2.2. Penyakit Paru Obstruktif Kronik 2.2.1. Definisi PPOK
Penggunaan istilah Penyakit Paru Obstruktif Kronik sesungguhnya kurang tepat, karena PPOK bukanlah suatu penyakit, melainkan sekumpulan penyakit Seaton,
2000. PPOK adalah istilah untuk mendeskripsikan berbagai macam penyakit paru kronik yang ditandai obstruksi aliran udara sebagai ciri khasnya, dengan gejala
utama sesak nafas, batuk, produksi sputum, dan mengi yang berkembang progresif Harding et all, 2004. GOLD 2012 mendefinisikan PPOK sebagai
penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, biasanya progresif, dan berhubungan dengan abnormalitas respon
inflamasi paru-paru terhadap partikel atau gas berbahaya.
Meskipun PPOK sering dibagi menjadi bronkitis kronis dan emfisema di masa lalu, sekarang diakui bahwa sebagian besar pasien memiliki unsur-unsur dari
kedua kondisi tersebut. Berikut dijelaskan secara ringkas mengenai kedua unsur dalam PPOK tersebut.
1. Bronkitis Kronis : batuk dengan produksi sputum yang berlangsung
setidaknya 3 bulan dalam setahun selama 2 tahun berturut-turut, terkait dengan hipertrofi kelenjar lendir, peningkatan jumlah sel goblet pada
sentral saluran udara dan fibrosis peribronkiolus di saluran udara perifer.
2. Emfisema : pembesaran dan kerusakan dinding alveolus tanpa fibrosis
yang siknifikan. Proses perubahan ini tidak sepenuhnya dipahami dan kemungkinan bersifat multifaktorial Ali et all, 2010.
2.2.2. Epidemiologi PPOK
Sebagai penyebab kematian ke-4 di dunia WHO, 2000, data prevalensi PPOK pada populasi dewasa saat ini bervariasi pada setiap negara di seluruh dunia.
Tahun 2000, prevalensi PPOK pada individu berusia di atas 45 tahun di Amerika dan Eropa berkisar 5-9. Data penelitian lain menunjukkan prevalensi PPOK
bervariasi dari 7,8-32,1 di beberapa kota Amerika Latin. Prevalensi PPOK di
Universitas Sumatra Utara
Asia Pasifik rata-rata 6,3, yang terendah 3,5 di Hongkong dan Singapura, dan tertinggi 6,7 di Vietnam.
Untuk Indonesia, penelitian Regional COPD Working Group 2003 di 12 negara Asia Pasifik menunjukkan estimasi prevalensi PPOK di Indonesia sebesar 5,6.
Prevalensi PPOK diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia, pola penyakit infeksi yang menurun
sedangkan penyakit degeneratif meningkat, meningkatnya kebiasaan merokok, dan polusi udara Riskesdas, 2010.
Dari keseluruhan penyakit yang menjadi penyebab kematian dominan, PPOK merupakan satu-satunya penyakit dengan laju
mortalitas yang melejit Fishman, 2008. WHO 2010 meramalkan, PPOK yang
saat ini merupakan penyebab kematian kelima di seluruh dunia diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi penyebab kematian ketiga di seluruh dunia.
2.2.3. Faktor Risiko PPOK
PPOK terjadi sebagai hasil dari akumulasi paparan berbagai faktor risiko selama periode waktu tertentu GOLD, 2013. Faktor risiko PPOK terdiri dari:
Merokok Menurut Bourke 2003, PPOK disebabkan terutama oleh merokok dan
prevalensi serta mortalitasnya mencerminkan riwayat merokok dalam populasi. Dalam penelitian di Amerika Serikat, mortalitas pada penderita
PPOK yang pernah merokok rata-rata 24 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang bukan perokok Thun, 2013. Merokok mencakup 80 sampai
90 dari risiko PPOK dan karena itu dianggap penyebab utamanya. Perokok pasif juga mengalami peningkatan risiko Laurent dan Saphiro, 2006.
Polusi Udara Partikel-partikel berbahaya di udara dapat memicu respon inflamasi pada paru
dan berkorelasi langsung dengan lama paparan. Pencemaran lingkungan kini diakui beperan dan persentasenya cukup signifikan dari keseluruhan kasus
PPOK di seluruh dunia Ali et all, 2010. Partikel-partikel dan gas yang
Universitas Sumatra Utara
dimaksud mencakup asap rokok, debu, polutan dalam ruangan Wilkins et all, 2007, asap dari pembakaran tidak sempurna, dan abu Blackler, 2007.
Kerusakan jaringan akibat polusi udara yang terinhalasi bergantung pada derajat paparan dalam jangka waktu tertentu, komposisi substansi yang
terinhalasi, dan kemampuan penjamu host untuk mentoleransi. Sejauh ini polutan yang paling berpengaruh adalah asap rokok, menjadikan perokok
pasif juga mengalami peningkatan risiko Wilkins et all, 2007. Usia
Saluran nafas perifer pada orang bukan perokok berusia lanjut juga dapat menunjukkan perubahan patologi yang hampir sama dengan yang dijumpai
pada penderita PPOK Stockley, 2007. Faktor Genetik
Hampir semua penderita PPOK memiliki riwayat perokok berat, namun hanya 15 perokok yang akhirnya menderita PPOK, menandakan bahwa
faktor-faktor lain turut berperan, salah satunya faktor genetik Bourke, 2003. Beberapa gen yang menunjukkan hubungan peningkatan predisposisi
kejadian PPOK ialah AAT alpha-1 anti-trypsin atau aPI alpha-protease inhibitor, AACT alpha-1-antichymotrypsin, IL8RA IL-8 receptor alpha,
ACE angiotensin converting enzyme, TNF tumour necrosis factor, dan masih banyak lagi Harding et all, 2004.
Kasus yang terbukti memiliki hubungan dengan gen AAT hanya 1, tetapi individu dengan defisiensi gen ini ternyata terbukti mengalami emfisema
onset dini Ali et all, 2010. AAT atau aPI adalah protein serum yang diproduksi oleh hati yang bertanggung jawab untuk menghambat neutrofil
elastase, enzim yang dilepaskan sel PMN untuk mendegradasi elastin pada suatu respon inflamasi Wilkins et all, 2007.
Universitas Sumatra Utara
Jenis Kelamin Prevalensi PPOK lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan, mungkin
dikarenakan lebih banyak laki-laki yang merokok dibandingkan perempuan Riskesdas, 2010. Selain itu, lebih banyak laki-laki yang bekerja di luar
ruangan daripada perempuan, menyebabkan paparan polusi udara, apalagi di negara berkembang, menjadi faktor yang penting.
Status Ekonomi Prevalensi merokok cenderung meningkat dengan meningkatnya status
ekonomi namun prevalensi lebih tinggi pada masyarakat pedesaan dibandingkan pada masyarakat perkotaan Riskesdas, 2010, dikarenakan
tingkat pendidikan dan sarana kesehatan yang lebih baik menjadikan masyarakat perkotaan lebih peduli pada kesehatannya. Di sisi lain, PPOK
sendiri lebih banyak dijumpai pada masyarakat dengan status ekonomi rendah dan pada daerah perkotaan Bourke, 2003.
Perkembangan Paru Fungsi paru maksimum yang dicapai pada masa perkembangan paru sejak
usia muda dipengaruhi oleh kecukupan nutrisi saat berada dalam kandungan, paparan asap rokok dan polusi udara, dan penyakit paru saat kecil Bourke,
2003. Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan yang rentan paparan polusi seperti penambang batu bara, pekerja logam, pabrik kapas, pabrik kertas, dan sebagainya,
meningkatkan risiko PPOK. Kadmium dan silika juga meningkatkan risiko pada perokok Blacker, 2007.
Infeksi Peran infeksi virus pada saluran nafas atas dan bawah pada patogenesis
PPOK masih belum dapat dipastikan. Infeksi pada masa kanak-kanak
Universitas Sumatra Utara
berhubungan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan masalah pernafasan saat dewasa, yang dapat berkembang menjadi PPOK. Begitu
seseorang menderita PPOK, infeksi berulang mempercepat penurunan fungsi paru Blacker, 2007.
Asma Hiperaktivitas Jalan Nafas Pada suatu penelitian, orang dewasa dengan asma memiliki risiko 12 kali
lebih mungkin menderita PPOK dalam hidupnya dibandingkan mereka yang bukan penderita asma. Studi lain juga menunjukkan 20 penderita asama
mengalami pembatasan aliran nafas yang ireversibel GOLD, 2013.
2.2.4. Patogenesis PPOK
PPOK merupakan hasil dari interaksi berbagai faktor risiko yang telah dibahas sebelumnya. Pada penderita PPOK proses inflamasi kronis berlangsung berbeda
dari respon normal karena mengalami modifikasi yang diduga bergantung pada faktor genetik. Inflamasi paru tetap berlangsung meskipun setelah penderita
berhenti merokok dan masih belum diketahui mengapa demikian, walaupun autoantigen dan mikroorganisme mungkin turut berperan Cosio, 2009, dalam
GOLD, 2013. PPOK umumnya dihubungkan dengan respon inflamasi derajat rendah pada epitel dan lapisan submukosa pada bagian bronkus sentral Stockley,
2007.
Berikut ini beberapa mekanisme yang berperan dalam inflamasi pada PPOK menurur GOLD 2013:
Stres Oksidatif
Pertanda stres oksidatif hidrogen peroksida, 8-isoprostan meningkat pada nafas yang diekshalasi, sputum, dan sirkulasi sistemik penderita PPOK.
Saat eksaserbasi kadar marker stres oksidatif tersebut bahkan lebih tinggi. Spesies oksigen reaktif berasal dari asap rokok, patikel-partikel lain di
udara, sel-sel inflamasi yang teraktivasi makrofag dan neutrofil, bahkan dari hasil reduksi antioksidan endogen pada penderita PPOK sebagai
Universitas Sumatra Utara
akibat dari berkurangnya faktor transkripsi Nrf2 yang meregulasi gen- gen aktioksidan.
Ketidakseimbangan Protease-Antiprotease
Ketidakseimbangan antara protease dan antiprotease telah lama menjadi pusat perhatian pada perkembangan emfisema Ali, 2010. Protease
mencerna jaringan ikat terutama elastin yang merupakan jaringan ikat utama pada paru sedangkan antiprotease melindungi jaringan ikat dari
protease. Beberapa protease yang dilepaskan sel-sel inflamasi dan epitel meningkat pada penderita PPOK dan protease ini dapat saling berinteraksi
satu sama lain.
Sel-sel Inflamasi
Asap rokok dan partikel-partikel berbahaya dalam udara akan memicu infiltrasi sel-sel inflamasi makrofag, neutrofil, dan limfosit CD8
+
sitotoksik pada epitel saluan pernafasan Stockley, 2007. Bersama dengan neutrofil dan makrofag sel-sel inflamasi ini akan melepaskan
mediator-mediator inflamasi seperti faktor- α, IL-8, leukotrien, Saetta,
1994, dalam Mintz, 2006 dan enzim-enzim yang akan mempengaruhi sel- sel struktural di jalan nafas, parenkim paru, dan vaskularisasinya. Respon
inflamasi kronis menginduksi kerusakan jaringan parenkim menyebabkan emfisema dan menghalangi mekanisme perbaikan dan pertahanan yang
normal menyebakan fibrosis. Eosinofil tidak dijumpai pada PPOK, kecuali selama eksaserbasi bronkitis akut, dan intensitas dari respon
inflamasi pada emfisema jauh lebih rendah dari pada asma Ali et all, 2010.
Mediator-mediator Inflamasi
Sel-sel inflamasi di sirkulasi akan terpanggil oleh faktor kemotaksis, memperbesar respon inflamasi sitokin-sitokin proinflamasi, dan memicu
perubahan struktural oleh faktor-faktor pertumbuhan.
Dalam saluran udara perifer, terjadi deposisi kolagen dan pembentukan jaringan parut. Di ruang alveolar yang terjadi adalah serabut elastin dan epitel rusak,
Universitas Sumatra Utara
apoptosis sel endotel, dan hilangnya dinding alveolar tanpa pembentukan jaringan parut. Perubahan vaskular paru terlihat jelas pada PPOK yang progresif.
Hilangnya kapiler paru capillary bed berkorelasi dengan hilangnya luas permukaan alveolar pada emfisema. Vasokonstriksi paru mengakibatkan hipoksia,
penebalan intima, hipertrofi otot polos sel, dan pembentukan jaringan ikat yang lebih lanjut memberikan kontribusi untuk terjadinya hipertensi pulmonal dan
gagal jantung kanan cor pulmonale.
Gambar 2.1 Skema Patogenesis PPOK Ali et all, 2010
Stockley 2007 membedakan perubahan patologis pada PPOK menjadi:
1. Gangguan Saluran Pernafasan Sentral
Kelenjar mukus tersebar di sepanjang bronkus sentral, berperan dalam mekanisme pertahanan imun, letaknya di antara membran epitel dan
kartilago. Pembesaran volume kelenjar mukus 50-100 berkaitan dengan batuk dan produksi sputum berlebihan, dijumpai pada banyak pasien
PPOK namun tidak semua penderita PPOK mengalaminya. Selain kelenjar mukus, sel-sel goblet penghasil mukus yang terdapat pada epitel saluran
napas pada setiap tingkatan juga dapat mengalami peningkatan pada penderita PPOK. Metaplasia epitel dan hilangnya silia juga telah ditemui.
Universitas Sumatra Utara
Mengenai apakah proporsi otot polos dan kartilago pada penderita PPOK berubah belum diketahui dengan jelas.
2. Gangguan Saluran Pernafasan Perifer
Perubahan patologis di bagian perifer pada PPOK cenderung multipel dan relatif tidak spesifik. Perubahan awal pada perokok muda yang ditemui
hanyalah kumpulan fokal makrofag berpigmen kecoklatan pada bronkiolus proksimal. Pada pasien yang lebih tua, pada dinding membran bronkiolus
sering ditemui inflamasi derajat rendah neutrofil, makrofag, dan limfosit tersebar. Perubahan lain meliputi fibrosis, metaplasia sel skuamosa dan
sel goblet, pembesaran otot polos dan agregasi mukus dalam lumen. Sebagian besar patologi ini mungkin sekali berhubungan langsung dengan
efek toksik dari asap rokok. Dinding bronkiolus pada PPOK juga menebal karena peningkatan massa epitel, otot polos, dan jaringan ikat. Dinding
saluran napas yang menebal ini menyebabkan volume paru mengecil, sebab saluran napas perifer memendek dan menyempit saat paru-paru
mengempis Stockley, 2007.
Perubahan-perubahan patologis yang ditemukan pada jalan nafas, parenkim paru, dan vaskularisasinya ini mengakibatkan udara akan terperangkap dan pembatasan
aliran udara progresif yang menjadi ciri khas PPOK GOLD, 2013.
2.2.5. Gejala Klinis PPOK
Pemahaman akan bagaimana perubahan patologis yang terjadi menimbulkan gejala-gejala yang dijumpai pada PPOK kini sudah jauh lebih baik GOLD,
2013. Gejala utama yang dijumpai pada PPOK adalah sesak nafas dan batuk kronik berdahak. Gejala awal bersifat episodik dan eksaserbasi akut ditandai
dengan peningkatan produksi sputum dan nanah. Kehadiran mengi tidak penting untuk diagnosis, dan sputum tidak perlu purulen Ali et all, 2010.
Universitas Sumatra Utara
Pembatasan Aliran Udara Terperangkapnya Udara
Derajat inflamasi, fibrosis, dan eksudat dalam lumen saluran nafas perifer berkorelasi dengan penurunan VEP
1
dan rasio VEP
1
KVP, kemungkinan juga berhubungan dengan penurunan VEP
1
yang cepat, khas pada PPOK. Obstruksi jalan nafas perifer dan adanya emfisema secara progresif
memerangkap udara saat ekspirasi, menimbulkan hiperinflasi. Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi, dan meningkatkan kapasitas residu
fungsional, terutama saat latihan berolahraga hiperinflasi dinamis, menimbulkan sesak nafas dan terbatasnya kapasitas latihan GOLD,
2013. Bila obstruksi jalan nafas berat, mungkin terlihat pemakaian oto- otot pernafasan tambahan. Suatu studi bahkan mendemonstrasikan bahwa
eksaserbasi memperberat kelemahan otot. Fishman et all, 2008.
Beberapa mekanisme lain yang dianggap berkontribusi pada obstruksi adalah fibrosis peribronkiolus obstruksi saluran udara yang lebih kecil
dan edema mukosa karena infiltrasi sel-sel inflamasi. Selain itu, semua saluran udara juga menunjukkan berbagai derajat tonus otot polos yang
mungkin juga menjadi faktor dalam obstruksi. Obstruksi terutama jelas terlihat saat ekspirasi karena volume paru semakin kecil dan volume napas
berkurang Ali et all, 2010. Emfisema juga menyebabkan hilangnya elastic recoil saluran nafas perifer, sehingga kolpas saat ekspirasi Bourke,
2003. Sesak nafas adalah karena peningkatan aktivitas kemoreseptor yang disebabkan hipoksia dan hiperkapnia Booth dan Dudgeon, 2006.
2
Gambar 2.2 Mekanisme Pembatasan Aliran Udara pada PPOK
Gangguan saluran nafas perifer Inflamasi pada saluran nafas
Fibrosis; sumbatan dalam lumen Peningkatan resistensi jalan nafas
Kerusakan parenkim paru Hilangnya perlekatan
alveolus Penurunanan elastisitas
Pembatasan Aliran Udara
Universitas Sumatra Utara
Abnormalitas Pertukaran Gas
Gangguan pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia. Secara garis besar, pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida semakin
terganggu seiring progesivitas penyakit. Ventilasi yang berkurang mungkin karena berkurangnya ventilatory drive. Obstruksi, hiperinflasi,
dan kelemahan otot pernafasan mempersulit ventilasi dan akhirnya menimbulkan retensi karbon dioksida. Ditambah dengan vaskularisasi
yang menurun, timbullah abnormalitas V
A
Q Rodrigues-Roisin R. et all, 2009 dalam GOLD, 2013
Hipersekresi Mukus
Hipersekresi mukus pada PPOK terjadi sebagai akibat dari peningkatan jumlah sel goblet dan hipertropi kelenjar submukosa pada proksimal jalan
nafas Seaton et all, 2000 sebagai respon terharap zat iritan GOLD, 2013. Hipersekresi lendir bersamaan disfungsi silia menyebabkan batuk
kronis produktif yang sering menjadi tanda awal penyakit ini. Penumpukan lendir dapat berperan dalam menyebabkan obstruksi jalan
nafas, namun ini hanya terjadi saat eksaserbasi akut Ali et all, 2010. Sekresi mukus berlebihan pada awalnya diduga berperan penting dalam
perkembangan obstruksi saluran pernapasan pada PPOK Stockley, 2007. Namun pada kenyataanya tidak semua penderita PPOK mengalaminya.
Hipertensi Pulmonal
Terjadi disebabkan terutama oleh vasokontriksi pembuluh darah kecil pada paru karena hipoksia, yang akhirnya menyebabkan perubahan struktural
seperti yang sudah dijelaskan pada bagian patogenesis. Hipertensi pulmonal yang progresif dapat menyebabkan hipertropi ventrikel kanan
dan gagal jantung kanan cor pulmonal.
Eksaserbasi
Eksaserbasi biasanya dipicu suatu infeksi bakteri dan atau virus, polutan lingkungan, ataupun faktor lain yang tidak diektahui. Bila penyebabnya
infeksi maka inflamasi akan meningkat. Saat eksaserbasi terjadi peningkatan hiperinflasi dan udara yang terperangkap semakin banyak,
Universitas Sumatra Utara
dengan berkurangnya aliran udara keluar, memperberat sesak nafas dispnoe. Kondisi lain yang dapat menyertai pneumonia, tromboemboli,
dan gagal jantung akut dapat terlihat seperi ataupun memperberat eksaserbasi PPOK.
Gejala Sistemik
Hiperinflasi dan pembatasan aliran udara secara tidak langsung mempengaruhi fungsi jantung dan pertukaran gas. Mediator-mediator
inflamasi di sirkulasi mungkin berkontribusi dalam menurunnya massa otot skelet skeletal muscle wasting dan kaheksia penurunan berat bedan
sekunder yang akan memperberat komorbiditas seperti penyakit jantung iskemik, gagal jantung, osteoporosis, anemia normositik, sindroma
metabolik, dan depresi GOLD, 2013. Penurunan hormon pertumbuhan, testosteron, dan insulin juga berkontribusi menyebabkan keadaam
katabolik Harding et all, 2004. Sebagai penyakit yang berkembang progresif, ada peningkatan frekuensi
eksaserbasi, yang meliputi peningkatan batuk, hipoksemia, sputum purulen, dan dispnoe. Bila penyakit berat, hipoksemia kronis dan hiperkapnia juga dapat
terjadi. Kondisi ini dapat menyebabkan eritrositosis, sakit kepala pagi hari dari hiperkapnia, cor pulmonal, edema ekstremitas yang lebih rendah, dan penurunan
berat badan sekunder karen peningkatan beban kerja pernapasan Ali et all, 2010.
Patofisiologi PPOK dikaitkan dengan sirkulasi berbagai mediator yang berpotensi merugikan, dikombinasikan dengan sering terjadinya hipoksia dan malnutrisi,
berakibat pada proses penyakit sistemik yang ditandai dengan hipermetabolisme, miopati otot rangka, dan kejiwaan gangguan, bersama dengan penyakit jantung
dan ginjal Ali et all, 2010.
2.2.6. Diagnosis PPOK
Prevalensi PPOK diduga jauh dari kenyataan akan dampak yang sebenarnya pada masyarakat. Luputnya diagnosis umum terjadi karena pasien jarang memeriksakan
Universitas Sumatra Utara
dirinya hingga fungsi paru sudah sangat menurun dan aktivitasnya terbatas sehingga mengganggu kehidupan sehari-harinya Mintz, 2006 ataupun setelah
suatu episode eksaserbasi akut telah terjadi GOLD, 2013. Hal ini karena cadangan fisiologis sistem pernafasan besar sehingga masih ada kompensasi pada
tahap awal penyakit Ali et all, 2010.
Diagnosis klinis harus dipertimbangkan pada pasien dengan sesak nafas, batuk kronis atau batuk berdahak, dan pasien dengan riwayat paparan faktor risiko
GOLD, 2013. Pemeriksaan juga harus dilakukan pada mereka dengan emfisema onset dini, pada mereka dengan PPOK tanpa faktor risiko dikenali, dan pada
saudara kandung dari penderita Ali et all, 2010.
Tabel 2.1 Indikator Kunci dalam Pertimbangan Diagnosa PPOK GOLD, 2013
Pertimbangkan kemungkinan PPOK dan lakukan pemeriksaan spirometri bila dijumpai indikator kunci
berikut pada individu berusia ≥ 40 tahun. Sesak nafas
Progresif, memberat dengan olahraga, persisten Batuk kronik
Dapat terjadi intermiten dan dapat pula tidak produktif Produksi sputum
kronik Produksi sputum kronik dengan pola apapun dapat menandakan
PPOK
Riwayat pajanan faktor risiko
Asap rokok, asap dari aktivitas memasak dalam rumah tangga, mesin pemanas, debu di lingkungan kerja, dan zat-zat kimia.
Adanya riwayat PPOK dalam keluarga
Anamnesis
Dari anamnesis akan diketahui perkembangan dan gejala-gejala yang dijumpai.
Sesak Nafas. Sesak nafas yang berkembang perlahan Bourke, 2003 ialah
gejala kardinal PPOK, juga penyebab disablitilas dan keresahan utama GOLD, 2013. Pasien biasanya mengeluhkan sesak nafas sebagai
kesulitan bernafas, dada terasa berat, air hunger, atau tergagap saat
Universitas Sumatra Utara
bernafas, adanya pursed lip breathing Fishman et all, 2008 karena pasien berusaha mempertahankan patensi jalan nafas Wilkins et all, 2007.
Batuk. Batuk kronik biasanya dianggap semata-mata akibat merokok
danatau paparan polusi. Awalnya batuk hanya kadang-kadang, hingga kemudian berlangsung setiap hari, bahkan sering sepanjang hari.Batuk
kronik dapat berlangsung tanpa produksi sputum. Pada beberapa kasus, pembatasan aliran udara yang siknifikan dapat terjadi tanpa adanya batuk.
Tabel 2.2 Diagnosa Banding Batuk Kronik Intratorakal : PPOK, asma, kanker paru, tuberkulosis, bronkiektasis,
gagal jantung kiri, penyakit paru interstitium, cystic fibrosis, idiopatik
Ekstratorakal : rinitis alergi kronik, Upper Airway Cough Syndrome UACS, refluks gastroesofageal, obat-obatan mis: ACE Inhibitor
Produksi Sputum. Produksi sputum umumnya bermula setelah batuk
berlangsung selama waktu tertentu. Produksi sputum pada bronkitis kronis adalah selama ≥ 3 bulan selama dua tahun berturut-turut tanpa penyebab
lain yang dapat menjelaskannya. Sputum yang purulen mengindikasikan peningkatan mediator-mediator inflamasi dan perkembangannya mungkin
menandakan onset eksaserbasi. Namun pada penderita PPOK produksi sputum sulit untuk dievaluasi karena pasien cenderung menelan sputum
dan bukannya mengeluarkannya.
Mengi dan Chest Tightness. Kedua gejala ini tidak spesifik pada PPOK
tidak harus dijumpai dan bervariasi dalam keseharian. Mengi terdengar pada laring dan tidak harus disertai abnormalitas lain saat auskultasi.
Mengi dapat terdengar saat inspirasi maupun ekspirasi, namun biasanya lebih jelas saat inspirasi Bourke, 2003. Sementara itu rasa berat di dada
biasanya setelah suatu aktivitas fisik yang berat, lokalisasinya tidak jelas, dan kemungkinan terjadi akibat kontraksi isometrik otot-otot interkostal.
Gejala lain. Rasa lelah, penurunan berat badan, dan anoreksia umum
dijumpai pada PPOK yang berat dan sangat berat. Gejala mempengaruhi prognosis dan bisa juga menandakan adanya penyakit lain misalnya
Universitas Sumatra Utara
tuberkulosis, kanker paru. Pembengkakan lutut dapat merupakan satu- satunya penunjuk simptomatik cor pulmonal. Adanya depresi dan
kerisauan berhubungan dengan peningkatan risiko eksaserbasi dan status kesehatan yang lebih jelek.
Riwayat Kesehatan. Perlu diketahui mengenai paparan faktor risiko,
adakah kebiasaan merokok, lingkungan kerja, riwayat penyakit terdahulu asma, alergi, sinusitis, polip nasal, infeksi paru pada masa kanak-kanak,
ataupun penyakit pernafasan lain, riwayat PPOK dalam keluarga, pola perkembangan gejala, riwayat eksaserbasi, riwayat rawat inap akibat
masalah pernafasan, adanya komorbiditas penyakit jantung, osteoporosis, gangguan muskuloskeletal, keganasan, dampak PPOK terhadap
kehidupan pasien keterbatasan aktivitas, beban ekonomi, efek terhadap rutinitas dalam keluarga, kecemasan atau depresi, aktivitas seksual,
dukungan sosial dan keluarga terhadap pasien.
Pemeriksaan Fisik
Penemuan pada pemeriksaan fisik dada adalah adanya obstruksi jalan nafas dan udara yang terperangkap. Penurunan suara nafas pada auskultasi yang disebabkan
emfisema Wilkins et all, 2007, mengi, dan bunyi jantung terdengar jauh, umum dijumpai pada pasien PPOK. Jika sangat parah, pasien mungkin menggunakan
otot-otot bantuan respirasi dan mengerutkan bibir untuk meningkatkan efisiensi pernapasan. Sianosis juga dapat dijumpai Ali et all, 2010. Tanda-tanda fisik
PPOK biasanya hanya terlihat ketika gangguan fungsi paru sudah berat, dan nilai sensitivitas dan spesifisitas deteksi melalui pemeriksaan fisik tergolong rendah
GOLD, 2013.
Pemeriksaan Tambahan Foto Polos Toraks
Terlihat gambaran hiperinflasi dengan diafragma yang datar, pemanjangan siluet jantung, udara retrosternal meningkat dan tampilan hiperlusen. Jika
ada, bula tampak sebagai daerah radiolusen dengan berbagai ukuran dan
Universitas Sumatra Utara
dikelilingi oleh garis tipis Ali et all, 2010. Foto polos toraks juga berguna dalam mengeksklusikan diagnosa alternatif lain dan menilai adanya
komorbiditas GOLD, 2013.
Tes Fungsi Paru Spirometri
Tes fungsi paru diperlukan untuk diagnosis dan penilaian keparahan penyakit. Diagnosis PPOK membutuhkan nilai perbandingan VEP
1
: KVP setelah pemberian bronkodilator. Rasio 70 menunjukkan hasil positif.
VEP
1
adalah ukuran tingkat keparahan obstruksi saluran napas dan nilai normal didasarkan pada usia pasien, ras, jenis kelamin, tinggi, dan berat
badan. Ali et all, 2010. Penderita PPOK yang memiliki nilai spirometri yang hampir mirip bisa saja memiliki derajat patologi paru yang berbeda
Stockley, 2007.
CT Computed Tomography Scan Toraks
Hanya dilakukan bila diagnosa PPOK diragukan, membantu dalam diagnosa banding, dan mampu menentukan komorbiditas lain. Bila ada
indikasi untuk pembedahan untuk mereduksi volume paru diperlukan CT scan untuk menilai distribusi emfisema.
Tes Volume Paru Kapasitas Difusi
Kapasitas total paru meningkat karena hiperinflasi dan pembatasan aliran udara. Penilaian dapat dilakuakan dengan pletismografi ataupun
pengukuran volume paru dengan dilusi helium. Kapasitas difusi DL
CO
memberikan informasi mengenai dampak fungsional emfisema pada PPOK.
Oksimeter dan Analisa Gas Darah Arteri
Pengukuran saturasi oksigen dilaksanakan untuk menilai kebutuhan terapi oksigen Wilkins et all, 2007. Semestinya pasien dengan VEP
1
35 dari yang diprediksikan atau dengan gejala klinis yang sugestif menunjukkan
kegagalan pernafasan atau gagal jantung kanan harus diperiksa saturasi oksigennya. Bila saturasi oksigen perifer 92, gas darah arteri harus
diperiksa GOLD, 2013.
Universitas Sumatra Utara
Skrining Defisiensi Alfa-1 Antitrpsin
WHO merekomendasikan pasien dengan PPOK berusia 45 tahun dengan emfisema lobus bawah menjalani skrining ini. Skrining juga dapat
dilakukan pada anggota keluaga penderita. Konsentrasi serum AAT 15- 20 dari nilai normal menunjukkan kemungkinan defisiensi homozigot.
Tes Latihan
Penilaian kesulitan latihan harus objektif, dinilai melalui reduksi jarak tempuh, ataupun di laboratorium menggunakan sepeda atau treadmill.
Penurunan laju aliran ekspirasi maksimal merupakan abnormalitas fisiologis utama yang dijumpai pada PPOK. Penilaian obstruksi aliran ekspirasi umumnya
menggunakan nilai Volume Ekspirasi Paksa dalam selang waktu satu detik VEP
1
dan juga rasio VEP terhadap Kapasitas Vital Paksa KVP Stockley, 2007. VEP
1
biasanya menurun sekitar 20-30 mL per tahun dengan pertambahan usia Ali et all, 2010. Kriteria GOLD 2012 untuk diagnosa PPOK disajikan
pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Klasifikasi Keparahan Pembatasan Aliran Udara pada PPOK GOLD Berdasarkan VEP
1
setelah pemberian bronkodilator
Pada pasien dengan VEP
1
KVP 0.70: GOLD 1
Ringan VEP
1
≥ 80 dari yang diprediksikan GOLD 2
Sedang 50 ≤ VEP
1
80 dari yang diprediksikan GOLD 3
Berat 30 ≤ VEP
1
50 dari yang diprediksikan GOLD 4
Sangat Berat VEP
1
30 dari yang diprediksikan
Panduan GOLD 2013 merekomendasikan penilaian terpadu combined assessment untuk menilai keparahan gejala dan dampaknya dengan
mempertimbangkan gejala dan risiko eksaserbasi Tabel 2.5 dan Gambar 2.3.
Penilaian terpadu ini terutama berfungsi sebagai panduan dalam terapi. Penilaian meliputi penilaian terhadap beberapa hal:
Tingkatan gejala Tingkatan abnormalitas spirometri
Risiko eksaserbasi
Universitas Sumatra Utara
Komorbiditas yang menyertai
Tingkatan Gejala
Ada beberapa kuisioner valid yang dapat digunakan untuk menilai gejala pada pasien PPOK. GOLD 2013 merekomendasikan penilaian dengan kuisioner
Modified British Medical Research Council mMRC atau COPD Assessment Test
CAT. Kuisioner mMRC yang bisa dilihat pada Tabel 2.4 hanya menilai
diasbilitas akibat sesak nafas; sementara kuisioner CAT bisa dilihat pada bagian
lampiran mencakup dampak lebih luas dari PPOK terhadap keseharian penderita.
Tabel 2.4 Modified MRC Dyspnoea Scale
Sesak nafas hanya bila berolahraga berat 1
Nafas pendek bila terburu-buru di jalan yang menanjak 2
Berjalan lebih lambat dari orang seusia karena sesak nafas ataupun harus berhenti untuk bernafas saat berjalan dengan kecepatan sendiri
3 Berhenti untuk bernafas setelah berjalan sekitar 100 meter atau setelah
beberapa menit dengan kecepatan sendiri 4
Terlalu sesak untuk keluar dari rumah ataupun sesak nafas saat berpakaian
Tingkatan Abnormalitas Spirometri
Pembatasan aliran udara dinilai melalui pemeriksaan spirometri dan klasifikasinya
disajikan pada Tabel 2.3. Spirometri dilakukan setelah pemberian bronkodilator
inhalasi short-acting untuk meminimalisasi variabilitas.
Risiko Eksaserbasi
Eksaserbasi diartikan sebagai fase akut yang ditandai perburukan gejala saluran pernafasan pasien, di luar dari batas normal variasi harian dan membutuhkan
perubahan tatalaksana. Kerentanan eksaserbasi sangat bervariasi antarindividu dan prediktor terbaik adalah adanya riwayat eksaserbasi sebelumnya.
Komorbiditas yang Menyertai
Karena PPOK sering terjadi pada perokok pada usia paruh baya, penderita biasanya juga memiliki penyakit-penyakit lain yang menyertai, entah sebagai
akibat merokok maupun penuaan. PPOK sendiri juga memiliki banyak efek
Universitas Sumatra Utara
ekstrapulmonal sistemik. Komorbiditas yang sering dijumpai sudah disebutkan pada bagian anamnesis.
Tabel 2.5 Penilaian PPOK Terpadu GOLD 2013
Gejala o Ringan Less mMRC 0-1 atau CAT 10 : pasien grup A atau C
o Berat More mMRC 0-1 atau CAT 10 : pasien grup B atau D Pembatasan aliran udara
o Risiko tendah GOLD 1 atau 2 : pasien grup A atau B
o
Risiko tinggi GOLD 4 atau 4 : pasien grup C atau D Eksaserbasi
o Risiko tendah ≤ 1 per tahun : pasien grup A atau B
o
Risiko tinggi ≥ 2 per tahun : pasien grup C atau D
Dari berbagai metode penilaian yang kemudian dirangkumkan, diagnosis pasien akan dapat digolongkan ke dalam empat grup A, B, C, atau D. Pada beberapa
pasien, penilaian risiko berdasarkan klasifikasi GOLD dan berdasarkan riwayat eksasaerbasi mungkin membingungkan bila hasilnya menempatkan pasien dalam
grup yang berbeda. Bila demikian, maka risiko ditentukan oleh metoda yang mengindikasikan risiko yang lebih tinggi.
2.2.7. Penatalaksanaan PPOK
Objektif penatalaksaan terbagi dua, yakni yang diarahkan kepada gejala meringankan dan mengurangi dampak PPOK dan objektif yang lain difokuskan
pada usaha memperkecil risiko eksaserbasi GOLD, 2013.
Terapi ditujukan untuk mengurangi resistensi jalan nafas dan mengembalikan gas darah arteri ke keadaan normal Fishman et all, 2008. Hingga saat ini, belum ada
terapi yang mampu memodifikasi penurunan fungsi paru Burge et all, 2000
A B
C D
1 2
3 4
1 2
Ris iko
Klasifik asi GOL
D P
em b
atasa n
alir an
u d
ar a
Ris iko
R iway
at ek
saser b
asi
mMRC 0-1 CAT 10
mMRC ≥2
CAT ≥10
Gejala
nilai mMRC atau CAT
Gambar 2.3 Penilaian PPOK Terpadu GOLD
Universitas Sumatra Utara
dalam GOLD, 2013. Kelas obat-obatan yang umumnya dipakai tertera pada
Tabel 2.6. Pemilihan obat didasarkan pada ketersediaan, biaya, dan respon pasien
terhadap pengobatan. Bila terapi diberikan dalam bentuk inhalasi, teknik pemakaian inhaler yang benar dan efektivitas pemberian obat perlu diperhatikan.
Tabel 2.6 Formulasi dan Dosis Obat pada Tatalaksana PPOK GOLD, 2013 Nama Obat
Inhaler mcg Durasi Kerja Obat jam
Beta
2
-Agonis
Short-acting Fenoterol
100-200 MDI 4-6
Levalbuterol 45-90 MDI
6-8 Salbutamol albuterol
100, 200 MDI DPI 4-6
Terbutaline 400, 500 DPI
4-6 Long-acting
Formoterol 4,5-12 MDI DPI
12 Arformoterol
0.0075 mgml nebulizer 12
Indacaterol 75-300 DPI
24 Salmeterol
25-50 MDI DPI 12
Tulobuterol 2mg transdermal
24
Antikolinergik
Short-acting Ipatropium bromida
20, 40 MDI 6-8
Oxitropium bromida 100 MDI
7-9 Long-acting
Aclidinium bromida 322 DPI
12
Universitas Sumatra Utara
Glycopyrronium bromida 44 DPI
24 Tiotropium
18 DPI, 5 SMI 24
Kombinasi Beta
2
-Agonis short-acting dan Antikolinergik dalam satu inhaler
FenoterolIpratropium 20080 MDI
6-8 SalbutamolIpratropium
7515 MDI 6-8
Methylxanthine
Aminophylline 200-600 mg pil
bervariasi, hingga 24 jam Theophylline SR
100-600 mg pil bervariasi, hingga 24 jam
Kortikosteroid Inhalasi
Beclomethasone 50-400 MDI DPI
Budesonide 100, 200, 400 DPI
Fluticasone 50-500 MDI DPI
Kombinasi Beta
2
-Agonis long-acting dan kortikosteroid dalam satu inhaler
FormoterolBudesonide 4,5160 MDI, 9320 DPI
FormoterolMometasone 10200, 10400 MDI
SalmeterolFluticasone 50100, 250, 500 MDI
2550, 125, 250 MDI
Kortikosteroid Sistemik
Prednisone 5-60 mg pil
Methyl-prednisolone 4, 8, 16 mg pil
Fosfodiesterase-4 Inhibitor
Roflumilast 500 mcg pil
24 MDI = metered dose inhaler; DPI = dry powder inhaler
Bronkodilator
Universitas Sumatra Utara
Bronkodilator merelaksasi otot polos sehingga pada pemakaiannya aliran udara ekspirasi meningkat, dan nilai VEP
1
akan meningkat pula. Karena lebih banyak udara yang bisa keluar, hiperinflasi dinamis akan berkurang, baik saat istirahat
maupun latihan O’Donnell D.E., 2006 dalam GOLD, 2013.
Beta
2
-Agonis
Merelaksasi otot polos dengan menstimulasi reseptor adrenergik β
2,
yang diikuti peningkatan cAMP, lalu mengantagonis bronkokontriksi.
Antikolinergik
Memblokade efek
asetilkolin pada
reseptor muskarinik.
Efek bronkodilator bertahan lebih lama daripada Beta
2
-Agonis.
Methylxanthine
Kontroversi mengenai efek yang nyata dari derivat xanthine masih berlangsung hingga saat ini. Methylxanthine yang paling serig digunakan
yaitu teofilin, dapat berperan sebagai inhibitor fosfodiesterase nonselektif.
Kortikosteroid
Efek kortikosteroid terhadap inflamasi sistemik dan paru pada penderita PPOK masih dipertanyakan, pemakaian dibatasi untuk indikasi tertentu.
Fosfodiesterase-4 Inhibitor
Cara kerja dasar obat ini adalah menekan inflamasi dengan menginhibisi degrdasi cAMP intraselular.
Tabel 2.7 Tatalaksana Awal pada PPOK Grup Pasien
Pilihan Pertama Pilihan Alternatif
Terapi lain
A
Antikolinergik short-acting prn
atau
Beta
2
agonis short-acting prn
Antikolinergik long-acting atau
Beta
2
agonis long-acting
atau
Beta
2
agonis short-acting dan Antikolinergik short-acting
Teofilin
B
Antikolinergik long-acting
atau
Beta
2
agonis long-acting
Antikolinergik long-acting dan
Beta
2
agonis long-acting Beta
2
agonis short-acting
danatau
Antikolinergik short-acting
Universitas Sumatra Utara
Teofilin
C
Kortikosteroid inhalasi +
Antikolinergik long-acting
atau
Beta
2
agonis long-acting
Antikolinergik long-acting dan Beta
2
agonis long-acting
atau
Antikolinergik long-acting dan fosfodiesterase-4 inhibitor
atau
Beta
2
agonis long-acting dan fosfodiesterase-4 inhibitor
Beta
2
agonis short-acting
danatau
Antikolinergik short-acting
Teofilin
D
Kortikosteroid inhalasi +
Antikolinergik long-acting
dan atau
Beta
2
agonis long-acting
Kortikosteroid inhalasi + Antikolinergik long-acting
dan Beta
2
agonis long-acting
atau
Kortikosteroid inhalasi + Beta
2
agonis long-acting dan fosfodiesterase-4 inhibitor
atau
Antikolinergik long-acting dan Beta
2
agonis long-acting
atau
Antikolinergik long-acting dan fosfodiesterase-4 inhibitor
Karbosistein Beta
2
agonis short-acting
danatau
Antikolinergik short-acting
Teofilin
Terapi Non Farmakologis Rehabilitasi
Tujuan utama rehabilitasi paru adalah untuk mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup, dan meningkatkan partisipasi fisik dan emosi dalam kehidupan
sehari-hari Ries A.L. et all, 2007 dalam GOLD, 2013. Rehabilitasi meliputi program olahraga, edukasi agar berhenti merokok, pengetahuan dasar mengenai
PPOK, cara pemakaian obat, strategi mengurangi sesak nafas, pemilihan keputusan saat eksaserbasi, dan anjuran-anjuran lain.
2.3. Merokok dan PPOK