Teori Foto Mengartikulasi tubuh perempuan dalam foto studi pada Seri Foto Nine Months Karya Diah Kusumawardani Wijayanti

11 mengekspresikan rasa seni itu, tampaknya juga amat sulit untuk melepaskan diri dari ide-ide maskulin itu. G. KERANGKA TEORITIS Dalam penelitian ini saya membagi kerangka teori yang saya gunakan menjadi dua bilah pisau analisis yang akan membantu saya melakukan analisa. Yang pertama adalah teori tentang foto untuk membantu saya melakukan pembacaan foto milik Diah, serta yang kedua adalah teori tentang perempuan untuk membantu saya menganalisa hasil pembacaan dari foto-foto tersebut.

1. Teori Foto

Teori foto yang saya gunakan adalah milik Roland Barthes serta Susan Sontag. Dalam buku Camera Lucida , Barthes mengatakan bahwa sebuah foto akan bermakna jika dihadapkan pada saya atau pembaca. “Such a desire really meant that beyond the evidence provided by technology and usage, and despite its tremendous contemporary expansion, I wasn‟t sure that Photography existed, that it had a “genious” of its own” 13 . Sebagai seorang pembaca, kita dapat mengatakan apa saja tentang apa yang kita lihat. Bagi Barthes, rasa tertarik pada gambar atau foto adalah hal penting yang membantu kita menentukan kode atau satuan-satuan bermakna, karena perasaan itu yang membuat kita terpancang pada satuan-satuan tertentu. Ada lima alasan mengapa Barthes menyenangi gambar tertentu, yaitu memberi informasi to inform , menunjuk to signify , melukiskan to paint , mengejutkan to suprise , dan membangkitkan gairah to waken desire . 13 Barthes, Camera Lucida, hal 3. 12 Menurut pengalaman Barthes, ada tiga tahap pengalaman dalam merefleksikan foto: pengalaman memilih atau memperhatikan foto-foto tertentu dari lautan foto yang kita jumpai setiap hari dalam media atau kita simpan dalam album keluarga kita, pengalaman tertarik pada unsur-unsur tertentu dalam foto, dan pengalaman terpaku pada satu titik paling penting dalam foto. “I observed that photograph can be the object of three practices or of three emotions, or of three intentions: to do, to undergo, to look. The operator is the Photographer, The spectator is ourselves, all of us who glance through collections of photographs-in magazines and newspaper, in books, albums, archives....” 14 . Barthes menamakan pendekatannya dengan nama fenomenologi sinis. “In this investigation of photography, I borrowed something from phenomenology‟s project and something from its language. But it was a vague, casual, even cynical phenomenology, so readily did it agree to distort or to evade its principles according to the whim of my analysis.” 15 Pendekatan fenomenologi dipilih Barthes karena lebih sesuai untuk melakukan advonturir yang dimulai dari rasa tertarik saya pada sebuah foto menuju esensi foto itu sendiri dan kemudian kembali lagi ke saya. The photograph itself is in no way animated I do not believe in “lifelike” photographs, but it animates me; this is what creates every adventure. 16 Disebut fenomenologi karena pendekatan ini berangkat dari fenomena pengalaman sayapembaca atas foto untuk mencari noeme „that has been‟ foto tersebut. “As Spectator I was interested in Photography only for “sentimental” reasons; I wanted to explore it not as a question a theme but as a wound: I see, I feel, hence I notice, I observe, and I think.” 17 14 Ibidem hal 9. 15 Ibidem hal 20. 16 Ibidem hal 20. 17 Ibidem hal 21. 13 Satu elemen yang tidak bisa dilepaskan oleh Barthes saat melakukan pembacaan foto adalah pose dari objek yang ada di dalam foto itu. Dalam Camera Lucida Barthes mengatakan bahwa pose adalah salah satu sifat paling dasar dan natural dari sebuah foto. “I might put this differently: what founds the nature of Photograpy is the pose.” 18 Pose ini artinya, bukan hanya bagaimana objek foto manusia bertingkah laku di depan kamera. “...for the pose is not, here, the attitude of the target or even a technique of th e Operator, but the term of an “intention” of reading: looking at a photograph, I inevitably include in my scrutiny the thought of that instant, however brief, in which a real thing happened to be motionless in front of the eye.” 19 Mengenai foto, Susan Sontag 20 menuliskan sejumlah esai yang termaktub dalam buku On Photography . Pada salah satu esainya yang berjudul “In Plato’s Cave ” , Sontag mengatakan bahwa fotografi telah merubah cara kita melihat dan mengartikulasikan dunia di sekitar kita. In teaching us a new visual code, photography alter and enlarge our notions of what is worth looking and what we have a right to observe. They are a grammar and, even more importantly, an ethics of seeing 21 . Saat memotret pun, fotografer tidak bisa melepaskan diri dari selera serta kesadarannya. 18 Ibidem hal 78. 19 Ibidem hal 78. 20 Susan Sontag adalah seorang penulis, serta filsuf asal Amerika Serikat. Lahir pada 16 Desember 1933 dan meninggal pada 28 Desember 2004. Sontag juga dikenal sebagai seorang pengamat budaya populer. Bukunya On Photography, yang mengupas serta membedah habis tentang dunia fotografi, terutama dalam konteks kultur di Amerika telah menjadi semacam tolok ukur bagi banyak praktisi foto serta pemikir fotografi untuk lebih kritis melihat dunia fotografi juga segala elemennya. 21 Sontag, On Photography, hal 3. 14 In deciding how a picture should look, in prefering one exposure to another, photographer are always imposing standards on their subjects. 22 Sehingga, walau sepertinya yang dilakukan oleh kamera adalah menangkap realita, namun sebenarnya fotografi adalah sebuah interpretasi terhadap dunia, karena ada fotografer di belakangnya. Lewat foto, dunia menjadi sebuah cerita berseri yang saling tidak berhubungan, partikel yang berdiri sendiri dengan bebas, serta sebuah sejarah, masa lalu, serta masa sekarang. Setiap foto juga memiliki makna yang beragam. Melihat sesuatu dalam bentuk foto adalah memasuki objek-objek yang amat menarik dan memiliki kebijaksanannya sendiri. Dan menurut Sontag, fotografi telah menjadi candu bagi banyak orang. Ia telah menjadi semacam realitas serta pengalaman estetik yang konsumtif. Masyarakat industri telah merubah warganya menjadi image junkies . Dalam esay “ America, Seen Through Photographs, Darkly ”, Sontag juga mengatakan bahwa pada dekade awal kemunculan fotografi, karya-karya yang diharapkan muncul adalah gambar- gambar yang „ideal‟. Artinya, standart ideal yang sesuai dengan konstruksi budaya yang ada. This is still the aim of most amateur photographers, for whom a beautiful photograph is a photograph of something beautiful, like a woman, a sunset. 23 Pada beberapa dekade ini, fotografi telah berhasil melakukan revisi tentang apa yang disebut cantik atau apa yang disebut jelek. Fotografi telah berhasil merekonstruksi ide-ide tentang apa yang seharusnya ditampilkan, utamanya di depan publik. Ia telah berhasil mencipta realitas itu sendiri. Dengan 22 Ibidem hal 6. 23 Ibidem hal 28. 15 medium fotografi, tidak ada objek yang tidak dapat dibuat menjadi cantik serta dibuat menjadi begitu penting bagi konsumsi publik To photograph is to confer importance. There is probably no subject that cannot be beautified; moreover, there is no way to suppress the tendency inherent in all photographs to accord value their subjects. In the mansions of pre-democratic culture, someone who gets photographed is a celebrity. 24 Dalam esai “ The Heroism of Vision ”, dibicarakan tentang bagaimana suksesnya kamera menciptakan standar-standar kecantikan yang dianggap baku. So successful has been the camera‟s role in beautifying the world that photographs, rather than the world, have become the standard of the beautiful. 25 Foto tanpa kita sadari, telah menjadi norma dari bagaimana sesuatu seharusnya tampak. Hal inilah yang kemudian mengubah ide dasar dari realita itu sendiri. Hal ini makin menegaskan bahwa bukan hanya „sebuah aktifitas melihat‟, tetapi yang terjadi adalah „melihat secara fotografis‟ photographic seeing . Dimana, aktifitas ini adalah merupakan cara baru setiap orang untuk melihat serta cara baru bagi setiap orang untuk bertingkah laku.

2. Teori Tentang Perempuan