersebut. Pada proses yang pertama, Muhammad akan mempertanyakan hal-hal yang
menjadi penyebab suami-isteri menginginkan perceraian.
Universitas Sumatera Utara
57
Hal ini penting karena menurut Islam, perceraian harus didasarkan pada sebab- sebab yang diperbolehkan oleh agama. Menurutnya, alasan-alasan yang
diperbolehkan oleh agama Islam di antaranya adalah: 1. Salah satu pasangan murtad.
2. Terjadi perselisihan yang tidak dapat didamaikan dan apabila dipaksakan akan menimbulkan madharat bagi salah satu atau bahkan keduanya.
3. Beda Agama. 4. Tidak ada kejelasan kabar dari salah satu pasangan suami isteri dalam jangka
waktu tertentu. 5. Adanya cacat permanen yang dapat mengganggu produktifitas keluarga, isteri
tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai isteri. 6. Isteri melakukan zina li’an.
72
7. Isteri meninggalkan rumah suaminya tanpa izin dari suami dan tidak ada alasan syara’ atau suami terhalang memasuki rumah isteri yang ditempati
berdua nusyuz. Alasan-alasan di atas yang mayoritas dijadikan alasan untuk melakukan talak
adalah nomor 2, 3dan 4 yang tidak lain disebabkan karena mayoritas yang meminta perceraian adalah pihak laki-laki. Setelah adanya pemaparan tentang permasalahan
yang dialami oleh pasangan suami-isteri, kemudian Muhammad akan memberikan
72
Li’an dalam arti bahasa berasal dari kata laa’ana-yulaa’inu-li’aanan yakni masingmasing melaknat pihak yang lain. Sedangkan menurut arti syara’ ialah kalimat-kalimat khusus dipergunakan
sebagai alasan bagi pihak yang memerlukan untuk menuduh orang lain yang menodai kehormatannya atau tidak mengakui anak. Lih. Ulaudin, Badaiush Shana’iek, Jilid 3, Mesir, Cet. ke-1, 1910, hal. 237.
Universitas Sumatera Utara
58
konsultasi terkait dengan permasalahan yang dialami kecuali untuk permasalahan murtad. Muhammad beranggapan bahwa: “Masalah agama merupakan masalah
pribadi yang sangat privasi bagi setiap orang. Saya tidak berhak memaksakan salah satu pasangan untuk kembali kepada agama asal demi menyelamatkan perkawinan
mereka. Hal ini tentu akan bertentangan dengan konsep Islam kaffah”.
73
Sementara menurut KUH Perdata mengenai putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 199, 200-206b, 207-232a dan 233-249. Pasal 199 menerangkan putusnya
perkawinan disebabkan: a. karena meninggal dunia;
b. karena keadaan tidak hadirnya salah seorang suami isteri selama sepuluh tahun diikuti dengan perkawinan baru isterinya suaminya sesuai dengan
ketentuanketentuan dalam bagian ke lima bab delapan belas; c. karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur dan
pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam register catatan sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian kedua bab ini;
d. karena perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga bab ini.
Kemudian dalam Pasal 209 KUH Perdata menyebutkan beberapa alasan yang mengakibatkan terjadinya perceraian, yaitu:
a. zinah; b. meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat;
73
Hasil wawancara dengan Hasbuh, Tanggal 6 Oktober 2013.
Universitas Sumatera Utara
59
c. penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan;
d. melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si isteri terhadap isteri atau suaminya, yang demikian sehingga membahayakan jiwa pihak yang
dilukai atau dianiaya,
atau sehingga mengakibatkan
luka-luka yang
membahayakan. Alasan-alasan perceraian diatur juga dalam pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal 39 ayat 2 menyatakan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagi berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 lima tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suamiisteri. f.
Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Universitas Sumatera Utara
60
Perceraian boleh dilakukan dengan satu alasan saja diantara beberapa alasan hukum yang ditentukan dalam pasal 39 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974. Jadi secara
yuridis, alasan-alasan perceraian tersebut bersifat alternatif, dalam arti suami atau isteri dapat mengajukan tuntutan perceraian cukup dengan satu alasan hukum saja.
Selain hal tersebut, yang telah menjadi ketetapan hukum formal di negara Republik Indonesia, maka dalam Islam hal-hal yang menjadi sebab terjadinya
perceraian itu menurut Sayuti Thalib adalah:
74
1. Terjadinya Nusyuz isteri, dimana sumber hukum tentang hal ini ditemukan dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 34, yang artinya:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian: mereka laki-laki atas sebahagian yang lain
wanita, dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,
maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
Maksudnya adalah tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya. Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli
isterinya dengan baik. Nusyuz yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
Maksudnya untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat oleh suaminya, bila
74
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, Cetakan 5, 1986, hal. 92.
Universitas Sumatera Utara
61
nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukulnya dengan pukulan yang tidak
meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
2. Terjadinya Nusyuz suami, yang dasar hukumnya dalam Al-Qur’an Surat An- Nisa ayat 128, yang artinya:
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu
secara baik dan memelihara isterimu dari nusyuz dan sikap tak acuh, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
3. Terjadinya Syiqaq antara suami isteri, yang diatur dalam Al-Qur’an Surat An- Nisa ayat 35, yang artinya:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah
memberi taufik
kepada suami-isteri
itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
4. Bila salah satu pihak melakukan Fahisyah yang dasar hukumnya dalam Al- Qur’an, Surat An-Nisa ayat 15, yang artinya:
“Dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu yang menyaksikannya. Kemudian
apabila telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka wanita-wanita itu dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah
memberi jalan lain kepadanya”.
Dari kasus keinginan cerai pasangan suami-isteri yang ditangani oleh Muhammad dan Hasbuh, hanya ada beberapa kasus yang dapat didamaikan
Universitas Sumatera Utara
62
kembali pada proses mediasi. Namun tidak sedikit yang berakhir pada perceraian. Proses konsultasi hanya dilakukan satu kali dan apabila memang
keputusan untuk bercerai dari pasangan suami-isteri telah bulat, maka kemudian melangkah pada tahap selanjutnya.
Proses konsultasi tersebut tidak melibatkan keluarga dari masing-masing pasangan. Hal ini disebabkan keberadaan pasangan suami isteri telah dapat
memberikan gambaran keadaan rumah tangga yang mereka alami. Jadi tidak perlu menghadirkan keluarga dalam proses konsultasi. Terlebih lagi, tidak jarang
kehadiran keluarga malah akan menimbulkan keributan dalam proses konsultasi pasangan suami-isteri.
c. Tahapan “putusan”
Apabila proses konsultasi gagal, maka kemudian Muhammad mempersilahkan pasangan tersebut untuk bercerai dengan adanya ikrar talak dari pihak suami.
Pengucapan ikrar tersebut dilakukan di depan Muhammad dan hasbullah dan isteri. Namun jika tidak ada pihak isteri isteri tidak diketahui kejelasan
keberadaannya, maka ikrar talak tersebut dilakukan di depan Muhammad. Ikrar talak yang diucapkan merupakan ikrar talak dalam fiqih Islam. Ikrar talak yang
diucapkan dalam proses perceraian di masyarakat Desa Ulee Kareng adalah sebagai berikut: “Saya talak isteri saya yang bernama.......binti....... dengan
talak...... sejak....... karena...”.
75
75
Hasil wawancara dengan Muhammad, Tanggal 30 Oktober 2013.
Universitas Sumatera Utara
63
Dalam pengucapan ikrar talak tersebut juga disebutkan kualitas talak yang diikrarkan. Hal ini untuk memperjelas posisi kemungkinan rujuk bagi pasangan
suami-isteri atau hilangnya kemungkinan rujuk tersebut. d.
Tahapan “pencatatan” Setelah adanya pengucapan ikrar talak, maka tahapan berikutnya adalah
pencatatan hasil perceraian. Catatan ini hanya berupa tulisan tangan dari Muhammad yang disertai dengan tanda tangan Muhammad sebagai legalitas
perceraian. Catatan ini berfungsi untuk informasi tentang status baru yang dialami oleh pasangan suami-isteri yang telah bercerai. Selain itu, catatan
tersebut juga berguna sebagai pedoman bagi pasangan suami-isteri dalam melaksanakan perkawinan yang baru. Meski demikian, catatan tersebut tidak
memiliki kekuatan hukum bagi pernikahan berdasar hukum negara. Dalam catatan perceraian tersebut harus tertera aspek-aspek berikut ini:
1. Nama suami-isteri yang bercerai. 2. Tanggal perceraian.
3. Tempat pelaksanaan perceraian. 4. Alasan perceraian.
5. Tanda tangan pasangan yang bercerai. 6. Tanda tangan Muhammad
e. Tahapan “pemberian nasehat”
Setelah selesai proses perceraian dengan adanya ikrar talak, maka kemudian memberikan nasehat kepada suami-isteri yang telah bercerai. Nasehat tersebut
Universitas Sumatera Utara
64
terkait dengan hak dan kewajiban yang diakibatkan dari adanya perceraian, baik yang menyangkut suami-isteri, harta benda, atau hak dan kewajiban kepada
anak-anak mereka. Nasehat yang diberikan juga mencakup masalah masa iddah, hubungan kekeluargaan berbasis persaudaraan antara mantan suami dengan
mantan istri. Materi ini sangat penting karena tidak jarang setelah adanya perceraian, hubungan persaudaraan antara keluarga mantan suami dan mantan
isteri tidak baik dan bahkan cenderung bermusuhan. Kasus-kasus yang ditangani oleh Muhammad dan Hasbuh dalam proses perceraian antara lain adalah
mencakup permasalahan nusyuz, syiqaq, hingga nikah hamil. Implikasi cerai di luar Pengadilan Agama dan implikasinya pada masyarakat
yaitu setelah melakukan cerai di Luar Pengadilan, kemudian melaksanakan pernikahan kembali dengan jalan nikah sirri. Berdasarkan pemaparan di atas
dapat diketahui bahwasanya pelaku cerai di luar Pengadilan berasal dari kelompok laki-laki dan wanita. Pada kelompok laki-laki, alasan yang digunakan
untuk melakukan cerai di luar Pengadilan adalah karena telah ditinggal pergi oleh isteri. Sedangkan pada kelompok wanita tidak ada alasan selain karena faktor
agama dan kemudahan dalam proses perceraiannya. Dari hasil perkawinan tersebut, ada yang memperoleh anak dan ada yang tidak memperoleh anak
Universitas Sumatera Utara
65
BAB III KEABSAHAN PERKAWINAN SELANJUTNYA YANG DILAKUKAN
PEREMPUAN YANG DICERAIKAN SUAMINYA DILUAR PENGADILAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Keabsahan Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam Fiqih dan Hukum Positif UU dan KHI di Indonesia.
Persoalan perkawinan dalam kehidupan manusia bukan hanya sekedar menyangkut masalah biologis sebagai wujud hubungan dua anak manusia antara
seorang laki-laki dan perempuan, tetapi juga mengandung aspek sosial, hukum dan agama sehingga perlu untuk dilihat dari banyak aspek terutama dari aspek hukum dan
agama. Ditinjau dari sudut hukum, perkawinan adalah merupakan sebuah perbuatan hukum di mana seorang laki-laki mengikatkan diri“ dengan seorang perempuan untuk
hidup bersama” karena itu harus diperhatikan yang ditentukan dalam berbagai ketentuan hukum yang berlaku yang berlaku di negara yang bersangkutan. Di
Indonesia sejak tanggal 2 Januari 1974 telah disahkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku hingga sekarang, sehingga yang menjadi
persoalan adalah bagaimana undang-undang itu diterapkan. Selain itu masalah perkawinan tidak hanya sekedar merupakan persoalan
hukum negara tetapi juga mungkin dilepaskan dari persoalan agama dan kepercayaan dari mereka yang melangsungkan perkawinan tersebut. Karena
perkawinan adalah juga merupakan “perbuatan sakral” sesuai dengan ajaran agama yang bersangkutan. Islam adalah agama yang syumul universal. Agama yang
mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, 65
Universitas Sumatera Utara
66
yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang
memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria calon calon pendamping
hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan cara mewujudkan sebuah pesta
pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah SAW, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana
namun tetap penuh dengan pesona.
76
Perkawinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah ijab dan qabul ‘aqad yang menghalalkan
persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam. Persoalan
perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup
manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan
martabat manusia dan nilai-nilai akhlaq yang luhur dan sentral. Perkawinan bukanlah
76
Rothenberg and Mohd.Idris.Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Undang- undang Nomor 1Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1999, hal. 49.
Universitas Sumatera Utara
67
persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. ‘Aqad nikah perkawinan adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci.
77
Politik hukum
di Negara
Republik Indonesia
yang menhendaki
berkembangnya kehidupan beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah berusaha mamasukkan ajaran agama dalam pembihaan tata hukum nasional. Untuk
itu, tidak heran jika hukum islam merupakan suatu sistem hukum yang berlaku di Indonesia disamping hukum yang lain, yakni hukum adat dan hukum barat. Jadi,
tidak pada tempatnya jika umat Islam masih ada yang mempermasalahkan atau bahkan menolak peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan secara resmi
oleh negara melalui pemerintah. Untuk menjamin pelaksanaan hukum Islam dalam sistem hukun nasional, keterlibatan dan dukungan dari pemerintahnegara merupakan
suatu keharusan. Negara
telah menjamin
kehidupan beragama
dan telah
ikut serta
mengamankannya melaui aturan perundang-undangan, bahkan banyak pruduk hukum yang mengacu pada materi hukum Islam normatif seperti dalam banyak aturan dan
ketentuan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mencerminkan penghargaan dan kepedulian pemerintah terhadap sendi-sendi ajaran
agama, khususnya agama Islam. Apa yang telah dikenal selama ini dalam Hukum Islam law in the books yang terdapat didalam al-Qur’an dan Hadist serta kitab-kitab
fikih, tidak akan ada apa-apanya, tidak akan ada pengaruh dan kekuatannya tanpa diupayakan menjadi hukum tarapan yang dituangkan kedalam peraturan perundang-
77
Ibid, hal. 58.
Universitas Sumatera Utara
68
undangan. Dengan demikian, akan menjadi produk hukum yang memiliki daya paksa yang kuat untuk dilaksanakan oleh warga masyarakat, dan jadilah sebagai hukum
yang biasa disebut sebagai law in action. Jadi sangat beralasan ketika seluruh Umat Islam di Indonesia untuk mengapresiasi dan mendukung segala upaya yang di tempuh
oleh negara dalam mengangkat eksistensi hukum Islam dari law in the books menjadi law in action.
78
Diundangkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak lepas dari upaya Negara dalam hal ini pemerintah untuk memberikan kepastiah
hukum bagi warga negara khususnya yang beragama Islam. Undang-undang ini dibuat untuk mengatur seputar masalah perkawinan dan akibat hukumnya bagi
mereka yang beragama Islam. Berdasarkan uraian di atas, maka setiap perkawinan yang dilangsungkan oleh warga negara yang beragama Islam setidaknya harus
mengacu dan berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974. Materi Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pada dasarnya merupakan
kumpulan tentang hukum munakahat yang terkandung dalam al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, dan kitab-kitab fikih klasik maupun fikih kontenporer yangt telah berhasil
diangkat oleh sistem hukum nasional dari hukum normatif menjadi hukum tertulis yang mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa kepada rakyat Indonesia, terutama
umat muslim. Perkawinan merupakan hal yang sakral dan diagungkan oleh keluargayang
melaksanakannya. Perkawinan merupakan perpaduan instink manusiawiantara laki-
78
Ibid, hal. 76.
Universitas Sumatera Utara
69
laki dan perempuan di mana bukan sekedar memenuhi kebutuhanjasmani melainkan juga untuk pemehuhan kebutuhan lahiriah.Lebih tegasnya perkawinan adalah suatu
perkataan untukmenghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan, dalamrangka
mewujudkan kebahagiaan
berkeluarga yang
diliputi rasa
ketentramanserta kasih sayang dengan cara diridhoi oleh Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya; ”Dan diantara tanda-tanda Kemaha Besaran-Nya
adalah bahwa diamenciptakan jodoh-jodohmu sendiri agar merasa tenang bersamamereka dan Dia menciptakan rasa cinta kasih diantara kamu.Sesungguhnya
di dalam hal itu terdapat tanda-tanda kemaha besaran Allah SWT bagi orang-orang yang mau berfikir”.
Tujuan perkawinan diantaranya untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis yang dapat membentuk suasana bahagia menuju terwujudnya ketenangan,
kenyamanan bagi suami-isteri, serta anggota keluarga yang lain. Islam dengan segala kesempurnanya memandang perkawinan adalah suatu peristiwa penting dalam
kehidupan manusia, karena Islam memandang perkawinan merupakan kebutuhan dasar manusia, juga merupakan ikatan tali suci atau merupakan perjanjian suci antara
laki-laki dan perempuan. Di samping itu, perkawinan adalah merupakan sarana yang terbaik untuk mewujudkan rasa kasih sayang sesama manusia dari padanya dapat
diharapkan untuk melestarikan proses historis keberadaan manusia dalam kehidupan di dunia ini yang pada akhirnya akan melahirkan keluarga sebagai unit kecil sebagai
dari kehidupan dalam masyarakat. Perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia tak lepas dari kondisi lingkungan dan budaya dalam membina dan
Universitas Sumatera Utara
70
mempertahankan jalinan hubungan antar keluarga suami-isteri. Tanpa adanya kesatuan tujuan tersebut berakibat terjadinya hambatan-hambatan pada kehidupan
keluarga, yang akhirnya dapat menjadi perselisihan dan keretakan dalam hubungan keluarga.
Keabsahan suatu perkawinan merupakan suatu hal yang prinsipil, karenanya perkawinan erat kaitannya dengan segala hal akibat perkawinan, baik menyangkut
dengan anak keturunan maupun yang berkaitan dengan harta. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 telah merumuskan kriteria keabsahan suatu perkawinan, yang dituangkan
dalam Pasal 2, sebagai berikut: 1. Perkawinan adalah sah apaila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu; 2. Tiap-tiap perkawinan di catat menurut aturan perundang-undangan yang
berlaku. Ketentuan diatas menetapkan dua garis hukum yang harus dipatuhi dalam
melakukan suatu perkawinan. Pada ayat 1 dapat dilihat secara tegas diatur dengan tegas tentang keabsahaan suatu perkawinan, yakni bahwa satu-satunya syarat sahnya
suatu perkkawinan adalah bila perkawinan itu dilakukan menurut ketentuan agama dari mereka yang akan melangsungkan perkawinan. Ketentuan agama untuk sahnya
suatu perkawinan bagi umat islam dimaksud adalah yang berkaitan dengan syarat, yakni suatu yang harus ada sebelum suatu perbuatan hukum dilakukan. Selain itu,
harus juga memenuhi rukun, yakni suatu yang harus ada atau dilaksanakan saat suatu perbuatan hukum dilakukan. Penjelasan ayat 1 tersebut menyatakan, bahwa tidak
Universitas Sumatera Utara
71
akan ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan bagi orang yang akan melakukannya. Adapun yang dimaksud hukum masing-masing
agama dan kepercakayaannya itu termasuk ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi mereka yang memeluk agama atau keyakinan sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Al-Qur’an menyerukan bahwa laki-laki dan perempuan tidak dibeda-bedakan,
laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan tanggung jawab dan balasan amal, ada keseimbangan timbal balik antara hak dan kewajiban suami dan isteri. Meskipun
demikian, ada kesan seruan keseimbangan ini diikuti dengan adanya diskriminasi terhadap perempuan, misalnya disebutkan bahwa suami memiliki kelebihan satu
derajat dibanding isteri, dan suami mempunyai status pemimpin. Sedangkan perempuan tidak cocok memegang kekuasaan ataupun memiliki kemampuan yang
dimiliki laki-laki. Di dalam melakukan perceraian misalnya, seorang suami mempunyai hak talak sepihak secara mutlak. Hal-hal yang harus ada dalam
perkawinan, yaitu: a.
Adanya calon suami dengan syarat-syaratnya,yaitu: 1. Islam.
2. Tidak di paksa 3. Bukan mahram calon isteri.
4. Tidak sedang melaksanakan ibadah haji atau umrah. b.
Calon Isteri, syarat-syaratnya, yaitu: 1. Islam.
Universitas Sumatera Utara
72
2. Bukan mahram calon suami. 3. Tidak sedang melakan ibadah haji atau umrah.
Nabi SAW. telah memberikan petunjuk sifat-sifat perempuan yang baik, antara lain:
1. Wanita yang beragama dan menjalankannya. 2. Wanita yang keturunannya orang yang mempunyai keturunan yang baik.
3. Wanita yang masih perawan. c.
Wali, syarat-syaratnya, yaitu: 1. Islam;
2. Baligh dewasa; 3. Berakal sehat;
4. Adil tidak fasik 5. Laki-laki; dan
6. Mempunyai hak untuk menjadi wali. d.
Ijab adalah perkataan dari wali pihak wali perempuan. Sedangkan qabul adalah jawaban laki-laki dalam menerima ucapan wali perempuan. Syarat-syarat ijab
dan qabul adalah: 1. dengan kata nikah atau tazwij atau terjemahan.
2. Ada persesuaian antara ijab dan qabul. 3. Berturt-turut, artinya ijab dan qabul itu tidak terselang waktu yang lama.
4. Tidak memakai syarat yang dapat mengahalangi kelangsungan pernikahan.
Universitas Sumatera Utara
73
e. Mahar
Mahar atau maskawin ialah pemberian dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan baik berupa uang atau benda-benda yang berharga yang di sebabkan
karena pernikahan diantara keduanya. Pemberian mahar merupakan kewajiban bagi laki-laki yang menikahi perempuan. Mahar ini tidak termasuk rukun nikah,
sehingga jika pada waktu akan nikah tidak di sebutkan mahar itu, maka akad nikah itu tetap sah. Banyaknya mahar itu tidak dibatasi oleh syariat Islam, hanya
menurut kekuatan suami serta keridhaan isteri.
1. Perkawinan adalah Fitrah Kemanusiaan