69
Pita menghadap persis ke kamera. Ekspresi wajahnya tampak dingin dan misterius. Tidak ada senyum di wajahnya. Pita tampak
cool
dengan ekspresinya itu. Tatanan rambutnya juga cukup berbeda. Rambutnya disasak ke atas, sehingga
terkesan bergaya ala
rocker punk
. Tangan kanannya juga membentuk gesture seperti yang dilakukan oleh Dini. Ia membentuk simbol „metal‟ dan
menunjukannya persis ke arah kamera. Sementara itu tangan kirinya memegang pinggang. Sepertinya ia ingin mengatakan “Walaupun saya hamil, saya tetap
keren
.”
3. Mandiri dan Berkelas
Bagian dari gaya hidup masyarakat urban Jakarta adalah menjadi mandiri atau tidak tergantung pada orang lain. Rima Jakarta yang bergerak dengan sangat
cepat membuat orang harus bisa memberdayakan seluruh kemampuannya. Kemandirian itu pun harus dibungkus dalam sikap bertingkah laku serta mode
yang berkelas. Karena begitulah makhluk-makhluk Jakarta dibesarkan. Mereka dikepung oleh budaya kapitalistik yang menuntut orang untuk bersikap dan
bergaya kelas atas, misalnya serbuan mal-mal kelas atas pada tiap sudut kota Jakarta, salah satunya adalah Plaza Semanggi.
Seperti foto-foto para perempuan di bawah ini,
Gambar 31.
Arzeti B. Setyawan Model Maudy Koesnadi Artis
70
Gambar 32.
Sari Elvianti Pegawai Bank Lea Pemilik Butik
Foto pertama adalah potret milik Arzeti, seorang model papan atas Indonesia. Posenya yang memperlihatkan kontur samping wajah serta tubuh yang
sedikit menyerong ke hadapan lensa, memberi kesan seolah-olah Arzeti berasal dari kalangan bangsawan. Pose Arzeti itu memang mirip dengan pose sejumlah
aristokrat yang mengabadikan potret dirinya ketika awal-awal fotografi baru diluncurkan ke khalayak.
Selain posenya, pakaian serta aksesori yang ia kenakan semakin menegaskan hal itu. Arzeti mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan sejenis
brokat yang diberi aplikasi bordir di sana-sini. Brokat adalah bahan yang biasanya digunakan untuk baju-baju pesta. Selain pakaian yang dikenakan, kipas dengan
pinggiran bordir hitam, yang dibawa Arzeti semakin membentuk kesan aristokrat itu. Azeti tampaknya siap menari Tanggo, atau ia hendak melangkah dengan gaya
aristokrat. Sebuah langkah tegap dengan wajah mendongak ke atas yang seperti mengatakan, “Kehamilanku tidak menghentikanku untuk bergerak”.
Foto kedua adalah Maudy Koesnadi, seorang artis yang sangat populer di Indonesia. Tampaknya ia sedang berlari menuju arah tertentu. Ini terlihat dari
rambutnya yang mengembang karena tertiup angin. Jari telunjuknya tampak menunjuk pada titik tertentu. Seperti ingin mengatakan bahwa itulah arah yang
71
dituju. Wajahnya tidak melihat ke depan ke arah yang ingin ia tuju, tapi melihat ke arah lain. Bisa jadi ia waspada pada keadaan di sekitarnya, atau ia membuat
semacam perhitungan tentang kondisi di sekitarnya yang sedang atau mungkin akan terjadi.
Walaupun hamil besar, Maudy tampak begitu mandiri dan tegas dengan apa yang ingin ia lakukan. Pakaian serta sepatu yang ia kenakan, juga menegaskan
hal itu. Setelan jas hitam, baju hitam, rok di atas lutut warna hitam, serta sepatu boot sebetis, menggambarkan kemandirian dan ketegasan itu. Sementara itu,
kalung batu bertumpuk-tumpuk yang menutupi lehernya, memberi sentuhan mewah dan tampak berkelas pada penampilan Maudy.
Foto ketiga adalah foto seorang perempuan bernama Sari Elvianti. Ia mengenakan baju terusan tanpa lengan berwarna coklat dengan motif bunga. Sari
juga mengenakan aksesoris berupa kalung berwarna coklat yang tampak senada dengan pakaian yang ia kenakan. Ia tidak melihat ke arah kamera, tapi melihat ke
arah kiri atas sambil tangan kiri menopang kepalanya. Tangan kanannya memegang perut buncitnya. Ekspresi wajahnya terkesan datar serta tidak ada
senyum di wajahnya. Matanya seperti menerawang. Tetapi kesannya bukan kesedihan atau kesakitan. Ada kesan misterius dan percaya diri yang keluar dari
wajahnya. Ia bahkan terkesan sensual, walaupun dengan perut yang membuncit karena kehamilan. Kepalanya yang sedikit mendongak ke atas merupakan gesture
yang seperti ingin berkata “I’m sexy and I
can handle my pregnancy
.” Foto keempat adalah foto seorang perempuan hamil bernama Lea. Posenya
adalah gambaran seorang perempuan yang percaya diri serta mandiri. Gaya berdiri yang tegas menghadap kamera dan wajahnya sedikit menyerong serta sedikit
72
terangkat ke atas, adalah sebuah gestur kepercayaan diri. Ekspresi wajahnya, yang memberikan senyum tipis serta mata memandang ke arah kiri kamera, seperti
ingin menyatakan bahwa “Saya bisa mengatasinya.” Ia mengenakan jas panjang motif kotak-kotak dengan bagian perut yang
terbuka. Jas adalah sebuah representasi dari ketegasan. Dan motif kotak-kotak itu memberikan aksen lebih lembut pada ketegasan itu. Lea tampak tidak malu dan
takut atas perutnya yang benar-benar membuncit. Selain terkesan mandiri dan percaya diri, Lea juga tampak berkelas dengan seluruh
item
mode yang sudah pasti mahal yang ia kenakan, apalagi latar belakang tempat berdirinya adalah
sebuah ruang dengan desain interior dan eksterior modern minimalis. Kesan yang ditimbulkan adalah elegan
, simple
dan berkelas.
D. HAMIL DAN PERAN IBU
Bagi sebagian perempuan, menjadi ibu adalah hal yang kodrati. Hal ini didasari atas fakta bahwa kehamilan hanya dapat dialami oleh perempuan. Peran-
peran seorang ibu yang dimaklumi oleh masyarakat kebanyakan adalah peran- peran yang telah dikonstruk oleh budaya patriarki yang telah menghegemon.
Konsep ibu sendiri kemudian dilekatkan dengan banyak konstruks tentang „beban ganda‟ yang harus ditangung oleh perempuan.
Dan konstruk tentang „ibu‟ itu sendiri telah dilekatkan semenjak perempuan mulai mengalami kehamilan. Misalnya tentang berbagai mitos seputar
kehamilan, cara bersikap seorang perempuan hamil, beban dan tugas yang harus dilakukan oleh perempuan saat hamil, sampai kemudian anak telah lahir serta
tugas-tugas
nurture
yang sejatinya adalah konstruk. Bahwa seorang ibu harus PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
tetap berada dalam ranah-ranah domestik walaupun ia juga berperan secara aktif di ruang publik dengan pekerjaan kantorannya.
Dan ini tidak lepas dari perempuan yang ada di Jakarta sekalipun. Walaupun mereka lebih dimanjakan oleh akses yang memadai dan ruang-ruang
informasi serta pengetahuan yang terbuka lebar, para perempuan ini tetap terperangkap dalam peran-peran ibu.
Gambar 33. Ningcy Yuliana Manajer Pemasaran Yulia Ristanti Kepala Keuangan
Gambar 34.
Nenny Hamid Account Executive,Oki Aldebaria dan Siska Widyawati Staff Administra si Kantor Pemerintah
Ini yang sepertinya saya lihat dari beberapa foto dalam seri
Nine Months
. Foto pertama adalah foto milik Ningcy Yuliana, seorang wanita karir yang
berprofesi sebagai manajer pemasaran. Pose Ningcy menggambarkan ketenangan dan penerimaan diri atas proses kehamilan yang sedang ia jalani. Tangannya yang
memegang perut menggambarkan hal itu, juga wajahnya yang seperti melihat pada satu titik, jauh di ujung di depan kamera. Mungkin ia melihat masa depannya
74
yang akan diisi oleh celoteh bayi serta tanggung jawab yang lebih besar sebagai ibu, selain ia juga harus tetap berprofesi sebagai seorang manajer.
Ningcy tidak menutupi tubuhnya dengan pakaian, melainkan kain merah panjang lebar yang membalut tubuhnya dari bagian dada ke bawah. Kain itu
bukan hanya membalut tubuh Ningcy, tetapi juga latar belakang tempat Ningcy berdiri atau mungkin seluruh ruangan itu tertutup kain merah. Namun Ningcy
tidak menderita karena belitan itu. Ia tampak berserah dan menerimanya dengan bahagia. Jika bisa disimpulkan, warna merah pada kain itu menggambarkan
keberanian Ningcy untuk pasrah menghadapi hal yang akan terjadi di depannya. Foto kedua adalah Yulia Ristanti, seorang perempuan yang berprofesi
sebagai kepala keuangan. Yulia seperti berdiri dalam sebuah ruangan, mungkin ruang tamu sebuah rumah atau kamar tidur. Ia berdiri di samping jendela, sambil
melihat keluar jendela. Tidak ada senyum di wajahnya. Ini seperti ekspresi seseorang yang sedang risau. Mungkin saja ia menunggu seseorang yang tidak
kunjung datang, atau sedang risau menunggu momen kelahiran anaknya. Maklum kehamilannya sudah masuk ke trisemester akhir dan tinggal menghitung hari saja.
Gaya berpakaian Yulia sederhana, termasuk warna-warna yang dikenakan. Terkesan lembut dan bersahaja. Tangan kanannya memegang bunga berwarna
putih. Caranya memegang bunga itu seperti sebuah kepasrahan atau kesabaran. Bunga yang akan diberikan kepada orang yang ia tunggu, atau bunga yang
mengingatkannya pada seseorang atau sesuatu. Yulia tampak menghayati perannya sebagai bakal ibu. Yulia pun siap
menunggu dan pasrah menanti sesuatu yang ada di depannya itu. Ia berbahagia PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
karena akan menjalani satu hal yang dianggapnya kodrati bagi perempuan, yaitu peran sebagai ibu.
Foto ketiga adalah Nenny Hamid yang seperti mencoba mengikuti imaji seorang malaikat dalam tradisi barat. Atau -mungkin saja- mencoba mengikuti
gaya putri-putri kerajaan dalam sejumlah legenda barat. Hal ini terlihat dari pakaian terusan putih dengan aksentuasi melebar di bagian bawah, serta mahkota
berbentuk lingkaran yang terbuat dari bunga-bunga serta biji-bijan yang ia kenakan. Posenya menyamping dan memperlihatkan lekukan perut. Pakaian
terusan putih yang ia kenakan seperti menggambarkan perempuan bersahaja atau seperti seorang malaikat dengan sifat-sifat suci dan bersih.
Wajahnya yang sedikit tertunduk, serta guratan senyum tipis adalah ekspresi seorang perempuan yang anggun, pasrah, sederhana serta sabar menanti
apa yang sudah ia tunggu-tunggu, yaitu seorang jabang bayi yang masih ada di perutnya. Yang menarik adalah, lampu yang ditembakan tepat di depan Nenny.
Cahaya lampu itu akhirnya membentuk refleksi setangah bulatan yang seakan- akan datang langsung dari surga, tempat dimana para malaikat tinggal. Gambaran
tentang kebersehajaan, kesabaran, dan keanggunan adalah sifat- sifat „malaikat‟
bak putri kerajaan yang dikontruks oleh masyarakat, harus dimiliki oleh seorang ibu.
Foto keempat adalah foto dua orang perempuan bernama Oki Aldebaria serta Siska Widyawati. Mereka berdua adalah staff administrasi pada kantor
pemerintah. Mereka berdua berpose dengan gaya serupa, pakaian yang dikenakan pun sama. Sama-sama mengenakan kebaya modifikasi, dengan sentuhan rok batik
76
panjang. Mereka berpose menyamping dan membiarkan lekuk perut mereka yang sudah membuncit sedikit terlihat.
Mereka berpose pada sebuah anak tangga dengan pintu berbentuk lengkung sebagai pembingkainya. Kesan yang ditimbulkan adalah kesederhanaan,
tradisional serta konvensional. Dengan senyum mengembang dan menatap ke atas, mereka berdua seperti hendak meniti anak tangga menuju ke arah yang lebih
tinggi. Mungkin mereka berdua sedang bahagia menanti dan tidak sabar menunggu momen di depan, yaitu momen kelahiran yang sebentar lagi akan tiba.
Dua orang perempuan ini terlihat sudah siap dengan segala peran ibu yang akan menanti mereka, atau memang mereka sudah bertransformasi dan
mengaplikasikan sifat-sifat keibuan ketika proses kehamilan ini sedang berlangsung. Artinya mereka sudah siap dengan berbagai peran yang akan mereka
jalani, baik di ranah publik, yaitu saat bekerja sebagai PNS atau sebagai ibu yang harus melakukan peran-peran
nurture
di ranah domestik.
E. HAMIL DAN TUBUH
Tubuh yang berubah adalah konsekuensi logis dari sebuah proses kehamilan. Sesuai dengan usia janin yang ada di dalam rahim, perut akan semakin
membesar dari bulan ke bulan. Berat tubuh pun akan makin bertambah, karena nafsu makan yang semakin besar. Apalagi ketika hamil, ada seorang jabang bayi
yang harus diberi asupan nutrisi terus-menerus. Beberapa perempuan akan mengalami pembengkakan di bagian kaki ataupun varises, dikarenakan kaki harus
menopang berat tubuh yang lebih besar dari biasanya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Perempuan yang tadinya bertubuh ideal
99
, ketika hamil harus mengalami perubahan ukuran dan berat pada tubuhnya. Banyak yang merasa panik saat tubuh
mereka harus berubah drastis. Banyak yang coba menutup-nutupi bagian-bagian tubuhnya yang berubah itu. Dan pasca melahirkan, banyak yang begitu frustasi
dengan berat tubuh yang tidak kunjung turun, perut yang semakin kendor, lemak di sana-sini, serta payudara yang tidak lagi kencang.
Imajinasi tentang tubuh yang ideal memang telah begitu dahsyat menggempur perempuan. Tidak terkecuali para perempuan Jakarta yang hidup
dalam ruang-ruang urban metropolis. Malah, mungkin saja, imajinasi tentang kesempurnaan tubuh, lebih dahsyat menggempur para perempuan ini, seiring
dengan makin derasnya arus informasi dan kapitalisasi berbagai barang dan jasa, misalnya produk kecantikan penurun berat badan atau jasa klinik penurun berat
badan instan. Seperti pada seri foto
Nine Months
ini yang beberapa tampak sudah lebih berani memperlihatkan perubahan tubuhnya itu, terutama pada bagian perut.
Keberanian mereka memperlihatkan perut-perut ini bisa dilihat sebagai keberanian untuk membuka wacana tentang kehamilan yang sebelumnya
dianggap sangat personal, sehingga perut-perut buncit yang sebelumnya dianggap tidak layak untuk dipertontonkan, menjadi hal yang patut diselebrasi. Sebuah
selebrasi yang diadakan karena perut itu membuncit karena kehamilan. Dan itu adalah hal yang lumrah, justru patut disyukuri. Tapi lain lagi persoalannya kalau
perut buncit, tetapi tidak hamil, tentu tidak patut dipamerkan.
99
Seimbang berat dan ukurannya sesuai dengan yang selama ini sudah dikonstruksi oleh media, masyarakat, dll, tentang tubuh perempuan yang pas dan ideal.
78
Gambar 35.
Ngesti Wijayanti Manager Produksi Kristina Akuntan, Retno Tri Harjanti Supervisor Desain
Gambar 36.
Riana Novi Pegawai Swasta Astuti Wulandari Marketing
Gambar 37.
Ratna Listy Presenter Muthi Kautsar Penari
Dalam seri
Nine Months
ini ada dua foto perempuan hamil sembilan bulan yang masing-masing mengenakan topeng. Keduanya mengenakan topeng yang
biasanya dikenakan dalam pesta kostum. Pada foto pertama yaitu foto milik Ngesti Wijayanti, topeng yang ia kenakan dihiasi oleh bulu-bulu berwarna merah
magenta dengan sedikit aplikasi bulu-bulu berwarna hitam. Topeng itu menutupi bagian sekitar mata, hidung sampai ke dahi.
79
Ngesti mengenakan sejenis
tank top
dan membiarkan bagian perutnya terbuka. Ia berpose dari samping, sehingga lekuk perutnya semakin terlihat, begitu
juga garis-garis di perutnya. Yang menarik dalam foto Ngesti adalah munculnya dua orang bocah berusia balita yang tampak penasaran dengan perut buncit
Ngesti. Salah seorang bocah yang duduk di kursi tampak memegang kaos Ngesti untuk kemudian meraba perutnya. Bocah kedua yang berdiri tampak melihat saja
dan penasaran dengan apa yang dilakukan oleh bocah pertama. Dalam kondisi seperti itu, Ngesti seperti membiarkan saja bocah bocah itu bermain-main dengan
perutnya. Sepertinya ia malah senang saat mereka memainkan perutnya. Ini terlihat dari pose ngesti yang seperti menyodorkan perutnya, dan melipat kedua
tangannya ke belakang. Ngesti tampaknya senang memperhatikan kedua bocah itu, dan seperti mengatakan “Ayo nak, lihat perut Ibu”
100
. Ngesti tampaknya merasa bahwa perutnya yang membuncit karena
kehamilan adalah sesuatu yang patut disyukuri serta dipamerkan kepada khalayak. Oleh karena itu ia mempertontonkannya di hadapan lensa serta memperbolehkan
kedua anaknya untuk bermain-main dengan perut buncitnya di hadapan publik. Seperti Ngesti, Muthi Kautsar juga mengenakan topeng dalam fotonya. Ia
mengenakan topeng berbentuk mata kucing. Topeng yang dikenakan Muthi ini adalah topeng yang tidak ditempel dengan cara diikat di bagian belakang kepala
seperti milik Ngesti. Topeng yang dikenakan Muthi bisa dicopot kapan saja, karena topeng ini hanya dipegang dengan menggunakan tongkat yang
ditempelkan di ujung sebelah kiri topeng. Sama seperti Ngesti, topeng milik
100
Menurut sang fotografer, kedua bocah itu memang anak Ngesti yang kebetulan diajak berpartisipasi dalam sesi pemotretan itu.
80
Muthi ini adalah sejenis topeng yang sering dikenakan dalam pesta topeng atau
masquerade
dalam tradisi Eropa. Tidak seperti foto-foto lainnya, foto milik Muthi ini begitu misterius
karena yang difoto adalah refleksi dirinya pada sebuah cermin besar. Apalagi yang digunakan adalah foto hitam putih yang semakin menambah kesan misterius
serta dramatis. Tanda-tanda kehamilan Muthi pun tidak terlihat. Yang terlihat di cermin kayu berukir itu hanya sosok manusia mengenakan topeng berwarna putih.
Refleksi di cermin itu pun tidak didominasi oleh Muthi. Muthi hanya berada di sisi kiri cermin sementara di tengah ada guci besar yang menghalangi refleksi.
Sedangkan latar belakangnya hanya tembok kosong abu-abu. Sepertinya ada kesan misterius, atau ingin menutup-nutupi sesuatu.
Mungkin saja ia ingin menutupi tubuhnya yang berubah karena hamil besar. Karena jika menutupi kehamilannya tentu tidak mungkin, mengingat ia difoto
dalam seri foto kehamilan
Nine Months.
Bisa jadi Muthi tidak ingin membagi tubuhnya yang berubah kepada khalayak, atau bisa jadi ia tidak percaya diri
dengan perubahannya itu. Sementara itu ada foto dua orang perempuan bernama Kristina dan Retno
Tri Harjanti. Mereka difoto berdua dalam satu frame dengan pose yang sama. Sama-sama menghadap samping dan melihat ke atas. Hanya saja Kristina
menghadap ke kanan dan Tri menghadap ke kiri. Keduanya juga mengenakan pakaian yang sama dan sama-sama memperlihatkan lekuk samping perut buncit
mereka. Ada sedikit guratan senyum saat mereka melihat ke atas, menerawang entah ke mana. Kesan yang tertangkap adalah kepercayaan diri pada tubuh
81
mereka. Seperti mereka ingin mengatakan, “
This is my body, I am pregnant and I am proud of it
.” Mungkin saja, baik Kristina ataupun Retno merasa percaya diri untuk
memperlihatkan tubuh mereka kepada khalayak karena mereka merasa tidak sendiri melakukannya. Ada sahabat perempuan lain di sisinya yang juga
mengalami perubahan signifikan pada tubuhnya. Sehingga masing-masing percaya diri untuk memperlihatkan perubahan tubuh mereka itu.
Lalu ada foto milik Riana Novi yang mengenakan kebaya putu baru brokat warna hijau dan membiarkan bagian yang biasanya diberi setagen dibiarkan
terbuka sehingga perutnya yang membesar sangat terlihat. Riana seperti sedang berada di alam terbuka, di sebuah daerah pegunungan. Itu terlihat dari latar
belakang yang tergambar di belakangnya. Sebuah
backdrop
bergambar pohon- pohon cemara dan pohon-pohon khas pegunungan menjadi latar belakang Riana.
Posenya seperti sedang bersiap-siap untuk beranjak dari tempat itu, karena ia sedang membetulkan atau memakai antingnya. Dengan konsep pakaian tradisional
itu, Riana berani memodifikasi penampilan yang biasanya dimunculkan saat orang memakai kebaya. Ia cukup percaya diri menunjukan perutnya dan sedikit keluar
dari pakem kebaya. Lalu foto yang lain adalah milik Astuti Wulandari. Posenya
menggambarkan ia terbuka dengan tubuhnya yang berubah. Tangannya direntangkan kesamping seakan-akan ingin menunjukan kepada khalayak perihal
kehamilannya. Pakaian yang ia gunakan juga mempertegas hal itu. Sebuah kemeja yang diikat ujung-ujungnya sampai sebatas dada, sehingga bagian perutnya bisa
terlihat. Ekspresi wajahnya pun menggambarkan hal itu. Sebuah senyum tipis PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
dengan tatapan ke atas mengesankan ketegasan. Foto yang dilakukan di luar ruangan ini, sepertinya menggambarkan betapa ia terbuka terhadap tubuhnya itu.
Terakhir ada foto Ratna Listy, seorang perempuan yang berprofesi sebagai presenter. Ratna tampak sumringah dengan kehamilannya. Senyum lebar dan
posenya yang memperlihatkan sedikit perut yang membesar beserta guratan alaminya merupakan sebuah pertanda bahwa Ratna percaya diri dengan
kehamilannya. Walaupun ia masih tampak ragu-ragu memperlihatkan perut buncitnya, Ratna seperti akhirnya yakin bahwa perut buncitnya adalah keindahan
yang patut dipamerkan. Terlihat dari pose tangannya yang seperti ragu-ragu membuka sedikit pakaiannya -walau sudah sedikit terlihat karena pakaiannya
cukup transparan- yang semula menutupi perutnya itu.
F. HAMIL DAN SENSUALITAS
Seperti yang sudah saya gambarkan dalam bab dua, pada sub bab Imaji Tubuh Perempuan Dalam Ranah Fotografi di Indonesia, aspek sensualitas
tampaknya belum bisa dilepaskan dari imaji perempuan dalam fotografi, khususnya di Indonesia. Perspektif laki-laki yang masih menguasai dunia
fotografi, membuat sensualitas perempuan sering dijadikan obyek dalam sejumlah karya fotografi.
Begitu juga dalam seri
Nine Months
ini. Sensualitas amat mewarnai foto- foto para perempuan hamil besar ini. Tubuh-tubuh yang berubah, diekspos dalam
frame-frame gambar, yang begitu menarik untuk dipandang. Lewat pose, pakaian, aksesoris, serta tata lampu yang digunakan, para perempuan ini tetap terlihat
83
cantik, seksi dan terkesan sensual, walaupun mereka tidak berada dalam tubuh yang
–dianggap- ideal. Yang paling terlihat jelas sensualitasnya, menurut saya, adalah foto-foto di
bawah ini. Walaupun seluruh foto seri
Nine Months
memiliki unsur sensualitasnya masing-masing. Karena
–buat saya- sensualitas adalah masalah rasa yang berhubungan dengan daya tarik fisik. Sebuah rasa, gairah, yang pada konteks ini
bersumber pada seksualitas perempuan. Ia dimunculkan dari daya tarik fisik, penampilan atau jasmaniah dari para model dalam foto-foto ini.
1 2 3 4
5 6
7 8 9 10 11
Gambar 38.
Foto-foto dalam seri Nine Months yang saya anggap sensual.
Diah, sebagai fotografer serta seorang perempuan yang juga sedang hamil sembilan bulan saat mengabadikan gambar-gambar ini, sepertinya memang
84
sengaja menampilkan sensualitas dari para perempuan hamil ini. Keindahan tubuh perempuan yang selama ini didominasi oleh mitos langsing, tampaknya coba
didobrak. Misalnya saja pada foto nomor 4,5,6, dan 11. Dengan pose yang tampak menggoda, serta terkesan seksi, keempat perempuan ini tetap memperlihatkan
bulatan perutnya. Memang tidak ada anggota tubuh lainnya yang diperlihatkan, kecuali pada foto nomor 4, namun walaupun demikian, bagian tubuh yang tampak
itu, seperti lengan dan pundak, tetap terlihat dalam konstruk tubuh ideal. Seperti diungkapkan Diah, sebisa mungkin, foto yang dihasilkan tetap
indah dipandang, sehingga bagian-bagian tubuh ,yang menurut Diah, sudah tidak sedap dipandang, akan tetap disamarkan. “Ya kalau lengannya gede banget ya,
sebaiknya pakai lengan panjang, atau ditutup kain, atau berpose yang sebisa mungkin tidak mengekspos lengan itu,” papar Diah. Menurut Diah, para klien
perempuannya, tetap ingin terlihat cantik, dan kalau bisa, seksi dalam foto-foto kehamilan tersebut.
Sementara itu pada foto 1,2,3 dan 11, sensualitas para perempuan ini ditonjolkan lewat pose serta sejumlah benda
fashion
yang mereka kenakan. Kesan seksi,
glamour
dan berkelas dimunculkan oleh para perempuan ini. Sensualitas seorang perempuan yang terbangun dari gaya, selera berpakaian serta cara
membawakan diri. Tidak peduli bahwa tubuh di bagian perut sudah tidak lagi langsing.
Lalu pada foto 7, 8 dan 9, kesan sensual dimunculkan dari pose serta penampilan ketiga perempuan ini yang bersahaja. Ada kelembutan serta feminitas
yang begitu kuat dari para perempuan ini. Lewat pose serta sandang sederhana yang dikenakan, para perempuan ini tetap mengeluarkan sensualitasnya. Sebuah
85
rasa yang begitu subjektif, dan mungkin hanya bisa dimaklumi oleh mata-mata yang menyenangi kesederhanaan serta kelembutan yang feminin.
Dan pada foto nomor 10, sensualitas perempuan muncul dari gaya yang asyik,
funky, keren
, sedikit garang serta maskulin ala
rock star.
Perempuan pada foto nomor 10 ini yaitu Pita,
terkesan agak garang dengan gaya „metal‟ nya. Ia seperti seorang musisi
rock,
yang diperlihatkan dari tatanan rambut yang disasak ke atas, aksesoris, pakaian serta jari-
jarinya yang membentuk simbol „metal‟. Dengan paduan dandanan, pose, serta perut yang buncit, kesan garang dan „metal‟
itu seperti lebur dalam sebuah kesan sensual. Sejumlah pengunjung pameran pun memaklumi demikian. Dari berbagai
komentar serta kasak-kusuk diantara kawan-kawan saya yang ikut datang pada pameran
Nine Months
, serta sejumlah pengunjung yang tidak saya kenal, rata-rata mengatakan bahwa para perempuan dalan seri
Nine Months
ini terkesan seksi dan memiliki sensualitasnya masing-masing, walaupun perut mereka membuncit.
Bahkan beberapa pengunjung lelaki mengatakan bahwa, justru perut-perut yang buncit itu adalah sensualitas paling utama dari foto para perempuan ini. Bagi
mereka, tubuh yang langsing lalu difoto adalah hal yang biasa. Namun perut yang buncit dan menggendut adalah sesuatu yang baru, menarik dan bisa menjadi
sumber imajinasi serta fantasi tentang sensualitas perempuan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
BAB IV MENGARTIKULASI TUBUH CANTIK
Bab ini merupakan jawaban dari dua buah rumusan masalah tentang bagaimana seri foto
Nine Months
mengartikulasi tubuh perempuan, serta bagaimana dunia fotografi yang dianggap maskulin mempengaruhi citra-citra
tubuh perempuan dalam seri foto
Nine Months
menjadi realitas tubuh yang maskulin.
Untuk menjawab permasalahan yang telah saya rumuskan pada Bab I, saya meminjam metode pembacaan foto yang digunakan oleh Barthes yaitu
„fenomenologi sinis‟
101
. Pendekatan ini saya pilih karena, seperti Barthes, saya ingin melakukan advonturir yang dimulai dari rasa tertarik saya pada sebuah foto
menuju esensi foto itu sendiri dan kemudian kembali lagi ke saya. Advonturir itu akan saya mulai dari pengalaman personal saya terpaku
pada titik paling penting dalam seri
Nine Months
, setelah di bab sebelumnya saya sudah berpetualang dan bermain-main sejenak pada jejak-jejak visual dalam
deretan foto dalam seri ini. Titik itu adalah
punctum
, sebuah titik yang telah membuat saya „terluka‟, karena ia begitu menggemaskan sekaligus mengaduk-
aduk ingatan saya sebagai perempuan. Kemudian advonturir yang penuh dengan „luka‟ ini akan dilanjutkan pada pembahasan serta analisis dari pengalaman
personal saya terpaku pada
punctum
itu.
101
Lihat Barthes, Camera Lucida, hal 20.
87
Agar pembahasan dalam bab ini lebih terstruktur, maka bab ini akan dibagi menjadi tiga sub-bab. Sub-bab pertama akan menjelaskan bagaimana
fotografi bisa menjadi pembentuk realitas yang maskulin. Penjelasan ini akan dilakukan dengan menganalisis pameran foto
Nine Months
. Sub-bab kedua akan menjelaskan bagaimana tubuh perempuan diartikulasi dalam sebuah karya
fotografi. Penjelasannya juga akan dilakukan lewat analisis karya foto
Nine Months
. Dan pada sub-bab ketiga akan dibahas tentang konsumsi gambar berlebihan yang akhirnya menciptakan kecanduan serta sampah visual yang
„dipaksakan‟ untuk diberi makna.
A. FOTOGRAFI SEBAGAI PEMBENTUK REALITAS YANG MASKULIN
Sub bab ini akan membicarakan bagaimana medium fotografi menjadi pembentuk realitas yang maskulin. Pembicaraan ini akan dilakukan dengan
membedah pameran foto
Nine Months
.
1.
Nine Months
yang Komersil
Mengunjungi pameran
Nine Months
seperti melihat jejeran tubuh perempuan hamil yang sedang dijajakan. Apalagi ruang pamernya adalah sebuah
ruang komersil tempat berbagai macam hal diperjual-belikan. Sebuah mal. Konsep pameran semacam ini belum banyak dilakukan di Indonesia,
khususnya Jakarta. Pameran foto biasanya dilakukan di ruang-ruang khusus yang memang diciptakan untuk memamerkan karya visual. Inilah yang menurut saya,
membuat pameran ini begitu menarik untuk dikunjungi serta ditelaah. Selain itu isi dari pameran ini juga tidak biasa. Ketika itu, belum banyak
tubuh-tubuh hamil membuncit, dipamerkan secara terbuka di ruang publik yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
pengunjungnya bisa siapa saja dari kalangan manapun. Dalam pameran ini, sejumlah perempuan yang sedang hamil di usia sembilan bulan, dengan amat
percaya diri menampilkan perut-perut mereka. Perut-perut membuncit dan dipenuhi dengan gurat-gurat itu dipajang
secara terang-terangan menggunakan bingkai luar biasa besar. Siapapun yang melewati frame-frame itu pasti melihat wajah-wajah perempuan itu. Perut-perut
yang tidak lagi rata itu pun benar-benar terlihat. Di mal, atau pasar, perhatian orang terbagi-bagi. Orang ingin berbelanja,
melihat-lihat untuk sekedar cuci mata, orang ingin dilihat, ingin melepas lelah, ingin berwisata, orang ingin bertemu yang lain untuk melepas rindu ataupun
membicarakan berbagai hal dengan kepentingan yang berbeda-beda. Sementara itu untuk melihat sebuah karya visual, biasanya, orang-orang
yang datang dikondisikan oleh pihak penyelenggara agar perhatiannya terfokus pada karya-karya yang sedang dipajang. Para pengunjung datang dengan
pengetahuan dan kesadaran akan melihat sebuah pameran karya visual. Beberapa mungkin sudah mengetahui mengenai karya yang dipamerkan atau minimal sudah
tahu sang empunya karya. Sehingga ketika dat ang ke pameran, mereka „sudah
siap‟ bahwa mereka akan mengapresiasi sebuah karya visual. Namun ketika mereka datang ke mal, perhatian para pengunjung pasti
akan terbagi-bagi. Apalagi ruang pamer
Nine Months
ini tepat di tengah jalan utama mal Semanggi. Sebuah jalan utama yang cukup ramai, karena di situ
terdapat ruang semacam
hall
yang ukurannya agak besar, dimana seringkali diadakan pertunjukan atau tempat untuk memajang barang-barang bermerek yang
sedang diobral. Di sepanjang ruang pamer
Nine Months
ini juga berderet toko- PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
toko produk mode dari kelas
high end
serta sejumlah cafe kelas atas yang selalu ramai pengunjung.
Sepertinya, penyelenggara pameran
Nine Months
memang memiliki agenda untuk membuat perhatian para pengunjung terbagi. Penyelenggara ingin
pengunjung menjadi
mulittasking
102
. Melihat pameran sekaligus berbelanja. Atau sebaliknya, berbelanja sambil melihat pameran.
Dengan menjadi
multitasking
itu, para pengunjung dimanjakan dengan berbagai keserbaadaan yang ada di mal. Mereka bisa tetap menjadi masyarakat
kebanyakan yang hobi berbelanja atau
ngeceng
di mal, namun tetap „berbudaya‟ dengan mengapresiasi karya visual yang dipamerkan.
Pameran
Nine Months
ini rupanya mengadopsi semangat jaman masyarakat urban Jakarta. Sebuah masyarakat yang super sibuk, karena Jakarta
adalah kota yang dikondisikan tidak pernah mati selama 24 jam. Jakarta juga tempat berkumpulnya pencari uang dan pencari untung.
Jakarta yang sibuk ini tentu butuh penghuni yang bisa menyesuaikan diri, karena Jakarta terlalu sombong untuk melakukan hal itu. Oleh karena itu penghuni
Jakarta butuh segala sesuatu yang tidak merepotkan, cepat saji. Jakarta butuh hal- hal yang serba instan.
Kalau bisa ada satu benda atau satu hal yang bisa menyelesaikan segala permasalahan dalam satu paket. Jika ada, pasti paket ini akan laku keras dan
benar-benar dicari oleh orang Jakarta. Dan karakteristik demikianlah yang memang menjadi warna kehidupan masyarakat Jakarta. Tidak mau repot.
102
Menurut kamus Oxford, multitasking adalah: n Computing the execution of more than one program or task simultaneously by sharing the resources of the computer processor between
them.Concise Oxford Dictionary – Tenth Edition. Dalam konteks kalimat ini, multitasking tidak
lagi berhubungan dengan dunia komputer, terma ini diserap untuk menyebut kemampuan melakukan berbagai hal dalam waktu bersamaan.
90
Karakteristik ini kemudian dibaca oleh orang-orang jeli yang memiliki akses ke berbagai peluang ekonomi itu. Frasa “tidak mau repot” itu kemudian
diinterpretasi dan dikomersialisasi. Dan inilah yang diadopsi oleh pameran
Nine Months
. Masyarakat Jakarta yang super sibuk dan “tidak mau repot” ini dimanjakan dengan sebuah pertunjukan karya visual yang mudah dan sangat
terjangkau. Sambil
nge-mal
dan nongkrong-nongkrong, pengunjung juga bisa menonton pameran foto.
Di balik tujuan berkompromi dengan semangat serba instan yang dimaklumi oleh masyarakat Jakarta, sepertinya ada agenda berjualan dari pihak
penyelenggara. Diah sendiri sebagai fotografer yang menghasilkan karya foto ini turut mengomersialisasi karya fotonya itu. Dengan mau berpameran pada ruang
itu, Diah jelas-jelas menyatakan bahwa pamerannya ini memang disponsori oleh Plaza Semanggi. Apalagi saat pembukaan pamerannya, juga diadakan peragaan
busana baju-baju hamil merek tertentu.
Nine Months
memang jelas menjadi media komersialisasi kehamilan itu sendiri. Pameran ini berhasil membuat ide soal kehamilan menjadi tren. Dan
buntut-buntutnya adalah, berbagai ceruk-ceruk bisnis seputar kehamilan pelan- pelan terbuka lebar.
Ceruk-ceruk bisnis itu tentu saja seputar produksi produk-produk penunjang kehamilan, serta tren foto maternitas seperti rangkaian foto dalam seri
Nine Months
ini. Ini terbukti, sesudah pameran, Diah akhirnya mendapat label sebagai fotografer khusus kehamilan. Diah pun kebanjiran klien-klien perempuan
yang ingin mengabadikan momen kehamilannya. Dan semenjak itu pula, tren foto PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
maternitas makin berkembang pesat di Jakarta, serta menyebar ke sejumlah kota- kota besar di Indonesia.
Komersialisasi kehamilan yang dibungkus secara elegan dalam
Nine Months
ini memang menyasar kelas menengah Jakarta. Ini terlihat dari
display
karya foto yang berjumlah dua puluh satu itu. Foto-foto itu dipajang dalam bingkai-bingkai besar elegan yang menyesuaikan dengan suasana dari mal
Semanggi. Sebuah mal yang berada di tengah kota Jakarta yang mengklasifikasi dirinya sebagai mal untuk kelas menengah Jakarta.
Kelas menengah Jakarta yang jumlahnya makin lama makin besar ini adalah salah satu potongan masyarakat Jakarta yang makin marak mewarnai
suasana Jakarta sekarang ini. Kelas ini diciptakan oleh Jakarta yang sedang tumbuh sebagai salah satu kota megapolitan dunia. Kelas menengah baru yang
tidak bisa dilepaskan dari budaya pasar dan, pada umumnya, tidak ragu mengeluarkan kocek besar untuk memenuhi tren gaya hidup yang sedang berlaku.
Dan foto-foto perempuan hamil dalam seri
Nine Months
adalah gambaran secara visual tentang karakter masyarakat seperti apa yang sedang dibicarakan ini.
Mereka adalah perempuan urban Jakarta kelas menengah, pekerja yang amat sibuk, aktif serta sangat memperhatikan mode dalam setiap penampilannya.
Para perempuan ini tentu tidak bisa dilepaskan dari sifat-sifat serba konsumtif, karena memang begitulah mereka “dididik” serta “dipaksa” untuk
menjadi demikian. Para perempuan ini tidak hanya mewakili diri mereka sendiri. Mereka adalah representasi dari pengunjung pameran serta para perempuan urban
Jakarta kelas menengah lainnya. Karena jika tidak konsumtif mereka tidak akan bertahan dalam dunia ini. Sebuah dunia yang memanfaatkan berbagai hal di
92
sekitarnya untuk menjadi media komersialisasi, karena memang begitulah saat ini cara kita berkompromi dengan dunia.
2.
Nine Months
Sebagai Realitas Maskulin
Nine Months
yang komersil ini dilahirkan dari rahim dunia yang maskulin. Oleh karena itu apa yang dihasilkan dalam rangkaian karya ini pasti begitu
maskulin. Lewat dua puluh satu foto yang dipamerkan, sebuah realitas yang sudut pandangnya maskulin dikreasi.
Pencipta dari seri ini, Diah Kusumawardani, adalah salah satu dari sedikit perempuan yang berkecimpung di dunia fotografi. Sebuah dunia yang tercipta
dalam rahim dunia laki-laki.
Male gaze
103
sudah mengkonstruk Diah dan tentu apa yang ia kreasi adalah karya-karya yang berperspektif laki-laki. Seri
Nine Months
ini adalah salah satu buktinya. Seri ini digarap oleh Diah dengan menyisipkan pesan anti aborsi. Sebuah
pesan tentang
pro-life
dan anti
pro-choice
104
. Bagi Diah, kehamilan adalah sebuah anugerah yang sudah menjadi kodrat perempuan. Dengan pemahaman akan kodrat
itu, kehamilan adalah fitrah yang harus diterima dan disyukuri oleh perempuan. Konsep mengenai kodrat ini adalah konstruk patriarki yang membuat
perempuan tidak punya pilihan bebas terhadap tubuhnya sendiri. Bahwa
103
Male gaze adalah sebuah konsep dalam msyarakat patriarki yang menciptakan kaca pandang maskulin. John Berger dalam Ways of Seeing menyinggung tentang male gaze ini. Ia mengatakan
bahwa male gaze tidak hanya terjadi dalam hubungan pandang antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga tentang perempuan melihat diri mereka sendiri. Konsep yang telah terinternalisasi
dalam diri perempuan ini, membuat perempuan memiliki mata laki-laki, dimana yang memandang diri mereka sendiri adalah laki-laki serta yang dipandang adalah perempuan. Akibatnya secara
tidak sadar, perempuan menjadikan diri mereka semacam obyek pandang.
104
Pro Life adalah orang-orang yang anti terhadap aborsi, yang argumentasinya rata-rata didasarkan pada doktrin agama. Beberapa dari mereka anti aborsi untuk alasan apapun, sementara
ada juga yang lebih lunak dan sepakat terhadap aborsi jika alasannya adalah kesehatan. Pro Choice adalah orang-orang yang beargumentasi bahwa tubuh perempuan adalah miliknya sendiri,
sehingga perempuan memiliki hak untuk memilih apakah ia akan melakukan aborsi atau tidak.
93
perempuan juga tidak bisa memilih untuk tidak hamil atau menggugurkan kandungannya. Dengan konsep kodrat ini pula perempuan-perempuan yang
memilih untuk tidak hamil atau memang secara biologis tidak bisa hamil, dianggap sebagai perempuan tidak sempurna. Atau ketika ia menggugurkan
kandungannya, ia akan dianggap sebagai perempuan tidak bermoral. Lewat seri ini, Diah ingin bercerita tentang bagaimana perempuan melihat
perempuan sendiri. Sebagai sang operator, Diah memang benar-benar memaklumi bagaimana menjadi hamil dan harus „terjebak‟ pada ritme sibuk orang Jakarta.
Pada saat memotret seri ini, Diah sendiri sedang hamil sembilan bulan, dan kedudukannya sebagai perempuan urban Jakarta yang amat sibuk, namun harus
tetap menjalakan „kodratnya‟ sebagai perempuan, membuatnya amat paham bagaimana memotret para perempuan hamil ini.
Lewat gaya serta pose yang ditampilkan oleh para perempuan itu, Diah ingin bicara tentang bagaimana kehamilan harus ditanggapi dengan sangat positif.
Tanggapan yang sangat positif pada kehamilan itu ditunjukkan dari wajah-wajah ceria, mode pakaian serta tata rias wajah dan rambut yang
funky
, elegan, serta berkelas. Para perempuan dalam seri ini terlihat sangat percaya diri dan seperti
menyatakan bahwa “ya kami bahagia dan bangga dengan kehamilan ini”. Apa yang dilihat oleh khalayak pengunjung pameran seri
Nine Months
ini adalah sebuah realitas tentang kehamilan yang dikonstruk oleh Diah serta
penyelenggara pameran yang memiliki kepentingan tertentu. Mata para pengunjung pameran yang memang telah memiliki mata „laki-laki‟ itu makin
dikuatkan lagi persepsinya tentang bagaimana menghadapi kehamilan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Dari pengamatan saya selama pameran
Nine Months
yang dihelat selama seminggu, pengunjung pameran yang
–rata-rata- adalah masyarakat Jakarta kelas menengah tampak cukup antusias mengapresiasi pameran ini. Mereka datang
secara berkelompok, atau datang sendiri-sendiri. Mereka datang dengan sengaja untuk melihat pameran itu atau kebetulan sedang lewat di selasar tempat foto-foto
itu dipamerkan. Mereka tersenyum melihat foto perempuan-perempuan berperut buncit itu.
Beberapa tampak sedikit kaget lalu berdecak saat melihat beberapa pose yang tampak dengan vulgar memperlihatkan perut-perut buncit itu. Ada beberapa
pengunjung perempuan yang sempat kasak-kusuk bahwa mereka pasti akan malu dengan tubuh yang berubah seperti itu. Tetapi ada juga pengunjung laki-laki yang
berkasak-kusuk bahwa ketika perempuan sedang hamil perempuan tampak begitu cantik dan seksi.
105
Kasak-kasuk yang terjadi diantara para pengunjung ini adalah afirmasi bahwa ketika spektator penonton atau penikmat foto membaca sebuah foto,
„pose‟ dari pembaca foto itu sendiri juga amat berperan. Seperti yang dikatakan
105
Selama pameran Nine Months di Plaza Semanggi pada 20-27 April 2007, saya amati mal Semanggi yang buka pada pukul 10.00 WIB sudah dipadati tidak hanya oleh pengunjung mal,
tetapi juga oleh para pekerja yang ada di Plaza itu. Bukan hanya oleh pekerja yang bekerja pada toko-toko di dalam mal itu, tetapi juga pekerja yang perusahaannya berkantor di gedung Plaza
Semanggi. Para pengunjung yang melewati deretan foto-foto itu pun mau tidak mau memalingkan mata mereka. Banyak yang tersenyum sendiri dan seperti tampak malu-malu saat melihat seri foto
Nine Months.
Apalagi pada sejumlah foto yang secara vulgar memperlihatkan perut-perut membuncit itu. Banyak juga yang berbisik-bisik diantara mereka. Bahkan ada juga yang berkasak
kusuk “Aurat itu, aurat”. Beberapa kawan yang kebetulan datang bersama saya pada saat
pameran berlangsung sempat berkata, “Bagus ya, akhirnya perempuan hamil juga bisa tampil
keren begini”. Sementara salah seorang teman lelaki mengatakan, “Buset itu perut gede banget ya, gitu ya kalau perempuan hamil”. Ada juga teman perempuan lain berkata,”Pada pe-de banget ya,
padahal kan perutnya ngeri banget gitu. Kalau gue ntar hamil, kayaknya gue gak bakal pe-de deh, pose begini
’. Dan ada juga yang berkomentar dengan singkat, “Ih jelek banget ini perutnya”. Namun ada juga sejumlah lelaki yang malah melihat para perempuan ini makin seksi dan
menawan saja ketika hamil. “Entah kenapa, kalau perempuan hamil itu auranya keluar. Makin
seksi dan menarik aja menurut gue” kata seorang kawan lelaki.
95
Barthes, bahwa „pose‟ ini artinya bukan hanya bagaimana objek foto manusia
bertingkah laku di depan kamera.
106
„Pose‟ ini berarti bagaimana keberpihakan si pembaca terhadap sesuatu, atau bagaimana latar belakang pengetahuan si
pembaca foto. Hal-hal tersebut tentu amat berpengaruh terhadap bagaimana persepsi si spektator, terhadap foto yang sedang ia baca.
Kasak-kusuk yang terjadi diantara pengunjung itu adalah salah satu dampak dari realitas visual yang ditampilkan di depan mata mereka. Kasak-kusuk
itu adalah gambaran dari perspektif maskulin yang begitu kental mengkonstruk. Khalayak telah menentukan „pose‟ mereka yang amat patriarkis itu. Karena secara
umum yang menjadi sumber kasak-kusuk adalah tubuh-tubuh perempuan hamil itu. Perut-perut yang menggelembung buncit serta gurat-gurat di sekitar perut itu.
Jarang sekali hal seperti itu dipamerkan secara sukacita pada ruang publik. Hal- hal natural yang selalu berubah itu justru ditutupi secara sukacita pula.
Khalayak pengunjung dengan „pose‟ melihat mereka itu telah menjadi
representasi masyarakat. Mereka kemudian menerima foto-foto itu sebagai sebuah kode visual yang harus diterima. Masyarakat yang hidup dan telah dididik dalam
sebuah kebudayaan visual, melihat foto-foto dalam pameran itu sebagai sebuah realitas tentang kehamilan.
Foto-foto ini menjadi semacam bahasa yang mampu menjadi jembatan komunikasi.
Ia juga telah menjadi semacam „tata bahasa‟ serta semacam etika untuk melihat
107
, sehingga khalayak memiliki panduan untuk memandang dan menganggap mana yang benar, serta mengafirmasi sebuah imaji sebagai realitas
keseharian.
106
Lihat Barthes, Camera Lucida, hal 78.
107
Lihat Sontag, On Photography, hal 3.
96
B. MENGARTIKULASI TUBUH PEREMPUAN
Setelah mendapat gambaran tentang bagaimana
Nine Months
telah dikomodifikasi serta menjadi pembentuk realitas yang maskulin, maka dalam sub
bab ini akan dibicarakan tentang foto-foto dalam seri ini yang begitu menggelisahkan saya.
1. Tubuh yang Paradoks