Mitos Kakalasiwa
6.1. Mitos Kakalasiwa
Apa yang sejauh ini sudah kita dapatkan? Pada bab sebelumnya, Bab 5, setelah menganalisis proses pendirian rumah Huaulu, kita dapatkan aksis imajiner yang melandasi penataan ruang dan penataan kosmologis mereka: aksis vertikal yang terorientasi pada Bumi dan Langit, serta aksis horizontal yang terorientasi pada tukam dan hahatiam. Baik Bumi maupun tukam memiliki asosiasi makna dengan disorder, ketidakteraturan, ketiadaan tatanan, yang feminin. Sebaliknya, Langit dan hahatiam memiliki asosiasi makna dengan order, keteraturan, tatanan, yang maskulin.
Pada level rumah (lihat Gambar 5.11), dua aksis imajiner (vertikal dan horizontal) membentuk empat mata arah atas, bawah, depan, belakang atau atas, bawah, kanan, kiri, menyerupai sumbu Cartesian (x,y) pada bidang dua dimensi. Namun jika kita beranjak ke level desa, mata arah ini berubah menjadi atas, bawah, dalam, dan luar, dengan aksis-aksis yang tidak lagi membentuk sumbu Cartersian (x,y), melainkan menyerupai kumparan. Pada Bab 4 kita telah melihat bagaimana aksis horizontal yang tadinya bercirikan polar di level rumah (hahatiam vis a vis tukam) menjadi bidang konsentris di level desa (“dunia dalam” niniani vis a vis “dunia luar” kaitahu). Ciri berikutnya yang juga mesti diperhatikan adalah adanya orientasi atau vektor dalam penataan ini. Pada Bab 4 kita telah mendiskusikan bagaimana vektor yang dominan di bidang horizontal bercirikan sentripetal. Adapun di penghujung Bab 5, kita mendapati vektor lain yang bergerak ke atas, dari Bumi atau Puhum menuju Langit atau Lahatala. Dengan memperhatikan semua karakteristik ini, maka penataan ruang di jagat Huaulu dapat digambarkan sebagai berikut:
1 Wawancara dengan Kamara, 17 Agustus 2015.
141
Gambar 6.1. Aksis dan mata arah kardinal di level desa. Satu hal lagi yang perlu dicermati dalam penataan ini adalah perbedaan
“usia” antara aksis vertikal dengan aksis horizontal. Sebagaimana yang sudah saya argumentasikan pada Bab 5, aksis vertikal Bumi–Langit merupakan aksis yang lebih “tua”, lebih dahulu ada daripada aksis horizontal luar–dalam. Perbedaan usia ini bukan sesuatu yang sifatnya kebetulan atau superfisial, bukan pula sekadar “hasil sampingan” dari penahapan prosesi pembangunan rumah. Penerimaan atas karakteristik ini merupakan prasyarat signifikan yang memungkinkan adanya kualitas feminin yang primordial sebagaimana sudah saya argumentasikan pada penghujung Bab 5 itu masuk akal.
Ihwal terakhir ini, dan keseluruhan penataan kosmologis di atas dapat kita telusuri hingga ke salah satu mitos penting di Huaulu, yakni mitos mengenai kapal Kakalasiwa:
Dahulu kala, dengan menggunakan kapal yang bernama Kakalasiwa, orang- orang pertama Huaulu berlayar mengarungi lautan. Tiba-tiba muncul daratan dari dalam laut, tepat dari bawah kapal yang sedang melaju. Daratan itu pun naik semakin tinggi, sementara Kakalasiwa terus melaju—kali ini bukan lagi di atas Dahulu kala, dengan menggunakan kapal yang bernama Kakalasiwa, orang- orang pertama Huaulu berlayar mengarungi lautan. Tiba-tiba muncul daratan dari dalam laut, tepat dari bawah kapal yang sedang melaju. Daratan itu pun naik semakin tinggi, sementara Kakalasiwa terus melaju—kali ini bukan lagi di atas
Orang-orang yang di kemudian hari menjadi penduduk Pulau Seram hingga kini berdatangan ke pusat tersebut. Huaulu kemudian mengirim mereka ke penjuru pulau; sebagian ke arah Timur dan menjadi Siwa, sebagian lagi ke arah Barat dan menjadi Lima. Huaulu sendiri sebenarnya bukan Siwa maupun Lima. Sebagai manusia pertama dan yang tertinggi derajatnya, Huaulu adalah Esa (Satu). Namun demikian, lambat-laun Huaulu pun mesti turun dari Liapoto dan menjadi bagian dari pembagian Siwa/Lima. Mereka kemudian menjadi Lima, tetapi tanpa pernah kehilangan identitas asli mereka sebagai Esa.
Cerita di atas saya parafrasekan dari kisah yang diceritakan sendiri oleh Kamara (kadang dalam bahasa Indonesia, kadang dalam bahasa Huaulu) beberapa kali di beberapa kesempatan yang berbeda selama masa penelitian saya di Seram, dipadukan dengan kisah yang sama yang diceritakan Valeri di dalam The Forest of Taboos (2000:20-21). Beberapa kali saya juga tak sekadar mendengarkan kisah ini, tetapi mendiskusikan detail-detailnya dengan Kamara dan terkadang juga dengan “orang-orang tua”. Tak saya mungkiri, terlepas dari gaya penceritaan, diksi, dan sebagainya, rincian-rincian tertentu dalam dua paragraf di atas merupakan hasil dari penalaran dan penyimpulan saya sendiri setelah berulang kali berdiskusi dengan para informan. Oleh karena itu, beberapa senjang atau perbedaan antara dua paragraf di atas dengan penceritaan yang dilakukan oleh Kamara maupun Valeri barangkali perlu saya jelaskan terlebih dahulu sebelum kita beranjak ke pembahasan mengenai pola penataan kosmologis Huaulu yang tersirat di dalam mitos tersebut.
Senjang pertama berkenaan dengan penjelasan mengenai Liapoto. Menurut Valeri (2000:21), Liapoto merupakan desa pertama Huaulu—“The stone ship... marks the site of the first village....” Kamara dan beberapa informan lain telah mengklarifikasi keterangan ini. Berdasarkan keterangan mereka, Liapoto bukanlah desa pertama Huaulu, melainkan tempat di mana orang-orang Huaulu pertama
kali menginjakkan kaki di Pulau Seram. 2 Adapun desa pertama Huaulu terletak di Nusa Patola. 3 Lokasi yang terakhir ini pula yang disebut di dalam mitos
Wassulau. Ada kemungkinan bahwa keterangan Valeri sedikit–banyak dipengaruhi oleh kaidah logikanya sendiri, yang mungkin juga sama dengan kaidah logika yang sudah umum kita gunakan. Sebagaimana bagi Valeri, pun bagi kita barangkali lebih masuk akal untuk mengatakan bahwa Liapoto adalah desa pertama Huaulu. Liapoto sendiri terletak di antara pegunungan di Seram tengah, jauh ke dalam daratan, jauh dari bibir pantai. Jika orang-orang Huaulu pertama datang ke Pulau Seram melalui laut, sudah pasti Liapoto takkan menjadi lokasi di mana mereka pertama kali menginjakkan kaki di tanah Seram. Lokasi pertama itu seharusnya berada di pantai. Baru kemudian dari sana mereka melakukan perjalanan masuk ke pedalaman, hingga akhirnya sampai di Liapoto dan membuat permukiman atau desa di sana. Asumsi kita, tidak mungkin Pulau Seram muncul begitu saja dari dasar laut sebagaimana diceritakan dalam mitos Kakalasiwa. Pulau itu pastinya sudah ada di sana sebelum orang-orang Huaulu sampai dengan kapalnya.
Namun demikian, bagi orang-orang Huaulu sendiri apa yang diceritakan di dalam mitos Kakalasiwa, seperti halnya di dalam mitos-mitos lain yang mereka miliki, adalah kebenaran. Bahwa Pulau Seram juga muncul dari dalam laut di bawah kapal Kakalasiwa yang sedang melaju, itu pun benar adanya. Kebenaran ini memiliki signifikansi tersendiri bagi mereka. Dengan mengatakan bahwa Liapoto adalah lokasi di mana orang Huaulu pertama kali menginjakkan kaki, mereka memberikan penegasan bahwa Huaulu memang manusia pertama di Pulau Seram—toh sebelum mereka Seram itu sendiri tidak ada.
2 Wawancara dengan Kamara, 4 Juni 2015; dengan Kamara dan Abdul Haris Huaulu, 24 Juni 2015; dengan Maulika Tamatae, 13 Agustus 2015.
3 Wawancara dengan Kamara, 4 Juni 2015; dengan Maulika Tamatae, 13 Agustus 2015.
Selanjutnya, keterangan yang menyebutkan bahwa setelah Huaulu “turun gunung” dari Liapoto, mereka menjadi bagian dari salah satu pihak dalam pemilahan Siwa/Lima. Terkait hal ini, semua keterangan yang saya dapatkan membenarkan bahwa pada asasnya Huaulu bukan Siwa, bukan Lima, melainkan Esa. Informan-informan saya senantiasa menegaskan keterangan ini. Menurut mereka, sampai sekarang pun, sampai mereka turun gunung jauh dari Liapoto sekalipun, mereka tetap bukan Siwa, bukan Lima. Hal ini yang selalu mereka tekankan, meski setiap kali saya mengatakan bahwa menurut keterangan Valeri Huaulu kemudian menjadi Lima (Valeri, 2000:21), mereka tidak membantahnya—tapi juga tidak membenarkannya—setidaknya tidak secara verbal. Biasanya mereka hanya diam dan membiarkan topik itu berlalu begitu saja.
Valeri (2001 [1983]:104) telah mendapati beberapa informan Huaulunya pada awal 1970-an mengatakan terang-terang bahwa mereka adalah Lima. Lebih dari empat dasawarsa kemudian, selama melakukan penelitian lapangan, saya tak pernah memperoleh pengakuan serupa dari Kamara maupun “orang-orang tua” Huaulu. Kendati demikian, memang banyak representasi simbolik yang mengarahkan kita untuk menarik kesimpulan bahwa Huaulu memang Lima. Beberapa yang saya temui, misalnya, dalam upacara pernikahan kedua mempelai harus saling menempelkan dahi mereka sebanyak lima kali; banyaknya tiang utama pada rumah Huaulu adalah dua puluh lima (5 x 5). Di samping itu, mereka juga mengonfirmasi keterangan Valeri bahwa marga-marga Huaulu terbagi ke
dalam lima klan: Huaulu Potoa, Huaulu Kite, Tamatae, Alaiye, dan Peinissa. 4 Selain karena asal mereka yang memang tidak masuk ke dalam Siwa
ataupun Lima, orang-orang Huaulu kadang kala merujuk pada beberapa alasan untuk menjelaskan ambiguitas posisi mereka, yakni (1) Huaulu berada di perbatasan antara Siwa dan Lima; (2) sebagian wilayah petuanan Huaulu terletak di teritorial Siwa, sebagian lagi di teritorial Lima; (3) bahkan sekarang, permukiman Huaulu juga tersebar di kedua teritorial tersebut, yakni Alakamat dan
4 Sebenarnya hanya empat klan, namun klan pertama, Huaulu, memiliki dua seksi: Huaulu Potoa (Huaulu Besar) dan Huaulu Kite (Huaulu Kecil). Di samping itu, penting pula untuk dicermati
bahwa pengelompokan lain untuk marga-marga ini juga dikenal di Huaulu. Misalnya, marga- marga Isal, Ipatapale, dan Latunohu kadang dikelompokkan sendiri ke dalam kategori Latuam.
Kilo Lima di Lima, sementara niniani di Mutulam di Siwa—belum lagi satuan- satuan rumah yang terdapat di kebun-kebun mereka di berbagai tempat lain, seperti di Somen (dekat Tanjung Arara) dan beberapa yang pernah saya lihat, misalnya sebuah rumah di Kilo Sebelas dan di tepi Sungai Oni. Batas antara teritorial Siwa dan Lima adalah Sungai Oni; dan meski dari satu kepindahan ke kepindahan berikutnya niniani semakin jauh dari gunung sekaligus semakin dekat ke pantai, namun niniani takkan pernah benar-benar sampai ke pantai. Hal ini karena barang-barang pemali milik beberapa marga Huaulu yang dijaga di dalam niniani tidak boleh dipindahkan sampai melewati Sungai Oni. Cerita dari masa lalu menyebutkan, ketika di masa kolonial Huaulu dipaksa pindah ke pesisir oleh Belanda, perkampungan mereka direndam banjir rob dan dilanda wabah penyakit karena barang pemali Puraratuhu yang mereka bawa terlalu dekat dengan air asin
(tasiam; laut). 5 Dua persoalan ini akan kembali kita tilik nanti. Untuk saat ini, waktunya
kita diskusikan terlebih dahulu penataan kosmologis—penggambaran aksis dan mata arah—dalam mitos Kakalasiwa.