Tutam dan Silifam
3.4. Tutam dan Silifam
Dalam sebuah esainya yang termasyhur, “The Culinary Triangle” (2013 [1966]), Levi-Strauss merumuskan sebuah skema triadik yang dapat menuntun kita untuk menganalisis aktivitas memasak atau mengolah makanan yang dilakukan oleh manusia. Skema tersebut terdiri atas tiga kategori konseptual: mentah (raw), matang (cooked), dan busuk (rotten). Secara sederhana dapat dijelaskan, perubahan dari mentah ke matang merupakan perubahan yang sifatnya “kultural”, sementara perubahan dari mentah ke busuk sifatnya “natural”. Yang membedakan keduanya adalah persoalan “elaborasi”—perubahan dari mentah ke matang disengaja oleh manusia, sementara dari mentah ke busuk terjadi dengan sendirinya akibat proses alamiah (Levi-Strauss: 2013 [1966]:41). Pencirian mendasar atas perubahan dari mentah ke matang dan dari mentah ke busuk ini tentu saja pencirian yang menyederhanakan. Kendati demikian, konseptualisasi ini cukup membantu sebagai pijakan untuk melakukan analisis struktural atas salah satu hal yang paling intim dengan manusia—makan dan makanan.
17 Wawancara dengan Kamara, Juli 2015.
Sejauh ini apa yang sudah diuraikan di dalam bab ini berupa penjelasan deskriptif mengenai situasi ekologis yang melingkupi orang-orang Huaulu dan bagaimana mereka memanfaatkan situasi itu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan melangsungkan keberadaannya. Pada bagian ini saya akan mencoba menilik kembali deskripsi tersebut dengan mengerangkainya menggunakan segitiga makanan Levi-Strauss yang sudah saya sebutkan. Untuk keperluan ini, pertama- tama saya akan mencoba mengategorikan beragam kompetensi yang sudah saya deskripsikan sebelumnya berdasarkan kerangka klasifikasi heuristik yang saya ambil dari khazanah Huaulu sendiri. Perangkat heuristik yang saya maksud dapat kita telusuri dari sebuah mitos yang terdapat di Huaulu.
Masyarakat Huaulu cenderung memersepsi orang-orang Buton sebagai “saudara perempuan” mereka. Hal ini didasarkan pada sebuah mitos yang menyebutkan bahwa dahulu kala Huaulu dan Buton—atau personifikasi keduanya—pernah bertemu. Ketika berpisah—keduanya keluar dari sebuah rumah—Huaulu keluar melalui pintu depan dengan membawa parang (tutam),
sementara Buton keluar dari pintu belakang dengan membawa pisau (silifam). 18 Di dalam mitos ini terlihat bahwa dalam logika kultural Huaulu bagian depan
rumah (beranda) dan parang memiliki asosiasi dengan “laki-laki”, sementara bagian belakang rumah (dapur) dan pisau berasosiasi dengan “perempuan”. Tentu saja laki-laki dan perempuan yang dimaksud adalah laki-laki dan perempuan
sebagai konsep gender, bukan jenis kelamin. 19 Simbolisasi parang dan pisau inilah yang akan saya gunakan untuk meninjau kembali deskripsi pada bagian-bagian
sebelumnya melalui sebuah analisis yang dikerangkai skema triadik Levi-Strauss. Ke mana pun seorang laki-laki Huaulu pergi, hampir selalu akan kita dapati sebilah parang ada bersamanya—biasanya disampirkan di pinggang kanan dengan sebuah sarung yang talinya menyilangi badan dan menggantung di pundak kiri, atau sebaliknya. Parang di Huaulu bukan hanya berasosiasi dengan laki-laki, tapi
18 Wawancara dengan Kamara, 17 Juni 2015. 19 Wawancara dengan Kamara, 17 Juni 2015. Di dalam wawancara tersebut, seorang rekan sesama
anggota tim peneliti yang turut hadir menanyakan kepada Kamara, “Maksudnya Buton saudara perempuan Huaulu, itu apa, Pak? Apakah orang Buton yang bertemu dengan Huaulu itu perempuan? Jenis kelaminnya perempuan?” Kamara menjawab, “Apakah jenis kelaminnya laki-laki apa perempuan, kita nggak tahu ya. Tapi waktu berpisah, Buton pergi lewat pintu belakang dengan membawa pisau.” Petikan percakapan ini setidaknya menunjukkan bahwa Kamara memiliki konsepsi yang membedakan secara jelas gender dan jenis kelamin.
memang menjadi benda yang sifatnya amat intim dan personal bagi pemiliknya. Hal ini terlihat, misalnya, ketika seorang laki-laki Huaulu meninggal dunia. Ketika ia hendak dikuburkan, tetangga-tetangganya biasanya akan memberinya berbagai macam barang atau peranti yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari—piring, gelas, kain, dan sebagainya. Barang-barang tersebut akan dikuburkan bersama si mati. Namun berbeda dari semua benda lain, si mati hanya boleh membawa parang (tutam) miliknya sendiri, dan bukan pemberian orang.
Parang selalu mereka bawa ketika beraktivitas di luar desa, terutama ketika berburu atau berkebun. Berburu biasa dilakukan di hutan liar (mui), sementara berkebun dilakukan di penggalan hutan yang telah ditebangi pohon-pohonnya dan dibersihkan dengan cara dibakar (lawam). Dalam kategori tempat yang lebih luas, mui dan lawam merupakan bagian dari kaitahu. Istilah terakhir ini biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai hutan. Tetapi jika kita cermati, kaitahu sebenarnya sebuah konsep ruang yang merujuk pada area, yakni suatu area yang berada di luar tempat tinggal manusia (desa atau niniani). Dengan demikian, parang erat kaitannya dengan kaitahu.
Berbeda dari parang, pisau biasa didapati dan dipergunakan di dapur. Aktivitas yang melibatkan pisau adalah aktivitas memasak. Gender yang berasosiasi dengannya adalah perempuan. Dapur, sebagai bagian dari rumah dan tempat di mana aktivitas memasak biasanya dilakukan, terdapat di niniani. Dengan demikian, pisau erat kaitannya dengan niniani. Valeri (2001 [1983]:96) menjelaskan bahwa kaitahu memiliki asosiasi dengan perempuan atau yang feminin—tidak teratur, antah-berantah, disorder—sementara niniani berasosiasi dengan laki-laki atau yang maskulin—teratur, tatanan, order. Menariknya, aktivitas yang berkaitan erat dengan penggunaan parang justru terjadi di kaitahu dan dilakukan oleh laki-laki, sedangkan aktivitas yang berkaitan dengan penggunaan pisau justru terjadi di niniani dan dilakukan oleh perempuan. Dengan kata lain, pada titik ini nampaknya terjadi disosiasi antara parang dengan niniani dan antara pisau dengan kaitahu.
Dalam menghadapi problem disosiasi di atas, solusi yang ditawarkan Valeri dimulai dengan menyatakan bahwa pemilahan antara pusat yang laki-laki— niniani—dengan periferi yang perempuan—kaitahu—sebenarnya tidaklah statis
atau absolut (Valeri, 2001 [1983]:97). Hal ini dapat kita lihat pada proses pengambilan manfaat (appropriate) dari alam yang dilakukan oleh orang-orang Huaulu. Proses tersebut diawali oleh laki-laki di dalam kaitahu, yakni berburu dan membunuh binatang buruan, mengubahnya menjadi daging. Dilanjutkan oleh perempuan di dalam dapur dengan memasak daging dan mengubahnya menjadi makanan. Akhir dari proses ini, yakni makan, juga bersifat maskulin, karena di Huaulu laki-laki makan terlebih dahulu, baru setelah mereka selesai, perempuan makan. Berdasarkan proses pengambilan manfaat ini, Valeri lantas menyimpulkan bahwa mobilitas laki-laki yang bolak-balik niniani–kaitahu merepresentasikan dua ruang maskulin yang diantarai oleh ruang perempuan, yakni dapur, yang menurut letaknya memang terdapat di antara bagian dalam niniani dengan kaitahu yang mengelilingi niniani, mengingat semua rumah Huaulu senantiasa menghadap halaman besar sekaligus membelakangi kaitahu (lihat Gambar 2.1. Pola permukiman di Mutulam).
Solusi di atas cukup membingungkan. Pada awalnya Valeri (2001 [1983]:96) menegaskan bahwa kesatuan antara bagian depan semua rumah (beranda) dan halaman besar membentuk bagian dalam niniani yang merupakan ruang laki-laki atau maskulin, sementara kesatuan antara bagian belakang semua rumah (dapur) dan hutan di sekeliling desa membentuk bagian luar yang merupakan ruang perempuan atau feminin (kaitahu). Namun kemudian, setelah melihat bahwa aktivitas berburu yang dilakukan oleh laki-laki terjadi di kaitahu, sementara aktivitas memasak yang dilakukan oleh perempuan terjadi di dapur, ia mengubah skema tersebut dan mengatakan bahwa dapur mengantarai dua ruang laki-laki (Valeri, 2001 [1983]:98). Kendati tidak secara lugas ia menyatakannya, namun kesimpulan ini mengimplikasikan bahwa pada akhirnya kaitahu pun ruang laki-laki, setidaknya selama aktivitas berburu dilakukan.
Solusi yang membingungkan ini sebenarnya berakar pada kerangka analitis yang digunakan oleh Valeri dalam menginterpretasikan aktivitas berburu yang dilakukan oleh laki-laki di kaitahu. Jika dicermati, ia memahamkan aktivitas manusia—entah
penanda yang merepresentasikan ruang dalam mana aktivitas tersebut berlangsung. Dengan kata lain, asumsi di balik argumentasinya mengatakan bahwa aktivitas maskulin
berburu
atau
memasak—sebagai memasak—sebagai
aktivitas feminin merepresentasikan ruang feminin. Hal ini sama sekali berbeda dengan mengatakan bahwa suatu aktivitas maskulin terjadi di sebuah ruang maskulin, suatu aktivitas feminin terjadi di sebuah ruang feminin. Jika kita melupakan sejenak relasi representasional antara suatu aktivitas dengan ruang di mana aktivitas itu terjadi, akan lebih mungkin bagi kita untuk mengatakan bahwa ada kalanya suatu aktivitas maskulin terjadi di ruang feminin, suatu aktivitas feminin terjadi di ruang maskulin. Sikap nalar yang terakhir inilah yang saya sarankan guna mencari solusi atas problem disosiasi yang sudah saya sebutkan. Alih-alih memahamkan aktivitas sebagai sebuah representasi, kita justru perlu mendudukkannya sebagai sebuah kompetensi. Dalam hal ini, yang pertama-tama mesti kita cari tahu adalah apakah yang dilakukan laki-laki dengan parangnya di hutan, dan apakah yang dilakukan perempuan dengan pisaunya di dapur?
Ketika berburu atau mengayau, 20 dapat dikatakan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki Huaulu adalah “mengambil”. Dengan berburu mereka
mengambil daging dari binatang liar, dengan mengayau mereka mengambil kepala. Adapun aktivitas yang dilakukan oleh perempuan ketika memasak dapat dicirikan sebagai “mengubah”. Mereka mengubah daging yang telah dibawa pulang dari hutan menjadi lauk atau makanan. Jika kita meminjam konsepsi Levi- Strauss di dalam segitiga makanannya, dapat kita katakan bahwa yang dilakukan laki-laki sekadar menyiapkan bahan mentah, sementara yang dilakukan perempuan mengubah bahan mentah tersebut menjadi matang. Aktivitas yang kedua mengubah suatu objek dari objek natural menjadi objek kultural. Dalam hal ini, aktivitas memasak itu sendiri sebenarnya bukan bagian dari yang natural maupun kultural, melainkan mengantarai keduanya (Levi-Strauss, 2013 [1966]:46). Adapun aktivitas yang pertama tidak mengakibatkan perubahan semacam itu. Ia hanya “memutus” atau “mencerabut” suatu objek dari tempat asalnya. Binatang yang diburu dan dibunuh diputus dari hutan yang menjadi habitatnya. Demikian halnya dengan kepala yang diambil dalam perburuan kepala. Dalam satu pengertian korbannya bukan hanya dibunuh, tetapi juga
20 Mengayau maksudnya mengambil kepala (matakana akaniem). Dahulu orang-orang Huaulu biasa membunuh orang untuk diambil kepalanya. Kepala tersebut dibutuhkan dalam ritual-ritual
tertentu, salah satunya ritual inisiasi.
diputus dari dunia sosialnya—kini ia sekadar kepala, dan bukan seorang pribadi. Dalam pengertian yang lain, kepala itu justru diputus dari dunia natural, mengingat kepala ini diambil dari seorang korban yang tengah berada di dalam hutan, bukan di dalam desa—korban pengambilan kepala adalah bagian dari kaitahu, bukan niniani.
Pada titik ini kita melihat argumentasi Valeri cukup tepat, ketika ia mengatakan bahwa apa yang dilakukan laki-laki (dengan parangnya) merupakan tahap pertama dalam proses pengambilan manfaat dari alam. Namun yang luput dari argumentasinya adalah kenyataan bahwa tahapan ini justru harus dilakukan oleh seseorang di ruang perempuan (kaitahu) dengan kompetensinya sebagai laki- laki. Secara logis, tahapan pertama pemanfaatan harus dilakukan di alam, dan dengan demikian, berarti di ruang feminin. Tahapan ini juga harus memutus suatu objek dari alam liar yang merupakan dunia asalnya tanpa mengubah secara substansial objek tersebut, karena ketika perubahan substansial berlangsung, itu berarti proses pemanfaatan sudah memasuki tahapan berikutnya. Dengan jalan pikiran inilah, kita dapat memahami bagaimana aktivitas laki-laki (berburu, membuka kebun, mengambil kepala) dapat terjadi di ruang perempuan (kaitahu) tanpa mengimplikasikan bahwa ruang tersebut harus dikonseptualisasikan ulang sebagai ruang laki-laki.