Agama dan Sistem Kepercayaan

2.3. Agama dan Sistem Kepercayaan

Sebagian besar penduduk Huaulu belum memeluk salah satu agama besar ataupun salah satu dari enam agama yang diakui di Indonesia. Mereka masih memeluk agama tradisional yang diwarisi dari nenek moyangnya. Agama ini mereka sebut sebagai Memaha atau Memaham atau Memahaem. Namun demikian, sebagian dari orang-orang Huaulu juga telah memeluk Islam atau Kristen. Mereka umumnya tinggal di Alakamat.

Dalam kepercayaan Memaha, kekuatan tertinggi yang kerap dipahami sebagai tuhan terdiri atas dua entitas, yakni Amai Lahatala (Ayah Langit) dan Ina Puhum (Ibu Bumi). Ketika berdoa meminta sesuatu ataupun pertolongan, kepada kedua entitas inilah orang-orang Huaulu pertama-tama memohon. Selain Lahatala dan Puhum, orang Huaulu juga percaya bahwa roh-roh nenek moyang mereka tetap ada di sekitar mereka dan sewaktu-waktu dapat memberikan pertolongan atau perlindungan. Namun demikian, baik Lahatala–Puhum maupun roh nenek moyang ini dapat pula mendatangkan malapetaka kepada manusia.

Salah satu temuan lapangan yang menarik dalam penelitian ini adalah penyebutan agama tradisional ini sebagai “Hindu”. Baik orang-orang Huaulu sendiri, maupun tetangga-tetangga mereka di negeri-negeri lain di Pulau Seram, akan menyebut agama yang dipeluk masyarakat Huaulu sebagai Hindu jika ada orang luar yang menanyakan apakah agama mereka. Kendati demikian, orang- Salah satu temuan lapangan yang menarik dalam penelitian ini adalah penyebutan agama tradisional ini sebagai “Hindu”. Baik orang-orang Huaulu sendiri, maupun tetangga-tetangga mereka di negeri-negeri lain di Pulau Seram, akan menyebut agama yang dipeluk masyarakat Huaulu sebagai Hindu jika ada orang luar yang menanyakan apakah agama mereka. Kendati demikian, orang-

Dalam sebuah wawancara, Kamara mengungkapkan bahwa nama “Hindu” ini erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru yang hanya mengakui adanya lima agama di Indonesia: Islam, Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha. Lebih jauh, penamaan ini juga tak bisa dilepaskan dari gejolak politik

pasca-peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965. 11 Seiring dengan kebijakan ofensif pemerintah pusat dalam menanggapi peristiwa tersebut,

masyarakat di berbagai daerah yang tidak menganut satu dari lima agama di atas kerap dianggap sebagai orang-orang yang “tidak beragama” alias “Komunis”. Terlebih setelah Soeharto menjabat presiden dan mendirikan rezim Orde Baru.

Sejalan dengan perkembangan politik yang ditandai pergantian rezim dari Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru di atas, dalam pencatatan-pencatatan resmi masyarakat Huaulu pun dimasukkan ke dalam masyarakat Hindu. Sejak saat itu pula orang-orang Huaulu, kepada orang luar mengatakan bahwa mereka penganut Hindu. Kendati demikian, mereka tetap sadar bahwa “Hindu” itu sekadar “topeng” semata. Agama yang sebenarnya mereka praktikkan adalah Memaha. Untuk mengatasi kerancuan kategori akibat penamaan ini, orang-orang Huaulu kerap membedakan “Hindu” mereka dari Hindu pada umumnya dengan

mengatakan bahwa yang mereka praktikkan adalah “Hindu Tua”. 12 Pada gilirannya situasi ini mengundang misi-misi keagamaan, terutama

Kristen, untuk datang ke Huaulu. Dalam ingatan orang-orang Huaulu, masih lekat keberadaan lima keluarga misionaris asal Amerika Serikat yang tinggal bersama mereka pada tahun 1980-an. Setelah lima atau sepuluh tahun para misionaris tersebut tinggal di Huaulu, dapat dikatakan agenda yang mereka jalankan tidak membuahkan hasil. Bahkan mereka terpaksa angkat kaki karena raja yang tengah memerintah di Huaulu saat itu, Kamara Koiye Saiyaraman, mengajukan protes ke

gereja induk mereka di Palu sehingga mereka ditarik dari tanah Seram. 13 Beberapa tahun belakangan misi-misi keagamaan juga tidak sepenuhnya

surut. Demikian pula dengan penolakan orang-orang Huaulu atas misi-misi

11 Wawancara dengan Kamara, 15 Agustus 2015. 12 Wawancara dengan Kamara, 15 Agustus 2015. 13 Wawancara dengan Kamara, Juni 2015.

tersebut. Selama masa penelitian, peneliti menyaksikan sendiri setidaknya dua kejadian yang menunjukkan hal ini. Pertama, pada bulan Juni 2015 Huaulu menerima undangan dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) guna mengikuti acara keagamaan Hindu yang digelar di Nuaulu, Seram Selatan. Pada waktu itu undangan tersebut tidak dipenuhi, sebagaimana undangan serupa beberapa waktu sebelumnya. Dalam sebuah wawancara yang dihadiri pula oleh beberapa tetua Huaulu, Latunusa (Raja Tanah) menyatakan bahwa mereka tidak pernah memenuhi undangan “orang-orang Hindu” karena mereka sendiri sebenarnya bukan pemeluk Hindu. Mereka bahkan mengaku tidak tahu-menahu

(dan tidak mau tahu) ajaran Hindu yang sebenarnya. 14 Kedua, pada bulan Juli 2015 beberapa orang perwakilan dari sebuah

organisasi Kristen di Ambon berkunjung ke Huaulu. Mereka menemui Kamara untuk melaporkan bahwa mereka berencana mengadakan kegiatan sosial di negeri Huaulu, yang diperuntukkan khususnya bagi anak-anak Huaulu yang menjadi siswa di SD Kecil Huaulu. Pada tahun sebelumnya mereka juga pernah melakukan kegiatan serupa. Menanggapi permintaan izin mengadakan kegiatan tersebut, Kamara secara tidak langsung menolaknya karena beberapa kali telah mendapatkan laporan dari sebagian masyarakat Huaulu sendiri yang menyatakan bahwa mereka tidak berkenan dengan kegiatan sosial organisasi itu lantaran terkesan disertai misi-misi keagamaan.

Kasus terakhir, adanya rencana dari Dinas Pendidikan Kabupaten Maluku Tengah untuk menugaskan empat orang guru SD mengajar di SD Kecil Huaulu. Salah satu dari keempat guru tersebut merupakan guru agama Islam. Beberapa waktu sebelumnya, pernah pula seorang guru agama Kristen mengajar di SD itu dan akhirnya mendapatkan penolakan dari masyarakat. Kamara sendiri mengungkapkan, masyarakatnya memang membutuhkan tenaga pendidik tambahan. Akan tetapi, jika yang ditugaskan adalah guru agama Islam ataupun Kristen, maka akan sia-sia mengingat anak-anak Huaulu yang menjadi siswa di SD Kecil Huaulu tak seorang pun penganut Islam atau Kristen. Mereka semua

masih memeluk agama nenek moyangnya—Memaha. 15

14 Wawancara dengan Latunusa, 6 Juli 2015. 15 Wawancara dengan Kamara, 15 Agustus 2015.

Menanggapi gencarnya program-program yang disinyalir dimuati misi-misi keagamaan, Raja dan orang-orang Huaulu pada umumnya menilai bahwa hal

tersebut disebabkan salah satunya karena “tidak dikenalnya” agama Huaulu. 16 Orang-orang luar masih memandang mereka sebagai masyarakat yang sama sekali

belum beragama. Orang-orang Huaulu sendiri menyadari bahwa jika menggunakan perspektif pemerintah (Orde Baru) yang hanya mengakui lima agama, maka mereka memang “belum beragama”. Tetapi secara de facto mereka sebenarnya sudah memiliki agama. Hanya saja agama ini “tidak dikenal”; yakni, tidak diakui secara resmi sebagai agama.

Dalam situasi di atas, melalui Kamara orang-orang Huaulu pun mengambil beberapa langkah taktis. Pada 1 Juli 2015 enam orang Huaulu mengikuti upacara pengukuhan sebagai umat Hindu di negeri Nua Nea, Seram Selatan. Pada 15 Agustus 2015 beberapa orang dari PHDI datang ke Huaulu untuk menyerahkan sertifikat pengukuhan tersebut. Dalam kesempatan itulah, bersama beberapa orang Huaulu, peneliti turut hadir menyimak pembicaraan antara Kamara dengan perwakilan PHDI. Berdasarkan isi pembicaraan tersebut dan konfirmasi yang peneliti lakukan kepada Kamara seusai pertemuan, beberapa ihwal penting patut kita cermati.

Pertama, Huaulu pada akhirnya membuka “aliansi” dengan PHDI karena mereka memerlukan pengakuan resmi sebagai “orang Hindu”. Harapannya, dengan adanya pengakuan tersebut mereka dapat membendung misi-misi keagamaan yang gencar masuk ke Huaulu. Kedua, “aliansi” dengan organisasi Hindu ini dipilih karena PHDI sendiri telah menyatakan bahwa mereka tidak memiliki agenda untuk mengubah agama asli masyarakat Huaulu. Sebagaimana masyarakat-masyarakat “pedalaman” lain di berbagai daerah yang juga sudah beraliansi dengan PHDI, masyarakat Huaulu diperkenankan untuk mempertahankan agama tradisional mereka. Melalui aliansi inilah masyarakat Huaulu berharap “Hindu” mereka akan “dikenal”, sehingga tidak akan ada lagi

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65