Landasan Teori

a. Kohesi Gramatikal

Unsur-unsur kohesi gramatikal terdiri dari pengacuan (reference), penyulihan (substitution), pelesapan (ellipsis), dan perangkaian (conjunction). Berikut ini adalah penjelasan mengenai kohesi gramatikal tersebut.

1) Pengacuan atau Penunjukan (Reference) Reference is the specific nature of the information that is signalled for retrieval (pengacuan adalah sifat spesifik dari informasi yang diisyaratkan untuk penyebutan kembali) (Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan, 1976:31). Pengacuan merupakan bagian kohesi gramatikal yang berkaitan dengan penggunaan kata atau kelompok kata untuk menunjuk kata atau kelompok kata atau satuan gramatikal lainnya (Ramlan, dalam Mulyana, 2005:27). Hal serupa 1) Pengacuan atau Penunjukan (Reference) Reference is the specific nature of the information that is signalled for retrieval (pengacuan adalah sifat spesifik dari informasi yang diisyaratkan untuk penyebutan kembali) (Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan, 1976:31). Pengacuan merupakan bagian kohesi gramatikal yang berkaitan dengan penggunaan kata atau kelompok kata untuk menunjuk kata atau kelompok kata atau satuan gramatikal lainnya (Ramlan, dalam Mulyana, 2005:27). Hal serupa

Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan (1976:33) membagi referensi menjadi dua yaitu, a) referensi eksofora, dan b) referensi endofora, berdasarkan arah acuannya, referensi endofora dibedakan menjadi: a) referensi anafora, dan

b) referensi katafora. Abdul Rani, Bustanul Arifin, Martutik mengatakan sebagai berikut. Referensi eksofora adalah pengacuan terhadap anteseden yang

terdapat di luar bahasa (ekstratekstual) seperti manusia, hewan, alam sekitar pada umumnya, atau acuan kegiatan. Sebaliknya, referensi endofora adalah pengacuan terhadap anteseden yang terdapat di dalam teks bahasa (intratekstual), dengan menggunakan pronomina, baik pronomina persona, pronomina demonstratif dan pronomina komparatif. (2006:98-99).

Referensi endofora yaitu referensi kepada sesuatu (anteseden) yang berada di dalam teks. Jika yang diacu (anteseden) lebih dahulu dituturkan atau pada kalimat yang lebih dahulu sebelum pronomina dinamakan anafora, sedangkan anteseden yang ditemukan sesudah pronomina dinamakan katafora (2006:99-100).

Pronomina persona (kata ganti orang) yang berfungsi sebagai alat kohesi adalah persona pertama, persona kedua, dan persona ketiga, baik tunggal maupun jamak, baik anafora maupun katafora (Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik, 2006:100). Berikut ini bagan pembagian pronomina persona (Sumarlam, 2003:25).

Bagan 1 Pembagian Pronomina Persona

Morfem bebas: aku, saya, hamba

Tunggal

Morfem terikat lekat kiri: ku- Morfem terikat lekat kanan: –ku

Jamak

Morfem bebas: kami, kita Morfem bebas: kamu, anda

Persona

Tunggal

Morfem terikat lekat kiri: kau- Morfem terikat lekat kanan: –mu

Jamak

Morfem bebas: kamu semua, kalian Morfem bebas: ia, dia, beliau

Tunggal

Morfem terikat lekat kiri: di- Morfem terikat lekat kanan: –nya

Jamak

Morfem bebas: mereka, mereka semua Pengacuan demonstratif (kata ganti petunjuk) dapat dibedakan menjadi pronomina demonstratif waktu (temporal) dan demonstratif tempat (lokasional). Pronomina demonstratif waktu ada yang mengacu pada waktu kini (seperti kini, saat ini, dan sekarang), lampau (seperti kemarin, dulu, dan yang lalu ), akan datang (seperti besok, …depan, dan …yang akan datang), dan waktu netral (seperti pagi, siang, sore, malam, dan pukul…). Sementara itu, pronomina demonstratif tempat ada yang mengacu pada tempat atau lokasi yang dekat dengan pembicara (sini, ini), agak jauh dengan pembicara (situ, itu), jauh dengan pembicara (sana), dan menunjuk tempat secara eksplisit (seperti

Pengacuan komparatif (perbandingan) memiliki sifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk atau wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan sebagainya. Kata-kata yang biasa digunakan untuk membandingkan, misalnya seperti, bagai, bagaikan, laksana, sama dengan, tidak beda dengan, persis seperti, dan persis sama dengan (Sumarlam, 2008:25-26).

2) Penyulihan atau Penggantian (Substitution) Substitutions is a relation between from linguistic items, such as words or phrase „substitusi adalah hubungan antara bagian-bagian lingusitik, seperti kata atau frasa ‟ (Halliday, M.A.K. & Ruqaiya Hasan, 1976:89). Penyulihan adalah penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebut) dengan satuan lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda, atau memperjelas struktur tertentu (Sumarlam, 2008:28). Mulyana (2005:134) menyatakan bahwa substitusi merupakan proses atau hasil penggantian unsur oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar. Substitusi merupakan penggantian suatu ekspresi di dalam teks dengan ekspresi lain termasuk pronomina. Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik (2006:105) mengatakan bahwa substitusi mempunyai referensi yang merupakan hubungan semantik. Substitusi mempunyai referen setelah ditautkan dengan unsur yang diacunya. Secara umum, penggantian ini dapat berupa kata ganti orang, kata ganti tempat, dan kata ganti sesuatu hal.

Menurut Sumarlam (2008:28-30) dilihat dari segi lingualnya, substitusi dapat dibedakan menjadi substitusi nominal (kata benda), verbal (kata kerja), frasal, dan klausal.

a) Substitusi nominal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori nominal (kata benda) dengan satuan lingual yang berkategori nomina, misalnya kata derajat, tingkat diganti dengan kata pangkat, kata gelar diganti dengan kata titel.

b) Substitusi verbal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori verba (kata kerja) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori verba, misalnya kata mengarang digantikan dengan kata berkarya, kata berusaha digantikan dengan kata berikhtiar, dan sebagainya.

c) Substitusi frasal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa kata atau frasa dengan satuan lainnya yang berupa frasa, misalnya kata hari minggu digantikan dengan kata hari libur, dan sebagainya.

d) Substitusi klausal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa klausa atau kalimat dengan satuan lingual lainnya yang berupa kata atau frasa.

Substitusi mempunyai fungsi lain yang sangat penting, selain berfungsi sebagai aspek pendukung kepaduan wacana. Dalam hal ini, penggantian satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana itu juga berfungsi menghadirkan variasi bentuk, menciptakan dinamisasi narasi, menghilangkan kemonotonan, dan memperoleh unsur pembeda (Sumarlam, 2008:30).

3) Pelesapan atau Penghilangan (Ellipsis) Ellipsis referring specifically to sentences, clauses, etc whose structure is such as to presuppose some preceding item, which then serves as the source of the missing information (Elipsis mengacu secara spesifik pada

kalimat, klausa, dan sebagainya yang strukturnya untuk mengisyaratkan bagian yang sebelumnya, dan kemudian menjadi sumber dari infomasi yang hilang) (Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan,1976:143). Elipsis adalah penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya (Sumarlam, 2008:30). Mulyana (2005:134) berpendapat bahwa elipsis merupakan penggantian unsur kosong (zero), yaitu suatu unsur yang sebenarnya ada tetapi sengaja dihilangkan atau disembunyikan. Dalam analisis wacana, unsur (konstituen) yang dilesapkan itu biasanya ditandai dengan konstituen nol atau zero (atau dengan lambang Ø) pada tempat terjadinya pelesapan unsur tersebut.

Harimurti Kridalaksana (2000:50), membagi elipsis menjadi tiga yaitu:

a) elipsis nominal, unsur yang dilesapkan berupa nominal (kata benda),

b) elipsis verbal, unsur yang dilesapkan berupa verbal (kata kerja),

c) elipsis klausa, unsur yang dilesapkan berupa klausa. Penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya memiliki fungsi. Adapun fungsi pelesapan dalam wacana antara lain untuk: a) menghasilkan kalimat yang efektif (untuk efektivitas kalimat); b) efisiensi, yaitu untuk mencapai nilai ekonomis dalam pemakaian bahasa; c) mencapai aspek kepaduan wacana; d) bagi pembaca atau pendengar berfungsi untuk mengaktifkan pikirannya terhadap hal-hal yang tidak diungkapkan dalam satuan bahasa; dan e) untuk kepraktisan berbahasa terutama dalam berkomunikasi secara lisan (Sumarlam, 2008:30).

4) Perangkaian atau Konjungsi (Conjunction) Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan (1976:226) menyebutkan sebagai berikut. Conjungtive elements are cohesive not themselves but indirectly, by

virtue of their specific meanings, they are not primarily device for reaching out into preceding (or following) text, but they express certain meanings wich presuppose the presence of other components in the discourse.

„Elemen-elemen konjungtif tidak kohesif pada diri mereka sendiri tetapi secara tidak langsung, berdasarkan makna khusus mereka, mereka bukan semata-mata alat untuk mencapai ke arah teks sebelumnya (atau yang mengikuti), tetapi mereka menyatakan makna tertentu yang

mengisyaratkan kehadiran komponen lain dalam wacana‟.

Konjungsi adalah menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana (Sumarlam, 2008:32) yang dirangkaikan dapat berupa satuan lingual kata, frasa, klausa, kalimat, dan dapat juga berupa unsur yang lebih besar dari itu, misalnya alinea dengan pemarkah lanjutan. Harimurti Kridalaksana (2001:117) menyatakan bahwa konjungsi adalah partikel yang dipergunakan untuk menggabungkan kata dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, paragraf dengan paragraf. Simpulannya, konjungsi merupakan sarana perangkaian unsur-unsur kewacanaan.

Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik (2006:110-129), mengklasifikasikan peranti konjungsi berdasarkan jenis hubungan yang diciptakan, yaitu sebagai berikut.

a. Peranti urutan waktu, yaitu proposisi yang menunjukkan suatu tahapan seperti awal, pelaksanaan, dan penyelesaian dengan menggunakan urutan a. Peranti urutan waktu, yaitu proposisi yang menunjukkan suatu tahapan seperti awal, pelaksanaan, dan penyelesaian dengan menggunakan urutan

b. Peranti pilihan, yaitu untuk menyatakan dua proposisi yang berurutan yang menunjukkan hubungan pilihan. Penanda yang merupakan peranti pilihan adalah kata atau.

c. Peranti alahan, yaitu untuk menyatakan sebuah peristiwa atau hal yang biasa menyebabkan peristiwa lain yang ternyata tidak berlaku seperti biasanya. Penanda yang merupakan peranti alahan meliputi: meksi(pun) demikian, meski(pun) begitu, kedati(pun) demikian, Kedati(pun) begitu, biarpun demikian, dan biarpun begitu.

d. Peranti parafrase, yaitu memperjelas suatu ungkapan dengan suatu ungkapan lain yang lebih dimengerti. Penanda yang merupakan peranti parafrase meliputi: dengan kata lain dan dengan perkataan lain.

e. Peranti ketidakserasian, untuk menunjukkan ketidakserasian antara proposisi satu dengan propisisi yang lainnya. Penanda yang merupakan peranti ketidakserasian meliputi: padahal dan dalam kenyataanya.

f. Peranti serasian, untuk menunjukkan keserasian antara proposisi satu dengan proposisi yang lainnya. Penanda yang merupakan peranti serasian adalah frasa demikian juga.

g. Peranti tambahan (aditif), yaitu untuk menghubungkan bagian yang bersifat menambahkan informasi dan pada umumnya digunakan untuk merangkaikan dua proposisi atau lebih. Penanda yang merupakan peranti tambahan meliputi: pula, juga, selanjutnya, dan, di samping itu, tambahan lagi, dan selain itu.

h. Peranti pertentangan (kontras), yaitu untuk menyatakan adanya hubungan pertentangan antardua proposisi yang saling berkebalikan. Penanda yang merupakan peranti pertentangan meliputi: (akan) tetapi, sebaliknya, namun , dan sebagainya.

i. Peranti perbandingan (komparatif), yaitu untuk menunjukkan perbedaan atau persamaan antara bagian satu dengan bagian yang lainnya. Penanda yang merupakan peranti perbandingan meliputi: sama halnya, berbeda dengan itu, seperti, dalam hal seperti itu, lebih dari itu, serupa dengan itu, dan sejalan dengan itu.

j. Peranti sebab-akibat, yaitu untuk menunjukkan hubungan sebab akibat dari suatu kondisi tertentu yang merupakan akibat atau sebaliknya. Penanda yang merupakan peranti sebab-akibat meliputi: akibatnya, konsekuensinya, dengan demikian, oleh karena itu, dan sebab itu.

k. Peranti harapan (optatif), yaitu untuk menunjukkan suatu harapan atau doa. Penanda yang merupakan peranti harapan meliputi: mudah-mudahan, semoga , dan diharapkan.

l. Peranti ringkasan dan simpulan, yaitu untuk mengantarkan ringkasan dari bagian yang berisi uraian. Penanda yang merupakan peranti ringkasan dan simpulan meliputi: singkatnya, pendeknya, pada umumnya, jadi, kesimpulannya, dengan ringkasnya , dan sebagainya.

m. Peranti misalan atau contohan, yaitu untuk menghubungkan bagian satu dengan bagian lain yang menunjukkan contohan atau misalan. Penanda yang merupakan peranti misalan atau contohan meliputi: contohnya, misalnya, umpamanya , dan sebagainya.

n. Peranti keragu-raguan (dubatif), yaitu untuk mengantarkan bagian yang masih menimbulkan keraguan. Penanda yang merupakan peranti keragu- raguan meliputi: jangan-jangan, barangkali, mungkin, kemungkinan besar , dan sebagainya.

o. Peranti konsesi, yaitu untuk menyatakan suatu pengakuan terhadap suatu peristiwa atau hal yang disadari oleh penulis. Penanda yang merupakan peranti konsesi meliputi: memang dan tentu saja.

p. Peranti tegasan, yaitu untuk menyatakan suatu penegasan. Penanda yang

merupakan peranti tegasan meliputi: bahkan dan apalagi. q. Peranti jelasan, yaitu untuk memberikan penjelasan yang yang berupa proposisi lanjutan. Penanda yang merupakan peranti jelasan meliputi: yang dimaksud, artinya, dan sebagainya.

b. Kohesi Leksikal

Menurut Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan (1976:318) “Lexical

cohesion is cohesion that is established through the structure of the lexis. Lexical cohesion embraces two distinct trough related aspects which we referred to as reiteration and collocation ” (Kohesi leksikal adalah kohesi yang terbangun atas struktur kosa kata. Kohesi leksikal mencakup dua aspek yang terpisah namun berkaitan yang disebut sebagai pengulangan dan sanding kata).

Sumarlam (2008:35) dan Mulyana (2005: 134) membagi kohesi leksikal menjadi repetisi (pengulangan), sinonimi (padan kata), antonimi (lawan kata), kolokasi (sanding kata), hiponimi (hubungan atas-bawah), dan ekuivalensi (kesepadanan).

1) Pengulangan/ repetisi (reiteration) Halliday, M.A.K. & Ruqaiya Hasan (1976:318-319) menyebutkan “Reiteration is the repetition of lexical item, or the occurrence of a synonym of

some kind, in the context of reference; that is, where the two occurrences have some referent ” (Reiterasi adalah repetisi dari bagian leksikal, atau munculnya sinonim dalam beberapa jenis, dalam konteks dari referensi; yaitu, di mana dua kemunculan mempunyai acuan yang sama).

Ada berbagai macam tipe repetisi, seperti yang dikemukan Halliday,

M.A.K. & Ruqaiya Hasan (1976:279) “any instance of reiteration may be (a) the same word, (b) a synonym or near-synonym, (c) a superordinate or (d) a general word ” (beberapa reiterasi antara lain (a) kata yang sama, (b) sinonim atau sinonim dekat, (c) superordinat, dan (d) kata umum).

Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik (2006:130-132) mengatakan bahwa repetisi atau ulangan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan hubungan kohesif antarkalimat. Hubungan tersebut dibentuk dengan mengulang sebagian kalimat. Macam-macam ulangan atau repetisi berdasarkan data pemakaian bahasa Indonesia ditemukan sebagai berikut.

a) Ulangan penuh, yaitu mengulang satu fungsi dalam kalimat secara penuh, tanpa pengurangan dan perubahan bentuk. Contoh:

(66) Berfilsafat didorong untuk mngetahui apa yang telah kita tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tidak terbatas ini.

Pada contoh (66) kata berfilsafat diulang secara penuh pada kalimat berikutnya. Kata berfilsafat pada contoh di atas menduduki fungsi subjek kalimat. Kata itu di ulang pada kalimat berikutnya tanpa perubahan. Kata Pada contoh (66) kata berfilsafat diulang secara penuh pada kalimat berikutnya. Kata berfilsafat pada contoh di atas menduduki fungsi subjek kalimat. Kata itu di ulang pada kalimat berikutnya tanpa perubahan. Kata

(67) Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang belum kita tahu.

Kata filsafat pada contoh (67) termasuk kata benda. Kata itu diulang dengan konstruksi berfilsafat. Kata berfilsafat termasuk kata kerja yang mengalami nominalisasi sebagai subjek. Contoh itu termasuk pengulangan dengan bentuk kata lain. (Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik, 2006:131).

c) Ulangan dengan penggantian, sama dengan penggunaan kata ganti (Substitusi). Contoh:

(70) Seseorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dan kesemestaan galaksi.

Kata ganti dia contoh (70) merupakan perulangann sebagian proposisi. Bagian yang diulang dengan kata dia adalah „seseorang yang berfilsafat‟ atau „seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang‟.

(Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik, 2006:132).

d) Ulangan dengan hiponim, pengulangan yang terjadi pada kata subordinat. Contoh:

(72) Sering kita melihat ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir memandang rendah kepada ahli ilmu sosial. Lulusan IPA merasa lebih tinggi daripada lulusan IPS.

Pada contoh (72) ilmuwan merupakan superordinat, sedangkan ahli fisika nuklir sebagai subordinat. Pengulangan itu menunjuk adanya keterkaitan antara bagian yang mengandung unsur superordinat dengan bagian yang mengandung unsur subordinat (Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik, 2006:133).

2) Sinonimi (Padan Kata) Sinonimi adalah nama lain untuk benda atau hal yang sama, atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain (Abdul Chaer, 1994:85). Hubungan dua kata atau lebih yang pada dasarnya mempunyai makna yang sama disebut sinonim. Sinonim berfungsi menjalin hubungan makna yang sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana. Contohnya kata bayaran bersinonim dengan kata gaji, maka kata gaji itupun bersinonim dengan kata bayaran.

3) Antonimi (Lawan Kata) Sumarlam (2008:40) mengatakan bahwa antonimi merupakan nama lain untuk benda atau hal lain, atau satuan lingual yang maknanya berlawanan atau beroposisi dengan satuan lingual lain. Berdasarkan sifatnya, antonimi atau oposisi dapat dibedakan menjadi lima macam. Kelima oposisi itu yaitu a) oposisi mutlak (pertentangan makna secara mutlak), misalnya oposisi antara kata mati dengan kata hidup, b) oposisi relatif atau gradasi (tidak bersifat mutlak dan terdapat tingkatan makna pada kata-kata tersebut), misalnya oposisi antara kata besar dengan kata kecil, c) oposisi hubungan atau relasional (memperlihatkan kesimetrisan dalam makna anggota pasangannya atau bersifat melengkapi), misalnya oposisi antara kata suami dengan kata istri, d) oposisi hierarkial (menyatakan deret jenjang atau tingkatan, dan biasanya berupa kata-kata yang menunjuk pada satuan ukuran, hitungan, penanggalan, dan lain-lain), e) oposisi majemuk (terjadi pada beberapa kata yang biasanya lebih dari dua), misalnya oposisi antara kata berdiri dengan kata duduk, jongkok, tidur, dan bersila.

4) Kolokasi (Sanding Kata) Halliday, M.A.K. & Ruqaiya Hasan (1976:287-288) mengatakan sebagai berikut. Collocation should be borne in mind that is simply a cover term for the

cohesion that result from the co-occurrence of lexical items that are in some or way other typically associated with one another because they tend occur in similar environment; the specific kinds of co-occurrence relations are variable and complex.

„Harus diingat bahwa sanding kata hanyalah istilah yang mencakup untuk kohesi yang dihasilkan dari kemunculan item-item leksikal yang dalam beberapa cara atau secara tipikal berhubungan satu sama lain, karena mereka cenderung muncul pada lingkungan yang sama; jenis khusus

hubungan itu bersifat tidak tetap dan komplek‟.

Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik (2006:130-132) mengatakan bahwa kolokasi adalah suatu hal yang berdekatan atau berdampingan dengan yang lain biasanya diasosiasikan dengan sebagai suatu kesatuan.

Contoh: (73) Sifat terbuka atau demokratis dari Pancasila sebagai ideologi pertama-tama dapat kita lihat dari proses kelahirannya. Sebagaimana diketahui rumusan Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi dan konstitusi bersama lahir melalui proses musyawarah mufakat yang besuasana terbuka dan demokratis.

Bagi bangsa Indonesia, Pancasila dan UUD 1945 merupakan dua hal yang selalu berdampingan. Dalam pelbagai pembahasan di buku-buku, pembahasan Pancasila tentu tidak dapat dipisahkan dengan pembahasan UUD 1945 . Kedua hal itu merupakan kolokasi. Pada contoh (73), pengulangan diikuti dengan penyajian kata yang menunjukkan kolokasi. Jadi, kata UUD 1945 pada contoh di atas tidak menimbulkan suatu penyimpangan proposisi karena keduanya menunjukkan kolokasi (Abdul Rani, Bustanul Arifin, Martutik, dan 2006:133-134).

Harimurti Kridalaksana (2001:113-114) mendefinisikan kolokasi sebagai asosiasi yang tetap antara kata dengan kata yang lain, yang berdampingan dalam kalimat, misalnya: antara kata buku dan tebal dalam Buku tebal ini mahal, dan antara keras dan kepala dalam Kami sulit meyakinkan orang keras kepala itu.

Kolokasi adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung berdampingan (Sumarlam, 2008:44). Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam satuan domain atau jaringan tertentu. Contohnya, dalam jaringan pendidikan akan digunakan kata-kata yang berkaitan dengan masalah pendidikan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya, dalam jaringan pasar (usaha) akan digunakan kata-kata yang berkaitan dengan permasalahan pasar partisipan yang berperan di dalam kegiatan tersebut. Kata- kata seperti guru, murid, buku, sekolah, pelajaran, dan alat tulis, merupakan contoh kata-kata yang cenderung dipakai secara berdampingan dalam domain sekolah atau jaringan pendidikan, sedangkan kata-kata yang sering dipakai dalam jaringan pertanian adalah kata-kata lahan, sawah, petani, benih, padi, dan panen.

5) Hiponimi (Hubungan Atas-Bawah) Hiponimi adalah satuan bahasa (kata, frasa, kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual lain (Sumarlam, 2008: 45). Unsur atau satuan lingual yang berada di tingkat bawah (makan spesifik) disebut hiponim, sedangkan unsur atau satuan berhiponim itu disebut hipernim atau superordinat.

Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada bagan hubungan antara hipernimi dan hiponim dalam hiponimi berikut ini:

Bagan 2 Contoh Hubungan Hiponimi

6) Ekuivalensi (Kesepadanan) Sumarlam (2008:46) menjelaskan bahwa ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satual lingual yang lain. Ekuivalensi merupakan pengembangan dari bentuk dasar sebagai akibat adanya afiksasi yang masih mempunyai persamaan bentuk dasarnya. Dalam hal ini, sejumlah kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama menunjukkan adanya hubungan kesepadanan. Contohnya hubungan makna antara kata membeli , dibeli, membelikan, dibelikan, dan pembeli, semuanya dibentuk dari bentuk asal yang sama yaitu beli. Demikian pula kata belajar, mengajar, pelajar , pengajar, dan pelajaran juga merupakan hubungan ekuivalensi karena dibentuk dari bentuk asal yang sama yaitu kata ajar.

6. Feature

Feature adalah cerita atau karangan khas yang berpijak pada fakta dan data yang diperoleh melalui proses jurnalistik (Haris Sumadiria, 2006:150). Menurut Haris Sumadiria (2006:156-157) feature dalam media massa memiliki kedudukan yang sangat penting posisi dan eksistensinya tak tergantikan oleh

UNGGAS

Itik

Ayam

Bebek

produk jurnalistik yang lain. Bagi surat kabar yang dikelola secara profesional, kedudukan feature sebagai salah satu bentuk karya jurnalistik sastra, tidak hanya untuk memenuhi aspek kesemestaan media massa semata. Lebih dari itu, feature sekaligus juga diharapkan dapat meningkatkan citra media di mata khalayak.

Dalam Haris Sumadiria (2006:157) disebutkan fungsi feature mencakup lima hal, yaitu:

a. sebagai pelengkap sekaligus variasi sajian berita langsung (straight news),

b. pemberi informasi tentang suatu situasi, keadaan, atau peristiwa yang terjadi,

c. penghibur atau sarana rekreasi dan pengembangan imajinasi yang menyenangkan,

d. wahana pemberi nilai dan makna tehadap suatu keadaan atau peristiwa,

e. sarana ekspresi yang paling efektif dalam mempengaruhi khalayak.

Menurut Wolseley dan Campbell dalam Exploring Journalism (Assegaff 1983:56, dalam Haris Sumadiria, 2006:161) disebutkan paling tidak terdapat enam jenis feature yang kita kenali sehari-hari, yaitu:

a. feature minat insani (human interest feature) adalah jenis berita kisah yang mengangkat kisah manusia biasa dalam peristiwa luar biasa. Atau sebaliknya, kisah manusia besar dalam peristiwa biasa, dalam lingkungan biasa (di tengah masyarakat awam), dan sebagainya,

b. feature sejarah (hystorical feature) yakni feature yang mengangkat peristiwa masa lalu, tetapi memiliki makna politik, sosial dan budaya yang selalu relevan dengan masa-masa sekarang,

c. feature biografi atau tentang riwayat perjalanan hidup seorang tokoh (biografical feature) tulisan yang mengangkat riwayat hidup atau kepribadian c. feature biografi atau tentang riwayat perjalanan hidup seorang tokoh (biografical feature) tulisan yang mengangkat riwayat hidup atau kepribadian

d. feature perjalanan (travelogue feature) mengangkat kisah perjalanan seseorang karena sesuatu yang menarik dan luar biasa, atau penuh petualangan yang mendebarkan. Sebuah perjalanan yang bernilai informasi, ilmu, dan pengetahuan,

e. feature yang mengajarkan suatu keahlian atau petunjuk praktis (how to do feature ) berisi petunjuk untuk mencapai sesuatu atau proses terjadinya sesuatu, dalam feature ini bisa pula feature tentang masakan, tip-tip memelihara kesehatan dan lain-lain,

f. feature ilmiah (scientific feature) biasanya berisi tentang sesuatu penemuan baru dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, atau kisah suatu penelitian.